Perbedaan adalah anugerah. Sebuah kewajaran yang tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Sampai mati sekalipun, manusia akan tetap berbeda. Ada yang masuk surga, ada yang jadi penghuni neraka. Satu keping uang logam bernilai miliaran, tidak berharga jika kedua sisinya sama. Ada kiri maka ada kanan, ada Tuan Takur pasti ada Inspektur Vijay, Adam berdampingan dengan Hawa, ada seorang laki-laki untuk seorang wanita. Ada Yusuf dan juga ada Ambar.
Yusuf. Ganteng, berbadan atletis, kapten tim sepak bola kampus, terobsesi oleh Barcelona dan Lionel Messi-nya, dan satu dari sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia yang percaya bahwa suatu saat nanti Indonesia bisa jadi juara Piala Dunia. Sepertinya tidak ada masalah dengan orang seperti Yusuf dalam hal asmara. Dengan potongan seperti itu, rasanya lebih dari cukup alasan untuk seorang perempuan rela botak demi jadi pacarnya. Kenyataannya? Jauh panggang dari api. Yusuf tetap menjomblo. Bukan karena tidak laku. Tapi karena ada sesuatu yang tidak dia punya di balik kerupawanan yang dimilikinya. Sepotong nyali untuk mengatakan cinta pada seseorang.
Ambar. Berantakan, barbar, semau gue, sering bolos kuliah, suka ngupil dimanapun dan kapanpun tanpa mengenal sikon, fans berat Christiano Ronaldo bersama Real Madrid. Ambar sangat terkenal dikampus sebagai cewek dekil dan cuek, serta lebih mudah menemukannya di rental Playstation belakang kampus dibanding ruang kuliah. Walaupun terkesan cuek dan seadanya, tidak banyak yang tahu bahwa dia pengagum setengah mati dari seorang laki-laki yang bertetangga dengannya sejak kecil dan juga sahabatnya. Laki-laki itu bernama Yusuf.
Ya, Yusuf yang punya fans banyak. Yang mana kalau dikumpulkan jumlah fansnya setara dengan massa di demo menggulingkan presiden. Yusuf yang sekarang sedang dekat secara personal dengan seorang kembang kampus yang setengah sempurna, dan akan utuh sempurna jika berada di samping Yusuf. Kenyataan itu telah membuat Ambar cemburu.
* * *
“Hari ini elu ngutang dua piring ketoprak. Barcelona menang tuh semalem lawan Madrid.” Kata sebuah suara yang membuyarkan lamunan Ambar. Ambar sedang mengetik sesuatu pada laptopnya di lorong jurusan Teknik Kimia. Yusuf berdiri di sebelahnya.
“Dua? Satu kali, Nyet.”
“Yang kemaren-kemaren kan elu belom bayar.”
“Ya elah si Ucup perhitungan amat.” Ambar menepuk punggung Yusuf.
“Tau nggak, kalo semua taruhan lu bayar, gue bisa hemat uang jajan seumur hidup. Soalnya, Madrid nggak pernah menang lawan Barca. Hahaha.”
“Itu karena Ronaldo nggak dalam kondisi terbaik.”
“Dalam sepak bola tim yang bekerja, bukan seorang Ronaldo.”
Mereka terus berdebat tantang rivalitas kedua klub tersukses di Spanyol itu. Tidak ada habisnya sebelum Ambar teringat sesuatu.
“Oh iya Cup, ntar malem ada nonton bareng SEA GAMES Indonesia lawan Kamboja. Jemput gue ya?”
“Malem ini?” Yusuf melihat jam tangannya. Ada jeda cukup lama sebelum Ambar menjawab,
“Iya.”
“Nggak bisa. Gue ada janji sama Cantik. Nanti kalo sempet gue ke rumah lu deh, kita nonton di rumah lu aja. Oke?”
Yusuf tidak melihat ada sayatan halus di hati Ambar, tapi Ambar sangat merasakannya. Cantik, si cewek setengah sempurna itu bisa membuat Yusuf lupa akan kegilaannya pada sepak bola. Entah sejak kapan Yusuf memasukkan Cantik dalam lingkaran mereka berdua. Biasanya, dunia hanya milik Ambar dan Yusuf.
Ambar terdiam. Kemudian tanpa kata menutup layar laptopnya.
“Oke. Gue tunggu.” Jawab Ambar datar akhirnya.
“Sip. Ayo masuk kelas, bentar lagi kuliah Ekonomi Teknik mulai.”
“Nggak deh, gue mau maen PS aja.” Ambar menghilang dengan cepat dari pandangan Yusuf.
Malam itu Indonesia menang besar lawan Kamboja. Semua bersorak, kecuali Ambar. Biasanya kalau menonton tim nasional bersama Yusuf, Ambar akan jadi orang paling norak dengan teriak paling keras dan menyanyikan lagu ‘Garuda di Dadaku’ paling semangat walaupun fals.
Yusuf dan Ambar. Dua buah kutub berlawanan namun saling menguatkan. Sudah saling kenal sejak kecil. Dari TK sampai SMA selalu duduk satu meja dan ketika kuliah mereka juga satu kampus. Yusuf yang cool, tidak banyak bicara, dan terkesan lemah dari luar selalu mendapat perlindungan ekstra dari Ambar yang punya bakat jadi preman pasar sejak kecil. Ambar yang memberi Yusuf panggilan sayang ‘Ucup’, yang mana itu sempat diprotes Yusuf karena dengan nama itu dirinya jadi tidak terkesan ganteng. Di balik sifat yang berlawanan itu, ada yang membuat mereka cocok. Yaitu sepak bola. Mereka berdua gila bola dan punya ritual yang sudah bertahun-tahun mereka jalani tiap akhir pekan, yaitu nonton siaran langsung sepak bola di atap rumah Ambar yang datar dipayungi oleh ribuan bintang. Begitu terus sepanjang malam menghabiskan bergelas-gelas kopi hingga pagi datang.
Kembali ke dunia Ambar. Pertandingan usai. Ambar masih menunggu di atap rumahnya dengan televisi masih menyala, semua stasiun TV memberitakan kemenangan tim nasional. Udara malam mulai merambat. Suara angin mendesing diluar sana terdengar jelas, Ambar berharap suara itu pecah oleh gerungan mesin motor Yusuf yang Ambar hafal mati suaranya. Sampai lewat tengah malam, deru mesin itu tidak juga terdengar. Ambar tertidur.
* * *
Latihan sepak bola sore itu tidak berjalan begitu baik buat Yusuf. Dua kali mendapat kesempatan tendangan penalti, dua kali itu pula dia gagal mengeksekusinya.
“Payah lu Cup, gitu aja kagak masuk.” Wisnu menjawil pudak Yusuf ketika sedang istirahat di pinggir lapangan.
“Sori. Lagi nggak konsen.” Pikiran Yusuf memang sedang tidak di lapangan.
“Halah, paling juga masalah cewek. Si Cantik ya?”
“Sok tau.”
“Pasti gara-gara tuh cewek. Anak-anak sejurusan pada ngomongin kalian tuh. Nunggu apa lagi sih lu untuk nembak Cantik? Nunggu Indonesia masuk Piala Dunia?” Wisnu menyindir.
“Gue nggak tau gimana cara nyatainnya, Nu.”
“Geblek. Nggak usah mikir yang susah-susah. Mulai dengan cara yang terdekat dulu. Dari sesuatu yang dia suka misalnya. Yang pasti jangan bikin dia nunggu.”
Yusuf meningalkan lapangan rumput itu dengan hati tidak menentu, perkataan Wisnu tadi memberinya sebuah ide dan kebulatan tekad yang amat sangat. Sepatu bola kesayangan di masukkan begitu saja ke dalam tas tanpa membereskannya lebih dulu.
* * *
Indonesia masuk final SEA GAMES, bertemu negara tetangga, Malaysia. Ambar larut dalam euforia kesuksesan tim nasional mencapai final. Tapi kegembiraan itu tetap terasa kurang karena hingga Indonesia sampai di final dia belum sekalipun nonton bersama Yusuf. Ambar tahu sahabatnya itu mungkin saja sedang sibuk menghabiskan waktu bersama Cantik. Tapi dua hari ini Yusuf tidak terlihat di kampus, empat mata kuliah bolos tanpa keterangan yang jelas. Ini tidak biasa, Yusuf pasti cinta mati sama Cantik hingga rela bolos kuliah demi flirting ala anak muda kasmaran. Ambar merasa dunianya dan Yusuf kian menjauh. Dirinya mencoba fair dan realistis, Ambar membatin, “Yusuf ganteng, si Cantik cakep, gue ladang jerawat. Yusuf cool, si Cantik anggun, gue kera sakti. Yusuf Romeo, si Cantik Juliet, gue patung Pancoran. Yusuf sayang Cantik, Cantik sayang Yusuf, gue sayang Yusuf, trus gue disayang siapa dong? Udah lah, ngeliat si monyet buluk itu ketawa juga gue udah seneng banget. Gue mesti kuat. Inget gue ini pernah bikin bonyok tiga preman terminal, masa sama yang ginan aja jadi melow bin cemen.”
Sehari sebelum pertandingan final Indonesia VS Malaysia, Ambar melihat Yusuf di dekat sekretariat jurusan. Bengong. Saat itu hari sabtu, jurusan agak sepi.
“Eh, si monyet baru nongol lu! Kemana aja? Gue kira liburan ke mars.” Ambar menoyor kepala Yusuf.
“Sibuk.” Yusuf pura-pura membaca diktat di tangannya.
“Halah, sotoy. Setau gue nggak ada tugas. Sibuk apaan lu, Nyet?” Ambar menepuk-nepuk pipi Yusuf.
“Gini Bar, lusa elu ada acara?”
“Ada dong! Nonton final tim nasional. Abang-abang PS belakang kampus ngajakin nonton bareng. Rame deh pokoknya, elu mau ikut, Cup?”
“Nggak.” Jawab Yusuf tanpa banyak kata. Yusuf merasakan telapak tangannya berkeringat dingin.
“Iya juga ya Nyet, elu pasti jalan ama Cantik. Oke deh, ntar gue SMS aja hasilnya plus siapa yang cetak gol. Apa elu mau tarohan?”
“Gue nggak mau nonton bareng lu....kalo di rental PS. Gue mau ditempat lain.”
“Dimana?”
* * *
Stadion Gelora Bung Karno.
“MONYEEETTTTT.....Gue nggak nyangka elu ngajak gue nonton langsung ke sini! Di VIP pula!” Teriak Ambar ditengah sorak sorai delapan puluh ribu penonton lainnya. Ambar telah mengecat wajahnya dengan warna merah-putih lengkap dengan jersey tim nasional berbaur dengan ribuan warna merah lainnya.
“Jangan norak deh. Dari sekian ribu penonton, kayaknya elu doang yang heboh.”
“Elu nggak tau sih gimana perasaan gue sekarang!”
Yusuf tersenyum. Betapa leganya dia bisa mengajak Ambar nonton langsung ke stadion. Mengumpulkan nyali untuk mengajak Ambar nonton langsung bukan perkara mudah buat laki-laki setenang Yusuf walaupun sebenarnya mereka sudah lama kenal dekat. Setidaknya untuk kali ini. Ketika di lain sisi dia juga mengumpulkan nyalinya untuk mengatakan sesuatu kepada gadis berantakan di sebelahnya ini. Kepada Ambar, bukan Cantik.
Suasana bising dengan suara terompet dan vuvuzela (sejenis terompet yang digunakan di Piala Dunia Afrika Selatan 2010) menambah keyakinan Yusuf bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk bilang bahwa Ambar adalah wanita impiannya sejak dulu. Tak peduli bahwa fakta menunjukkan Ambar kalah segalanya dari Cantik. Ambar hanya menang jika dilihat dari jumlah jerawat yang dimiliki atau intensitas ngupil dalam sehari. Tapi itulah cinta, merah, bising, penuh gairah, dan hanya butuh sedikit logika. Mirip sepak bola dan suasana petang itu. Dikelilingi warna merah, suara berisik luar biasa, semangat menggebu-gebu, dan seseorang yang sangat disayang berada disisi. Ini yang namanya romantis, batin Yusuf.
Akhirnya Sang Garuda terkapar diterkam Harimau Malaya. Indonesia kalah dan lagi-lagi harus jadi runner-up di bawah Malaysia. Hampir semua penonton malam itu keluar stadion dengan kepala tertunduk.
“Yaaahhhh, kalah lagi kita, Nyet.” Ambar berkata lirih kapada Yusuf. Mereka berjalan ke arah parkiran di timur stadion.
“Kita cuma kurang beruntung. Nanti kalo gue jadi pemain nasional, gue pasti bawa Indonesia juara. Itu mimpi gue.”
“Yah, gue percaya. Udah jutaan kali tuh gue denger yang begituan.”
“Elu tau nggak, Mbar?” Tanya Yusuf tiba-tiba. Udara malam mendadak hangat. Tenggorokan Yusuf seperti menelan biji kedondong, tercekat.
“Apa?”
“Ummm.... Menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah satu hal, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama delapan puluh ribu orang adalah hal lain lagi. Dan...menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama delapan puluh ribu orang dengan bergandengan erat bersama orang yang gue sayang adalah hal yang....luar biasa banget.” Yusuf tidak berani menatap wajah Ambar, merangkai kata saja sudah sangat sulit apalagi harus menatap wajah. Padahal Ambar menatap lekat wajah Yusuf, monyet terganteng menurut Ambar.
“Elu sakit, Nyet? Jangan mendadak bego gini deh. Ke dokter yah, gue anterin.”
“Gue belom selesai ngomong. Gue sayang elu, Mbar. Elu tau kenapa dua hari ini gue nggak masuk kuliah? Gue bolos. Ngantri tiket final disini. Biar bisa nonton bareng elu.”
“Gak tau gue. Gue kira elu jalan sama....”
“Cantik? Simpel, gue dan dia nggak cocok. Tidak ada bola antara gue dan Cantik. Berkali-kali gue coba masuk ke kehidupannya Cantik, tapi nggak pernah gol.” Yusuf merekatkan syal rajut bertuliskan INDONESIA-nya di leher. Ini adalah dimana saat level adrenalinnya berada satu tingkat lebih tinggi ketika dia naik halilintar di Dufan.
“Elu kira kita berdua cocok? Cup, elu itu ganteng. Dari kecil emak-emak aja pada ngefans sama elu. Lah gue, ancur gini. Boro-boro cakep, mandi aja gue jarang. Inget Cup, elu itu Barcelona dan gue Real Madrid. Kita nggak cocok.” Ambar tetap menjaga sikap biasa saja, walaupun sebenarnya jantung hatinya ingin loncat keluar.
“Siapa yang bisa gue ajak nonton bola sampe pagi? Siapa yang teriak paling kenceng kalo gue nyetak gol? Siapa yang bisa gue ajak taruhan dan nggak pernah bayar? Siapa yang cukup gila untuk melakukan semua itu bareng gue?” Yusuf memberi kesempatan Ambar untuk menjawab, tapi Ambar terdiam. “.....cuma elu Ambar. Ada alasan lain selain cocok?”
“Dari kecil gue kenal lu, elu nggak pernah sespontan ini, sebodoh ini.” Ambar dan Yusuf mulai berhadap-hadapan, mereka terhenti tepat di depan patung Kresna yang sedang memanah.
“Sori, bodoh dibagian mana?”
“Nyatain sayang ke gue.”
“Kalo mendeklarasikan sayang ke elu itu bodoh, gue gak mau jadi pinter.” Kata Yusuf dengan ciri khasnya yang tenang, namun kali ini terdengar begitu hangat di telinga Ambar.
“Gombal.”
“Tapi elu suka kan?” Yusuf menggoda. Ambar harus mengakuinya bahwa dia berani bertaruh jika menang lotere dua milyar sekalipun masih kalah bahagianya dengan saat ini. Ambar mencoba untuk tidak termakan gombalan Yusuf dengan mengalihkan pembicaraan.
“Nyet, dari kecil sampe sekarang, adalah sebuah misteri besar untuk gue, beberapa orang, dan mungkin semua umat manusia kenapa kita ini bisa deket. Kadang gue ngerasa dunia kita beda jauh, beda kutub, beda planet.” Ambar melempar pandang ke arah bangunan stadion. Konsentrasi penonton yang tadinya padat perlahan mulai mencair.
“Tapi kenyataannya kita barengan terus kan? Dua buah kutub yang sama nggak pernah bertemu Mbar, hanya tersisa ruang hampa yang sempit di antara mereka. Tapi dua buah kutub yang berbeda akan saling bertemu dan menguatkan, serta menunjukkan arah yang benar ketika kita tersesat. Seperti dua buah magnet dan kompas.” Yusuf meyakinkan wanita impiannya.
“Terus, soal elu Barcelona dan gue Real Madrid gimana?”
“Tim nasional Spanyol juara dunia karena pemain dari kedua klub itu bekerja sama Mbar. Ambar, gue sayang elu.” Yusuf setengah berbisik, telinga Ambar merasakan hawa hangat dari mulut Yusuf.
“.....” Ambar meluluh, dirasakan pipinya yang penuh jerawat merona. Matanya berkaca-kaca. Ternyata dia terlalu naif dalam menilai sahabatnya ini padahal sudah kenal sangat lama, jauh sebelum Barrack Obama ngetop dan BlackBerry diciptakan. Ambar mengira Yusuf sama seperti kebanyakan laki-laki yang menilai wanita hanya dari fisik dan material kasat mata saja. Tiba-tiba dia merasa begitu bodoh dan ingin sekali teriak sekuat tenaga.
“Elu inget puisi Soe Hok Gie yang gue hapalin mati-matian waktu SMP? Yang endingnya kayak gini, ‘kita begitu berbeda dalam semua....’”
“...‘kecuali dalam cinta’. Ya gue tau. Terima kasih untuk semuanya, Nyet. Tiket nonton barengnya, dan rasa sayang yang elu berikan. Jujur, gue udah cukup bahagia dengan keadaan elu ada di samping gue. Nggak peduli gimana keadaannya, yang penting ada elu. Ada bola diantara kita. Gue juga sayang elu.” Ambar tersenyum menatap monyetnya.
Yusuf dan Ambar bertautan tangan erat. Diterangi kembang api kemenangan bagi sang juara. Walaupun bukan milik Indonesia, tapi juga bukan juga milik sang juara Malaysia. Tapi milik hati mereka berdua dalam cinta dan tentu saja, sepak bola. Yusuf akan selalu mengejar mimpinya untuk memenangi Piala Dunia. Dan Ambar bertekad dalam hati untuk selalu jadi cheers leader paling heboh dan norak di pinggir lapangan untuk memapah mimpi-mimpi Yusuf. Mereka berdua berjalan pulang.
“Cup?”
“Ya?”
“Gue sayang elu bukan berarti gue harus ikutan elu ngefans sama Messi kan?”
“Pastinya! Garing dong jadinya kalo elu juga suka Messi. Ga ada bahan taruhan.”
“Sip. Bener, Nyet.”
“Gue nyatain sayang ke elu juga bukan berarti gue mengakui Ronaldo lebih baik dari Messi. Messi tetep yang terbaik.”
“Ronaldo lah yang terbaik.”
“Messi. Kecil-kecil cabe rawit.”
“Ronaldo.”
“Oke deh biar adil dan nasionalis, Bambang Pamungkas aja!”
“Hahaha....setuju!”
Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta....dan sepak bola.