Dear Neptunus,
Apa kabar? Gimana lautan? Semoga aman-aman aja. Gue mau laporan Nus,
gue abis dari pantai, salah satu markas lu. Dan seperti biasa, setiap
abis dari pantai pasti ada aja yang layak gue laporin ke lu. Mungkin
lu sibuk ngurus rakyat lu yang banyak banget di lautan sana, tapi
kalo sempet dibaca ya Nus surat gue ini.
Tau nggak Nus, udah lama banget loh gue pengen banget berkunjung ke
markas lu yang satu ini. Tapi baru kemaren-kemaren gue baru ada
kesempatan. Tepatnya akhir bulan Maret Nus, pas ada long weekend
gitu.
Tempatnya lumayan jauh Nus markas lu itu, padahal masih di Banten,
masih satu provinsi sama tempat tinggal gue. Walaupun capek, tapi gue
jadi nyadar kalo ternyata Banten itu luas ya.
Tujuan gue adalah Pulau Peucang, sebagai yang punya markas lu pasti
tau Nus, tapi yah biar gue certain versi gue deh ya. Pulau ini
terletak di ujung barat Pulau Jawa dan masuk dalam wilayah cagar alam
Ujung Kulon. Ujung Kulon ini masuk dalam wilayah administrasi
Kabupaten Padeglang.
Sebelum ke Peucang, gue mesti transit dulu di sebuah desa bernama
Sumur. Ini adalah salah satu desa di paling barat Pulau Jawa. Gue dan
temen-temen berangkat dari Cilegon tengah malem, nyampe jam empat
pagi dengan jalan yang lancar dan ngelewatin hutan di pesisir utara
bagian barat Pulau Jawa.
Sumur adalah sebuah desa nelayan karena letaknya tepat di pinggir
pantai dan perekonomiannya di dominasi oleh kegiatan jual beli hasil
tangkapan laut. Begitu sampe sana bau amis khas pasar ikan langsung
menyengat. Kerennya, transaksi jual beli ikan di sini dilakukan tepat
di pinggir pantai. Jadi begitu ada perahu nelayan merapat bawa ikan,
ya langsung dijual on the spot. Terjadi tawar-menawar, mereka
tidak menghiraukan ombak-ombak kecil yang cukup mengganggu. Sayangnya
Nus, pinggiran pantai di sini jauh dari kata bersih. Kegiatan jual
beli ikan tersebut berdampingan sama sampah-sampah aneka rupa. Tapi
menarik, gue belom pernah liat yang kayak gini.
Pantai Desa Sumur |
Dari Sumur, perlu waktu tiga jam naek kapal motor menuju Peucang. Oh
iya, gue sempet mampir dulu Nus di pulau kecil bernama Badul. Perahu
nggak bisa merapat ke pulau itu, karena perairan di sekitarnya yang
dangkal. Jadi perahu berhenti di tengah laut, dan untuk mejangkau
Badul harus pake tenaga sendiri alias berenang.
Apalagi yang gue lakukan di pulau berpasir putih dan air jernih ini
kalo bukan snorkeling? Untuk ukuran pulau yang biasa dijadiin
persinggahan, spot snorkelingnya lumayan Nus. Tipikal bentuk terumbu
karangnya runcing-runcing dan berwarna homogen. Kerennya begitu gue
berenang di atas jejeran terumbu karang itu, gue seperti ngeliat
hutan bunga edelweiss yang lagi mekar dari atas. Bawaannya pengen
megang dan metik aja, tapi nggak jadi. Terumbu karangnya ternyata
rapuh dan gampang patah. Jadi mesti hati-hati Nus. Hati-hatinya
dobel, karena selain mesti menjaga supaya terumbu karangnya nggak
rontok, gue juga harus menghindari karang-karang tersebut karena
tajam.
Pulau Badul |
Perjalanan pun berlanjut. Pulau Peucang dipisahkan oleh sebuah selat
yang membuatnya terpisah dari Pulau Jawa. Pertama menginjakkan kaki
di dermaganya aja gue udah takjub Nus. Mata gue selalu ngeliat ke
bawah. Bukan, bukan nyari duit, tapi ngeliat kehidupan di bawah sana.
Di bawah dermaga kayu itu airnya bening banget, ikan-ikan yang
berenang mulai dari ukuran kecil sampe gede keliatan semua. Mereka
kayaknya nggak terganggu sama aktifitas manusia yang sibuk di
atasnya. Markas lu ini emang keren maksimal Nus.
Pulau Peucang adalah rumah bagi sebagaian satwa liar seperti rusa,
monyet, dan bahkan babi hutan. Jadi jangan heran kalo ke pulau ini
dan mesti tinggal berdampingan sama makhluk-makhluk unyu tersebut.
Nggak perlu takut, karena ternyata mereka jinak. Kecuali monyetnya,
dasar emang mereka udah dari sononya nakal, kita mesti hati-hati
dengan barang bawaan. Atau binatang yang di kota ngetop dengan nama
‘Sarimin’ ini akan mencuri barang-barang kita. Oh iya, Peucang
juga daerah endemik malaria. Jadi minum pil kina wajib loh sebelom ke
pulau ini.
Welcome! |
Di Pulau Peucang ada beberapa bangunan untuk menginap dengan
fasilitas, ukuran, dan harga yang berbeda tentunya. Pasokan
listriknya masih pake genset, jadi jangan heran kalo tiba-tiba mati
listrik. Mendingan lupain deh gadget-gadget untuk komunikasi,
provider seluler yang mengklaim punya jaringan terluas aja di pulau
ini sinyalnya KO.
Karena menyimpan potensi besar di bidang pariwisata, maka dibangunlah
sebuah gedung sebagai pusat informasi dan pengawasan di Peucang.
Namanya adalah ‘Pusat Informasi Sulah Nyandar’ yang diresmikan
tahun 2005 oleh menteri kehutanan kita saat itu, Pak M.S Kaban.
Lalu apa lagi? Ya snorkeling dong! Yups, spot snorkelingnya Nus,
mantap. Markas lu yang satu ini menyuguhkan keanekaragaman hayati
bawah laut yang sangat kaya. Ikan-ikannya banyak banget, warna-warni
pula. Dan, hei, tentu saja gue ketemu si Nemo yang lagi narsis deket
rumahnya di soft corall yang melambai-lambai. Oh iya Nus, gue
juga sempet ketemu anak buah lu yang nyeremin, belut laut. Tiba-tiba
aja gitu nongol dari karang di depan muka gue. Gue sempet terkena
panick attack, gerakan renang gue jadi kacau dan gaya random
sampe air laut yang asinnya juara itu keminum beberapa teguk.
Untungnya belut itu cuman say ‘hai’ aja ga sampe nyolek apalagi
nyium gue, hmmm, gue belom siap terlibat hubungan yang lebih jauh
sama si belut itu. Salam ya Nus kalo ketemu dia, lain kali aja
kenalannya.
Pelajaran moral: Nangkep ikan itu susah |
Hey, kamu siapanya Nemo? =D |
Enaknya snorkeling di sekitaran Pulau Peucang adalah, terumbu karang
dan ikan-ikannya berada di kedalaman yang nggak terlalu jauh. Kadang,
di kedalaman satu meter aja kita udah bisa ngeliat kehidupan bawah
lautnya. Jadi kalo lagi snorkeling terus capek, bisa ngaso
sebentar-sebentar melipir ke pinggir. Lupa waktu deh gue Nus
snorkeling di sini, tau-tau gue udah jauh aja menyusuri pulau.
Udah? Snorkeling aja? Nggak juga ternyata Nus. Kapan-kapan, lu mesti
keluar dari lautan dan maen ke Peucang Nus. Karena Peucang dan
sekitarnya menawarkan paket lengkap untuk wisata, apalagi untuk yang
demen petualangan. Nih ya Nus, gue certain apa yang bisa lu lakuin
selain berenang dan snorkeling di Peucang.
Mau koprol gaya tiduran? Bisa! |
Mau koprol gaya harimau manangkap mangsa? Monggo! |
Pertama, mancing. Perairannya yang dangkal, berarus kecil, dan
terumbu karang yang masih alami adalah surga bagi ikan-ikan. Jadi
kalo hobi mancing, kayaknya dosa banget deh kalo nggak bawa alat
pancing ke sini. Abis mancing, ikannya langsung dibakar di pinggir
pantai pake bumbu kecap. Hmmm....jadi lapar ya Nus?
Mancing Mania....Maknyus! |
Kedua, trekking. Di dataran paling barat Pulau Jawa, ada
tempat bernama Cibom. Dari peucang, nyebrang kira-kira lima belas
menit. Di situ gue trekking menyusuri pantai yang tertutup hutan
tropis. Jalan kaki santai selama satu jam, gue ketemu sama sebuah
mecusuar, bekas penjara, dan....uuummmm, beberapa makam. Agak-agak
spooky dan aura mistinya berasa banget, jangan bengong ya Nus kalo
lewat sini.
Jadi dulunya Cibom ini mau dibikin pelabuhan sama Belanda. Tapi
karena wabah malarianya nggak ketulungan, nggak jadi deh. Nah makam
yang gue lewatin adalah makam dari para pekerja yang tewas akibat
wabah tersebut. Gue memutari Cibom dan sampe di sebuah padang rumput
bernama Tanjung Layar. I know Nus, nama tempatnya sama kayak
markas lu di Sawarna. Di padang rumput ini banyak kotoran banteng
jadi mesti hati-hati jalannya dan jangan sembarangan duduk, nggak mau
kan lu sampe nginjek apalagi dudukin ‘gituan’?
Dan yang menimbulkan sensasi tersendiri bagi gue adalah, padang
rumput ini lah yang menjadi titik pertemuan antara laut utara yang
tenang dengan laut selatan yang selalu bergemuruh. Liat sunset dari
sini, beuuuh....cakepnya pol deh.
Sunset di Tanjung Layar |
Titik awal trekking di Cibom |
Suasana trekking. Woi muka mana muka? |
Ketiga, climbing. Di padang rumput Tanjung Layar ada
sebuah tebing karang raksasa. Kalo punya nyali coba deh manjat karang
ini. Tingginya ada kali sepuluh meter (yang lagi galau, gue nggak
nyaranin untuk manjat tebing ini karena dikhawatirkan timbul
keinginan untuk loncat yang menggebu-gebu). Gue dan beberapa temen
sempet nyoba-nyoba. Mesti hati-hati, naeknya emang nggak begitu
susah. Nah turunnya itu yang lumayan.
Bukan Tarzan |
Keempat, camping. Cibom adalah spot camping bagi
siapa aja yang mau menikmati Peucang dan sekitarnya tapi pake tenda.
Karena di Peucangnya sendiri nggak diperbolehkan nenda. Waktu gue
kesana, ada lima tenda (tanpa janur kuning) yang berdiri.
Kelima, fotografi. Yang hobi fotografi pasti nafsu banget nih
kalo ke Peucang, bawaannya pengen neken shutter kamera terus.
Bawa lensa yang komplit deh kalo ke sini. Mau motret landscape
Peucang waktu sunrise atau sunset, human interest di Sumur, motret
model atau prewed di pantai Peucang, dan tentu saja foto wild life
karena banyak binatang liar di sini, semuanya tersedia. Ummm...
jangan lupa narsis yah, cheers =D
Pulau Peucang dan Pulau Jawa |
Waktu motret ini terjadi perdebatan sengit: Ini kancil, rusa, apa kijang? |
Fotografer. Bilangnya sih 24 Tahun. Mengaku jomblowan kepada setiap wanita. |
Sesosok siluet itu bukan gue! |
Narsis. Tetep. |
Para penjual ikan |
Cemungud eaaaa kaka nyari ikannya |
Keenam, safari. Di Peucang kita bisa bersafari ngecengin
hewan-hewan eksotis di habitat aslinya yang mungkin selama ini cuman
bisa kita liat di kebon binatang atau Discovery Channel. Ada sebuah
tempat bernama Cidaon. Nyebrang pake perahu sekitar sepuluh menit
terus trekking sebentar. Di sana ada savana. Di savana itu kita bisa
liat banteng liar. Sayangnya waktu gue ke Cidaon, abis gerimis, jadi
bantengnya pada mager dan ogah keluar. Kata guide gue yang
bernama Mas Dedi, banteng nggak suka rumput yang basah. Tapi gue
cukup terhibur karena ngeliat beberapa ekor merak. Ngeliat
binatang-binatang ini emang tergantung rejeki. Kalo emang milik, kita
bisa liat semuanya. Bahkan kalo lu adalah orang yang beruntung dari
sekian miliar orang, lu bisa liat badak. Iya badak, ikon dari Taman
Nasional Ujung Kulon.
Tejadi pedebatan sengit (lagi) ketika motret ini: Kenapa doi jalannya nunduk? |
Sehabis gerimis di Cidaon |
Omong-omong soal badak Nus, ada cerita menarik. Gue ngobrol-ngobrol
sama Mas Dedi dan mendapat berita baik dan buruk. Kabar baiknya,
badak jawa itu masih ada. Kabar buruknya tinggal 40-45 ekor. Kebayang
nggak kalo dari segitu-gitunya semuanya cowok, atau semuanya cewek?
Yah, anak cucu kita nanti cuman bisa liat badak di stiker Taman
Safari yang biasa ditempel di belakang kaca mobil. Gue tanya ke Mas
Dedi, pernah nggak ngeliat badak di habitat aslinya. Dia pun
bercerita, dia udah jadi guide di Taman Nasional Ujung Kulon
sejak tahun 2000. In fact, dia baru bisa liat badak di tahun
2010. Artinya, jangankan gue yang baru seujung kuku nginjek Ujung
Kulon, Mas Dedi aja butuh waktu 10 tahun buat dapet kesempatan
ngeliat hewan ini. Itu pun kata dia ketika dia meng-guide
turis Belanda dengan paket tur khusus. Jadi selama tur kita
ditempatkan disebuah bangunan bernama rangon dengan ketinggian jauh
dari permukaan tanah di sebuah areal yang telah ditanami
herbal-herbal kesukaan badak. Berhari-hari kita harus di tempat itu,
nggak boleh keluar even untuk buang air. Nggak boleh beriksik.
Nggak boleh pake wangi-wangian karena badak punya penciuman super. Di
situ lah untuk pertama kalinya Mas Dedi ngeliat induk badak dengan
dua anak sedang memamah biak. Mas Dedi bercerita dengan mata
berkaca-kaca, bahwa saat itu dia sangat bersyukur karena ternyata
badak bukan cuma mitos.
Mas Dedi menambahkan, keberadaan badak bisa di deteksi dari jejak,
kubangan, dan camera trap. Sensus dilakukan tiap tiga tahun
sekali selama tiga hari sampai seminggu berturut-turut. Lucunya,
petugas sensusnya aja belom tentu pernah ngeliat badak secara
langasung. Ya iyalah, badaknya tinggal 40-45 ekor, lah luas Taman
Nasional Ujung Kulon kan ratusan ribu hektar. Udah gitu bakalan
nambah susah ketemu badak karena binatang yang satu ini pemalu
banget. Ga cocok jadi artis (apasih?). Dan mereka beda sama banteng
yang sukanya nge-geng. Ketika badak beranjak dewasa, mereka hidup
sendiri-sendiri. Mereka mempunyai siklus berkembang biak yang lama.
Artinya, seekor badak betina belum tentu sempat melahirkan anak
ketika mereka masih hidup. Maka dari itu, terkutuklah bagi mereka
yang membunuh dan memburu badak serta ngerusak habitatnya untuk
alasan apa pun. Semoga gue dan anak cucu nanti masih punya kesempatan
buat ketemu si pemalu ini. Amiiiiin ya Nus.
Dear Neptunus,
Gimana? Kumplit kan Nus?
Sekian dulu ya cerita dari gue, sori kalo ganggu kesibukan lu. Nanti
kalo kapan-kapan gue main ke markas lu lagi, gue pasti tulis surat
buat laporan. Salam untuk semua rakyat lu di lautan sana ya Nus.
Sampe ketemu di lautan tanpa ujung.
Rgd,
Yosfiqar Iqbal (Agen No. 007)
hmmm.... tas ac milan... off the record ya nuss...+_+
ReplyDeleteYang ini keren Bal...
ReplyDeleteywla. sedi bener liat fotonya yang tercecer.
ReplyDelete