Perjalanan aneh ini terjadi tanggal 25
Februari 2012. Gue emang nggak ketemu naga, kuda terbang, babi ngepet, kecoa
buntung, dinosaurus, brontosaurus, kuntilanak hamil, atau makhluk abstrak
lainnya dalam trip gue ini. Tapi cukup aneh.
Kenapa gue sebut perjalanan aneh? Dari
awal persiapannya aja udah aneh. Jadi ceritanya gue lagi nongkrong bareng
beberapa temen di sebuah restoran junk
food. Satu diantara mereka tiba-tiba nyeletuk ngajakin naek gunung
Burangrang di Bandung.
“Naek gunung? Di Bandung? Jauh juga. Gue
belom packing.”
“Gue
juga belom packing. Tenang,
Burangrang medannya nggak terlalu berat, packing-nya
nggak begitu ribet. Santailah…”
“Okelah.”
Tanpa pertimbangan yang matang gue mengiyakan. Toh gue juga nggak ngapa-ngapain
juga weekend itu. Ditambah lagi gue
lagi ada masalah sama pacar gue. Udah dari beberapa hari lalu gue putus kontak
sama doi. Telepon gue nggak diangkat, SMS ga dibales, BBM nggak digubris,
mention di Twiter ga diretweet, nulis pesan di dinding Facebook nggak ngaruh,
nekat nulis di dinding rumahnya malah dikejar-kejar bokapnya. Akh, sudahlah...
akhirnya, gue memutuskan untuk ikut ke Burangrang.
Tuh,
aneh kan? Dimana-mana yang namanya mau jalan-jalan apalagi naek gunung kudu ada
persiapan matang. Lah ini, modal semangat dan hati galau doang. Gue sempet
terhibur waktu temen gue bilang, “Biasanya sesuatu yang spontan itu asyik.”
Udah
gitu sepulangnya dari restoran junk food
gue nggak langsung balik ke rumah untuk packing,
melainkan sempet-sempetnya maen futsal sampe tengah malem. Abis maen futsal
terus pulang? Nggak. Gue masih sibuk minjem kesana-kemari equipment naek gunung yang belom komplit. Bersihnya, baru jam satu
lebih dini hari gue sampe rumah. Itupun gue baru packing jam tiga pagi gara-gara nonton film cina dulu di TV yang
seru abis. Kelar packing nggak bisa
tidur ampe subuh. Abis sholat langsung berangkat ke Serang, tempat yang udah
gue dan temen gue sepakati sebagai meeting
point. Disini biar gue perjelas: Gue hari itu mau naek gunung, aktifitas
yang menuntut kesiapan fisik luar biasa, tapi malemnya gue sama sekali belom
tidur dan ketika berangkat nggak pake sarapan.
Oh
iya, sebelum gue lupa, gue mau deskripsikan dulu partner sarap yang ngajakin
gue naek gunung mendadak kali ini. Anak cowok lebih tua setahun dari gue. Dia
ini punya mata sipit, jadi dulu temen-temennya manggil dia dengan panggilan
‘Chen’ biar agak kemandarin-madarinan. Seiring berjalannya waktu, Chen ini
kulitnya menghitam dan udah agak kehilangan ciri mandarinnya, tinggal matanya
aja yang sipit. Sebagai jalan tengah, dia akhirnya dipanggil Chenthong (read:
Centong). Ciri khas mandarin nggak ilang, tapi juga tetep mempertahankan trademark lokal Indonesia . Si Centong ini emang
udah dari sononya demen banget naek gunung, dia udah pernah ke Burangrang
sekali, makanya gue percaya aja sama dia. Leadership
dan gaya
me-manage sebuah trip ala Centong nggak perlu diragukan lagi.
Kita
ketemuan di dalem bus jurusan Merak-Bandung. Centong naek dengan mata kuyu,
“Gue nggak tidur semaleman.” Katanya.
“Gue juga.”
Beberapa kali gue ke Bandung tapi baru
kali ini gue tau bentuk dan rupa dari terminal Leuwi Panjang.
Sebelum-sebelumnya gue kalo ke Bandung naek mobil pribadi. Pernah sih naek bus
waktu SMA, tapi itu pas study tour,
dan Leuwi Panjang nggak masuk dalam daftar tempat yang dikunjungi. Lagian mau
ngapain coba rombongan anak SMA ke terminal? Ngojek?
Nggak seperti bayangan gue, ternyata Leuwi
Panjang ini nggak sebesar yang gue duga. Sebagai perbandingan, Terminal Kampung
Rambutan di Jakarta lebih gede kemana-mana.
Gue dan Centong langsung kalap nyari
tempat makan begitu turun dari bus, waktu itu pukul sebelas siang. Lama juga ya, gue berangkat dari Cilegon
kira-kira jam lima lewat. Wajar aja kalo gue dan Centong laper berat. Kita
makan batagor di salah satu warung tenda deket pintu masuk.
Di sini baru kerasa nggak nyamannya Leuwi
Panjang. Sebentar-sebentar ada pengamen yang dateng dan yang gue nggak suka,
mintanya itu loh yang agak maksa. Sekali dua kali sih iya masih wajar, nah yang
seterusnya itu bikin makan gue nggak khidmat. Mana lagunya itu-itu aja, padahal
pengamennya beda. Kayaknya pengamen di Leuwi Panjang punya lagu wajib deh.
“Rencana selanjutnya gimana Tong?” Tanya
gue disela-sela makan batagor.
“Abis ini kita menuju Cimahi.”
“Naek angkot?”
“Iya, noh yang warna ijo.”
“Kalo gitu ayo cepet.”
“Nanti, santailah…. Baru juga jam segini.”
Centong menjelaskan prosedur perjalanan
sampe puncak Burangrang nanti. Jadi targetnya jam 3 sore kita mesti udah sampe
pos pertama untuk lapor. Terus
trekking sampe ketemu danau dan buka
tenda di situ. Paginya baru summit attack
ke puncak, turun dan pulang.
Selepas zuhur kita barada ditengah-tengah
perjalanan menuju Cimahi dengan angkot reyot warna ijo tua. Di dalem angkot gue
dan Centong ngobrol ngalor-ngidul dan ngomentarin apa aja yang kita liat
sepanjang jalan. Centong banyak cerita tentang bagaimana dia ikut jadi pecinta
alam di sekolahnya sebelum akkhirnya jatuh cinta pada gunung. Cukup berliku
juga kisah partner gue yang satu ini. Dia juga cerita tentang keluarga,
masalah-masalahnya, dan… asmaranya yang mentok. Sebelumnya gue nggak terlalu
kenal mendalam temen gue ini, gitu-gitu aja. Tapi waktu di angkot itu gue
seperti ngeliat sisi lain seorang Centong, dan mungkin dia juga gitu, bisa ngeliat
sisi lain dari diri seorang Yosfiqar Iqbal. Dan mengenai apa yang gue dan dia
bahas di angkot waktu itu, bukan kapasitas gue untuk mebeberkannya di cerita
ini. Biar gue, Centong, mamang angkot, dan Tuhan yang tau.
Gue juga bercerita tentang hubungan pacaran
gue yang statusnya nyamain muka gue, ancur. Centong cuma bisa bilang sabar.
Jauh di dalam hati, gue sangat merindukan dia (pacar gue, bukan Centong). Waktu
gue pamit untuk naek gunung aja dia nggak ngerespon. Boro-boro minta dibawain
oleh-oleh kue mochi, ngucapin hati-hati di jalan aja kagak. Gue cuma berharap
setelah gue pulang dari naek gunung nanti, muka gue jadi setampan Christian
Sugiono dan hubungan gue dengan dia kembali membaik (Dengan pacar gue, bukan
Christian Sugiono).
Sebenernya nggak terlalu jauh jarak Leuwi
Panjang ke Cimahi untuk ukuran mobil, tapi perjalanan menjadi lama karena
sebagian besar waktu tersita untuk lampu merah, macet, dan ngetem. Gokil aja, masa lampu merah di tiap
perempatan Bandung durasinya bisa sampe dua ratus detik. Dengan durasi yang
sama gue bisa berburu nyamuk sampe lima ratus ekor pake raket listrik.
Total waktu kira-kira satu jam dari Leuwi
Panjang ke Cimahi, tepatnya gue turun di Pasar Antri, Cimahi. Ongkosnya ceban
berdua. Nggak kerasa, gue udah agak jauh dari pusat kota. Di Cimahi
pemandangannya lebih hijau dan udaranya sejuk, beda banget waktu gue masih di Leuwi
Panjang.
Centong beberapa kali ngecek smart phone-nya untuk memastikan posisi
dan membuka catatan perjalanan dia ke Burangrang yang pertama.
“Katanya elu pernah kesana sebelumnya,
Tong?”
“Iya,
tapi gue agak lupa. Harus buka blog yang pernah gue tulis waktu itu.”
“Terus,
abis dari sini kita kemana?”
“Ummm…
menurut catetan gue sih kita naek angkot jurusan Parimpong. Tuh yang warna
ungu. Santailah, nggak bakal nyasar.”
Dengan
semangat sambil memanggul keril yang beratnya naudzubillah, kita masuk ke sebuah angkot warna ungu. Syukur, masih
kosong. Langit mendung dan gerimis mulai turun. Lama-lama angkot penuh
penumpang. Kita berdua jadi pusat perhatian karena cuma kita yang bawa-bawa
keril segede bajaj.
Jalur
antara Cimahi-Parimpong dilewati angkot dengan trek menanjak. Itu adalah trek
menanjak terpanjang yang pernah gue
lewatin. Sumpah, itu jalur nggak ada menurunnya sama sekali. Udah gitu
luruuuussss terus, ga ada belok-beloknya. Semakin menanjak, pemandangan di
kanan-kiri jalan makin asri dan menyejukkan. Suasana bising dan panas kota pelan-pelan mulai
tergeser dengan rerimbunan kebun sayur, bunga, dan bukit-bukit kecil yang
sedikit tertutup kabut.
“Noh,
yang itu Burangrang.” Centong menunjuk ke arah sebuah siluet menjulang yang
terlihat lebih tinggi dari siluet-siluet lainnya di kejauhan.
“Tinggi juga ya Tong.”
“Dari puncaknya kita bisa ngeliat
Tangkuban Perahu.”
“Wuih, deket banget ya?”
“Iya. Mitos Burangrang juga konon katanya
ada hubungan sama Tangkuban Perahu.”
“Oya? Gimana tuh?” Gue mulai antusias. Gue
selalu excited kalo diceritain
asal-usul dari suatu tempat.
“Dulu kan si Dayang Sumbing minta
dibikinin perahu sama Mas Sangkuriang, nah Mas Sangkuriang ini bikin perahu dengan
berbagai bahan baku dan material. Ternyata nggak semua material itu kepake dan
menumpuk begitu saja. Trus kan mas Sangkuriang ngamuk dan nendang perahunya
yang kemudian jadi gunung Tangkuban Perahu, nah material-material sisa yang
menumpuk dari perahu tersebut yang jadi gunung Burangrang.” Jelas Centong
panjang lebar. Ini kerennya naek gunung, tiap gunung pasti punya cerita dan
legenda.
Angkot kami terus menanjak dan kota
Bandung semakin keliatan kecil dari atas. Rumah-rumah penduduk mulai jarang.
Diujung tanjakan ada sebuah pertigaan, kata Centong kita mesti turun di situ.
Ongkosnya Rp.20.000 untuk dua orang plus dua keril.
Ternyata di pertigaan tersebut ada sebuah
universitas. Universitas
Advent kalo nggak salah namanya. Gue agak nggak nyangka aja, di Bandung ada
Universitas Advent ini padahal di depan kampusnya tertulis gede banget tulisan
‘SEJAK 1949’, udah lama banget kan? Ditambah lagi lokasinya yang jauh dari strategis, bener-bener dipinggiran
kota.
Cukup
lama juga gue dan Centong berhenti di depan kampus dengan warna tembok dominan
biru itu, sambil terus ngobrol dan mengomentari kampus itu, khususnya, ehm,
para mahasiswinya.
Nggak
berapa lama angkot warna kuning jurusan Ledeng-Cisarua muncul. Gue dan Centong
naek. Angkot di sini cukup unik, beda dari kebanyakan angkot yang pintunya bisa
dilipet dan berada disamping bodi mobil. Kita sempet kayak anak monyet
kehilangan bokapnya nyari-nyari dimana tuh pintu angkot.
“Tuh
A’, pintunya di belakang!” Teriak si mamang agkot. Dengan muka dipolos-polosin
kamipun masuk.
Oh
iya, Cisarua disini bukan Cisarua di Bogor mau ke Puncak itu ya. It’s another Cisarua, dan jujur gue juga
baru tau. Jalur mobil dari pertigaan Advent menuju Cisarua ekstrem banget. Kita
menemui ujung aspal yang mulus dan mulai lewat jalan aspal bolong-bolong dan
berkelok-kelok. Sebelah kanan pemandangannya hutan, sebelah kiri jurang yang
menganga. Parahnya, nggak ada pembatas jalan. Tapi pemandangannya asli, demi mahasiswi
Bandung yang kecantikannya bisa bikin tuyul belajar ngaji, menakjubkan banget!
Kota Bandung keliatan kecil banget di bawah sana berselimut kabut tipis. Tepat
di bawah jurang ada sungai yang keliatan cuma segaris, entah apa nama
sungainya. Udara mulai berubah tingkatan dari sejuk menjadi dingin. Gue dan
Centong udah ada di tempat yang tinggi banget sekarang.
Kami
sampai di sebuah tempat dimana angkot-angkot jurusan Cisarua memarkir
kendaraannya di situ. Selain itu di sana juga banyak warung, rumah makan,
mushola, dan ada sebuah obyek wisata bernama Curug Cimahi. Tempat ini seperti
terminal tapi terlalu kecil untuk disebut terminal.
“Bal,
liat tuh!” Centong menunjuk salah satu atap bangunan yang ada di sebuah sisi
tempat itu. Gue mengikuti arah yang dimaksud Centong dan mendapati beberapa
ekor monyet yang entah lagi ngapain, arisan mungkin. Monyet itu nggak diikat
atau dirantai, mereka hidup bebas. Betapa dekatnya gue dengan alam sekarang.
Kami singgah dan istirahat di sebuah
warung sekalian makan siang. Centong pesen nasi goreng untuk dua orang. Waktu menunjukkan pukul dua siang, masih on track sama jadwal yang disusun, toh
jadwalnya gue dan Centong baru naek sekitar jam tigaan.
Setelah semua beres, gue siap-siap packing lagi dan buru-buru ngabisin
segelas kopi yang tadi gue pesen. Gue udah siap berangkat. Dan disinilah keanehan-keanehan
yang lebih ekstrem dimulai.
“Tong, udah mau jam tiga. Ayo berangkat,
kita belom beli logistik juga kan?”
“Santailah… Temen gue ada yang mau ikut,
sekarang lagi dijalan menuju kesini. Barusan SMS.”
“Berubah jadwal dong? Nggak kesorean?”
“Nggak. Kalo kesorean juga nggak apa-apa,
kita langsung ke puncak aja. Kira-kira sampe tengah malem terus nge-camp
di sono.”
“Yaaahhh… Kalo jalan malem nggak liat
danau dong?”
“Besok pas pulang kan lewat situ juga.
Santailah…”
Perasaan gue mulai nggak enak. Centong
kenapa ngerubah jadwal last minute gini
sih? Tapi ya mau gimana lagi,
dia lebih tau, gue ikut aja. Kira-kira satu jam kami nunggu akhirnya temennya
Centong dateng juga.
Anggota baru ini cewek, anak ITB jurusan
Teknik Kimia. Dia nggak bawa keril kayak gue dan Centong. Cuma ransel biasa,
plus tentengan kecil berisi makanan dan air mineral. Kami manggil dia dengan
nama ‘Eneng’.
“Maaf telat ya….”
“Ga apa-apa Neng, ayo berangkat. Beli
logistik dulu.”
Gue sempet diskusi dengan Centong,
“Tong, tenda lu tipe tunnel kan?”
“Iyah. Kenapa?”
“Muat gitu bertiga?”
“Muat. Kita kan orang Indonesia, badan
nggak terlalu gede. Santailah…”
Sekedar informasi, tenda tipe tunnel itu adalah tenda yang berbentuk seperti
ummm...tunnel. Begitulah kira-kira.
“Terus kalo ujan gimana?”
“Takdir.”
“Geblek, maksud gue si Eneng kan equipnya
pas-pasan tuh. Taroan deh, dia nggak bawa jas ujan.”
“Mudah-mudahan sih nggak ujan. Udah,
santailah…”
Dan untuk kesekian kalinya gue manut aja,
toh mind set gue masih beranggapan
kalo Centong ini lebih tau.
Kita beli logistik di minimarket yang ada
beberapa meter sebelum gerbang pendakian dimulai. Dibagian ini cara Centong
memimpin keliatan. Dia ini sangat memperhatikan apa-apa aja yang musti dibeli
dan nggak perlu dibeli.
“Mie instan beli empat bungkus aja, air
mineral tiga botol cukup, cemilan sebungkus, roti satu, tisu basah ukuran
kecil, kopi, sama batu batere, udah itu aja…. WOI, LU NGAPAIN NGAMBIL
DETERJEN???MAU NYUCI????”
Dan seperti biasa, gue ikut aja, dia lebih
tau. Setelah belanja
logistik, kita langsung ganti kostum. Sendal gunung segera berganti jadi sepatu
untuk mendaki. Ok, ready!
Pendakian dimulai ketika kami bertiga
melewati sebuah gapura besar dan bermotif loreng tentara dengan tulisan,
‘KOMANDO’. Daerah pegungungan Burangrang memang sering digunakan Kopassus untu
latihan perang. Di pos
perizinan nanti kita juga minta izinnya sama anggota TNI.
Jalan menanjak dimulai, dan sekarang nggak
ada lagi angkot. Kita harus benar-benar mengandalkan kaki setapak demi setapak.
Jalan yang kami lewati lumayan bagus untuk ukuran jalur trekking, sebuah jalan tanah menanjak tapi ditutupi dengan
batu-batu kali sehingga jalur nggak licin. Sepanjang jalan itu banyak rumah
penduduk yang berdampingan langsung dengan…. kandang sapi. Ya, mata pencaharian penduduk di sini
sebagian besar adalah peternak sapi perah. Di setiap rumah pasti ada
wadah-wadah penyimpanan susu yang digunakan untuk mengangkut susu ke koperasi
desa. Udara dingin semakin menggigit ketika kami juga semakin tinggi berjalan.
Hingga akhirnya kami bertiga tiba disebuah jalan berbentuk huruf ‘Y’. Centong bingung mana jalan yang mesti
diambil.
“Gue lupa, waktu itu gue ambil jalur yang
mana ya?”
“Sama aja mungkin.” Kata Eneng.
“Amannya sih tanya aja ke penduduk
sekitar.” Saran gue.
Centong nanya ke ibu-ibu yang kebetulan
lewat, mereka berbincang pake Bahasa Sunda dan gue sama sekali nggak ngerti.
“Jadi gini, kita ambil jalur kanan atau
kiri itu sama aja, nanti tembusnya di jalur utama bukit itu.” Centong menunjuk
ke kejauhan. Lumayan masih jauh.
“Jadi menurut lu kita mesti ambil yang
mana nih?”
“Ummm…” Centong menerawang, berpikir
sejenak, “….kalo lewat kiri kayaknya jalurnya lebih nanjak tapi lebih deket,
udah gitu banyak rumah penduduk, kalo ada apa-apa kita gampang minta tolongnya.
Kalo lewat kanan jalannya lebih landai tapi jauh, muter gitu. Lewat kiri aja
kali ya?” Centong minta persetujuan.
“Oke.”
Ternyata lewat kiri itu adalah keputusan
konyol. Kita kecele, ternyata bangunan yang kita liat di jalur kiri itu bukan
rumah penduduk, melainkan kandang sapi. Kita berjalan begitu dekat dengan
kandang sapi dan tiap ngelewatin satu kandang pasti ada aja sapi yang minta
kenalan dengan menegeluarkan suara, “MOOOOOO!!!!”. Suaranya kenceng banget, pas
di kuping, karena memang antara jalan setapak dan pager itu kandang nggak ada
jarak. Sementara itu di sebelah kanan jalan ada sungai kecil dengan aliran
deras. Sayangnya warna air itu ijo pekat, tau dong apa? Yak betul, kotoran
sapi! Baunya jangan ditanya deh, gue lebih milih nyium bau ketek gue sendiri
daripada terjebak diantara kandang sapi dan sungai kecil tempat sapi buang
hajat. Huek! Semuanya diperparah dengan jalan menanjak yang cukup terjal dan
beban dipundak yang nggak mau ngasih ampun. Jujur mata gue udah
berkunang-kunang, bukan karena capek, tapi karena bau tidak sedap yang
bener-bener menyengat. Biar bagaimanapun, sapi memang lebih bersahabat dalam
bentuk sate atau tong seng.
Akhirnya penderitaan kami berkahir ketika
jalur utama pendakian terlihat diujung sana. Gue setengah berlari menyongsong
jalan itu, nggak sabar menghirup udara segar.
“Gokil ya Tong, kalo ada yang ngerasa kuat
mungkin dia belom pernah nyoba jalan nanjak sambil manggul keril dan lewat
koloni sapi yang baunya lebih parah delapan kali lipat bau ketek manusia.”
Kita mulai mendaki punggung bukit, rumah
penduduk udah nggak ada lagi, apalagi kandang sapi. Dan semoga nggak ada lagi
kandang sapi. Hutan-hutan pinus mulai menyambut, suasana mulai hening. Nggak
ada lagi bising kendaraan dan manusia, yang ada cuma gesekan-gesekan angin
diantara dedaunan hutan, kicauan burung, dan kalaupun ada yang berisik itu
adalah suara senda gurau kami bertiga. Sesekali kami berpapasan sama tentara
yang sepertinya lagi latihan fisik dengan lari-lari di sekitar bukit.
Sinyal HP juga udah timbul tenggelam.
Sebelum sinyal bener-bener ilang gue sempet ngecek HP dulu, siapa tau ada SMS
dari si dia. Dan ternyata....ADA! Ada
dua SMS masuk. Gue cek. Sial, SMS pertama cuma dari provider yang ngingetin supaya gue cepet isi pulsa. Padahal gue
berharap itu dari dia yang ngingetin gue makan. Oke, oke, masih ada SMS ke-dua.
Gue buka. Gubrak! Ternyata dari nyokap yang minta dibeliin tales Bogor . Padahal gue ngarep
banget kalo itu dia yang minta dibeliin molen Kartikasari. Tapi
yaaaahhh....sudahlah. HP gue matiin.
Pas
jam lima sore
kami sampai di pos perizinan. Ternyata disana udah rame sama para penggemar
sepeda down hill. Bukit ini memang
sempurna untuk jadi trek sepeda gunung. Centong sebagai pimpinan rombongan
lapor ke seorang tentara berbadan kekar dan rambut cepak (Iya lah, kalo kurus
dan gondrong mah anak band).
“Pak,
kita bertiga mau kemping di Burangrang.”
“Wah,
lagi nggak bisa tuh dek.”
“Emang kenapa pak?”
“Jalur
pendakian ke Burangrang sedang dipakai untuk latihan tempur. Bahaya, karena latihannya menggunakan peluru tajam.”
“Masih lama ya Pak? Kalo sampe malem nggak
apa-apa saya tungguin.”
“Lama Dek, sampe tanggal 5 Maret.”
Dan sekarang tanggal 25 Februari, masih
seminggu lebih lagi menuju 5 Maret. Lutut gue langsung lemes. Berasa sia-sia
nanjak ngelewatin kandang sapi yang penuh ‘ranjau darat’. Kami bertiga terdiam
sejenak. Menghirup nafas panjang.
“Jadi gimana?” Eneng yang pertama buka
suara.
“Kita belok ke Tangkuban Perahu aja.”
Centong kasih solusi.
“Lewat hutan?”
“Iya, kalo kita lewat jalur wisata nggak
bakal sempet. Eneng tau jalurnya kan?”
“Tau sih, tapi kemungkinan jalur itu juga
dipake latihan. Kan jalurnya deket dari sini.”
“Iya yah. Kalo kita ke Ciwidey aja
gimana?” Centong ngasih opsi
lain.
“Keburu nggak? Udah hampir magrib gini.”
Gue mulai ragu.
“Kita mesti cepet turun, magrib harus udah
dibawah. Mungkin masih sempet.”
Kami buru-buru turun dari bukit itu menuju
terminal kecil Cisarua lagi, tapi kali ini nggak lewat kandang sapi. Sepanjang
perjalanan ke bawah kita menggerutu sambil sesekali bercanda.
“Elu lupa bilang sih Bal kalo kita ini
orang Banten. Peluru doang
mah kebal.”
“Bahaya Tong, kalo mereka percaya dan kita
diminta jadi sasaran tembak gimana?”
“Apes aja kita. Hahaha.”
Sudahlah mau gimana lagi, cara terbaik
untuk mengatasi keadaan konyol kayak gini ya dengan ketawa-ketawa konyol juga.
Pas sampe terminal Cisarua, adzan Magrib
berkumandang. Kami shalat. Hujan turun dengan deras. Centong mencoba
menghubungi temennya yang tinggal di daerah Ciwidey, dia masih mengusahakan
untuk bisa kemping di sana. Ternyata nggak bisa, temennya bilang angkot ke
Ciwidey paling malem sampe jam 8 dari Leuwi Panjang. Sedangkan jam 7 aja kita
masih ada di pinggiran banget kota Bandung.
Baguuuusssss, gue makin terjebak di
keadaan aneh ini. Centong yang punya banyak pengalaman bingung, si Eneng yang
orang Bandung bingung, apalagi gue yang nggak punya pengalaman dan bukan orang
Bandung.
“Udah lah, kita keliling Bandung aja.
Santai lah…”
“Bener, wisata kuliner ya. Malem
minggu gini biasaya rame.” Eneng ikut semangat. Gue juga berusaha membangkitkan
mood lagi.
Kami
pun menunggu angkot jurusan Cisarua-Ledeng di depan sebuah warung. Hujan makin
deras. Setengah jam kita nungguin angkot tapi nggak ada satupun yang lewat.
Eneng bertanya kepada pemilik warung, dan memang angkot cuma ada sampe jam 6
sore. Gue agak kesel sama pemilik warung yang udah tau dari tadi kalo kita lagi
nunggu angkot, KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI????
Akhirnya
kita nyarter angkot seharga Rp.75.000 bertiga
dari Cisarua ke terminal Ledeng. Tujuan kami atas rekomendasi dari Eneng adalah
wisata kuliner di Punclut. Mantap
ya, dari rencana semula naek gunung jadi wisata kuliner di tengah kota.
“Ntar kita nginep dimana Tong?” Tanya gue
di dalem angkot.
“Kosan adek gue aja.”
“Dimana kosan adek lu?”
“Di
Bandung.”
“Dodol.
Maksud gue daerah mana. Deket nggak ama Punclut?”
“Gue
juga belom pernah ke kosan dia. Nanti deh gue telepon.”
“Yaudah
telepon sekarang aja.”
“Nanti
aja, baru juga jam segini, santailah….”
Kami
turun di terminal Ledeng, dua kali ganti angkot dan keujanan. Tiap orang yang
papasan sama gue dan Centong pasti ngeliat keheranan, karena dimana-mana anak
muda Bandung malem minggu gini pergi berdua sama pacarnya dengan dandanan
necis. Lah kita keluyuran di tengah kota pake celana kargo pendek, sandal
gunung, plus keril. Tapi gue cuek aja, semoga orang-orang itu nganggepnya gue
turis dari Swedia.
Di
sebuah perempatan kami turun.
“Ini
Punclut, hayu langsung cari makan ajah. Yang enak dan khas, mana?” Centong
semangat.
“Bukan
di sini, Punclut masih naek ke atas lagi. Harus naek angkot dulu sekali.”
Setengah
jam kemudian. Kami masih nunggu angkot dan belom ada yang lewat. Dari seorang
bapak-bapak kami dikasih tau kalo angkot ke Punclut cuma ada sampe abis magrib
doang. Alesannya, kalo angkot masih beroperasi sampe malem, maka tukang ojek di
situ nggak kebagian penumpang. Tapi naek ojek itu mahalnya nggak ketulungan,
mentang-mentang kita butuh.
“Udah
jalan kaki aja, kita kan pendaki.” Centong memutuskan. Gue udah lelah banget,
baik secara fisik maupun psikis. Gue ikutin aja apa yang dibilang Centong.
Lama-lama Centong nggak kuat juga.
“Udah
lah nggak usah ke Punclut, langsung ke kosan adek gue aja. Pake taksi biar
cepet!” Centong hopeless.
“Mahal
Tong.”
“GUE YANG BAYAR!” Mental juragan
jengkolnya Centong muncul.
Yang
nggak kami tau adalah, saat itu malem minggu, lagi rame-ramenya. Kuliner di
Punclut sana
pasti rame. Akibatnya taksi susah dicari. Taksinya doang sih banyak, nah yang
kosong itu nggak ada. Tapi kebetulan ada taksi yang berenti di depan kami dan
nurunin penumpang. Langsung gue setop.
“Pak, taksi!”
“Kemana dek?” Tanya si sopir.
“Tong, kemana?” Gue melempar pertanyaan ke
Centong.
“Kosan adek gue.”
“Ke kosan adeknya dia pak.” Kata gue
dengan dodolnya.
“Kosan adeknya dimana dek?”
Suasana mendadak hening. Angin
bertiup makin kenceng dan dingin, petir menyambar-nyambar, gerimis makin rapat.
“Tong?”
“Oh
iya, gue belom nanya adek gue. Bentar yah Pak saya telepon dulu.” Centong
mengeluarkan HP dari tasnya. Dan….
“Bal,
pulsa gue abis. Pake HP lu.”
“Lowbatt.”
“@$%^&(&%$#@CCJKGGH###%&*$%$#@#$%”
“Pak,
taksinya nggak jadi.” Kata gue sopan
dan buru-buru pergi sebelum si sopir taksi ngeluarin senapan mesin dan
memberondong kami.
Taksi pun pergi dengan tatapan nggak
ikhlas.
Gue laper, lelah, ngantuk, keujanan pula.
Sekedar mengingatkan, kemaren malemnya gue dan Centong belom tidur sama sekali.
Gue nggak pernah liat Centong sebego ini dan juga gue nggak pernah ngerasa
setolol ini sebelumnya pada diri gue sendiri.
Akhirnya kami melupakan kosan adeknya Centong,
kami juga melupakan wisata kuliner ke Punclut. Ujung-ujungnya makan malam kami
di malam minggu yang basah itu adalah, masakan Padang.
Tampang kami bertiga udah lecek. Udah
nggak kayak pendaki keren lagi.
“Kita ini orang paling kaya sedunia Tong,
sehingga mau makan nasi Padang doang jauh-jauh dateng ke Bandung.”
“Hahaha…”
Kita bertiga cuman bisa ketawa malam itu
sambil menikmati rendang dan ayam pop. Kenyang makan, pikiran Centong langsung
jernih.
“Gini aja, gue baru inget kalo gue punya
junior waktu SMA yang kuliah di ITB. Gue isi pulsa dulu, trus telepon dia buat
nebeng tidur dikosannya.”
Centong nelpon juniornya itu, sementara si
Eneng pamit pulang. Gue dan Centong nunggu taksi lagi diperempatan untuk ke
kosan temennya. Saat nunggu itu gue habiskan dengan diam. Centong juga, nggak
mood buat ngomong. Udah terlalu lelah mungkin. Keril di punggung udah
nggak ketahan beratnya, kaki juga udah lemes. Dan yang paling menyengsarakan
adalah mata yang udah minta istirahat.
“Taksi
nggak ada yang kosong, Tong. Minta
jemput temen lu aja deh.”
Centong langsung nelpon, dan syukurnya
temennya bersedia jemput. Agak nggak enak juga sih, udah numpang minta jemput
juga. Tapi daripada gue tidur di perempatan jalan dan paginya kena razia
Kamtibnas, mending ngerepotin orang sedikit deh.
Kami pun menunggu temennya Centong dalam
gerimis dan temaram lampu kota Bandung yang membiaskan air hujan sehingga
membentuk lingkaran pelangi disekitarnya. Suasana yang romantis kalo aja
disebelah gue cewek cantik dan bukan Centong.
Tiba-tiba gue teringat dia. Gue cek HP dan
belom ada satupun SMS dari dia yang masuk. Kangen. Gue coba telepon. Nyambung
sih, tapi nggak diangkat. Gue coba lagi, nyambung lagi tapi nggak diangkat. Gue
coba lagi, dan nyambung tapi di reject.
Ah, sudahlah.
Disaat temennya Centong udah bersedia
menjemput, ada taksi berenti di depan kami. Si sopir membuka kaca,
“A’, taksi?”
Gue dan Centong dengan kompak menggeleng.
Emosi. Tadi aja susah banget dicari. Gue pengen banget ngelempar tuh taksi pake
keril, tapi ini kan kampung orang dan gue takut dibakar massa. Maka gue
urungkan niat jahanam itu.
Kami pun dijemput dengan dua motor. Menuju kos-kosan di deket kampus ITB. Sampe
kos-kosan gue ngobrol sebentar dengan dua orang juniornya Centong ini. Sebelum
akhirnya gue nyerah dan tidur nyenyak banget. Nggak pake ganti baju dan mandi.
Nikmat!
* * *
Gue terbangun jam 6 pagi. Butuh waktu
beberapa detik untuk gue sadar dimana gue terdampar. Wangi kopi jahe membantu
gue untuk cepat-cepat sadar. Ternyata Centong udah bangun dan nyeduh kopi.
Sementara temennya tertidur di samping gue. Entah kemana temennya yang satu
lagi.
“Bal, mumpung lagi di Bandung, kita ke
Trans Studio yuk!” Ajak
Centong. Gue langsung bangun dari tempat tidur. Ide brilian nih. Gue mulai
antusias lagi dan mulai melupakan tragedi Burangrang dan kandang sapi.
“Hayu, gue belom pernah kesono!”
“Ya udah sekarang mandi dulu sono. Trus
berangkat.”
“Keril gimana? Masa mo naek roller coster pake keril, bisa ditahan
satpam kita.”
“Ntar kita ke kosan adek gue dulu, naro
keril. Gue udah tau alamatnya kok.”
Gue pun mandi dengan semangatnya. Pagi-pagi
mandi aer dingin di Bandung dan terbayang-bayang naek wahana di Trans Studio,
sebuah theme park indoor yang mengklaim sebagai yang
terbesar di dunia. Mantap dah. Selesai mandi, ganti baju, dan siap berangkat.
“Ayo Tong, berangkat!”
“Sarapan dulu. Santailah…”
Oke, gue dan temennya Centong beli sarapan
dulu diujung gang. Nasi
kuningnya oke juga, enak banget. Udah gitu dapet bonus ngeliat
mahasiswi-mahasiswi ITB yang belom pada mandi beli sarapan juga. Sebagian kecil
kenikmatan surga terasa pagi itu.
Sekarang mandi udah, sarapan udah,
ngecengin mahasiswi cakep tapi nggak berani kenalan juga udah, saatnya
berangkat.
“Ayo Tong berangkat.”
“Ntar, baru juga jam berapa. Santailah…”
Gue mesti hati-hati kalo si Centong udah
bilang, “Santai lah…”. Dari kemaren ngomong gitu terus dan jadi mulur jadwal
perjalanannya. Hari itu bersihnya kita ninggalin kos temennya Centong jam
sebelas siang. Kita naek Damri menuju Leuwi Panjang.
“Tong, gue balik aja deh ke Cilegon.”
“Kenapa?
Ga ke Trans Studio dulu?”
“Next time deh.”
Pertimbangan
gue gini, udah tengah hari gini dan sampe kosan adeknya Centong aja belom.
Ditambah lagi nih anak belom tau persis dimana tempatnya. Mau sampe Trans
Studio jam berapa coba? Kalopun sampe Trans Studio, di hari minggu pasti rame
dan antri, paling juga kebagian foto ama badut doang. Dan gue juga mesti
mikirin pulang ke Cilegon juga. Pulang ke Cilegon adalah pilihan terbaik.
Gue
dan Centong duduk terpisah di bus Damri. Dua-duanya memandang kosong ke arah
luar bus. Bus lewat jalan-jalan utama kota Bandung yang banyak banget
perempatannya. Sulit untuk melakukan pemetaan kota ini kalo baru dateng sebentar kayak gue.
Lewat Dago banyak banget oleh-oleh yang seolah memanggil gue untuk turun dan
beli. Centong juga ngajakin. Tapi dengan mood yang udah nggak enak, dan
bawa-bawa keril berat kayak gini, nggak deh, makasih. Bandung…lain kali gue akan balik lagi dengan
kondisi yang lebih baik.
Gue dan Centong berpisah di Leuwi Panjang,
dia memutuskan untuk muter-muter dulu di Bandung dan ke kosan adeknya. Kita
sempet makan siang bareng sebelum dia nganterin gue ke bus jurusan Merak. Gue
dan Centong, si mister ‘santai lah’, akhirnya berpisah.
Di
bus, semua yang gue alami dua hari ini kembali terlintas berkelebat. Mulai dari
hati yang galau, rencana mendadak di restoran junk food, maen futsal, nggak tidur, bus Serang-Bandung, Centong, Leuwi
Panjang, Cimahi, Universitas Advent, Cisarua, kandang sapi, tentara, latihan
perang, peluru tajam, hujan, Eneng, Punclut, keril, taksi, masakan Padang,
temennya Centong, nasi kuning, mahasiswi ITB, Damri, Dago, Trans Studio, dan
akhirnya kembali ke Leuwi Panjang. Semuanya terjalin begitu rapih.
Lama-lama
gue tersenyum dan menyadari benang merah dari itu semua. Gue emang gagal naek
sampe puncak. Tapi coba resapi betul-betul. Gue dan Centong nggak dalam kondisi
badan yang fit karena kurang tidur, udah gitu ada Eneng yang ikut gabung tapi
dengan peralatan seadanya, terus malem itu hujan turun deras, coba banyangkan
kalo saat itu gue, Centong, dan Eneng tetep naek. Badan capek kurang tidur, si
Eneng pasti basah kuyup karena keujanan dan nggak bawa jas ujan. Betapa
repotnya kami. Naek gunung kan
betul-betul harus siap lahir-batin, salah-salah nyawa yang jadi taruhannya.
Anggap aja Tuhan menganggap kami nggak siap lahir-batin saat itu. Jadi Tuhan
nggak mengijinkan kami naek ke alam ciptaan-Nya yang suci. Kamipun nggak
diizinkan keliling Bandung
karena memang sudah seharusnya badan kami istirahat. Dia Mahatahu apa yang
nggak diketahui hamba-Nya. Bahkan untuk urusan badan kami sendiri pun kami
nggak tahu, manusia memang bodoh dan egois. Tuhan Mahabaik di segala kondisi. Gue terima apa yang terjadi dengan gue
selama dua hari itu.
Ada banyak yang bisa gue ambil dari sebuah
perjalanan, termasuk kali ini, seaneh apapun perjalanan itu. Pertama, jangan
pernah percaya kata-kata “Santai lah…” dari partner jalan-jalan anda, atau anda
akan nyasar ke kandang sapi.
Kedua, jalan-jalan bisa membuka paradigma
baru akan sesuatu. Nggak usah jauh-jauh, gue nemuin sesuatu yang lain dalam
diri sahabat gue, Centong. Dibalik jiwanya yang bebas dan penuh petualangan,
ada juga bagian kelam, hitam, bahkan merah jambu dan sangat berbeda dari apa
yang gue kira. Kalo mau mengetahui karakter sebenarnya dari seseorang, ajaklah
dia jalan-jalan atau naek gunung dengan ngelewatin kandang sapi. Nggak perlu
bertanya-tanya kenapa begini, kenapa begitu, orang itu akan bercerita dengan
sendirinya tentang dirinya dan pandangannya akan sesuatu, lalu anda akan
terkejut.
Ketiga, Leuwi Panjang mengingatkan gue
bahwa sejauh apa pun kita pergi, setinggi apa pun kita mendaki, seluas apa pun
impian kita bentangkan, selalu harus ada jalan untuk kita pulang dan memulai
sesuatu yang baru lagi. Bandung, gue jatuh cinta sama kota ini, tapi gue tetap
harus pulang juga kan? Cinta, I’m home.
Dan terkahir…. Tiba-tiba HP gue bergetar
dan masuk sebuah SMS. Gue deg-degan. Gue buka. Dari dia!!!!. Gue baca. Hening. Dan akhirnya
penantian gue selama beberapa hari tuntas sudah. SMS singkat itu seperti
menjelaskan semuanya dan gue mengerti, gue terima. Walaupun buat gue itu nggak
adil. Begini isinya, “Kita udahan aja.”
Tanpa ada niat untuk membalasnya, gue
matiin HP.
Dan
gue pulang…. =)
“Hidup
adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya….”