Saturday, 18 May 2013

Move On Nyok!


 Move on.
Mungkin kata di atas terdengar asing kalo kita dengernya empat, lima, atau sepuluh tahun yang lalu, jauh sebelum situs-situs jejaring sosial di internet mewabah kayak sekarang. Seinget gue, kata ‘move on’ ini mulai baku dipake ketika orang berbondong-bondong menjadikan situs jejaring sosial twitter sebagai pusat media informasi mereka. Nggak tau gimana cerita dan asal-usulnya sehingga kata ini pasti muncul di tiap time line twitter gue.
Seperti yang udah gue bilang, twitter udah jadi pusat informasi, kreasi, bahkan ekspresi nyaris untuk setiap orang. Ada yang belom punya akun twitter? Gusti…*tepok jidat*. Anyway, balik lagi ke move on. Dari yang gue tangkep, kata ‘move on’ ini mostly digunakan untuk orang-orang yang mau melupakan sesuatu atau seseorang dimana mereka punya masa lalu yang kurang, katakanlah, menggembirakan bersama sesuatu atau seseorang tersebut.
Kalo diterjemahkan secara harfiah, move on artinya bergerak. Secara istilah, dan ini adalah istilah gue sendiri, move on itu pada dasarnya adalah berpindah. Pernah denger istilah hijrah kan? Nah, menurut gue move on itu konsepnya nyaris sama kayak hijrah. Gini, hijrah itu kan peristiwa dimana Nabi Muhammad SAW pindah dari Mekah ke Madinah ketika Beliau sudah tidak melihat lagi ada harapan untuk berdakwah di Mekah. Dan ketika di Madinah, Beliau sukses. Dengan kata lain hijrah itu hakikatnya berpindah dari yang buruk menuju ke yang baik. Oh iya, sebelum lebih jauh, gue ngasih contoh hijrah bukan berarti karena gue ini semata-mata seorang muslim. Kenyataan bahwa gue adalah seorang muslim, itu sangat benar. Tapi Bukan karena gue ini muslim sehingga gue jadi bawa-bawa hijrah ke tulisan ini. Gue cuma nggak menemukan lagi contoh sempurna yang hampir sama dengan move on. Ada yang punya contoh lain? Monggo, silahkan dipake dan diaplikasikan. Atau nggak setuju dengan contoh hijrah tadi? Hayok, gue buka pintu diskusi yang selebar-lebarnya. Beda itu wajar. Betul?
Bedanya hijrah dan move on adalah, ketika seseorang memutuskan untuk hijrah, dia harus berpindah, atau berubah dari yang buruk menuju ke yang baik. Nggak bisa, nggak. Nggak bisa sebaliknya. Nah kalo move on ini lebih fleksibel. Misalnya nih, orang yang tadinya baik terus jadi jahat karena dia punya alesan tertentu, berarti dia udah bisa dikatakan move on.
Kemampuan seseorang untuk move on juga berbeda-beda, ada yang cepet banget, ada yang cepet, ada yang ngikutin alur aja, ada yang lama, ada yang lelet banget.  Andriy Shevchenko misalnya, seorang pesepak bola asal Ukraina. Musim kompetisi 2005/2006 dia pindah dari AC Milan ke Chelsea. Ketika debut pertamanya untuk Chelsea, Shevchenko ini berhasil nyetak gol dan  mencium lambang Chelsea di dadanya sebagai selebrasi gol yang telah dibuatnya. Setelah kejadian selebrasi itu para penggemar AC Milan bereaksi keras dan mengecam dari seluruh dunia. Dalam sepak bola, perayaan gol dengan mencium lambang klub di dada adalah sebuah rasa cinta yang luar biasa kepada klub tersebut. Masalahnya si Sheva (Panggilan Shevchenko) ini kan baru pindah, belum ada satu bulan, tapi kok ya udah ‘berani’ merayakan gol seperti itu. Yang nggak bisa diterima penggemar Milan adalah, secepat itukah Sheva melupakan Milan dan berpaling hati ke Chelsea? Lalu kemana kenangan indah Sheva bersama Milan selama tujuh tahun? Hilang tak berbekas. Bisa diliat disini bahwa Sheva termasuk orang yang move on-nya cepet banget. Yah mungkin namanya juga pemaen bola, larinya kan cepet. Untuk orang-orang yang sulit move on dan fasih berbahasa Ukraina, silahkan hubungi si Shevchenko untuk konsultasi gimana caranya bisa cepet move on.
Mari kita kerucutkan lagi kasus-kasus move on ini. Dari kebanyakan status-status di jejaring sosial, BBM, atau curhatan temen, yang gue baca dan gue perhatikan adalah, orang-orang tuh pada susah move on kalo udah menyangkut soal asmara. Ngadu panco sama Ade  Ray itu gampang, move on dari bayang-bayang mantan pacar itu yang susah. Naek gunung sambil jalan kayang itu masih bisa diusahain, move on dari gebetan yang nggak pernah ngasih respon itu yang seolah mustahil. Terjun payung sambil maen catur itu perkara mudah, move on dari pacar yang udah dijodohin sama orang lain itu yang susah banget. Ngangkat truk ayam dengan satu tangan itu enteng banget, move on dari selingkuhan itu yang berat minta ampun. Move on untuk kategori asmara ini keliatannya yang paling sulit dan kronis sehingga bisa menyebabkan penyakit lanjutan bernama ‘galau’.
Seorang sahabat  pernah ngobrol sama gue via BBM, ngebahas ini-itu sampe disuatu titik kami ngomongin tentang move on. Dia tanya ke gue gimana caranya move on dari, dalam kasus ini, matan pacarnya. Secara mereka udah putus tapi masih sering SMS-an, teleponan, ketemuan, sampe nyuci baju di kali barengan (masih jaman?). Pertanyaan yang simpel dan membutuhkan jawaban yang rumit. Ditambah lagi temen gue ini orangnya suka debat dan cenderung jarang langsung setuju  dengan apa yang gue bilang. Tapi setiap orang punya jawaban dan alasan masing-masing, sehingga dia toh akhirnya setuju dengan gue.
Jadi begini kira-kira yang gue sampaikan ke temen gue itu, ada pepatah yang mengatakan, untuk menyembuhkan sebuah luka kita harus menyentuh luka itu terlebih dahulu. Sakit, perih, pedih pastinya. Tapi menyembuhkan. Maksudnya, jangan pernah kapok untuk membuka hati kepada orang lain yang benar-benar baru dan hubungan yang baru pula.
Ummm….sulit membuka hati untuk orang lain? Gak masalah, untuk orang lama juga ga apa-apa. Balikan lagi sama mantan bukan berarti gagal move on loh sodara-sodara. Tapi coba liat setelah balikan lagi itu, apakah ada perspektif baru atau suasana yang lebih nyaman dari hubungan come back tersebut. Kalo sama aja kayak yang udah-udah, itu baru gagal move on.
“Nggak semudah itu, Bal.” Sahabat gue masih gamang ditengah obrolan yang sebentar-sebantar putus akibat BBM yang pending itu.
“Bisa. Asal lu mau usaha cari yang lain. Jangan mikirin dia terus.”
“Nggak semudah itu, Bal.”
“Yaudah, ngomong ke dia bilang elu masih sayang, mulai semua dari awal lagi.”
“Nggak semudah itu, Bal.”
“ARRRRGGGHHHHKKKK” *Minum baygon*
And then, how about my own? Apakah gue pernah move on dengan kehidupan cinta gue? Jawabannya pasti pernah, kalo nggak mana mungkin gue seganteng ini (So?).  Gue nggak bakal jorjoran cerita tentang love story gue. Selain bisa nguras air mata yang baca karena saking seringnya gue ditolak dan dicampakkan, juga demi keamanan dan keselamatan nyawa gue dari mereka yang pernah terlibat dalam cerita gue itu dan mereka nggak terima gue tulis disini. Bisa gawat, fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap harga cabe rawit dunia bisa terganggu dan bikin galau emak-emak satu kompleks.
Yang mau gue tekankan adalah setelah putus, atau ditolak gue bener-bener melakukan apa yang udah gue bilang di atas tadi. Temukan orang lain. Atau tetap di hati yang sama tapi dengan sudut pandang yang baru, try to find another point of view, jangan melakukan kesalahan yang itu lagi-itu lagi. Kalopun memang harus salah, maka lakukanlah kesalahan-kesalahan baru. Sori, bukannya gue menganjurkan untuk berbuat salah, tapi kan kita ini Homo Sapiens alias manusia modern yang nggak mungkin luput dari salah, tapi  kita juga dikaruniai akal untuk berpikir dan menyikapi gimana seharusnya kesalahan itu diperbaiki.
Move on itu pilihan. Berproses. Butuh ketabahan hati tingkat jin tomang untuk melupakan, merelakan, mengorbankan, bahkan dikorbankan. Gue berpikir analogi gampangnya kayak kita milih sepatu di toko sepatu (ya iyalah, masa di toko bangunan). Sepatu lama kesayangan kita udah usang bahkan rusak, maka pergilah kita ke toko sepatu. Di sana kita pasti masih membayangkan bentuk, rupa, serta ukuran sepatu lama kita dan berharap menemukan sepatu baru yang nyaris sama persis dengan yang lama. Tapi karena banyaknya sepatu yang dipajang di etalase, keinginan untuk memiliki yang baru pasti muncul, perlahan bayangan akan sepatu lama menghilang. Ketika menemukan ukuran yang pas, kita lalu membawanya pulang (setelah dibayar tentunya). Atau kita masih tetep ngotot kepingin sepatu dengan model dan ukuran yang sama dengan yang lama tapi nggak ada di toko tersebut, maka sudah sewajarnya kalo kita pindah ke toko lain. Ooohh maaaannn....dunia nggak selebar botaknya dosen akuntansi gue.
Nah, pada saat kita memilih sampe bener-bener dapet sepatu yang kita inginkan itulah yang gue maksud dengan berproses. Dan seperti yang sudah ditakdirkan, sebuah proses itu ada yang cepet, ada lambat. Ada yang gampang, ada yang susah. Juga ada yang lurus, dan ada yang berliku. Dan yang namanya proses itu selalu berhasil, disebut gagal atau sukses hanya terletak pada hasil. Terkadang pas gue mau move on terasa sulit karena pikiran selalu dipenuhi oleh kenangan-kenangan indah bersama mantan, atau ngerasa nggak ada orang lain yang sanggup gantiin dia. Mau maksain balikan lagi nggak mungkin. Maka yang gue perlukan supaya hati ini nggak tambah berdarah-darah adalah kelapangan dada tanpa batas. Relakan. Kalo perlu, lupakan. Dari dulu sampe sekarang, cinta memang selalu butuh martir.
Jadi sodara-sodara, sudahkah anda move on? =)
Share: