Thursday, 7 February 2013

Skripsi #1


Sesungguhnya, kehidupan seorang mahasiswa baru benar-benar dimulai ketika mengerjakan skripsi.
* * *
Tiga jam berlalu sejak gelas kopi ukuran besar itu masih penuh dan sekarang tinggal ampas kopinya aja, Mario masih serius manteng di depan laptopnya. Kali ini tampangnya serius banget. Oke, nggak serius-serius banget sih, tapi seenggaknya setingkat lebih serius daripada kalo dia lagi nonton file 3gp dari folder yang diberi nama ‘Miyabi and friends’. Agak susah memang membedakan raut serius dan gurat mesum di wajah Mario.
Nggak ada sesuatu yang menyebabkan galau berkepanjangan kalo dateng terlambat kecuali dua hal, yaitu datang bulan pada wanita belom menikah dan penyesalan pada mahasiswa jurusan komunikasi yang udah nyaris tujuh tahun kuliah dan belom ada tanda-tanda kapan wisuda. Mario, walaupun berantem sama kecoa aja kalah, dia tetaplah lelaki tulen. Jadi nggak mungkin datang bulan. Bisa disimpulkan Mario termasuk dalam golongan ’Mahasiswa hampir abadi’. Dan sekarang dia menyesal karena skripsinya resmi menyamai rekor Bang Toyib, yaitu udah dua kali lebaran dan dua kali puasa belom kelar.
Ada banyak alasan memang kenapa Mario susah lulus di samping dia juga kadang susah buang air besar. Setidaknya ada beberapa alasan versi Mario sendiri yang udah dia susun rapih dan sebagai alat ngeles kalo-kalo aja ada yang nanya:

1.                  Salah pilih temen. Mario tumbuh di kampus bersama para mahasiswa idealis yang percaya bahwa demo bisa menentramkan dunia. Awalnya sih ikut-ikutan aja, eh malah keterusan. Demo pertama Mario terjadi ketika mahasiswa gencar menolak kenaikan BBM di tahun 2007 dan berakhir dengan muka Mario bonyok-bonyok dikeroyok tukang ojek. Pelajaran yang diambil Mario dari demo pertamanya adalah, jangan pernah bakar ban motor sembarangan, apalagi ban yang diambil dari pangkalan ojek secara random. Tapi Mario nggak kapok, kemudian berlanjut ke demo-demo lainnya. Demo menurunkan harga cabe, demo menurunkan harga beras, demo menurunkan harga minyak curah, demo menurunkan harga telor asin (ini mahasiswa apa tengkulak?), demo menurunkan uang kuliah, demo masak bersama ibu-ibu PKK, demo pencegahan TBC di posyandu kecamatan, pokoknya semuanya dijabanin. Akibatnya Mario menjadi mahasiswa yang memiliki ideologi maksimalis dengan IPK minimalis karena sering bolos kuliah dan rapat oraganisasi ini dan itu.

2.                  Ga cocok sama jurusannya. Mario jurusan jurnalistik. Dia sih ngakunya lebih minat ke Fakultas pertanian, sesuai mimpinya membangun kebon pete cina terluas sekabupaten. Lalu kenapa dia masuk jurnalistik? Karena dia nggak diterima di pertanian dan nggak bakat jadi orang-orangan sawah. Lalu beralih ke jurnalistik setelah nonton film Superman, terinspirasi sama tokoh Clark Kent yang menurut Mario keren tiada ujung. Mario cuma nggak tau aja kalo Clark Kent itu jadi wartawan kagak pake kuliah. At least, nggak pernah ada kan di sekuel Superman mana pun adegan dimana Clark Kent ketauan nyontek pas UAS terus diusir dosen atau ngutang di kantin kampus?

3.                  Takdir. Untuk yang satu ini memang sulit untuk diperdebatkan. Butuh intelektual setingkat Kyai Haji untuk memenangkan perdebatan soal takdir sama Mario. “Namanya juga takdir, pasrah aja. Elo mau ngelawan kehendak yang diatas?”, gitu tuh andalannya kalo lagi ngeles.

4.                  Nggak ada temen. Wajar, temen seangkatannya udah pada lulus semua.

Lusa, Mario bertekad menyerahkan BAB III skripsinya ke dosen pembimbing. Tapi sampe lewat tengah malam hari ini itu skripsi masih dalam status ‘beres kagak, ancur iya’. Mario makin stres. Padahal dukungan yang datang kepadanya banyak banget. Sang pacar kirim SMS tiap dua menit sekali ngasih semangat dan tiap sepuluh menit nelpon untuk memastikan Mario bener-bener ngerjain skripsi dan bukan narik becak. Nyokap ngadain pengajian ngundang para tetangga beserta segenap tim anti huru-hara satpol PP. Pamannya yang baru datang dari desa mengiming-imingi berlibur ke desa kemudian mandi di sungai, turun ke sawah, menggiring kerbau ke kandang. Dan tukang sayur langganan memberikan paket kacang panjang gratis buat cemilan.
Tapi semuanya nggak cukup bikin skripsi Mario jadi cepet kelar. Dukungan itu bisa jadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi Mario jadi semangat, tapi di sisi lain dirinya merasa terbebani dengan harapan-harapan orang disekitarnya. Bayangan takut gagal dan mengecewakan mereka selalu menghantui Mario.
Mario kembali menuangkan kopi ke gelasnya, mencoba nahan rasa ngantuk yang kebangetan sambil menatap tajam ke monitor laptopnya. Sebentar lagi subuh, maling ayam juga udah pada pulang ke rumahnya, kuntilanak siap-siap balik ke alamnya, dan sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Mario mempercepat ketikan pada tuts keyboard laptopnya. Dan….
-PETTT-
Tiba-tiba gelap. Hening.
“Sialan, bisa-bisanya lagi kepepet kayak gini mati listrik! Belom cukupkah penderitaan gue yang nggak pernah telat bayar listrik ini selama dua tahun ngerjain skripsi sehingga PLN ngerasa perlu turun tangan untuk bikin gue nambah pengen minum baygon???”
Mario makin mempercepat ketikan ketika dia ngeliat batere laptopnya nyaris drop, sial, dia lupa nyolokin charger. Belom dapet dua paragraf ngetik, laptop langsung semaput.
“LAPTOP SIALAAANNNNN, GUE KUTUK LO JADI CAMEROON DIAZ!!!”
Mario mengumpat pada laptop kesayangannya yang berwarna biru itu. Sebiru hatinya. Eaaaaaa….

* * *
Laptop biru kesayangan Mario resmi diberi nama ‘Cameroon Diaz’ walaupun tanpa bikin bubur merah-bubur putih dan aqiqahan potong kambing. Siang itu dengan raut muka dibikin setegar mungkin Mario pede nenteng-nenteng Cameroon ke kampus. Bisa diperdebatkan, ngapain coba nenteng-nenteng laptop sementara tujuannya adalah cuma nyerahin BAB III yang telah dijanjikan kepada sang dosen?
Tapi alasan Mario cukup reasonable, yaitu sebagai teknik kamuflase untuk meyamarkan penampilan layaknya mahasiswa-mahasiswa lain yang satu semesternya masih ngambil 24 SKS.
Mario menyusuri lorong jurusan jurnalistik dengan hati berirama dag dig dug duar seperti iklan deterjen versi remix. Udah lama juga dia nggak ke kampus, banyak muka-muka baru yang baru diliatnya. Banyak mahasiswa baru sedang duduk-duduk nunggu kuliah di lorong tersebut. Ketika Mario melintas di depan mereka, mereka semua berdiri dan cium tangan.
“Dosen baru ya, Pak?”
“Heh, mahasiswa baru, elo mau gue suruh beli pempek Palembang ke Banyumas apa gue kelitikin nyampe mampus? GUE SENIOR!”
“Senior? Angkatan berap….”
-PLAAAKKK-
Si mahasiswa baru langsung keseleo lehernya. Menanyakan angkatan berapa kepada mahasiswa yang punya durasi masa kuliah nyaris tujuh tahun sama bahayanya kayak bikin bete macan jutek lagi PMS. Jadi waspadalah.
Mario mengetuk pintu ruang dosen. Ada suara menyahut dari dalam,
“Siapa?”
“Mario.”
“Password?”
“Mario ganteng.”
“Salah.”
“Mario imut tiada tara?”
“Balik lagi dua tahun dari sekarang.”
“Oke, oke…gitu aja ngambek. Nih, 007ABC/SKRIPSI.”
“Masuk!”
Mario membuka pintu ruang dosen itu dan menemukan sesosok makhluk sedang berkutat dengan banyak sekali kertas. Maklum lah ya namanya juga dosen, kalo berkutat dengan banyak uang receh berarti dia kenek bus.
“Selamat pagi Pak.” Sapa Mario.
“Nggak usah sok disiplin, ini siang!”
Dosen itu bertampang datar. Usianya masih muda, kira-kira di penghujung dua puluhan dan masih lajang (penting?). Hal ini cukup membuat Mario iri dan berasa pengen pindah kewarganegaraan aja dari Indonesia menjadi Kamerun atau Uganda. Itu dosen belom tiga puluh tahun udah S2, dan jadi dosen, dosen pembimbing pula. Mario ngerasa dunia nggak adil. Di luar sana begitu banyak sarjana ngesot-ngesot nyari kerjaan sementara umur semakin menua, dan dosen ini minta dikulitin idup-idup dengan meraih title ‘mapan’ di usia yang cukup belia.
“Oke pak, maaf. Ini BAB III yang telah saya janjikan seminggu yang lalu.”
“Sebulan.”
“Oh iya, sebulan yang lalu. Kalo bapak approve, saya bisa lanjut ke BAB berikutnya.” Mario menyerahkan bundelan kertas ukuran A4. Sang dosen menerimanya dan membolak-balik kertas itu meneliti dengan seksama.
“Bagus, bagus…”
“Terimakasih pak.”
“Kualitas kertasnya bagus. Beli dimana?”
Senyum Mario langsung kuncup. Kalo aja nimpuk dosen pake pembolong kertas ukuran gede itu nggak dosa, itu dosen mungkin udah di akherat.
“Di percetakan deket rumah saya pak. Memangnya kenapa Pak?”
“Bisa cetak undangan pernikahan juga?”
“Bisa Pak, wuih kualitasnya nomor satu Pak. Jangankan nyetak undangan Pak, nyetak kembarannya Justin Bieber juga katanya bisa. Kalo minat cepet booking Pak, senin depan harga naik.” Beberapa hari begadang ngerjain skripsi membuat Mario sedikit berubah jadi kayak Feni Rose di akhir pekan yang lagi jualan apartemen.
“Deal, kasih saya alamatnya!”
“Mau langsung dicetak pak skripsi saya? Wah kan belom kelar pak. Atau Bapak sudah merasa cukup hanya dengan sampai BAB III saja? Sejenius itukah saya pak? Saya jadi tersanjung nih.” Mario membenarkan kerah kemejanya.
“Begini Mario…” Sang dosen mendekatkan wajahnya ke wajah Mario seperti seorang guru silat mau menurunkan jurus pamungkas semacam kemahameha kepada sang murid, “…satu bulan dari sekarang saya mau melangsungkan resepsi pernikahan.”
Mario terdiam, menatap dosennya heran dengan tatapan, “Terus gue mesti bilang lo mirip Primus gitu?”
“Saya tau kamu bingung. Begini simpelnya, mulai minggu depan saya ambil cuti selama sebulan. Dan kalau bulan madu saya ke Eropa menyenangkan, mungkin bisa sampai dua bulan.” Si dosen menjelaskan tanpa memikirkan perasaan Mario sama sekali.
“Terus, skripsi saya gimana? Diternak aja gitu biar beranak?”
“Kamu bisa meneruskan bimbingan setelah saya masuk lagi.”
“Loh, saya ngejar biar bisa ikut sidang dua bulan lagi Pak. Dan wisuda di akhir semester.”
“Kamu bisa kejar semester depan kan? Jatah kuliah kamu masih ada dua semester lagi kan? Sayang kalo nggak dipake.”
“Wah nggak bisa gitu dong Pak. Nikahnya aja yang ditunda.” Mario mencoba meyakinkan dosennya bahwa jatah dua semester kuliah itu maknanya sungguh jauh berbeda dengan jatah dua karung raskin.
“Nggak bisa Mario.”
“Saya juga nggak bisa, Pak.”
“Kalo begitu, cari pembimbing lain.”
“Saya mesti ganti judul dong?”
“Nah!”
“Nah, apanya? Pak, saya ngerjain skrispsi ini mati-matian pak. Mengorbankan darah dan nyawa ribuan nyamuk yang nemenin saya ngerjain ini Pak, belom lagi waktu tidur saya yang secara drastis berkurang. Masa perjuangan saya sia-sia pak?”
Sang dosen terdiam, menatap raut melas wajah Mario dengan tatapan, “Terus gue mesti bilang lo mirip Mike Lewis gitu?”
“Oke Mario, begitu saja.”
“Begitu gimana?”
“Tunggu saya, atau cari pembimbing lain.”
* * *
Mario mengalihkan kegalauannya ke kantin kampus. Dunia seperti sudah berakhir baginya. Target wisuda semester ini bisa molor hingga tahun depan, dimana limit masa aktif kuliahnya berakhir. Sementara keluarga dan orang-orang terdekatnya sudah menanti kabar gembira dari Mario.
Untuk menemani kegundahannya, Mario mengeluarkan HP dan menekan nomor pacarnya, Maria. Terdengar nada sambung.
“Halo ay, aku di kantin kampus nih, ke sini dong…..hah? Biro jodoh? Oh maaf saya salah pencet.”
Mario menekan nomor lain.
“Ay, aku di kantin kampus ke sini dong…lima belas menit lagi? Oke, oke aku tunggu.”
Perasaan Mario jadi sensitif kalo ada yang menyangkut soal skripsi. Seperti ketika ada seorang junior yang masuk ke kantin itu dan memesan kepada penjaga kantin,
“Mas, ayam goreng crispy satu jangan pake nasi.”
“HEH, ELO NGELEDEK GUE?” Mario bangkit dan menunjuk hidung si junior.
“Ka…ka…kaga Bang. Em..em..emang ngeledek gimana?” Si junior ketakutan. Dan karena dia bukan super junior, wajahnya pucat pasi.
“TADI LO NGUNGKIT-NGUNGKIT SOAL SKRIPSI NGGAK PAKE REVISI!??”
“Bu…bukan Bang, tadi sa…saya bilang ayam crispy nggak pake nasi, Bang. Am…ampun Bang, ja…jangan nikahin saya Bang.”
“Bener lo tadi ngomong gitu?”
“Iya Bang.”
“Oke sori…”
Mario kembali tenang. Lima belas menit lebih tiga puluh menit kemudian Maria baru dateng. Dia langsung duduk di sebelah Mario.
Mario dan Maria. Pasangan yang udah tiga tahun pacaran. Mereka dipertemukan di sebuah demo. Waktu itu Maria masih tingkat pertama dan Mario tingkat empat plus plus. Maria yang berambut panjang, berparas imut-imut, supel, walau terkadang lemot, mampu membuat Mario jatuh hati. Sebaliknya, Mario bukan cowok idola kampus. Tapi dengan rambut jambul, mata agak sipit, kumis sedikit tipis melintang, dan perhatiannya, Mario mampu membuat hati Maria luluh. Sampai sekarang pasangan ini masih awet. Cinta tidak mengenal status skripsi.
“Sori telat ay…” Maria menepuk punggung Mario.
“Ga papa ay.” Kata Mario datar sambil makan sayur lodeh pake sedotan.
“Kenapa? Kok kayaknya kusut banget.”
Mario menceritakan situasi skripsinya yang sekarang naik status dari ‘waspada’ menjadi ‘siaga’. Mario menceritakan dengan berapi-api dan Maria mendengarkan dengan khidmat.
“Gitu ay, gimana aku nggak stress kan?”
“Jadi skripsi kamu ditunda dong?”
“Jelas.”
“Itu mungkin karena dosen kamu mau cuti sebulan yah?”
KAN TADI AKU BILANG BEGITU!!!”
Kelemotan Maria mulai terlihat dan tidak pada tempat dan waktu yang tepat.
“Sabar ya ay, kayaknya kamu butuh suasana baru.” Maria merangkul Mario dengan penuh sayang dan dengan segera membuat Mario memaafkan kelemotan pacarnya itu.
“Suasana baru?”
“Iyah, suasana baru.”
“Semacam pacar baru?”
-PLAAKKK-
“Kamu butuh suasana baru untuk menyelesaikan skripsi kamu. Kamu tuh kecapean, di kampus diomelin dosen, di rumah di ceramahin ortu. Kamu butuh tempat yang tenang ay. Ya nggak harus di goa atau hutan sih, yang penting kamu bisa rileks.”
Mario merenungkan saran dari kekasihnya itu. Ada benarnya juga. Saat ini yang dibutuhkan adalah berpikir jernih. Mungkin wisuda akhir semester ini harus direlakan berlalu. Tapi yang penting skripsinya kelar dulu. Supaya begitu si dosen pembimbingnya pulang dari acara ‘belah duren’-nya, Mario tinggal mengajukan draft skripsi yang udah jadi.
“Aku ngekost aja apa ya?” Tiba-tiba ide itu terlintas begitu saja.
“Kost? Kamu yakin?”
“Kenapa kamu berpikir aku nggak yakin?”
“Kamu kan bobonya kadang-kadang masih ngompol.”
“Emang anak kost ga boleh ngompol?”
“Nggak untuk anak kost yang udah nyaris tujuh tahun kuliah. Lagian anak kost kan identik dengan mi instan, bukan pempers.”
“Nggak apa-apa, aku ngekos aja deh. Siapa tau ketemu orang-orang baru, dapet pencerahan baru, semangat baru buat nerusin skripsi ini.” Kata Mario bersemangat dengan back sound lagu pembuka Captain Tsubasa.
“Trus skripsi kamu gimana?”
“TADI KAN KITA UDAH BAHAS, AY!”
“Oh iya,  trus kamu kapan wisudanya?”
“AY, TUH DIPOJOKAN ADA PISO. AMBIL GIH, TUSUK AKU SEKARANG!”
Kantin semakin sepi seiring hari yang juga semakin sore. Mario dan Maria masih berbincang tentang wacana ngekost yang dicanangkan Mario.
“Fix. Aku ngekost aja. Ini demi kesehatan jiwa dan raga. Lagi pula nyaris tujuh tahun aku kuliah, masa aku nggak pernah ngerasain romantika terbaik dari bagian kehidupan mahasiswa. Yaitu ngekost.”
“Ya udah, nanti aku temenin nyari kosannya.”
“Makasih ya Ay, walaupun kadang-kadang kalo ngobrol sama kamu bikin aku nyaris meninggal, tapi kamu yang terbaik buat aku. Kamu cantik deh ay.”
“Ah kamu bisa aja.”
“Beneran, kamu cantik. Nggak salah aku pilih kamu jadi pacar.”
“Makasih ya, ay.”
“Dan karena kamu cantik, ehm, kamu yang bayar semua makanan ini ya.”
Hening.

Share: