Saturday, 30 November 2013

Resensi Film Sagarmatha

 Sagarmatha.
Dalam Bahasa Nepal berarti Puncak Everest. Puncak tertinggi di dunia. Ngomong-ngomong soal Everest, puncak ini emang nggak akan pernah habis untuk dibahas, diperbincangkan, bahkan dijelajahi sejak Edmund Hillary menginjakkan kakinya di sana. Berbagai buku baik fiksi maupun non-fiksi, film dokumenter, artikel, catatan perjalanan, sampe toko peralatan outdoor menggunakan Everest sebagai menu utama yang ga pernah hambar.
Tanggal 26 November kemaren, sineas Inodenesia, Emil Heradi, mencoba menuangkan idenya lewat film berjudul Sagarmatha. Film ini nyeritain dua orang sahabat bernama Sheila (Nadine Chandrawinata) dan Kirana ( Ranggani Puspandya) yang anak pecinta alam dalam mengejar mimpinya ke Everest. Kalo ada yang bilang ini film genre petualangan seru dan penuh scene survival di negara lain atau alam liar, gue ngerasa kok kurang tepat. Emang sih di awal-awal film kita disuguhkan pemandangan kota-kota kumuh di India, ini membangkitkan ekspetasi gue bahwa ini film petualangan, at least tentang travelling lah. Ternyata isi film ini kebanyakan berisi dialog baik secara verbal atau batin yang begitu dalam dari kedua tokoh beda karakter ini. Gimana ya jelasinnya? Gini, pernah nonton 3 Hari Untuk Selamanya Riri Riza? Ya model gitu deh. Kalo ada yang ngarepin dapet intenenary atau berharap dapet jawaban dari pertanyaan "bagaimana cara ke India dan Nepal dengan budget minimal tanpa nyasar", mending lupain. Karena kita nggak bakal tau dua tokoh sentral dalam cerita ini lagi ada dimana kalo kita ga nyimak dialog mereka yang emosional. Film ini nge-soul banget (ini istilah gue, semoga bisa diterima minimal di tingkat kelurahan), banyak adegan bisu dimana penonton digiring untuk menerka apa sebenernya yang lagi dipikirin si tokoh untuk memecahkan konflik mereka.
Sisi teknis mesti dapet perhatian khusus juga. Gue ga ngerti gimana proses sebuah film hingga bisa gue tonton, tapi gue masih bisa nilai itu film digarap dengan bagus atau nggak. Gue sempet mikir, apakah karena ini film dibuat di tempat yang jauh dan bersuhu ekstrem sehingga hal-hal teknis bisa secara permisif dipinggirkan dan lebih menekankan kepada kualitas isi konflik? Ini cuman si sutradara dan Tuhan yang tau. Kenapa gue bilang sisi teknisnya kurang memuaskan? Salah satunya adalah soal adegan dialog antarpemain. Ketika si Sheila dan Kirana berdialog dengan penduduk Nepal atau bule, sangat gue sayangkan nggak ada subtitle Indonesianya. Emang sih pakai bahasa Inggris, tapi kan nggak semua orang yang nonton gape casciscus Inggris. Emak gue pasti nyerah nonton film yang ada bahasa asingnya ga pakai terjemahan gitu. Belum lagi banyak adegan dialog yang di-cut secara semena-mena dan 'dipaksa' disambungin. Jadi take adegan yang banyak banget itu dijadiin satu frame dan ditumpuk biar jadi adegan utuh. Celakanya, itu sangat kentara. Kalo dalam film yang mebutuhkan set rumit, mungkin masih bisa ditolelir. Jujur, ini mengganggu. Untungnya adegan dialog dengan bahasa asing ini cuma beberapa scene.
Dan gue suka banget sama theme song yang mengalun sepanjang film ini. Musik-musik folk song khas Industan sangat mendukung suasana dramatis dari satu adegan ke adegan lain dalam film. Kalopun denger musik populer, cuman lagu 'Tong Kosong'-nya Slank yang bikin film ini sedikit ceria. By the way, Kaka Slank ngisi salah satu soundtrack di film ini. Kerennya, vokalis Slank ini nyanyi lagu berbahasa India. Konon, ini adalah lagu rakyat favorit Mahatma Gandhi. Ga heran soundtrack ini terkesan sangat sakral. Eh, walopun ada lagu berbahasa India tapi kita ga bakal liat Nadine lari-lari muterin tiang terus joget bareng orang sekabupaten loh ya.
Gimana dengan alur? Walopun ini film yang nge-soul, dimana sebagian besar film model gitu berat dari segi alur, flow film ini cukup mudah diikutin bahkan bisa aja ketebak. Jadi di awal film kita justru ada di tengah timeline persahabatan Kirana dan Sheila. Baru deh di tengah film kita dikasih tau gimana awalnya mereka temenan sampe akhirnya tercetus ide ke Everest. Alur maju-mundur nggak rumit yang masih bisa dimengerti walopun gue tinggal untuk sekedar bales SMS.
Oiya, karakter Nadine di sini memiliki dua sisi yang berlainan. Di satu sisi dia manis banget dan penuh kasih dengan ngajarin anak-anak Nepal baca dan tulis, ngebuat gue tiba-tiba melihat sosok istri gue di masa depan *ini kode*. Di satu sisi yang lain doi bitchy abis dengan adegan ngerokok sampe transaksi beli ganja. Nadine memainkan karakter ini dengan nggak mengecewakan, tapi juga nggak istimewa-istimewa banget. So so.
Yang patut diacungi jempol adalah justru si Kirana dalam diri Ranggani Puspandya. Akting keras, tegas, dan galak tapi tetep melankolis yang dibawain harus dikasih tepok tangan meriah yang ikhlas. Total banget.
Lalu apakah setelah nonton film ini kita akan tertarik untuk ke India, Nepal, trus lanjut ke Everest? I don't think so. Sekali lagi ini film konflik internal para tokoh yang cukup dark (saking dark-nya, ga ada adegan atau dialog humor di film ini), jadi kurang ada pesan yang, let say, mengajak kita untuk mewujudkan mimpi ke Everest. Walopun landscape Everest, Sungai Gangga, Pokara, dan potret human interest di India dan Nepal sanggup menggugah lidah penonton untuk berdecak kagum, bahkan terkejut. Dan gue penasaran, gimana ya tanggapan orang India dan Nepal setelah nonton film ini?
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya film ini sangat layak ditonton. Film ini seperti ingin menyampaikan bahwa terkadang nggak setiap ambisi dan mimpi bisa kita bagi dan lanjutkan. Sebulat apa pun hati bertekad, dan selogis apa pun kepala berlogika. Karena sayangnya ambisi dan mimpi juga ternyata memiliki tapal batas.
Sekian.
*nyeduh kopi*


NB: Penulis adalah orang yang hobi nonton dan siap ditraktir kapan aja untuk nonton.
Share:

Friday, 22 November 2013

Jadi Treking (Wo)Man di Sempu dan Bromo



Gue cukup tertarik ketika ada temen yang ngajak buat liburan ke Malang. Gue sekitar setaunan yang lalu pernah ke Malang, tapi ya gitu, cuman buat kondangan plus ngelilingin alun-alunnya. Nggak puas. Nggak berasa. Ibarat makan duren, gue belom sempet makan buahnya, baru nyium baunya sama ngemut-ngemut kulitnya doang *jontor*.
Makanya, pas ada temen gue yang mau liburan ke Malang, gue dengan pedenya ikutan nebeng. Apalagi tujuannya cukup legend di Malang, yaitu Pulau Sempu dan Gunung Bromo. Hiyaaaa...tanpa mikir panjang sambil bertapa di goanya Batman, gue menyatakan diri ikut.
Jadilah gue dan sembilan orang temen gue berangkat tanggal 15 November. Siang itu untuk pertamakalinya gue naek kereta Matarmaja, kereta paling perkasa menurut gue. Kenapa? Karena kereta ini sanggup manggul puluhan bahkan ratusan tas keril para pendaki. Maklum, kereta ini tujuan Malang, kota dimana terletak gerbang menuju Gunung Semeru.
Lama perjalanan selama 18 jam nggak menyurutkan semangat kami. Begitu sampe di Stasiun Kota Baru, Malang, kami langsung cari angkot yang bisa dicarter menuju Sendang Biru. Sendang Biru ini adalah sebuah pelabuhan untuk menyebrang ke Pulau Sempu. Kami bertemu dengan Pak Nur, seorang sopir angkot dengan kumis melintang kayak net bulutangkis *piss pak*. Orangnya ramah, dan sangat informatif. Bahkan doi bersedia nganterin kami ke warung rawon buat makan siang plus bantuin nyari peralatan kemping buat di Pulau Sempu. Awalnya ongkos semuanya sampe Sendang Biru 350 ribu, tapi setelah gue dan temen-temen nego harga turun jadi 300 ribu. Pas untuk 10 orang patungan ceban-ceban. Kurang baik gimana coba tuh Pak Nur, ibu-ibu pasti bawaannya pengen ngangkat beliau jadi mantu. *loh*
Ternyata Pak Nur cuma nganter kami sampe daerah Pasar Turen, selanjutnya kami dioper ke angkot jurusan Pasar Turen-Sendang Biru. "Tenang, ongkosnya tetep 300 ribu kok." Pak Nur menenangkan gue dan temen-temen yang kuatir jangan-jangan kena ongkos lagi. Ini sudah menjadi peraturan paguyuban angkutan umum di sana, angkot dari Kota Malang yang dicarter tujuan Sendang Biru cuma boleh nganter sampe Pasar Turen. Sisanya, angkot Pasar Turen lah yang nganter sampe Sendang Biru. Pun sebaliknya ketika pulang. Jadi bagi hasil gitu.
Perjalanan dari Turen ke Sendang Biru. Perlu waktu 2 jam dengan kondisi jalan yang sama kayak suasana hati kalo lagi galau, naik-turun. Hmmm...oke, skip aja bagian suasana hati dan galau di atas karena itu murni curcolan gue. Lanjut.
Perjalanan kami ditemani hujan yang cukup lebat. Agak khawatir juga karena gue udah ngebayangin bakal treking bermandikan air hujan. Tapi air hujan lebih baik dari air mata (Ini apaan deh?). Sampe di Sendang Biru, alhamdulilah cuaca cerah. Setelah bayar tiket masuk seharga Rp. 7.500, ngurus perijinan, sewa sepatu (ini optional, tapi gue saranin sih pake sepatu ini. Bentuknya kayak sepatu bola yang ada pul-nya), nego perahu, benerin celana yang melorot, plus memilih seorang penduduk lokal yang paling representatif buat dijadiin porter.
Setelah nyebrang dari Pelabuhan, sampailah gue di Pulau Sempu. Pulau yang sebenernya cagar alam dan tempat penelitian. Eng, ing, eeeengg...treking pun dimulai. Gue menyusuri jalur treking ini dengan langkah pelan, karena selain bawa tas keril yang beratnya nggak ada obat, juga karena ada beberapa genangan air yang mesti gue hindari. Hujan tadi bikin tanah di pulau ini jadi licin. Salah pilih langkah sedikit aja, muka ganteng gue (versi emak) bisa nyublek ke kubangan lumpur.
Perjalanan gue makin dipersulit karena banyaknya pohon tumbang gede-gede banget melintang di jalan yang cuman satu-satunya. Semua umat manusia yang mau lewat punya tiga pilihan:
1. Loncatin batang pohon itu
2. Tiarap, terus ngesot lewat bawah
3. Sewa alat berat, crane, atau nyuruh Hercules buat mindahin tuh pohon. Yaaa, opsi ini sih kalo lo niat aja.

Komposisi naek-turunnya jalur ini juga fifty-fifty, jadi fair. Ga usah seneng dulu kalo dapet trek menurun, karena bisa dipastikan di depan dibales sama tanjakkan yang bikin betis tereak terus dadah-dadah ke kamera. Nyerah.
Di tengah jalan, ujan turun dengan derasnya. Trek yang naek-turun, penuh akar pohon, bebatuan karang, lumpur licin, pohon tumbang, dan sekarang ditambah ujan. Tepuk tangan dong, gue dapet paket kombo kumplit. Kecepatan jalan kami yang udah pas-pasan jadi makin lambat. Lumpur udah setinggi betis. Jalan makin licin, dan beban jadi makin berat karena baju jadi basah.
Secercah harapan muncul ketika gue ngeliat sesuatu yang hijau di balik hutan. Bukan, itu bukan cendol. Itu adalah Danau Segara Anakan. Sebuah danau air asin dengan dinding karang raksasa dan dapet asupan air langsung dari Samudera Hindia. Di tepi danau itu lah tujuan kami, tempat tenda akan didirikan. Gue kira dengan sudah terlihatnya Segara Anakan perjalanan tinggal dikit lagi, tinggal salto gaya miring doang bisa sampe. Ternyata sodara-sodara apa yang terjadi???
*drum roll*
Ga terjadi apa-apa. Gue hanya mendapati jalan setapak penuh batu karang tajem. Bener-bener setapak. Itu pun satu orang jalannya kudu miring karena di satu sisi tebing tanah yang bisa longsor kapan aja tanpa memandang sekarang Syahrini model jambulnya lagi model apa. Sedangkan di sisi lain adalah jurang Segara Anakan yang kita ga berapa meter dalemnya. Trus gimana kalo papasan sama orang dari arah sebaliknya? Salah satu mesti ngalah. Apakah dengan memanjat tebing tanah yang licin, atau melipir ke arah jurang sambil pegangan sekuatnya ke apa pun buat nahan berat badan. Kecuali lo punya ilmu terbang, lo ga usah kuatir.
Kira-kira gitu deh gambaran treking gue di Sempu. Segitu itulah harga yang mesti gue tebus untuk 'sekedar' ngelurusin kaki di bawah bulan purnama dan beberapa butir bintang jatuh di Segara Anakan.

***

Seluruh kegiatan gue dan temen-temen di Sempu berakhir tengah hari keesokan harinya, di hari minggu siang. Dan sesuai kesepakatan bersama, tengah malem nanti kita mau langsung ke Bromo. Gue sempet kuatir sama fisik gue dan temen-temen, kita baru aja kelar treking PP dengan medan yang ga santai. Tapi temen-temen gue tetep semangat.
Jadilah Senin dini hari itu sekitar jam setengah satu kami sudah berada di Desa Tumpang. Tumpang adalah meeting point kami dengan pemilik jeep yang sudah kami pesan. Desa ini juga gerbang para pendaki yang mau ke Semeru. Sedikit gambaran nih yang mau ke Bromo via Tumpang. Jalur ini adalah jalur yang minim fasilitas. Dari awal aja kita udah harus nyewa jeep karena jalan ke sana yang nanjak asoy geboy. Beda kalo kita lewat Probolinggo, yang masih bisa pake mobil biasa. Trus lagi, kalo via Tumpang susah banget nyari homestay. Kalopun ada, harganya mahal banget. Makanya dengan pertimbangan itu rombongan gue nyewa penginapan murah deket stasiun buat drop barang bawaan, trus tengah malem baru deh capcus ke Tumpang.
Ga sampe setengah jam gue nunggu Pak Rudy, si empunya jeep, beliau datang dengan jeep hardtop kapasitas 10 orang sesuai pesanan. Harganya untuk paket full tur Bromo via Tumpang adalah 900 ribu. Ga bisa kurang karena itu adalah harga standar yang dipatok persatuan pengusaha jeep di sono. Gimana kalo lebih mahal? Lo bisa cari jeep lain, banyak kok. Simpel.
Dari Tumpang, kami dibawa ke pos masuk TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) di pertigaan Jemplang. Kabut turun pekat banget, ini karena musim ujan. Udara dinginnya jangan ditanya lagi, 5 derajat celcius cyiiin. Cukup buat bikin bulu ketek jadi kaku. Tapi Pak Rudy bilang, kalo musim kemarau bisa sampe minus 2 derajat. Glek. Itu mah bulu ketek bukan cuman kaku, tapi bisa jadi paku buat jinakin kuntilanak.
Kami melanjutkan perjalanan melewati desa terakhir di daerah administratif Malang bernama Ngadas ke Gunung Penanjakkan buat liat sunrise. Pak Rudy memarkir jeepnya dan kami jalan menanjak menuju tangga penanjakkan. Baru menuju tangga loh ya, bukan puncaknya. Jalannya aspal yang berkelok-kelok dengan kecuraman sadis. Treking lagi, treking lagi, kata gue dalem hati. Ada sekitar 4-5 tanjakkan di tiap belokan. Ketika jalan aspal itu berakhir, gue disuguhkan deretan anak tangga menuju ke atas. Kata tukang sewa kuda, ada 250-an anak tangga. Gue mah boro-boro ngitung anak tangga, napas gue aja udah senen-kemis. Baru beberapa jam lalu gue kelar treking di Sempu, sekarang kudu memforsir fisik buat sampe di puncak Penanjakkan. Betis gue? Gue ga sanggup ngeliatnya, mungkin udah tumbuh konde penuh urat. Tapi dengan tekad yang ribuan kali lebih kuat dari baja, mata yang lebih sering menatap ke atas, dan mulut yang ga berhenti mengucap doa, gue sampe di puncak Penanjakkan dan menikmati sunrise. *ter 5cm* *dicium Raline Shah*
Kelar? Belom. Abis nikmatin sunrise, kami ke kompleks Gunung Bromo. Dari parkiran jeep, kita mesti jalan atau nyewa kuda buat ke Puncak Kawah Bromo. Setelah puas makan semangkok bakso Malang pake nambah, gue mulai lagi treking ke puncak Bromo. Menyusuri lautan pasir, celah-celah pasir, dan tangga di punggung Bromo yang gosipnya jumlah anak tangganya beda saat naik dan turun. And again, ngitung anak tangga bukan prioritas gue saat itu. Kaki gue udah berasa mau copot, betis gue rasanya tebel, pinggang kayaknya mengecil saking banyaknya jalan kaki. Walaupun begitu gue sampe juga di puncak Bromo. Foto-foto di bibir kawahnya, istirahat sambil memandangi lautan awan dan pasir yang menyatu di garis cakrawala *nelen buku Kahlil Gibran*. Dan ada aja yang bikin kesel, karena masih ada ORANG TOLOL yang nyorat-nyoret pagar pembatas di bibir kawah.
Treking di Bromo hari itu diakhiri dengan gue makan Bakso Malang lagi. Ini info nggak penting, tapi jadi penting karena rasanya enak banget. Udah gitu yang jual juga baik, dia kasih gue free pangsit pas nambah.
Berakhirnya tur Bromo, berakhir pula petualangan gue dan temen-temen di Malang. Kami kembali ke Jakarta dengan naik kereta paling perkasa lagi. Nggak banyak yang kami obrolin di jalan pulang, karena semuanya kalap tidur sampe mulut mangap kayak buaya nguap. Maklum, dua hari liburan semuanya kita jadi Treking (Wo)Man. Dan selama liburan itu pula kita ga pernah tidur di kasur. Waktu tidur kita habiskan di tenda, angkot, jeep, dan kereta. Lelah kami, jangan ditanya. Tapi kegembiraan kami jauh lebih besar =) *seduh kopi*

NB: Foto-foto nyusul ya. Sekalian ntar gue kasih tips buat yang mau ke Sempu dan Bromo via Tumpang di post berikutnya. *Ngilang*
Share: