Tuesday, 26 March 2013

MACEEETTTT



Macet. M.A.C.E.T.
Gue nggak menemukan padanan kalimat lain untuk kata di atas selain, macet itu menyebalkan. Macet yang gue maksud adalah dimana dua kendaraan atau lebih nggak bisa jalan di satu ruas jalan yang sama. Jadi hati yang macet karena susah move on dari mantan itu bukan konteksnya di sini.
Gue pernah tinggal di Jakarta, dan gue ngerasain sendiri gimana keparatnya macet membuat seseorang berasa pengen ngegigit lidah sendiri. Dulu, ‘trayek’ harian gue adalah dari Kalideres ke Grogol buat kuliah. Ruas jalan utama yang gue lewatin adalah jalan Daan Mogot. Dalam kondisi normal, asumsi jalanan sepi dan nggak ada arisan ibu-ibu di tengah jalan, gue cuma membutuhkan waktu kurang dari setengah jam naek Kopaja dengan kecepatan sedang. In fact, jalan Daan Mogot itu lurus doang. Kalideres-Grogol juga nggak begitu jauh.
Tapi dalam kondisi ‘nggak normal’ (baca: jam kerja, jam pulang kerja, ujan deres, ada tawuran sekolah, si Komo lewat sambil galau) bisa memerlukan waktu sampe dua jam. Edan. Ngabisin umur di jalan banget kan?
Rugi dari segi apa pun deh kalo udah macet. Gini itung-itungan kasarnya: Kalo macet, gue perlu waktu dua jam Kalideres-Grogol dan sebaliknya. Berarti total dalam sehari adalah empat jam. Kalikan dengan hari kerja, taro lah dari Senin nyampe Jum’at, jadi empat di kali empat. Total enam belas jam dalam seminggu. Enam puluh empat jam dalam sebulan. Dan tujuh ratus enam puluh delapan jam dalam setahun. Itu lah waktu yang terbuang sia-sia selama setahun. Sekali lagi, ini bukan itungan mutlak, nggak perlu ditanyain ke guru matematika apalagi ke bandar togel.
Beberapa tahun kemudian, gue pindah kota ke Cilegon. Menurut gue, Cilegon ini kota dengan pertumbuhan fisik yang termasuk lambat. Ini ada korelasinya loh sama macet yang gue certain tadi.
Begini, akhir-akhir ini banyak yang ngeluh kalo Cilegon itu macet. Nggak kayak dulu. Walaupun macetnya nggak semassiv di Jakarta, tapi macet ini cukup mengganggu warga Cilegon yang udah lama ‘terbuai’ sama jalanan yang lancar-lancar aja. Orang Jakarta mah udah biasa sama jalanan macet, jadi nggak senewen-senewen amat sama yang namanya stuck di tengah jalan.
Banyak yang menganggap bahwa para pengguna kendaraan pribadi di Cilegon adalah pihak yang paling berdosa dan bertanggung jawab atas kemacetan yang terjadi. Tapi kalo diliat dari struktur kota dan kebijakan lalu lintas yang berlaku, para pengguna kendaraan pribadi semestinya nggak melulu disalahkan.
Nah di sini kenapa gue bilang tadi pembangunan fisik yang lambat ada korelasinya sama kemacetan di Cilegon. Sebelum gue kuliah di Jakarta, gue tinggal di Cilegon dari kelas 4 SD sampe lulus SMA. And you know what? Jalan protokol dari dulu sampe sekarang ya cuma segitu-gitunya. Cuma segaris lurus mulai dari Simpang sampe menjelang tol Cilegon Timur.
Sementara itu di lain pihak Cilegon mau nggak mau terus tumbuh sebagai konsekuensi dari predikat ‘Kota Industri’, pendatang makin banyak, mereka sebagaian besar membawa kendaraan pribadi. Wajar kalo jadinya macet. Di titik ini, para pengguna kendaraan pribadi belum bisa disalahkan. Karena kendaraan pribadi sekarang bukanlah kebutuhan tersier (barang mewah) kayak zaman tuyul masih gondrong, tapi udah jadi kebutuhan primer (pokok). Yang salah adalah, kalo ada satu keluarga yang punya banyak anggota keluarga dan masing-masing punya mobil sendiri. Tapi kalangan kayak gitu kan segmented banget di Cilegon. Nggak banyak.
Sekarang coba ngomongin angkutan umum biar fair. Di Cilegon angkutan umum paling banyak fansnya adalah angkot. Murah meriah, melayani rute jarak dekat, nyarinya nggak susah, dan untuk para cewek kalo lagi beruntung bisa kenalan sama sopirnya.
Angkot ini suka ngetem, dan ini menyebabkan beberapa titik di Cilegon stuck. Tapi angkot juga nggak salah, mereka cuma cari duit. Dan angkot ini sangat fasih menerapkan peribahasa “Ada gula ada semut”, yang secara harfiahnya adalah, dimana banyak orang di situ si angkot ngetem. Nggak heran kalo titik macet biasanya di depan mall atau sekolahan. Seperti kata peribahasa “Buah nangka buah duren, nggak nyangka gue keren”. Okesip, abaikan.
Akar masalahnya adalah ya itu tadi, infrastruktur yang bergerak lambat. Di Jakarta, pertumbuhan jumlah kendaraan dibarengi dengan penambahan beberapa ruas jalan baru atau bikin fly over dan under pass. Yaaaah, walaupun kita semua tau Jakarta nggak begitu berhasil. Macet mah tetep aja macet. Tapi setidaknya kalo nggak ditambah ruas jalannya, Jakarta udah lumpuh dari kapan tau.
Sebelumnya sori kalo gue sering bikin perbandingan sama Jakarta, karena gue nggak nemuin lagi role model kota dengan kemacetan tingkat dewa selain Jakarta. Oke, balik lagi ke Cilegon. Cilegon yang setiap tahunnya ada aja industri baru bermunculan, belom siap ngebangun infrastruktur jalan secara gede-gedean. Gue sempat seneng waktu di Merak di bangun fly over, tapi itu kan bukan di pusat kota.
Jalan protokol yang cuma satu-satunya itu menyebabkan trayek angkot jadi numpuk. Coba deh liat kalo angkot-angkot Cilegon lagi pada ngetem, wuih, udah kayak rainbow cake. Warna apa aja ada. Merah, ungu, abu-abu, sampe biru telor asin. Jadinya overload sama angkot doang. Itu belom sama bis kota yang masuk ke ruas jalan utama kalo malem.
Para pengguna kendaran pribadi baru bisa disalahkan kalo kita lewat pertokoan yang berjejer sepanjang jalan mulai dari Simpang sampe Matahari lama. Pertokoan ini nggak punya fasilitas parkir, jadi kendaraan pribadi dengan gantengnya parkir di bahu jalan. Efek dominonya sungguh luar biasa. Bahu jalan yang harusnya jadi tempat angkot naik atau nurunin penumpang berubah jadi tempat parkir, akibatnya angkot naikin atau nurunin penumpang di tengah jalan. Angkot yang ada dibelakangnya juga ikut-ikutan, jadi deh macet.
Solusinya tentu ada di tangan Pemkot Cilegon sebagai stake holder kebijakan. Kalo emang pemerintah nggak mau nambah ruas jalan karena terkendala dana atau lahan yang terbatas, bisa aja dibuat peraturan bahwa kendaraan pribadi nggak boleh parkir di bahu jalan terutama di depan pertokoan. Kalo dilanggar ya tinggal ditilang atau diderek gitu kayak di Jakarta. Efeknya, orang bakal mikir dua kali kalo mau bawa kendaraan pribadi dan cenderung pake angkot. Mungkin bakalan ada protes dari yang punya tempat usaha, karena bisa aja penghasilan mereka berkurang. Semuanya balik lagi ke pemerintah, mereka mau ‘berpihak’ ke siapa. Yang namanya kebijakan publik memang selalu pro dan kontra.
Berikutnya, kalo menurut pengamatan gue penyebab macet di Cilegon itu adalah banyaknya jalur puter arah. Ada sekitar empat atau lima jalur puter arah di jalan utama, untuk ukuran kota ‘kecil’ kayak Cilegon ini terlalu banyak dan bikin antrean kendaraan lumayan panjang. Kalo mau sedikit berani, tutup aja semua jalur puteran arah. Jadi dari Simpang jangan ada puteran arah. Lah terus kalo mau balik arah gimana? Setelah jembatan Cibeber ada puteran arah yang cukup gede, kendaraan bisa puter balik di situ. Atau kalo mau lebih ‘tega’ lagi bisa sampe PCI. Iya sih jaraknya emang jauh, tapi secara psikologi orang lebih cenderung milih sepuluh menit di jalan lancar daripada tujuh menit kejebak macet.
Cara menutup puteran arah kayak di atas adalah sama dengan apa yang dilakukan Mahmoud Ahmadinnejad (tolong koreksi kalo penulisan nama beliau salah) ketika beliau masih jadi walikota.
Jalan terakhir untuk menanggulangi macet ya harus bikin ruas jalan baru. Atau palingg nggak, memperluas ruas jalan sekarang yang udah ada dan menata jalur alternatif yang selama ini menurut gue kurang dimaksimalkan.
 Masa sekarang jalan utama di Kota Cilegon cuma cukup untuk dua mobil? Kurang banged, pake D. Terkendala dana? Ya manfaatkan semaksimal mungkin dana CSR (Coorporate Social Responsibility) dari perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon. Toh mereka-mereka juga kan yang menikmati.
Atau kalo mau melakukan pendekatan langsung ke warganya, Cilegon bisa memberlakukan kebijakan yang membuat warga Cilegon berprilaku ‘anti macet’. Misalnya, sekarang kan banyak tuh orang-orang yang hobi sepeda, nah pemerintah bisa memberikan insentif berupa penghargaan atau bahkan uang bagi siapa aja yang berangkat ke sekolah, atau tempat kerja dengan menggunakan sepeda. Voila! Macet kurang, polusi berkurang, go green iya!
Jakarta diprediksi beberapa tahun lagi akan lumpuh total akibat macet. Semoga nggak dengan Cilegon.
I love Cilegon, because Cilegon is beautiful country..... *ditabok Nadine*


Share: