Friday, 5 April 2013

Surat Untuk Neptunus: Pulau Peucang

Dear Neptunus,
Apa kabar? Gimana lautan? Semoga aman-aman aja. Gue mau laporan Nus, gue abis dari pantai, salah satu markas lu. Dan seperti biasa, setiap abis dari pantai pasti ada aja yang layak gue laporin ke lu. Mungkin lu sibuk ngurus rakyat lu yang banyak banget di lautan sana, tapi kalo sempet dibaca ya Nus surat gue ini.
Tau nggak Nus, udah lama banget loh gue pengen banget berkunjung ke markas lu yang satu ini. Tapi baru kemaren-kemaren gue baru ada kesempatan. Tepatnya akhir bulan Maret Nus, pas ada long weekend gitu.
Tempatnya lumayan jauh Nus markas lu itu, padahal masih di Banten, masih satu provinsi sama tempat tinggal gue. Walaupun capek, tapi gue jadi nyadar kalo ternyata Banten itu luas ya.
Tujuan gue adalah Pulau Peucang, sebagai yang punya markas lu pasti tau Nus, tapi yah biar gue certain versi gue deh ya. Pulau ini terletak di ujung barat Pulau Jawa dan masuk dalam wilayah cagar alam Ujung Kulon. Ujung Kulon ini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Padeglang.
Sebelum ke Peucang, gue mesti transit dulu di sebuah desa bernama Sumur. Ini adalah salah satu desa di paling barat Pulau Jawa. Gue dan temen-temen berangkat dari Cilegon tengah malem, nyampe jam empat pagi dengan jalan yang lancar dan ngelewatin hutan di pesisir utara bagian barat Pulau Jawa.
Sumur adalah sebuah desa nelayan karena letaknya tepat di pinggir pantai dan perekonomiannya di dominasi oleh kegiatan jual beli hasil tangkapan laut. Begitu sampe sana bau amis khas pasar ikan langsung menyengat. Kerennya, transaksi jual beli ikan di sini dilakukan tepat di pinggir pantai. Jadi begitu ada perahu nelayan merapat bawa ikan, ya langsung dijual on the spot. Terjadi tawar-menawar, mereka tidak menghiraukan ombak-ombak kecil yang cukup mengganggu. Sayangnya Nus, pinggiran pantai di sini jauh dari kata bersih. Kegiatan jual beli ikan tersebut berdampingan sama sampah-sampah aneka rupa. Tapi menarik, gue belom pernah liat yang kayak gini.

Pantai Desa Sumur
Dari Sumur, perlu waktu tiga jam naek kapal motor menuju Peucang. Oh iya, gue sempet mampir dulu Nus di pulau kecil bernama Badul. Perahu nggak bisa merapat ke pulau itu, karena perairan di sekitarnya yang dangkal. Jadi perahu berhenti di tengah laut, dan untuk mejangkau Badul harus pake tenaga sendiri alias berenang.
Apalagi yang gue lakukan di pulau berpasir putih dan air jernih ini kalo bukan snorkeling? Untuk ukuran pulau yang biasa dijadiin persinggahan, spot snorkelingnya lumayan Nus. Tipikal bentuk terumbu karangnya runcing-runcing dan berwarna homogen. Kerennya begitu gue berenang di atas jejeran terumbu karang itu, gue seperti ngeliat hutan bunga edelweiss yang lagi mekar dari atas. Bawaannya pengen megang dan metik aja, tapi nggak jadi. Terumbu karangnya ternyata rapuh dan gampang patah. Jadi mesti hati-hati Nus. Hati-hatinya dobel, karena selain mesti menjaga supaya terumbu karangnya nggak rontok, gue juga harus menghindari karang-karang tersebut karena tajam.


Pulau Badul

 Perjalanan pun berlanjut. Pulau Peucang dipisahkan oleh sebuah selat yang membuatnya terpisah dari Pulau Jawa. Pertama menginjakkan kaki di dermaganya aja gue udah takjub Nus. Mata gue selalu ngeliat ke bawah. Bukan, bukan nyari duit, tapi ngeliat kehidupan di bawah sana. Di bawah dermaga kayu itu airnya bening banget, ikan-ikan yang berenang mulai dari ukuran kecil sampe gede keliatan semua. Mereka kayaknya nggak terganggu sama aktifitas manusia yang sibuk di atasnya. Markas lu ini emang keren maksimal Nus.
Pulau Peucang adalah rumah bagi sebagaian satwa liar seperti rusa, monyet, dan bahkan babi hutan. Jadi jangan heran kalo ke pulau ini dan mesti tinggal berdampingan sama makhluk-makhluk unyu tersebut. Nggak perlu takut, karena ternyata mereka jinak. Kecuali monyetnya, dasar emang mereka udah dari sononya nakal, kita mesti hati-hati dengan barang bawaan. Atau binatang yang di kota ngetop dengan nama ‘Sarimin’ ini akan mencuri barang-barang kita. Oh iya, Peucang juga daerah endemik malaria. Jadi minum pil kina wajib loh sebelom ke pulau ini.


Welcome!





Di Pulau Peucang ada beberapa bangunan untuk menginap dengan fasilitas, ukuran, dan harga yang berbeda tentunya. Pasokan listriknya masih pake genset, jadi jangan heran kalo tiba-tiba mati listrik. Mendingan lupain deh gadget-gadget untuk komunikasi, provider seluler yang mengklaim punya jaringan terluas aja di pulau ini sinyalnya KO.
Karena menyimpan potensi besar di bidang pariwisata, maka dibangunlah sebuah gedung sebagai pusat informasi dan pengawasan di Peucang. Namanya adalah ‘Pusat Informasi Sulah Nyandar’ yang diresmikan tahun 2005 oleh menteri kehutanan kita saat itu, Pak M.S Kaban.
Lalu apa lagi? Ya snorkeling dong! Yups, spot snorkelingnya Nus, mantap. Markas lu yang satu ini menyuguhkan keanekaragaman hayati bawah laut yang sangat kaya. Ikan-ikannya banyak banget, warna-warni pula. Dan, hei, tentu saja gue ketemu si Nemo yang lagi narsis deket rumahnya di soft corall yang melambai-lambai. Oh iya Nus, gue juga sempet ketemu anak buah lu yang nyeremin, belut laut. Tiba-tiba aja gitu nongol dari karang di depan muka gue. Gue sempet terkena panick attack, gerakan renang gue jadi kacau dan gaya random sampe air laut yang asinnya juara itu keminum beberapa teguk. Untungnya belut itu cuman say ‘hai’ aja ga sampe nyolek apalagi nyium gue, hmmm, gue belom siap terlibat hubungan yang lebih jauh sama si belut itu. Salam ya Nus kalo ketemu dia, lain kali aja kenalannya.



Pelajaran moral: Nangkep ikan itu susah


Hey, kamu siapanya Nemo? =D







Enaknya snorkeling di sekitaran Pulau Peucang adalah, terumbu karang dan ikan-ikannya berada di kedalaman yang nggak terlalu jauh. Kadang, di kedalaman satu meter aja kita udah bisa ngeliat kehidupan bawah lautnya. Jadi kalo lagi snorkeling terus capek, bisa ngaso sebentar-sebentar melipir ke pinggir. Lupa waktu deh gue Nus snorkeling di sini, tau-tau gue udah jauh aja menyusuri pulau.
Udah? Snorkeling aja? Nggak juga ternyata Nus. Kapan-kapan, lu mesti keluar dari lautan dan maen ke Peucang Nus. Karena Peucang dan sekitarnya menawarkan paket lengkap untuk wisata, apalagi untuk yang demen petualangan. Nih ya Nus, gue certain apa yang bisa lu lakuin selain berenang dan snorkeling di Peucang.
Mau koprol gaya tiduran? Bisa!

Mau koprol gaya harimau manangkap mangsa? Monggo!







Pertama, mancing. Perairannya yang dangkal, berarus kecil, dan terumbu karang yang masih alami adalah surga bagi ikan-ikan. Jadi kalo hobi mancing, kayaknya dosa banget deh kalo nggak bawa alat pancing ke sini. Abis mancing, ikannya langsung dibakar di pinggir pantai pake bumbu kecap. Hmmm....jadi lapar ya Nus?

Mancing Mania....Maknyus!



 Kedua, trekking. Di dataran paling barat Pulau Jawa, ada tempat bernama Cibom. Dari peucang, nyebrang kira-kira lima belas menit. Di situ gue trekking menyusuri pantai yang tertutup hutan tropis. Jalan kaki santai selama satu jam, gue ketemu sama sebuah mecusuar, bekas penjara, dan....uuummmm, beberapa makam. Agak-agak spooky dan aura mistinya berasa banget, jangan bengong ya Nus kalo lewat sini.
Jadi dulunya Cibom ini mau dibikin pelabuhan sama Belanda. Tapi karena wabah malarianya nggak ketulungan, nggak jadi deh. Nah makam yang gue lewatin adalah makam dari para pekerja yang tewas akibat wabah tersebut. Gue memutari Cibom dan sampe di sebuah padang rumput bernama Tanjung Layar. I know Nus, nama tempatnya sama kayak markas lu di Sawarna. Di padang rumput ini banyak kotoran banteng jadi mesti hati-hati jalannya dan jangan sembarangan duduk, nggak mau kan lu sampe nginjek apalagi dudukin ‘gituan’?
Dan yang menimbulkan sensasi tersendiri bagi gue adalah, padang rumput ini lah yang menjadi titik pertemuan antara laut utara yang tenang dengan laut selatan yang selalu bergemuruh. Liat sunset dari sini, beuuuh....cakepnya pol deh.


Sunset di Tanjung Layar

Titik awal trekking di Cibom

Suasana trekking. Woi muka mana muka?

Ketiga, climbing. Di padang rumput Tanjung Layar ada sebuah tebing karang raksasa. Kalo punya nyali coba deh manjat karang ini. Tingginya ada kali sepuluh meter (yang lagi galau, gue nggak nyaranin untuk manjat tebing ini karena dikhawatirkan timbul keinginan untuk loncat yang menggebu-gebu). Gue dan beberapa temen sempet nyoba-nyoba. Mesti hati-hati, naeknya emang nggak begitu susah. Nah turunnya itu yang lumayan.
Bukan Tarzan






Keempat, camping. Cibom adalah spot camping bagi siapa aja yang mau menikmati Peucang dan sekitarnya tapi pake tenda. Karena di Peucangnya sendiri nggak diperbolehkan nenda. Waktu gue kesana, ada lima tenda (tanpa janur kuning) yang berdiri.
Kelima, fotografi. Yang hobi fotografi pasti nafsu banget nih kalo ke Peucang, bawaannya pengen neken shutter kamera terus. Bawa lensa yang komplit deh kalo ke sini. Mau motret landscape Peucang waktu sunrise atau sunset, human interest di Sumur, motret model atau prewed di pantai Peucang, dan tentu saja foto wild life karena banyak binatang liar di sini, semuanya tersedia. Ummm... jangan lupa narsis yah, cheers =D

Pulau Peucang dan Pulau Jawa

Waktu motret ini terjadi perdebatan sengit: Ini kancil, rusa, apa kijang?

Fotografer. Bilangnya sih 24 Tahun. Mengaku jomblowan kepada setiap wanita.

Sesosok siluet itu bukan gue!

Narsis. Tetep.

Para penjual ikan

Cemungud eaaaa kaka nyari ikannya








Keenam, safari. Di Peucang kita bisa bersafari ngecengin hewan-hewan eksotis di habitat aslinya yang mungkin selama ini cuman bisa kita liat di kebon binatang atau Discovery Channel. Ada sebuah tempat bernama Cidaon. Nyebrang pake perahu sekitar sepuluh menit terus trekking sebentar. Di sana ada savana. Di savana itu kita bisa liat banteng liar. Sayangnya waktu gue ke Cidaon, abis gerimis, jadi bantengnya pada mager dan ogah keluar. Kata guide gue yang bernama Mas Dedi, banteng nggak suka rumput yang basah. Tapi gue cukup terhibur karena ngeliat beberapa ekor merak. Ngeliat binatang-binatang ini emang tergantung rejeki. Kalo emang milik, kita bisa liat semuanya. Bahkan kalo lu adalah orang yang beruntung dari sekian miliar orang, lu bisa liat badak. Iya badak, ikon dari Taman Nasional Ujung Kulon.


Tejadi pedebatan sengit (lagi) ketika motret ini: Kenapa doi jalannya nunduk?




Sehabis gerimis di Cidaon

Omong-omong soal badak Nus, ada cerita menarik. Gue ngobrol-ngobrol sama Mas Dedi dan mendapat berita baik dan buruk. Kabar baiknya, badak jawa itu masih ada. Kabar buruknya tinggal 40-45 ekor. Kebayang nggak kalo dari segitu-gitunya semuanya cowok, atau semuanya cewek? Yah, anak cucu kita nanti cuman bisa liat badak di stiker Taman Safari yang biasa ditempel di belakang kaca mobil. Gue tanya ke Mas Dedi, pernah nggak ngeliat badak di habitat aslinya. Dia pun bercerita, dia udah jadi guide di Taman Nasional Ujung Kulon sejak tahun 2000. In fact, dia baru bisa liat badak di tahun 2010. Artinya, jangankan gue yang baru seujung kuku nginjek Ujung Kulon, Mas Dedi aja butuh waktu 10 tahun buat dapet kesempatan ngeliat hewan ini. Itu pun kata dia ketika dia meng-guide turis Belanda dengan paket tur khusus. Jadi selama tur kita ditempatkan disebuah bangunan bernama rangon dengan ketinggian jauh dari permukaan tanah di sebuah areal yang telah ditanami herbal-herbal kesukaan badak. Berhari-hari kita harus di tempat itu, nggak boleh keluar even untuk buang air. Nggak boleh beriksik. Nggak boleh pake wangi-wangian karena badak punya penciuman super. Di situ lah untuk pertama kalinya Mas Dedi ngeliat induk badak dengan dua anak sedang memamah biak. Mas Dedi bercerita dengan mata berkaca-kaca, bahwa saat itu dia sangat bersyukur karena ternyata badak bukan cuma mitos.
Mas Dedi menambahkan, keberadaan badak bisa di deteksi dari jejak, kubangan, dan camera trap. Sensus dilakukan tiap tiga tahun sekali selama tiga hari sampai seminggu berturut-turut. Lucunya, petugas sensusnya aja belom tentu pernah ngeliat badak secara langasung. Ya iyalah, badaknya tinggal 40-45 ekor, lah luas Taman Nasional Ujung Kulon kan ratusan ribu hektar. Udah gitu bakalan nambah susah ketemu badak karena binatang yang satu ini pemalu banget. Ga cocok jadi artis (apasih?). Dan mereka beda sama banteng yang sukanya nge-geng. Ketika badak beranjak dewasa, mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka mempunyai siklus berkembang biak yang lama. Artinya, seekor badak betina belum tentu sempat melahirkan anak ketika mereka masih hidup. Maka dari itu, terkutuklah bagi mereka yang membunuh dan memburu badak serta ngerusak habitatnya untuk alasan apa pun. Semoga gue dan anak cucu nanti masih punya kesempatan buat ketemu si pemalu ini. Amiiiiin ya Nus.
Dear Neptunus,
Gimana? Kumplit kan Nus?
Sekian dulu ya cerita dari gue, sori kalo ganggu kesibukan lu. Nanti kalo kapan-kapan gue main ke markas lu lagi, gue pasti tulis surat buat laporan. Salam untuk semua rakyat lu di lautan sana ya Nus. Sampe ketemu di lautan tanpa ujung.

Rgd,
Yosfiqar Iqbal (Agen No. 007)
Share:

3 comments: