Sagarmatha.
Dalam Bahasa Nepal berarti Puncak Everest. Puncak tertinggi di dunia.
Ngomong-ngomong soal Everest, puncak ini emang nggak akan pernah
habis untuk dibahas, diperbincangkan, bahkan dijelajahi sejak Edmund
Hillary menginjakkan kakinya di sana. Berbagai buku baik fiksi maupun
non-fiksi, film dokumenter, artikel, catatan perjalanan, sampe toko
peralatan outdoor menggunakan Everest sebagai menu utama yang ga
pernah hambar.
Tanggal 26 November kemaren, sineas Inodenesia, Emil Heradi, mencoba
menuangkan idenya lewat film berjudul Sagarmatha. Film ini nyeritain
dua orang sahabat bernama Sheila (Nadine Chandrawinata) dan Kirana (
Ranggani Puspandya) yang anak pecinta alam dalam mengejar mimpinya ke
Everest. Kalo ada yang bilang ini film genre petualangan seru dan
penuh scene survival di negara lain atau alam liar, gue ngerasa kok
kurang tepat. Emang sih di awal-awal film kita disuguhkan pemandangan
kota-kota kumuh di India, ini membangkitkan ekspetasi gue bahwa ini
film petualangan, at least tentang travelling lah. Ternyata isi film
ini kebanyakan berisi dialog baik secara verbal atau batin yang
begitu dalam dari kedua tokoh beda karakter ini. Gimana ya
jelasinnya? Gini, pernah nonton 3 Hari Untuk Selamanya Riri Riza? Ya
model gitu deh. Kalo ada yang ngarepin dapet intenenary atau berharap
dapet jawaban dari pertanyaan "bagaimana cara ke India dan Nepal
dengan budget minimal tanpa nyasar", mending lupain. Karena kita
nggak bakal tau dua tokoh sentral dalam cerita ini lagi ada dimana
kalo kita ga nyimak dialog mereka yang emosional. Film ini nge-soul
banget (ini istilah gue, semoga bisa diterima minimal di tingkat
kelurahan), banyak adegan bisu dimana penonton digiring untuk menerka
apa sebenernya yang lagi dipikirin si tokoh untuk memecahkan konflik
mereka.
Sisi teknis mesti dapet perhatian khusus juga. Gue ga ngerti gimana
proses sebuah film hingga bisa gue tonton, tapi gue masih bisa nilai
itu film digarap dengan bagus atau nggak. Gue sempet mikir, apakah
karena ini film dibuat di tempat yang jauh dan bersuhu ekstrem
sehingga hal-hal teknis bisa secara permisif dipinggirkan dan lebih
menekankan kepada kualitas isi konflik? Ini cuman si sutradara dan
Tuhan yang tau. Kenapa gue bilang sisi teknisnya kurang memuaskan?
Salah satunya adalah soal adegan dialog antarpemain. Ketika si Sheila
dan Kirana berdialog dengan penduduk Nepal atau bule, sangat gue
sayangkan nggak ada subtitle Indonesianya. Emang sih pakai bahasa
Inggris, tapi kan nggak semua orang yang nonton gape casciscus
Inggris. Emak gue pasti nyerah nonton film yang ada bahasa asingnya
ga pakai terjemahan gitu. Belum lagi banyak adegan dialog yang di-cut
secara semena-mena dan 'dipaksa' disambungin. Jadi take adegan yang
banyak banget itu dijadiin satu frame dan ditumpuk biar jadi adegan
utuh. Celakanya, itu sangat kentara. Kalo dalam film yang mebutuhkan
set rumit, mungkin masih bisa ditolelir. Jujur, ini mengganggu.
Untungnya adegan dialog dengan bahasa asing ini cuma beberapa scene.
Dan gue suka banget sama theme song yang mengalun sepanjang film ini.
Musik-musik folk song khas Industan sangat mendukung suasana dramatis
dari satu adegan ke adegan lain dalam film. Kalopun denger musik
populer, cuman lagu 'Tong Kosong'-nya Slank yang bikin film ini
sedikit ceria. By the way, Kaka Slank ngisi salah satu soundtrack di
film ini. Kerennya, vokalis Slank ini nyanyi lagu berbahasa India.
Konon, ini adalah lagu rakyat favorit Mahatma Gandhi. Ga heran
soundtrack ini terkesan sangat sakral. Eh, walopun ada lagu berbahasa
India tapi kita ga bakal liat Nadine lari-lari muterin tiang terus
joget bareng orang sekabupaten loh ya.
Gimana dengan alur? Walopun ini film yang nge-soul, dimana sebagian
besar film model gitu berat dari segi alur, flow film ini cukup mudah
diikutin bahkan bisa aja ketebak. Jadi di awal film kita justru ada
di tengah timeline persahabatan Kirana dan Sheila. Baru deh di tengah
film kita dikasih tau gimana awalnya mereka temenan sampe akhirnya
tercetus ide ke Everest. Alur maju-mundur nggak rumit yang masih bisa
dimengerti walopun gue tinggal untuk sekedar bales SMS.
Oiya, karakter Nadine di sini memiliki dua sisi yang berlainan. Di
satu sisi dia manis banget dan penuh kasih dengan ngajarin anak-anak
Nepal baca dan tulis, ngebuat gue tiba-tiba melihat sosok istri gue
di masa depan *ini kode*. Di satu sisi yang lain doi bitchy abis
dengan adegan ngerokok sampe transaksi beli ganja. Nadine memainkan
karakter ini dengan nggak mengecewakan, tapi juga nggak
istimewa-istimewa banget. So so.
Yang patut diacungi jempol adalah justru si Kirana dalam diri
Ranggani Puspandya. Akting keras, tegas, dan galak tapi tetep
melankolis yang dibawain harus dikasih tepok tangan meriah yang
ikhlas. Total banget.
Lalu apakah setelah nonton film ini kita akan tertarik untuk ke
India, Nepal, trus lanjut ke Everest? I don't think so. Sekali lagi
ini film konflik internal para tokoh yang cukup dark (saking
dark-nya, ga ada adegan atau dialog humor di film ini), jadi kurang
ada pesan yang, let say, mengajak kita untuk mewujudkan mimpi ke
Everest. Walopun landscape Everest, Sungai Gangga, Pokara, dan potret
human interest di India dan Nepal sanggup menggugah lidah penonton
untuk berdecak kagum, bahkan terkejut. Dan gue penasaran, gimana ya
tanggapan orang India dan Nepal setelah nonton film ini?
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya film ini sangat layak
ditonton. Film ini seperti ingin menyampaikan bahwa terkadang nggak
setiap ambisi dan mimpi bisa kita bagi dan lanjutkan. Sebulat apa pun
hati bertekad, dan selogis apa pun kepala berlogika. Karena sayangnya
ambisi dan mimpi juga ternyata memiliki tapal batas.
Sekian.
*nyeduh kopi*
NB: Penulis adalah orang yang hobi nonton dan siap ditraktir kapan
aja untuk nonton.
0 komentar:
Post a Comment