Macet. M.A.C.E.T.
Gue nggak menemukan padanan kalimat lain untuk kata di atas selain, macet
itu menyebalkan. Macet yang gue maksud adalah dimana dua kendaraan atau lebih
nggak bisa jalan di satu ruas jalan yang sama. Jadi hati yang macet karena
susah move on dari mantan itu bukan
konteksnya di sini.
Gue pernah tinggal di Jakarta,
dan gue ngerasain sendiri gimana keparatnya macet membuat seseorang berasa
pengen ngegigit lidah sendiri. Dulu, ‘trayek’ harian gue adalah dari Kalideres
ke Grogol buat kuliah. Ruas jalan utama yang gue lewatin adalah jalan Daan
Mogot. Dalam kondisi normal, asumsi jalanan sepi dan nggak ada arisan ibu-ibu
di tengah jalan, gue cuma membutuhkan waktu kurang dari setengah jam naek
Kopaja dengan kecepatan sedang. In fact,
jalan Daan Mogot itu lurus doang. Kalideres-Grogol juga nggak begitu jauh.
Tapi dalam kondisi ‘nggak normal’ (baca: jam kerja, jam pulang kerja,
ujan deres, ada tawuran sekolah, si Komo lewat sambil galau) bisa memerlukan
waktu sampe dua jam. Edan. Ngabisin umur di jalan banget kan?
Rugi dari segi apa pun deh kalo udah macet. Gini itung-itungan kasarnya:
Kalo macet, gue perlu waktu dua jam Kalideres-Grogol dan sebaliknya. Berarti
total dalam sehari adalah empat jam. Kalikan dengan hari kerja, taro lah dari
Senin nyampe Jum’at, jadi empat di kali empat. Total enam belas jam dalam
seminggu. Enam puluh empat jam dalam sebulan. Dan tujuh ratus enam puluh
delapan jam dalam setahun. Itu lah waktu yang terbuang sia-sia selama setahun.
Sekali lagi, ini bukan itungan mutlak, nggak perlu ditanyain ke guru matematika
apalagi ke bandar togel.
Beberapa tahun kemudian, gue pindah kota
ke Cilegon. Menurut gue, Cilegon ini kota
dengan pertumbuhan fisik yang termasuk lambat. Ini ada korelasinya loh sama
macet yang gue certain tadi.
Begini, akhir-akhir ini banyak yang ngeluh kalo Cilegon itu macet. Nggak
kayak dulu. Walaupun macetnya nggak semassiv di Jakarta, tapi macet ini cukup mengganggu
warga Cilegon yang udah lama ‘terbuai’ sama jalanan yang lancar-lancar aja.
Orang Jakarta
mah udah biasa sama jalanan macet, jadi nggak senewen-senewen amat sama yang
namanya stuck di tengah jalan.
Banyak yang menganggap bahwa para pengguna kendaraan pribadi di Cilegon
adalah pihak yang paling berdosa dan bertanggung jawab atas kemacetan yang
terjadi. Tapi kalo diliat dari struktur kota
dan kebijakan lalu lintas yang berlaku, para pengguna kendaraan pribadi
semestinya nggak melulu disalahkan.
Nah di sini kenapa gue bilang tadi pembangunan fisik yang lambat ada
korelasinya sama kemacetan di Cilegon. Sebelum gue kuliah di Jakarta, gue tinggal di Cilegon dari kelas 4
SD sampe lulus SMA. And you know what?
Jalan protokol dari dulu sampe sekarang ya cuma segitu-gitunya. Cuma segaris
lurus mulai dari Simpang sampe menjelang tol Cilegon Timur.
Sementara itu di lain pihak Cilegon mau nggak mau terus tumbuh sebagai
konsekuensi dari predikat ‘Kota Industri’, pendatang makin banyak, mereka
sebagaian besar membawa kendaraan pribadi. Wajar kalo jadinya macet. Di titik
ini, para pengguna kendaraan pribadi belum bisa disalahkan. Karena kendaraan
pribadi sekarang bukanlah kebutuhan tersier (barang mewah) kayak zaman tuyul
masih gondrong, tapi udah jadi kebutuhan primer (pokok). Yang salah adalah,
kalo ada satu keluarga yang punya banyak anggota keluarga dan masing-masing punya
mobil sendiri. Tapi kalangan kayak gitu kan
segmented banget di Cilegon. Nggak
banyak.
Sekarang coba ngomongin angkutan umum biar fair. Di Cilegon angkutan umum paling banyak fansnya adalah angkot.
Murah meriah, melayani rute jarak dekat, nyarinya nggak susah, dan untuk para
cewek kalo lagi beruntung bisa kenalan sama sopirnya.
Angkot ini suka ngetem, dan ini menyebabkan beberapa titik di Cilegon stuck. Tapi angkot juga nggak salah,
mereka cuma cari duit. Dan angkot ini sangat fasih menerapkan peribahasa “Ada gula ada semut”, yang
secara harfiahnya adalah, dimana banyak orang di situ si angkot ngetem. Nggak
heran kalo titik macet biasanya di depan mall atau sekolahan. Seperti kata
peribahasa “Buah nangka buah duren,
nggak nyangka gue keren”. Okesip, abaikan.
Akar masalahnya adalah ya itu tadi, infrastruktur yang bergerak lambat.
Di Jakarta, pertumbuhan jumlah kendaraan dibarengi dengan penambahan beberapa
ruas jalan baru atau bikin fly over
dan under pass. Yaaaah, walaupun kita
semua tau Jakarta
nggak begitu berhasil. Macet mah tetep aja macet. Tapi setidaknya kalo nggak
ditambah ruas jalannya, Jakarta
udah lumpuh dari kapan tau.
Sebelumnya sori kalo gue sering bikin perbandingan sama Jakarta,
karena gue nggak nemuin lagi role
model kota dengan kemacetan tingkat dewa selain Jakarta. Oke, balik lagi
ke Cilegon. Cilegon yang setiap tahunnya ada aja industri baru bermunculan, belom
siap ngebangun infrastruktur jalan secara gede-gedean. Gue sempat seneng waktu
di Merak di bangun fly over, tapi itu
kan bukan di pusat kota.
Jalan protokol yang cuma satu-satunya itu menyebabkan trayek angkot jadi
numpuk. Coba deh liat kalo angkot-angkot Cilegon lagi pada ngetem, wuih, udah
kayak rainbow cake. Warna apa aja ada. Merah, ungu, abu-abu, sampe biru telor
asin. Jadinya overload sama angkot doang. Itu belom sama bis kota yang masuk ke ruas jalan utama kalo
malem.
Para pengguna kendaran pribadi baru bisa
disalahkan kalo kita lewat pertokoan yang berjejer sepanjang jalan mulai dari
Simpang sampe Matahari lama. Pertokoan ini nggak punya fasilitas parkir, jadi
kendaraan pribadi dengan gantengnya parkir di bahu jalan. Efek dominonya
sungguh luar biasa. Bahu jalan yang harusnya jadi tempat angkot naik atau
nurunin penumpang berubah jadi tempat parkir, akibatnya angkot naikin atau
nurunin penumpang di tengah jalan. Angkot yang ada dibelakangnya juga
ikut-ikutan, jadi deh macet.
Solusinya tentu ada di tangan Pemkot Cilegon sebagai stake holder kebijakan. Kalo emang pemerintah nggak mau nambah ruas
jalan karena terkendala dana atau lahan yang terbatas, bisa aja dibuat
peraturan bahwa kendaraan pribadi nggak boleh parkir di bahu jalan terutama di
depan pertokoan. Kalo dilanggar ya tinggal ditilang atau diderek gitu kayak di
Jakarta. Efeknya, orang bakal mikir dua kali kalo mau bawa kendaraan pribadi
dan cenderung pake angkot. Mungkin bakalan ada protes dari yang punya tempat
usaha, karena bisa aja penghasilan mereka berkurang. Semuanya balik lagi ke
pemerintah, mereka mau ‘berpihak’ ke siapa. Yang namanya kebijakan publik
memang selalu pro dan kontra.
Berikutnya, kalo menurut pengamatan gue penyebab macet di Cilegon itu
adalah banyaknya jalur puter arah. Ada sekitar
empat atau lima jalur puter arah di jalan utama,
untuk ukuran kota
‘kecil’ kayak Cilegon ini terlalu banyak dan bikin antrean kendaraan lumayan
panjang. Kalo mau sedikit berani, tutup aja semua jalur puteran arah. Jadi dari
Simpang jangan ada puteran arah. Lah terus kalo mau balik arah gimana? Setelah
jembatan Cibeber ada puteran arah yang cukup gede, kendaraan bisa puter balik
di situ. Atau kalo mau lebih ‘tega’ lagi bisa sampe PCI. Iya sih jaraknya emang
jauh, tapi secara psikologi orang lebih cenderung milih sepuluh menit di jalan
lancar daripada tujuh menit kejebak macet.
Cara menutup puteran arah kayak di atas adalah sama dengan apa yang
dilakukan Mahmoud Ahmadinnejad (tolong koreksi kalo penulisan nama beliau
salah) ketika beliau masih jadi walikota.
Jalan terakhir untuk menanggulangi macet ya harus bikin ruas jalan baru.
Atau palingg nggak, memperluas ruas jalan sekarang yang udah ada dan menata
jalur alternatif yang selama ini menurut gue kurang dimaksimalkan.
Masa sekarang jalan utama di Kota
Cilegon cuma cukup untuk dua mobil? Kurang banged, pake D. Terkendala dana? Ya
manfaatkan semaksimal mungkin dana CSR (Coorporate
Social Responsibility) dari perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon. Toh
mereka-mereka juga kan
yang menikmati.
Atau kalo mau melakukan pendekatan langsung ke warganya, Cilegon bisa
memberlakukan kebijakan yang membuat warga Cilegon berprilaku ‘anti macet’.
Misalnya, sekarang kan
banyak tuh orang-orang yang hobi sepeda, nah pemerintah bisa memberikan
insentif berupa penghargaan atau bahkan uang bagi siapa aja yang berangkat ke
sekolah, atau tempat kerja dengan menggunakan sepeda. Voila! Macet kurang, polusi
berkurang, go green iya!
Jakarta
diprediksi beberapa tahun lagi akan lumpuh total akibat macet. Semoga nggak
dengan Cilegon.
I love Cilegon, because Cilegon is beautiful country..... *ditabok
Nadine*