Saturday, 27 December 2014

Review Film: Pendekar Tongkat Emas

Perguruan Sayap Merah, Harimau Sakti, Pendekar Naga Putih, hingga jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi. Nama-nama semacam itu pasti familiar sama para penikmat kisah silat jaman dulu. Klasik dan sederhana.

Begitu juga kesan yang timbul ketika gue selesai nonton Pendekar Tongkat Emas. Tema yang diangkat film ini simpel banget, tentang dendam dan pengkhianatan. Khas film silat jaman dulu. Ga perlu energi berlebih untuk menikmati alur dan pesan-pesan yang disampaikan film ini.

Tapi soal eksekusi ide, Pendekar Tongkat Emas ga bisa dibilang sederhana. Keliatan banget film ini ga digarap secara asal jadi. Koreo silatnya luar biasa, lebih luar biasa karena dilakukan oleh aktor dan aktris yang ga biasa main di genre action. Eva Celia misalnya, doi sukses membawakan peran Dara dengan cukup baik. Dan gerakan-gerakan silatnya sama sekali nggak kaku. Sebuah bukti bahwa film ini memakan waktu persiapan yang nggak sebentar. Karena mengarahkan bukan pemain action melakukan gerakan martial art dengan halus, harus melalui tahapan latihan yang ga gampang.

'Kemewahan' film ini juga tergambar jelas dari setting lokasinya. Full mengambil setting di savana dan perkampungan di Sumbawa Timur plus scene-scene landscape luar biasa, sangat mendukung jalan cerita. Mira Lesmana dan Riri Riza banget nih, yang 'ngejual' landscape suatu daerah. Sumbawa Timur mesti siap-siap jadi Belitung pasca Laskar Pelangi.

Di cerita film ini setting lokasi dan waktu emang ga disebutin secara spesifik dimana dan pada zaman apa konflik terjadi. Penonton dibiarin menginterpretasikan sendiri karena ini murni cerita fiksi.

Ada beberapa plothole kecil yang semestinya bisa dieksplor lagi dalam film ini. Tapi ngga ganggu jalan cerita secara keseluruhan kok.
Di beberapa adegan juga ada teknik animasi visual yang kurang halus. Untungnya scene semacam itu cuma sekelebatan lewat.

Kabarnya film ini dimodalin dengan dana 25 miliar. Sebuah angka yang sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. Bisa balik modal atau nggak nih film, kembali ke selera pasar. Yang suka baca karya Bastian Tito atau bahkan komik stensilan Tatang S, kudu nonton deh. Saksikan sendiri jurus pamungkas Tongkat Emas Melingkar Bumi yang melegenda.

Soal akting? Nicholas Saputra, Reza Rahardian, Slamet Rahardjo, dan Christine Hakim, adalah nama-nama yang bisa dijadiin jaminan.

Untuk yang rindu film silat asli Indonesia tanpa adegan sadis dengan darah berceceran, atau film silat realistis tanpa ada jurus semacam kamehameha dan naga terbang, film Pendekar Tongkat Emas adalah jawabannya =)

Share:

Sunday, 21 December 2014

Video Stop Motion

Tanggal 20 Desember, ada temen gue yang ulang tahun. Pagi-pagi grup WA udah rame dengan ucapan selamat ke temen gue itu.

Gue memikirkan sesuatu yang beda dari sekedar ucapan secara texting dari keypad HP. Ah, kenapa gue nggak bikin video aja. Tapi video yang kayak gimana? 

Belakangan, gue sering liat iklan yang seliweran di LCD lift kantor gue visual produk yang di promosikan lewat video. Video ini cuma berisi tulisan tangan tapi dengan huruf-huruf yang muncul sendiri. Awalnya gue kira teknik ini pakai teknologi aplikasi komputer. Tapi ternyaya nggak sesusah itu.

Gue yang penasaran ini langsung nyari tau. Dan akhirnya setelah googling sana-sini ketemu deh, jadi teknik pengambilan gambar itu bernama stop motion. Selain untuk efek tulisan yang bisa muncul sendiri, stop motion ini bisa juga dipakai kalo kita mau bikin scene dengan objek yang pindah-pindah dengan cepet tapi dalam satu frame yang sama.

Dengan bermodalkan kamera HP 8MP di Samsung Grand 2, gue nyoba-nyoba 'jurus' baru ini. Aplikasi yang dipakai pertama adalah "Lapse It". Nah aplikasi ini yang ngebantu banget buat bikin efek stop motion-nya. Lu bisa setting jeda waktunya mulai dari satuan milisecond sampe menit. Tinggal syut deh objek yang mau 'dipindahkan' dalam satu frame itu. Cuma lu kudu sabar. Kunci keberhasilan efek stop motion ini adalah, kita harus sering-sering mencet pause and play.

Kebetulan gue pengen nyoba buat ngucapin selamat ulang tahun ke temen gue. Jadilah gue coba bikin sebuah video sederhana. Sayangnya gue ga punya alat yang bikin kamera HP tetep stabil. Jadi agak goyang.

Setelah selesai ngambil gambar, gue retouch deh pakai Viva Video. Hasilnya gini nih: 




Share:

Wednesday, 17 December 2014

Review Film: Stand By Me Doraemon

Umur gue sekarang 26 tahun, dan gue udah ngikutin serial kartun Doraemon dari pas masih Taman Kanak-kanak. Beranjak SD, baru deh gue kenal sama komik-komiknya baik yang seri atau serial petualangan robot kucing warna biru ini. Itu berarti, Doraemon udah jadi bagian penghias masa kecil gue, penghibur masa remaja gue, dan instrumen nostalgia bagi gue yang sekarang sedang menuju tahap dewasa.

Sepulang kerja kemaren, gue nyempetin nonton serial Doraemon yang dikemas secara 'the movie' berjudul Stand by Me Doraemon. Gue lumayan excited, karena dari jauh-jauh hari film ini digadang-gadang bakalan jadi movie Doraemon paling booming. Teaser filmnya memberikan petunjuk bahwa inilah saat yang tepat bagi Doraemon untuk berpisah dengan Nobita, dan sekian juta penggemarnya. Dan film ini dikemas dalam format animasi, keluar dari patron movie-movie sebelumnya yang kartun. Siapa coba yang ga penasaran?

Sepanjang film, gue terkagum-kagum sama kualitas animasinya. Iyalah, Jepang punya gitu loh. Gestur-gestur karakternya jauh lebih real. Komedi-komedinya yang terselip atau yang slapstick dibungkus lumayan rapih dan sanggup bikin gue ngakak di beberapa  bagian. Ya, cuma di beberapa bagian, padahal gue ngarep lebih. Karena ternyata animasi yang bagus itu menurut gue justru jadi bumerang buat film ini.

Penonton yang biasa nonton Doraemon berbentuk kartun, bakalan pangling sama karakter-karakter yang udah puluhan tahun melekat di otak dan hati. Terutama untuk karakter Nobita. Gue kok kayak yang kehilangan muka komikalnya Nobita ya. Tetep lucu sih, tapi muka melas Nobita pas minta tolong Doraemon di serial kartunnya adalah yang terbaik. Dan ini sih selera gue aja ya, salah satu faktor 'gagal'nya kelucuan di beberapa adegan adalah karena dubber untuk Suneo ga selucu dubber versi Indonesia. Again, ini selera gue. Pengisi suara tokoh lain boleh berubah, tapi untuk Suneo sih kalo bisa jangan =D

Gimana dengan alur? Film ini mengambil potongan-potongan serial per judul versi program TV atau komiknya. Lalu di sisipkan adegan-adegan tambahan supaya alur ceritanya nyambung. Untuk yang sekedar tau Doraemon, bakalan bilang bagus dan menganggap ini adalah film Doraemon paling kece. Tapi buat yang udah puluhan tahun ngikutin Doraemon apalagi ngoleksi komiknya, kemungkinan besar nggak bakal nemuin sesuatu yang istimewa kecuali scene-scene dan dialog-dialog yang meharukan. Yak, scene dan dialog mengharukan ini didukung sama background musik yang oke punya. Bikin emosi tumpah.

Dan pada akhirnya pasti pada nanya:" bagus nggak filmnya?"
Gue nggak biasa bilang bagus atau nggak. Tapi gue bisa bilang film ini menghibur dan layak tonton. Ga rugi deh ngeluarin duit buat nonton.

Selamat nonton.... =D
Share:

Sunday, 14 December 2014

Nasi Goreng Daun Mengkudu

Yang bisa bangunin gue pagi-pagi pas gerimis di weekend adalah genteng kamar yang bocor dan wangi nasi goreng. Nasi goreng yang masih meletup-letup di wajan.

Pagi ini encing gue masak nasi goreng daun mengkudu. Nasi goreng unik. Gue kurang tau ini khas Betawi atau bukan, tapi gue belom nemuin nasi goreng ini selain di Betawi.

Apa bedanya nasi goreng ini dengan spesies nasi goreng kebanyakan? Ya jelas di daun mengkudunya. Kalo biasanya nasi goreng bertoping gulungan telor dadar, nah ini taburannya adalah irisan daun mengkudu. Ciri lainnya adalah warnanya yang kuning. Kalo diliat sepintas, mirip tumpeng atau nasi kuning. Warna dominan kuning ini berasal dari kunyit. Jadi secara tampilan nasi goreng ini juga  colorful abis. Warna kuning nasinya 'bertabrakan' sama hijau layu daun mengkudunya. Plus aksen merah rintik-rintik dari tumbukan cabe. See? Cocok deh kayaknya buat hidangan natal kalo bisa ngeplatingnya.

Selain rasanya yang enak tingkat "sayang, I love you so much", makanan ini juga sehat. Kalo dari yang gue baca sih kandungan di daun mengkudunya ada antibakteri yang bisa nyembuhin jerawat batu. Buat cewek penting nih, daun mengkudu juga bisa meredakan penyakit pas PMS. Jadi bisa mengontrol fluktuatifnya hormon, sehingga turun naiknya mood juga bisa terkendali. Noh buat cowok-cowok yang punya cewek suka berubah mendadak jadi pemeran antagonis di sinetron Tersanjung, cekokin daun mengkudu aja yang banyak. Yang terpenting daun ini mengandung antioksidan tinggi, bisa cegah kanker serviks dan payudara.

Dulu waktu kecil, nyokap selalu menghidangkan nasi goreng ini buat sarapan. Gue sampe bosen makannya. Tapi sekarang bisa sarapan nasi goreng ini adalah rejeki dan berkah yang berbeda daripada makan nasi goreng biasa. Sebab nggak tiap hari nyokap atau encing gue bisa masak nasi goreng ini. Karena pohon daun mengkudu udah jarang, di Betawi khususnya. Kalopun ada, ya beli.

Jadi gimana? Ada yang mau join buka warung nasi goreng daun mengkudu bareng gue? Setau gue, nasi goreng ini belom ada yang menggunakannya untuk kepentingan komersil. Yuk? =D

Selamat sarapan...



Share:

Saturday, 6 December 2014

Filosofi Duren

Warnanya hijau, bentuknya kayak molen Kartikasari. Tampilannya jadi lebih cantik dengan paper craft yang membungkusnya. Nggak perlu waktu lama untuk menarik seseorang tergoda memakannya. Termasuk gue.

Di gigitan pertama, kulit hijaunya yang mengadopsi gaya plus tekstur dari dadar gulung terasa licin tapi lembut. Setelah gigi gue berhasil merobeknya, ada sensai lumer di mulut. Untuk sesaat gue menikmatinya sebelum sadar bahwa lidah gue mengecap rasa...duren! Yeaks, duren! Ternyata kue warna hijau itu berisi daging duren. Oleh-oleh bos gue yang baru balik dinas dari Pekanbaru. Karena ga enak sama si bos, terpaksa gue abisin sepotong tuh kue. Abis itu nyerah.

Duren ini unik, baik dari segi rasa, bentuk, sampe cara orang memandang dan menyukainya. Gue nggak mau nulis tentang rasa dan bentuk duren, semua pasti udah pada tau. Gue bakal ngomongin tentang, katakanlah, relationship antara buah yang efektif banget dijadiin senjata pas tawuran ini dengan para penikmat dan haters-nya.

Sample pertama, orang yang ga suka duren. Ga perlu jauh-jauh ke ujung Bekasi buat nyari contoh orang yang sama sekali ga suka duren. Orang itu adalah gue. Gue nggak suka duren bukan karena rasanya yang ga enak. Tapi karena ribet. Mulai dari ngupas sampe fase pascamakan, duren memerlukan treatment khusus yang ga gampang. Beda jauh sama sosis yang tinggal jlebh. Yang paling mengganggu adalah aromanya. Kalo dicium sesaat sih enak. Tapi kalo kelamaan, gue ga kuat. Mending nyium kening Raisa.

Udah gitu setelah makan, hawanya masih berasa di mulut sampe waktu yang lumayan lama. Kalo gue sendawa, ekstraknya masih nyangkut di tenggorokan. Yaks, gue ga suka.

Sample kedua. Temen gue yang suka banget sama duren. Dia pernah bilang ke gue yang antiduren ini, "Ah, lo ga bisa nikmatin surga dunia!" Katanya sambil makan duren dengan biji-bijinya.

Dia ini pecinta duren garis keras. Kalo tiap musim duren tiba, dia pasti borong duren. Karena seperti kata pepatah, dimana ada tukang duren di situ ada duren yang dijual.

By the way, beda dengan gue yang ogah dengan segala kerepotan makan duren. Dia mah ga peduli. Ngupas duren yang ribet, ga masalah buat dia. Kalo perlu pinjem keris Empu Gandring buat ngupas kulitnya. Bau duren yang menyengat, adalah doping baginya. Makan semata demi semata daging duren itu sakral banget, sampe bersih, bijinya diisep-isep sampe pucet.

Begitulah duren dengan segala keunikannya. Gue nggak bisa menyamakan duren dengan cokelat atau es krim yang semua orang suka. Tapi kalopun gue harus memilih apakah akan menjadi es krim, cokelat, atau duren, maka gue memilih jadi duren.

Alasannya: ga semua orang suka duren. Tapi sekalinya ada yang suka, itu pake banget. Candu. Dan cinta tanpa syarat.




Share:

Saturday, 29 November 2014

Cinta Pertama: Kopi Campur Garam

Stadion Camp Nou, Barcelona, tahun 1999. Gue masih inget betul kombinasi tempat dan waktu untuk pertama kalinya gue mengenal kopi. Saat itu final Liga Champions Eropa sedang berlangsung antara MU melawan Bayern Muechen. Gue nonton secara langsung. Lewat layar kaca.

Gue yang waktu itu masih SD hobi banget sama sepak bola. Tapi nggak pernah nonton full satu pertandingan karena pasti ketiduran. Di saat itulah temen nonton bareng gue nawarin segelas gede kopi tubruk. Konyolnya, temen gue ini menyampurkan kopinya dengan garam. Kata dia sih kopi pakai garam lebih efektif menjaga mata tetap segar. Gue yang baru mengenal kopi ini nurut aja. Dan sampai sekarang, kalo diinget-inget itu adalah rasa kopi paling aneh yang pernah gue minum. Dan khasiatnya yang menurut temen gue lebih dari kopi biasa, tetap jadi misteri hingga kini.

Dan mulai dari hari itulah hari-hari kopi menemani gue sebagai penikmat sepak bola dimulai. Gue menjadi 'omnivora' kopi kalo nonton bola. Peminum segala jenis kopi. Kopi tubruk, kopi susu, capuccino, apa aja deh, yang sachet atau racik sendiri, selama ada aroma kopinya, seruput abis! Nggak ada partner nonton bola sesetia kopi. Tapi tentu saja nggak pernah lagi pakai garam.

Kopi adalah jodoh bagi apa pun makanan yang gue cemil pas nonton bola. Mulai dari pisang keju sampe kripik bayam, semuanya cocok bersanding dengan minuman dari surga ini.

Hasil dari pertandingan MU VS Bayern Muenchen di tahun 1999 itu adalah 2-1 untuk kemenangan dramatis MU. Kemenangan yang mampu mengubah senyum Lothar Matthaus menjadi tangis hanya dalam waktu kurang dari dua menit.

Gue akan selalu inget itu. Gue nggak pernah suka MU, tapi melihat Sir Alex dan Class of 92-nya mengangkat trofi 'Si Kuping Lebar' sambil gue menikmati segelas kopi tubruk kental, gue juga ikut larut dalam kegembiraan.

Kopi bisa mengubah muram durja menjadi suka kebahagiaan dalam waktu kurang dari dua menit.

Mari ngopi.


Facebook: https://m.facebook.com/yosfiqar.iqbal.3?ref=bookmark
Share:

Saturday, 15 November 2014

Tentang Surat Izin Mengemudi

Jalanan Jakarta nggak pernah kehabisan cerita. Mulai dari macet nggak ada ujung, sampe lampu lalu lintas yang kehilangan fungsinya di depan ribuan mesin beroda.

Suatu waktu di perjalanan pulang abis dinner bareng pacar di Semanggi, gue ngambil jalur memotong supaya bisa tembus di daerah Kebon Jeruk. Setelah rel arah Pakubuwono, gue terkejut. Kok banyak pemotor yang puter arah ya? Ada apa di depan sana? Ada kompeni nyari si Pitung kah?

Setelah lumayan deket, baru gue tau kalo malem itu ada razia polisi yang targetnya adalah para pengendara motor. Mereka yang motornya rapih, perlengkapan safety komplit, dan surat-surat berkendara lengkap pastinya pede-pede aja. Gue sebenernya deg-degan juga karena SIM C gue udah mati dari bulan Mei. Tapi untungnya jalur yang gue ambil nggak dijaga polisi. Aman.

Gue yakin mereka yang tadi puter arah adalah sebagian besar karena surat-surat berkendara mereka nggak lengkap atau udah expired kayak punya gue. Karena gue liat motor-motor itu rapih-rapih, dalam artian secara fisik, nggak ada alesan untuk pak polisi nilang mereka.

Nah kalo gue persempit lagi, keenggaklengkapan surat-surat berkendara mereka adalah karena nggak punya SIM. Atau punya SIM tapi udah nggak berlaku. Atau punya SIM yang masih berlaku tapi nggak pede karena fotonya foto tetangga.

Kenapa mereka pada nggak punya SIM tapi punya motor? Nah ini menariknya. Gue ceritain satu-satu. Kebanyakan orang bukannya nggak mau bikin SIM. Tapi bro, bikin SIM secara murni itu susahnya bukan maen.

Gue ngerasa termasuk yang beruntung karena bisa bikin SIM C secara murni. Gue anggap ini sebuah keajaiban. Lima tahun yang lalu, jauh sebelum Raffi-Nagita pedekate, gue berhasil lulus dalam serangkaian tes pembuatan SIM. Mulai dari tes kesehatan mata, soal kewarganegaraan, tes tulis sampe yang paling susah yaitu simulasi berkendara. Kalo lulus semua tes itu tanpa ada undertable cost sana-sini cuma abis sekitar 75 ribu. Konsekuensinya, mesti sabar dari jam setengah tujuh pagi sampe jam enam sore. Yang ngaku ganteng, coba bikin SIM sendiri, terus liat setelah lulus masih ganteng apa berubah jadi Rambo kalah perang. Waktu yang lama itu dikarenakan kita harus ngantri sama pemohon SIM lainnya. Belom lagi kalo diselak sama mereka yang menggunakan calo.

Itu lah salah satu yang bikin orang males punya SIM. Ada sih jalan pintas, yaitu dengan nembak. Tapi semua tau itu nggak murah.

Tapi ya udah, gue bukan mau ngeritik cara instansi tertentu menerbitkan SIM. Tapi gue cuma mau nuangin ide tentang SIM ini. Sukur-sukur bisa didenger.

Begini. Waktu ada razia polisi lalu lintas, coba liat banyakan mana mereka yang coba menghindar atau mereka yang tenang-tenang aja? Sejauh pengalaman gue sih, mereka yang panik jauh lebih banyak. Dan sebagian besar karena belom punya SIM atau SIM-nya bermasalah. Apalagi anak-anak sekolah yang pake motor, hampir dipastikan alesan mereka menghindar dari razia adalah karena belom punya SIM.

Dari sini bisa diliat kalo sebenernya potensi SIM untuk mengurangi kemacetan, khususnya di Jakarta, sangat besar. Ya kemacetan. Kita nggak usah deh mimpi pemerintah bisa membatasi produksi kendaraan bermotor. Selain sulit, kita juga masih butuh kok industri tersebut.

Benang merah antara SIM dan kemacetan dimulai ketika seseorang pergi ke dealer untuk beli kendaraan. Beli secara kredit adalah cara paling gampang buat dapet motor atau mobil tanpa khawatir ganggu cashflow. Apa aja sih syaratnya? Biasanya kan KTP, KK, dan paling banter slip gaji atau keterangan penghasilan. Kelar. Segitu aja udah bisa bawa pulang motor ke rumah.

Coba kalo Pemda DKI melalui pergub, perda atau apapun namanya bikin peraturan bagi siapa aja yang mau beli kendaraan harus punya SIM lebih dulu. Pasti kendaraan on the road nggak sebanyak sekarang. Karena seperti yang udah gue ceritain di atas, bikin SIM itu sulit. Males. Kalo orang males bikin SIM, mereka nggak bisa beli kendaraan. Mereka bakal berangkat kerja, sekolah, nyangkul, pacaran, nenggunakan kendaraan umum.

Dengan catatan, proses penerbitan SIM juga harus bersih dan transparan. Biar nggak ada lagi cerita anak di bawah 17 tahun udah punya SIM.

Gue nggak tau ini bisa ngatasin macet Jakarta apa nggak. Tapi kalo diliat dari jumlah mereka yang menghindar dari razia dibanding mereka yang cool menghadapi razia polantas, gue optimis.

Dear Pak Ahok... =)




Share:

Wednesday, 12 November 2014

MATA Stories

Dua bulan belakangan, disaat anak umur dua belasan di Jepang udah bisa bikin robot, gue baru punya android.

Awalnya gue nggak nemuin apa yang berbeda dari BB (hp gue yang lama) sama android. Karena dua-duanya mengklaim sebagai ponsel cum laude, alias pintar.

Tapi setelah gue kulik-kulik ternyata terdapat perbedaan yang jelas dan cukup signifikan. Terutama soal...soal...soal...ya itu deh pokoknya. Intinya, gue nggak perlu laptop untuk nulis dan update blog. Gue bisa nulis dan update kapan aja. Bisa sambil makan atau sambil ngibarin bendera.

Oya ada lagi. Gue juga bisa menyalurkan passion gue yang lain di bidang film. Gue suka banget nonton film. Dan di hp baru ini kameranya lumayan. Udah gitu bisa download aplikasi edit video yang lumayan mumpuni.

Video ini gue ambil waktu gue piknik ke Pulau Kelor, Kepulauan Seribu. Modelnya gue ambil secara candid dari temen gue yang lagi asyik pacaran. Agak goyang sih gambarnya, maklum lagi di atas perahu. Kenapa judulnya MATA Stories? Gue juga gatau kenapa pasangan ini membuat akronim nama mereka jadi MATA. Kebayang ga kalo mereka jadi capres-cawapres, pas kampanye jargonnya, "Coblos MATA!". Serem.

Oke I know, garing. Nih videonya:


Itu gue edit pakai aplikasi viva video. Buat yang suka bikin video pemula, ini user friendly banget. Mudah.

Segitu aja sih videonya. Suatu saat gue pengen bikin film pendek yang ada dialognya. Ada yang bisa rekomendasiin  ga aplikasi lain yang cihuy? Or ada yang suka bikin film pendek juga? Ayok dong ajarin gue.
Share:

Sunday, 9 November 2014

Cilegon Syndrome

Yang terberat dari pulang adalah bahwa kita tau akan segera pergi lagi.

Ini yang selalu gue rasain kalo pulang ke Cilegon. Mungkin juga buat sebagian besar orang yang kerja, sekolah, atau kuliah beda kota sama keluarganya. 

Gue sekarang kerja di Jakarta. Tinggal di Tangerang. Dan keluarga gue ada di Cilegon. Ribet ya? Ya begitulah mobilitas gue. Itu belom ditambah sama kalo gue mesti ngapel ke Bogor tiap malem minggu. Maaf, ga maksud pamer ke yang jomblo. 

Paling nggak, satu bulan sekali gue mesti meluangkan waktu buat balik ke Cilegon. Nengok bokap, nyokap, dan ketiga adek gue. Nah ini masalahnya. Di Cilegon, waktu berjalan begitu lambat. Gue selalu suka waktu tidur siang kalo balik ke sini. Tidur cuma dua jam, tapi kayaknya lama banget. Puas. Beda kalo gue, katakanlah, lagi di Tangerang. Kayaknya baru merem dikit, eh tau-tau ayam tetangga yang kemaren masih gadis udah bertelor aja. Gue selalu ngerasa kekurangan waktu. 

Yang bikin nyaman lagi ketika ada di Cilegon adalah, masakan nyokap. Ini mungkin udah ada kesepakatan di antara seluruh anak dunia bahwa masakan paling enak adalah bikinan ibu mereka. Tapi ketika lu jauh dari rumah kemudian pulang dan disuguhin nasi hangat, sayur asem, dengan sedikit sambel, semuanya buatan emak, percayalah rasanya jauh lebih dari sekedar nikmat. Orang yang susah move on dari mantan harusnya tinggal jauh dari orang tua dan sesekali mesti pulang buat makan masakan ibunya. Terus tanya, lebih sulit mana move on dari mantan atau dari masakan juara emak? 

Makanya kadang gue males balik ke Cilegon. Bukan karena jauh atau lewat tol Jakarta-Merak yang perbaikannya ga kelar-kelar dari jaman Nokia 3310 masih tiga jutaan. Tapi karena setelah weekend menjelang berakhir, gue tau gue mesti ke Tangerang. Ada kewajiban yang mesti gue tunaikan di sana. Mulai deh Cilegon Syndrome melanda.

Ketika gue menulis ini, gue lagi di teras rumah sambil ngopi dan menyesap bau khas tanah yang keguyur hujan. Bau yang beda dan makin memperparah Cilegon Syndrome gue. Ogah balik ke Tangerang. Apalagi kalo inget besok adalah hari Senin. Kerjaan yang numpuk. Dan bayang-bayang kemacetan yang sadis. Bawaannya pengen meluk Raline Shah aja gitu.

Eh, tiba-tiba HP gue bunyi. Si pacar nanyain kapan gue balik dari Cilegon. Gue tersenyum. Lalu menghabiskan tetes kopi terakhir. Dan berkemas.

Mau pergi atau pulang, selalu ada apa, dan siapa, yang menunggu gue untuk kembali. 

Share:

Sunday, 2 November 2014

Mandi Setengah Badan

Apa sih yang paling bikin panik di pagi hari selaen ada babon ngamuk?

Kalo gue sih salah satunya adalah udah bangun telat, terus pas mau mandi airnya ga keluar dari keran.

Kejadiannya kira-kira seminggu lalu. Suatu pagi, abis solat subuh gue tidur lagi. Terus tiba-tiba Encing gue buka pintu kamar dengan gaya kayak satpol PP ngegerebek warung remang-remang. Mukanya panik. Gue yang lagi pules tidur bangun dan ikutan panik.
"Bal, ga ada aer. Gimana nih?"
"Masa? Bukannya kemaren baru ngisi dua galon?"
"Bukan aer minum. Tapi buat mandi. Kerannya kagak keluar aer."
"Lah terus?"
Si Encing mikir sejenak. Ummm...sementara Encing gue mikir, gue mau cerita dikit tentang sumber air.

Gue tinggal di pinggiran kota Tangerang. Dirumah Encing gue dan ketiga anaknya. Di sini adalah pemukiman padat. Tempat tinggal gue harus mepet-mepetan sama komplek perumahan dan deretan kontrakan. Jadi gue sering secara nggak sengaja liat aktifitas banyak orang di sini termasuk dalam hal mereka mendapatkan air.
Setelah gue teliti, walopun ga teliti-teliti amat, ada tiga sumber air yang diandalkan penduduk sekitar gue.

1. Air dari perusahaan pengelola air.
Ya sebut aja gitu, gue ga nemu kata ganti yang pas buat nyebut perusahaan itu. Ogah juga nyebut namanya secara langsung.
Biasanya pengguna jasa si perusahaan adalah rumah-rumah di komplek. Developer udah masukin paket layanan ini sejak rumah mereka belom kebeli. Simpel, tiap bulan tinggal bayar biaya perbulannya. Cocok buat orang komplek yang jarang mau repot. Dan katanya sih hemat, dengan catatan yang punya rumah ga miara gajah putih yang kudu mandi dua kali sehari.

2. Pompa air.
Dulu di tiap rumah hampir ada yang namanya pompa air. Yang paling ngetop merek Dragon, warnanya ijo. Ini pompa manual. Kita mesti naikin tuasnya tinggi-tinggi untuk nyedot air terus menekannya sekuat tenaga biar airnya keluar. Pantes orang jaman dulu sehat-sehat, mereka sebelom mandi udah fitnes duluan walopun dengan resiko turun bero yang lebih gede. Seiring perkembangan jambul Syahrini yang makin maju, pompa ini perlahan tergantikan sama pompa air tenaga listrik. Mungkin lebih familiar sama nama Jetpam. Prinsipnya sama, nyedot air dari dalem tanah. Nah keluarga Encing gue ini pake yang model begini. Kita nggak usah bayar air, tapi kudu bayar listrik. Ya namanya juga pompa air tenaga listrik. Kebayang ga kalo suatu saat ada pompa air tenaga kuda? Repot gimana cara bayarnya.

3. Selang.
Ini yang paling unik plus bikin gue kadang prihatin. Gue udah bilang bahwa tempat tinggal gue berdampingan sama banyak kontrakan. Salah satu jenis kontrakannya adalah yang cuma satu pintu gitu. Berderet. Entah karena untuk menekan biaya atau gimana, kadang si empunya kontrakan nggak bikin fasilitas sumber air. Jadi kalo misalnya lu ada kesempatan maen ke kontrakan tipe gini, jangan heran kalo ada kamar mandi tapi ga ada aernya. Gampangnya sih kayak jomblo aja. Hatinya ada, tapi isinya kosong.
Nah darimana dong penghuninya dapet air? Jawabannya ya selang. Orang yang tinggal di kontrakan ini mesti punya selang yang cukup panjang untuk menjangkau sumber air. Sumber airnya dari rumah yang memiliki suplai dari perusahaan pengelola air atau mereka yang punya pompa listrik. Lalu mereka dikenakan charge. Biasanya itungannya per jam. Kayak maen PS.
Kesimpulannya adalah, bisnis properti tetep laku walau ga punya sumber air. Kedua, kalo mau nyewa rumah kontrakan satu pintu gitu coba cek ketersediaan selangnya. Inget, ukurannya juga penting.

Oke, balik lagi ke tragedi matinya keran di rumah Encing gue. Pagi itu gue udah niat berangkat ke kantor ga pake mandi.
"Bentar deh gua pinjem selang ke kontrakannya Ci Mei, terus nyelang ke rumahnya Mpok Biah." Encing gue dapet ide. Menurut gue ide itu setara dengan ide mendaratkan manusia di bulan.

Apesnya, selangnya kurang panjang. Cuma nyampe depan rumah doang, ga sampe kamar mandi. Akhirnya gue berinisiatif ngambil ember ukuran gede lalu mengisinya dengan air yang keluar dari selang. Apes gue belom abis ternyata. Air yang keluar kecil banget, kayak pipis bayi umur 21 hari. Sedangkan gue diburu waktu berangkat ke kantor. Jadilah sebelom tuh ember penuh gue udah angkut ke kamar mandi. Dalam kondisi normal, mungkin gue bisa menghabiskan minimal tiga ember air. Sedangkan waktu itu gue cuma punya setengah ember. Mau nggak mau, gue cuma membasuh bagian-bagian penting aja. Yang penting kena air. Baru setengah badan, airnya udah abis. Hari itu badan gue agak sedikit masih bau naga ketika berangkat kerja.

Jadi mikir, kalo sekarang aja udah mulai susah dapetin air, gimana nanti? Masih relevan kah gue nyebut Indonesia dengan istilah Tanah Air?
Jangan sampe nih suatu saat di Istana negara presiden kita lagi tidur trus dibangunin paspampres.
"Maaf Pak, pertemuan dengan dubes Argentina terpaksa dibatalkan."
"Kenapa? Masih sensi ya dia kemaren ga diajak nongkrong?"
"Anu Pak, air di istana sedang mengalami masalah. Kerannya ga keluar air."
"Ah, gampanglah itu. Nyelang aja dari air mancur Bunderan HI. Punya nomer pemadam kebakaran?"
"Buat apa, Pak?"
"Pake nanya, ya buat pinjem selang yang panjang."

Ga asik kan?





Share:

Saturday, 20 September 2014

Curhatan Biker Jakarta

Bosen ga sih tiap hari denger keluhan macet di Jakarta? Ini masalah kayak nggak ada ujungnya.

Udah ada sekitar dua bulanan gue kerja di Jakarta. Dan yang bikin gue lumayan mengalami cultural shock adalah, suasana lalu lintasnya yang gokil badai.

Gue tiap berangkat kerja ke daerah Pondok Indah pakai motor. Dulu waktu masih tinggal dan kerja di Cilegon, gue sering mikir bahwa biang kemacetan di Jakarta ini adalah pengendara motor. Liat aja jumlahnya banyak banget, kalo diliat dari atas udah kayak ikan teri pakai helm lagi arisan. Udah gitu gayanya slonong boy banget, ga ngerti aturan. Lampu merah diterobos, jalur busway dibajak, trotoar dinaekin, nenek-nenek digebet. Ampun deh.

Tapi setelah gue menjalani sendiri pulang pergi Tangerang-Pondok Indah naek motor, gue rasa jumlah motor yang banyak itu bukan penyebab tunggal macetnya Ibu Kota. Ini semua soal kebiasaan untuk patuh sama peraturan.

Pengendara motor di Jakarta  udah kebiasaan melanggar peraturan. Jadi mereka yang tadinya taat aturan mau nggak mau ikut kebawa jadi nakal.

Sample pertama adalah pengalaman gue di salah satu lampu merah di daerah Meruya. Jadi waktu itu traffict light lagi merah. Otomatis gue berenti dong, walopun sebenernya dari arah berlawanan kosong. Tapi tiba-tiba motor di belakang gue ngelakson-ngelakson ga jelas. Awalnya cuma dia doang sendiri yang gengges dengan klaksonnya itu. Lama-lama motor laen juga ikutan. Mereka kompak ngelaksonin gue yang berada di garis paling depan. Gue bingung, ini orang pada kenapa sih? Kayaknya buru-buru amat, pada kebelet boker ya?
"Bang, jalan aja. Kosong ini!" Kata pengendara motor tepat di belakang gue. Sementara itu suara klakson makin banyak. Sekarang jalan atau enggaknya mereka tergantung gue. Gue yang nggak tahan sama intimidasi itu akhirnya jalan nerobos lampu merah. Eh tiba-tiba dari arah seberang ada motor juga. Untungnya rem gue pakem, jadi ga sampe nabrak tuh motor. Pengendara motor itu berenti, melototin gue trus, "woy, ga liat noh bagian lu masih merah???". Belakang gue ngelaksonin gue, depan gue mencaci maki gue seolah nerobos lampu merah itu dosanya sama kayak PHP-in gebetan. Jalan yang tadinya lancar jadi deadlock gara-gara gue. Kambing!

Sample kedua, pengalaman gue di sekitar jalanan Permata Hijau. Belajar dari pengalaman, gue kapok nerobos lampu merah lagi. Gue nyantai aja ngambil jalur sebelah kiri. Jalur sebelah kiri ini biasanya dipakai pemotor yang pengen belok kiri ke arah Rawa Belong atau mereka yang pengen lurus ke arah Gandaria tapi takut buat nyerobot jalur busway. Nah gue termasuk yang kedua.

Di jalur kiri ini, harus siap juga saingan rebutan jalan sama mobil. Waktu itu suasananya macet sangar. Gue stuck di bagian paling kiri jalan. Kaki kiri gue bahkan nyender di trotoar. Beberapa lama nunggu, gue baru nyadar banyak motor yang naek ke trotoar. Kalo naek ke trotoar emang jadi lebih lancar. And again, gue diklaksonin lagi. Kali ini sama mobil-mobil. Kenapa lagi nih gue diklaksonin?  Apakah dari balik kaca mobil gue terlihat kayak Lukman Sardi, segitu histerisnya mereka? Tapi ternyata karena pengendara mobil ini pengen gue ikutan pemotor yang laen untuk naek trotoar dan kasih mereka jalan. Gue nengok ke belakang. Ada ibu-ibu yang naek motor juga bawa sayur dari pasar. Gue menatap wajahnya dan dari air mukanya (hanjirlah bahasa gue) dia seolah berkata, "udeh Tong naek aja, timbang trotoar secuplis doangan. Kita juga lagi buru-buru ini". Pagi itu kayaknya hajat hidup orang banyak ada diantara trotoar dan jalanan. Kalo gue pikir-pikir palingan juga cuma lima menit nyampe Gandaria kalo gue hajar lewat trotoar. Iman gue pun runtuh. Akhirnya dengan heroik gue lewat trotoar. Mereka yang di dalem mobil pasti pada tepok tangan atas keberanian gue. Asiiikk nyampe Gandaria cuman lima menit.....

-LIMA MENIT KEMUDIAN DI UJUNG TROTOAR-

"Selamat pagi Pak. Bisa tunjukkan surat-surat kendaraan dan SIM? Bapak tau udah ngelanggar beberapa pasal......blablabla"
"-________________-" *kemudian ngunyah SIM, nelen STNK, trus garuk-garuk aspal*

Nah itu cuma beberapa contoh nggak enaknya jadi biker di Jakarta. Yang bisanya nyinyirin para pemotor doang, cobain deh sebulan aja kerja bolak-balik pakai motor. Kami cuma kebawa sama situasi koplak yang memang sudah dibangun bersama. Mau patuh aturan, tapi apa daya suara-suara klakson nggak mengijinkan.

Itu sih menurut gue yang bikin macet. Sayang banget kan gara-gara macet ini banyak yang mubazir cuma gara-gara kita nggak sabaran. Berapa banyak kilo liter BBM subsidi yang kebuang? Berapa banyak karyawan yang kena push up bos gara-gara telat ngantor? Berapa banyak couple yang jadi jomblo karena telat jemput pacar? Berapa banyak jomblo-jomblo ngenes yang makin terlantar karena pas sampe tempat janjian eh gebetannya udah punya anak dua gara-gara kelamaan nunggu?

Intinya sih, tanpa bermaksud nyalahin siapa-siapa, transportasi massal kita dan aturan yang jelas kudu diberesin. Pe-er banget nih buat menteri transportasi kita. Btw, ada yang tau ga menteri transportasi kita siapa? Pasti nggak ada yang tau....

Karena kita nggak punya menteri transportasi, punyanya menteri perhubungan. =p


Share:

Friday, 20 June 2014

Review: Cahaya Dari Timur

Awalnya liat teaser film ini gue kok nyangkanya ini film klise yang jualan utamanya adalah sebuah impian yang jadi kenyataan. Udah kebayang adegan-adegan dan dialog-dialog super yang bakal bikin motivasi semua orang terbakar untuk berbondong-bondong ngejar mimpi.
Ternyata gue salah. Gue baca review dari beberapa seleb twit yang udah nonton premierenya dan mereka ngasih tanggapan yang, untuk ukuran film Indonesia, keren! Akhirnya di pemutaran hari pertama nonton nih film. Dan mengecewakan sih kalo diliat dari kursi-kursi bioskop yang terisi kurang dari seperempatnya.
Eit, tapi kalo diliat dari kualitas film ini sendiri sebenernya bisa dipertanyakan kenapa begitu banyak kursi kosong, padahal filmnya bagus. Film ini bersetting di Maluku saat bentrokan berlatar belakang sara sedang menghantui penduduk di sana. Pusat cerita berada di kota kecil bernama Tulehu. Tulehu ini adalah kota penghasil pemain-pemain sepakbola berbakat. Pemain professional Indonesia yang bermarga Lestaluhu, Pellu, dan Tuassalamony berasal dari kota pesisir ini.
Hampir di sepanjang film kita disuguhkan pemandangan pantai khas Maluku yang, hmmmm….sedap. Dan di beberapa scene berhasil membuat orang berdecak kagum.
Film ini terasa begitu natural karena seluruh dialognya full berbahasa Maluku lengkap dengan logat timurnya. Dialognya mengalir, dan kekhawatiran gue tentang kata-kata ‘mutiara’ klise pembangkit semangat sama sekali nggak terbukti di film ini. Pemilihan pemeran yang terdiri dari anak-anak Maluku asli juga sangat membantu penyampaian pesan film ini. Mereka dengan halus mengajak kita berempati bagaimana rasanya menikmati masa kecil ditengah masyarakat dengan senjata terhunus.
Chico Jericho si pemeran utama, sukses berat membangun karakter orang timur  yang sedang galau dan nyaris putus asa. Dia berduet oleh Shafira Umm si pemeran istri Chico yang memang aslinya orang timur. Gue terkejut ketika muncul Ridho Slank sebagai pemain yang memiliki peran cukup signifikan di film ini. Dan dia berhasil!
Jujur, film ini terasa membosankan di setengah jam awal. Itu mungkin karena si sutradara pengen menggambarkan lebih dulu konflik dan latar belakang Maluku saat itu. Sebetulnya cerita baru bermulai ketika Sani (Chico Jericho) menemukan sekelompok anak berbakat dalam bermain bola. Sani mengumpulkan mereka dan memberi mereka pelatihan sepak bola (Di sini diceritakan bahwa Sani adalah seorang atlet sepak bola yang gagal menembus seleksi PSSI Baretti). Nah di sini menurut gue nggak klise-nya. Sani melatih mereka bermain bola bukan hanya untuk meraih kemenangan, tapi untuk tujuan yang lebih sederhana dari itu.
Film ini menggunakan sepakbola sebagai katalis penyampai pesan. Mungkin itulah sebabnya kenapa film ini launching ditengah perhelatan Piala Dunia.
Dan yang paling penting, nih film ingin menyampaikan “ini loh Indonesia”. Semua konflik yang ada di film ini itu Indonesia banget. Cuma kebetulan aja setting dan plot ceritanya di Maluku.
Sayangnya, seperti kelemahan film sepakbola lainnya, adegan saat bertanding bolanya begitu kaku dan agak kurang realistis. Film sepakbola Indonesia yang adegan tanding bolanya lumayan menurut gue adalah Garuda Di Dadaku 2, dan itupun kurang memuaskan. I know, dalam film memang membutuhkan efek dramatisasi, dan Cahaya Dari Timur ini berhasil menimbulkan efek itu tapi gagal meyakinkan penonton bahwa seperti itulah pertandingan sepakbola. Untungnya itu ketolong sama scene-scene dan dialog di luar adegan pertandingan itu.

Kalo yang butuh tontonan beda untuk film Indonesia, Cahaya Dari Timur ini sangat layak dinikmati. Apalagi untuk yang gila bola, ditengah euforia Piala Dunia film ini bisa sedikit membuka mata bahwa Indonesia bisa saja ke Piala Dunia. Perjalanan ke sana, bisa dimulai dari Tulehu, eh bukan…tapi Maluku. Beta Maluku!
Share:

Thursday, 5 June 2014

Kita, dan Piala Dunia

2014.
Tahun penuh gegap gempita buat Bangsa Indonesia. Di tahun ini, ada dua event gede-gedean yang bikin negara ini penuh warna. Penuh warna dalam arti yang sebenarnya.
Yang pertama adalah pemilu. Coba liat pemilu legislatif kemaren, kurang berwarna gimana? 12 partai politik nasional berlomba-lomba nyari simpati lewat bendera dan atribut aneka warna. Mulai dari merah marun, putih cerah, ijo lumut, ijo daun, biru dongker, biru laut, kuning…ummm…kuning…ah sudah lah. Yang jelas warna-warna ini bakalan terus mendominasi jalan, baligo, kaca belakang angkot, sampe jaket tukang ojek hingga pemilihan presiden nanti.
Walaupun menarik untuk ditunggu, tapi gue nggak mau bahas pemilihan pesiden di sini. Yang mau gue share di sini adalah event ke dua yang bisa bikin Indonesia begitu berwarna. Yaitu Piala Dunia 2014 di Brazil.
Piala Dunia adalah turnamen olah raga paling banyak penontonnya sepanjang sejarah olah raga itu sendiri. Di Brazil nanti, dari tanggal 12 Juni-13 Juli 2014, diprediksi ada 3,2 milyar pasang mata yang nonton baik langsung maupun lewat layar kaca. Noh, itu udah lebih dari setengah penduduk bumi.
3,2 milyar kepala itu membawa beraneka warna yang mewakili 32 negara kontestan. Contohnya nih, merah Spanyol si juara bertahan, oranye Belanda sang nenek moyang total football, biru Italia si pioneer sepak bola bertahan, putih pasukan panser Jerman, dan tentu saja kuning bintang lima tuan rumah Brazil.
Lalu dimana posisi Indonesia di turnamen empat tahunan tersebut? Sebenernya Indonesia pernah ikut Piala Dunia ke-2 di tahun 1938 Prancis, tapi dulu masih pake nama Hindia Belanda. Banyak yang menganggap itu adalah keikutsertaan Indonesia yang pertama, dan hingga kini, yang terakhir di Piala Dunia. Tapi kalo menurut gue sih nggak. Tetep aja waktu itu Indonesia belom merdeka, bukan negara berdaulat. Para pemainnya pun kebanyakan orang-orang Belanda dan Tiongkok. Jadi menurut gue Hindia Belanda itu suatu negara, dan Indonesia adalah negara lain.
Tapi biar gimana juga kalo sedikit mau dipaksakan, seenggaknya ada sedikit ‘benang merah’ antara Indonesia dan Piala Dunia. Dan udah lah, nggak perlu dikenang tahun 1938 itu. Kita pikirin Indonesia yang sekarang aja.
Di Piala Dunia tahun ini, posisi Indonesia masih sama dengan ketika Piala Dunia empat sampai enam belas tahun tahun yang lalu. Yaitu sebagai pasar potensial bagi para sponsor. Penduduk banyak, gila bola, dan fanatik terhadap tim tertentu adalah ‘lahan subur’ bagi para stake holder World Cup untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Apalagi pelaksanaannya berbarengan sama bulan ramadhan, siaran bola yang biasanya dini hari itu dipastikan banjir penonton. Yahhh, acara-acara joget-joget nggak jelas atau pukul-pukulan stereofoam pas sahur harus mikirin ide kreatif lain supaya rating nggak turun drastis.
Piala Dunia seperti sangat disambut di negeri ini. Padahal kalo boleh ngeluh, gue adalah salah satu penonton Piala Dunia yang menikmatinya dengan getir. Bukan cuma karena gue adalah pendukung timnas Belanda, negara yang diklaim mewariskan kesengsaraan bagi negeri ini, tapi juga karena sampe umur gue 26 tahun Indonesia masih belom juga mampu berpartisipasi di ajang sepak bola paling bergengsi ini. Dengan nama Indonesia, dan sebagai negara berdaulat.
Gue lagi-lagi mesti jadi tim hore buat negara lain. Nobar dari satu tempat ke tempat laen dengan ‘lawan’ dari bangsa sendiri yang juga dukung negara lain. Lapak-lapak jersey mulai dari yang KW sampe yang ori abis laku keras. Tentu aja, jersey merah dengan garuda di dada nggak masuk hitungan.
Mari sedikit beranda-andai. Gimana kalo misalnya suatu saat Indonesia masuk Piala Dunia? Yang pasti gue nggak bakal dukung Belanda. Tempat-tempat nonton bareng di lapangan, café, restoran, mall, warung kopi, pos kamling, pasti semuanya dipenuhi orang berjersey merah dengan garuda di dada dan nyanyi lagu Indonesia Raya berbarengan. Beuh, pasti merinding banget. I know how it feels.
Gue pernah nonton timnas Indonesia di Piala Asia 2007, waktu itu kita lawan Bahrain. Stadion Gelora Bung Karno berkapasitas 88.000 orang dan itu penuh tanpa ada space. Semuanya merah. And the best part is…justru bukan ketika Indonesia menang, tapi pas lagu Indonesia Raya berkumandang. Percaya deh, nggak ada yang lebih menggetarkan dari itu untuk seorang warga negara. Nyanyi lagu kebangsaan bareng 88.000 orang suara gue sampe serak dan nggak berasa air mata ngalir.
Mungki seperti itu rasanya kalo Indonesia Raya mengalun di venue Piala Dunia. Atau mungkin lebih. Apa Indonesia bisa? Kenapa nggak bisa? Pantai Gading dan Bosnia Herzegovina membuktikan bahwa perang saudara nggak menghambat mereka untuk berpartisipasi di Piala Dunia. Yunani yang katanya perekonomiannya bangkrut aja bisa lolos. Kalo mau, Indonesia lebih dari sekedar bisa.
Segudang talenta Indonesia miliki dari Sabang sampe Merauke. Secercah harapan muncul lewat permainan dan bakat apik dari tim nasional U-19 belakangan ini. Kalo ngeliat mereka main, rasanya nggak bohong orang tua gue cerita kalo dulu di Asia Indonesia tuh nggak ada lawannya. Dulu, Jepang mah cemen.
Itu di sisi bibit. Dimana kita udah punya yang unggul. Tapi kalo ngeliat pengelolaan organisasinya yang masih karut marut seperti banyaknya pemain professional yang nggak nerima gaji, permainan kasar yang berujung kematian, kerusuhan supporter, infrastruktur kurang mendukung, sampe masalah politisasi sepak bola, kayaknya Indonesia masih jauh dari panggung dunia. Para pesohor sepak bola dunia yang sempet mampir ke Indonesia kayak Jose Mourinho, Cesc Fabregas, Frank De Boer, si Road Runner from Welsh Gareth Bale, sampe pelatih Ajax Frank De Boer sepakat bahwa Indonesia punya bakat-bakat luar biasa namun kurang terasah karena pola pembinaan yang nggak jelas dan infrastruktur yang kurang. Akibatnya ibarat buah, bakat-bakat ini jatoh duluan sebelom mateng.
Siapa pun yang jadi presiden Indonesia nantinya, gue cuma berharap dia punya mimpi yang sama kayak gue, atau setidaknya mempunyai secuil pemikiran untuk menyaksikan rakyatnya menari, bernyanyi, dan menabuh gendang untuk mendukung negara sendiri di Piala Dunia. IN-DO-NE-SIA!
Untuk sekarang…gue dukung Belanda dulu deh ya. Hup Hup Holland Hup! *sungkem ke Bang Pitung karena dukung kompeni*

 
Kapan pemain Indonesia sejajar dengan mereka?
Share:

Monday, 2 June 2014

Motret Stage di Jak Cloth 2014

Apa yang paling happening di Jakarta minggu lalu? Yak, Jakarta Clothing Fair atau biasa disingkat Jak Cloth. Ini semacam ‘hajatannya’ para pengusaha clothing line untuk unjuk gigi produk-produknya. Acaranya makin rame karena digelar di minggu yang banyak tanggal merahnya, yaitu ditanggal 28 Mei-1 Juni 2014.
Tanggal 29-nya gue ikutan nimbrung nih. Niatnya sih gue ke Jakarta jalan-jalan aja gitu, nikmatin sepinya Ibu Kota di hari libur. Tapi timeline rame banget ngomongin tentang gelaran fashion yang satu ini. Akhirnya gue meluncur ke Parkir Timur Senayan, tempat booth-booth distro peserta Jak Cloth bertebaran.
Mata gue langsung berbinar ketika sampe sono, bukan hanya karena banyaknya SPG yang bening-bening dengan cara nawarin produknya yang gue jamin bikin cowok merasa sepuluh tahun lebih muda, tapi juga karena gue baca di rundown acaranya ada beberapa bintang tamu yang yahud banget. Mulai dari band indie kayak Still Virgin, Dhyo Haw, Endah n Rhesa, dan Payung Teduh. Masih pada asing ya denger nama mereka? Yah namanya juga band indie, pendengarnya segmented banget. Eh, tapi di penghujung acara ada Sheila on 7 loh! Kalo ini mah yang masa remajanya bahagia pasti tau dong!
Untungnya, pas nonton mereka gue bawa kamera. Jadi lumyan bisa mengasah kemampuan gue motret stage. Yah walopun kamera yang gue pakai bener-bener yang entry level. Jadi terbatas banget. Cuma bisa maen di speed minimal 1/10”, bukaan F4.5, dan ISO gue mentokin di 800 atau 1600 biar foto tetep terang. Tapi sayangnya, noisenya jadi bertebaran. Hhhhh….



Still Virgin. Band indie aliran alternative. Ternyata yang tau lagunya udah banyak. Yang laen nyanyi gue malah bengong. Paling banter loncat-loncat pas di beat yang menghentak.
Yang agak susah tuh pas ngambil foto Dhyo Haw. Begitu band ini tampil, semua penggemar reggae yang mayoritas cowok menyerbu depan panggung. Mereka nih kompak banget, jogetnya asik rapet-rapet, gue jadi agak susah ngambil foto yang stabil. Kamera pas-pasan, lighting panggung yang nggak terprediksi, nggak bawa monopod, dan pakai lensa kit 18-55mm itu sangat membatasi gue untuk motret. Tapi karena keterbatasan itulah gue jadi 'kreatif', gue mesti memanfaatkan tiap celah diantara manusia yang lagi joget reggae, termasuk dari celah ketek mereka. Yooo maannn....

Untungnya masih keambil foto band beraliran reggae ini. Ini sebenernya foto under expossure, tapi gue edit pakai potosop.

Kemudian tibalah Endah n Rhesa tampil. So sweet banget deh ini duo suami istri. Gue ikutin lagu-lagu mereka belum lama ini. Sebagai duo yang memilih jalur indie, couple ini termasuk yang sering tampil di televisi. Format bentuk dan musiknya juga unik sih ya. Endah sebagai vokalis sambil pegang gitar akustik dan Rhesa sang suami berambut gimbal dan gigi gingsulnya begitu nyaman membetot bass, bikin gemes siapapun penikmatnya. Gue lumayan banyak dapet foto pasangan ini.


Rhesa. Skill ngebass-nya dewa!

Endah.  Suara tingginya...

"Kalian, jangan beli kaset bajakan ya. Iya!"

Kaaannn...so sweet kaaannn...


         Kelar Endah n Rhesa, mestinya di panggung yang sama ada Payung Teduh. Tapi gue mesti ke panggung laen buat nonton salah satu band favorit gue, Sheila on 7! Berasa banget perpindahan dari panggung band-band indie ke panggung band major label. Begitu sampe di stagenya Sheila, ternyata ada Souljah yang lagi ngajak ratusan orang joget. Gila, padet banget. Gue nggak kebagian biar sedikit space. Alhasil, gue cuma dengerin Souljah nyanyi tanpa ngeliat mereka.
        Souljah selesai, kepadatan mulai mencair. Kesempatan ini gue gunakan untuk merangsek lebih ke depan. Tapi...tetep gue mentok di jarak yang cukup jauh dari panggung. Emang sih kebanyakan Sheila Gank waktu itu cewek. Tapi cewek-cewek ini pada di 'pagerin' sama cowoknya. Mana cowoknya tinggi-tinggi dan bau keringet. Jadi deh gue ambil foto sekenanya aja.

Foto Om Duta. Waktu ngambil foto ini siku tangan gue di atas kepala orang. Gue bisa pulang dengan selamat, itu udah alhamdulilah =)


      Gitu aja pengalaman motret stage di Jak Cloth. Hasilnya masih jauh dari harapan sih, tapi ini lumayan buat gue yang jarang motret panggung. Pokoknya, next time kudu bawa lensa tele dan monopod. Ya kalo bisa sih kamera gue juga udah up grade gitu. Semoga ada rezeki. Amiinnn....

Eh, eh...walopun nggak nonton Payung Teduh, gue sempet foto bareng vokalinya loh. Namanya Mas Is. Tampang boleh sangar, tapi hati dan aliran musiknya teduh banget.


Share:

Wednesday, 28 May 2014

Karena Inggris Adalah...

Ada sejembreng alasan untuk seseorang, even buat mereka yang nggak suka jalan-jalan, untuk mengunjungi Inggris. Mulai dari alasan yang paling logis sampe yang paling absurd. Termasuk gue. Gue punya alasan yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan tapi cukup kuat untuk membuat Inggris menjadi tujuan gue.
Why? But, Why not?
Oke, tapi kalo emang harus dijabarkan alasan kenapa gue mesti ke Inggris adalah: Gue belom pernah ke Inggris, makanya mesti kesana. Simpel. Dan menjadi harus ke Inggris karena selain tobat, mengunjungi Inggris masuk dalam kategori ‘harus dilakukan’ sebelom gue mati.
Emang se-worth it apa sih Inggris? Keren banget apa? Untuk jawab pertanyaan itu sih gue bilang relatif. Tiap orang bisa suka, bisa juga nggak. Kalo gue ya udah pasti termasuk yang bilang Inggris itu kerennya very very outstanding!
Kekerenan negara Eropa barat ini dimulai dari bentuk negaranya. Salah satu mimpi gue di bidang traveling adalah, mengunjungi negara dengan bentuk monarki. Alias negara yang ngakuin raja atau ratu sebagai kepala negara. Inggris termasuk dong. Gue suka aja gitu sama negara kerajaan. Bayangin, di saat jaman udah maju gini masih ada populasi manusia yang menganggap seseorang adalah manifetasi Tuhan di dunia dalam bentuk raja atau ratu. Inggris adalah satu-satunya negara adi kuasa yang masih mempertahankan monarki parlementer sebagai bentuk negara. Coba bandingkan sama sekutunya AS yang liberal banget. Monarki di Inggris menjadi lebih punya nilai tambah karena ratu mereka bukan sekedar simbol pemersatu bangsa kayak di sebagian besar negara Eropa bahkan dunia yang bentuknya juga monarki. Ratu Inggris punya kedudukan politis dan pengaruh yang nggak kecil di dunia. Di Inggris atau di luar Inggris, sang ratu dan keluarganya sangat dicintai masyarakat dunia. Unik kan? Makanya gue pengen banget kesono. Nyobain hidup di antara manusia yang sangat mengkultuskan seseorang.
Inggris juga punya segudang identitas yang nggak dimiliki negara lain, khususnya di Eropa. Misalnya soal mata uang. Di saat negara-negara Uni Eropa sibuk mengkonversi mata uang mereka ke Euro, Inggris tenang-tenang aja dan pede tetep pakai Poundsterling. Cuma Poundsterling yang bisa mengimbangi kedigdayaan USD di Eropa. Makanya, gue pengen banget ke Inggris. Seenggaknya sekali seumur hidup dompet gue yang setipis tempe warteg ini pernah diisi oleh lembaran Poundsterling. Poundsteling coy, Poundsterling! Sebab Dollar dalem dompet udah mulai mainstream. Ihiw, asik dah gaya gue.
Apa lagi ya? Oh iya landmark. Bicara soal Inggris nggak enak rasanya kalo nggak ngomongin juga bangunan-bangunan yang jadi simbol negara ini. Inggris adalah negara dimana bangunan modern dan antik bisa berdiri secara harmonis. Siapa yang nggak tau Big Ben yang terkenal itu coba? Nggak usah minder, gue juga nggak tau. Lha wong gue belom pernah ke sana. Tapi pasti sensasinya lebih dari sekedar ‘maknyus’ kalo bisa foto-foto dengan latar belakang London Eye yang futuristik atau fasade gedung parlemen Inggris berhias Big Ben yang seolah masih belum move on dari abad pertengahan. Jadi makin pengen deh ke sana…
Lalu…tentu saja, sepak bola. Ngomongin Inggris, nggak bisa nggak ngomongin si kulit bundar. Inggris adalah tanah lahirnya sepak bola. Turnamen tertua di dunia berasal dari Inggris, yaitu Piala FA. Suporter sepak bola negara mana yang rela menyebrangi benua dengan modal nekat cuma demi nonton timnas mereka main? Jawabannya adalah Inggris dengan Hooligans-nya yang fanatik. Stadion mana di Eropa yang paling punya daya magis dan bergengsi? Jawabannya, lagi-lagi, di Inggris. Yaitu Wembley, stadion yang menjadi saksi sejarah The Three Lions sekali-kalinya (hingga tulisan ini dibikin) ngangkat trofi piala dunia di tahun 1966. Lalu gue nggak boleh ngelupain Old Traffrord. Bukan, gue bukan penggemar Manchester United. Gue penggmar AC Milan. Untuk para Milanisti, Old Trafford di musim 2002/2003 adalah kenangan manis. Di sanalah Paolo Maldini mencium trofi ‘si kuping besar’ untuk yang ke enam kalinya. Ahhh…gue pengen kesana, selfie di depan The Theatre of Dream sambil pakai jersey AC Milan. Top of all, sebagai penggila bola, gue mesti menginjak tanah tempat sepak bola dilahirkan.
Terakhir…kenapa gue mesti ke Inggris adalah untuk mengamalkan ilmu. Belasan tahun gue belajar Bahasa Inggris nyampe lidah keseleo dan itu pun nggak jaminan bisa, masa iya gue nggak minat ke sana? Emang nggak harus ke Inggris sih untuk ngetes gue fasih apa nggak berbahasa British style, tapi alangkah afdolnya kalo bahasa itu bisa gue pakai di negara aslinya.
 Sebagai penutup, muncul pertanyaan. Kenapa Old Trafford dijuluki The Theatre of Dream? Karena setiap pemain bola di seluruh dunia punya mimpi mempertunjukkan bakatnya di sana.  Setiap tim, ingin mempertontonkan drama terbaik di sana. Dan untuk scope yang lebih luas, buat gue Inggris adalah teater impian untuk siapa aja yang punya hobi jalan-jalan. Gue kepengen banget ke sana, untuk menunjukkan apa aja yang bisa gue bawa dari Indonesia. Walopun mungkin cuma menyapa penduduk sana dengan noraknya, “Hi, I’m Iqbal from Indonesia!”
Gue mesti ke Inggris!






Share:

Tuesday, 20 May 2014

Cilegon dan Investasi


Selamat datang di Cilegon =)


Kalo bukan karena industri bajanya, mungkin nggak banyak orang yang tau Cilegon itu apa, dan dimana. Dulu, Cilegon hanyalah kota kecil di pesisir ujung barat Pulau Jawa. Kota ini cuma jadi pasar tumpah atau tempat singgah bagi yang mau ke Sumatera dari Jawa atau sebaliknya.
Kehadiran sebuah pabrik baja bernama Trikora di era Bung Karno merubah seluruhnya tatanan kehidupan sosial kota ini. Apalagi setelah jaman Orde Baru mengambil alih industri baja tersebut dan mengganti namanya menjadi Krakatau Steel. Secara resmi, Cilegon mentasbihkan namanya menjadi kota industri penting di Indonesia.
Industri baja itu menarik industri-industri lainnya sebagai pendukung untuk tumbuh. Jadi deh pribahasa ‘ada gula ada semut’ berlaku di Cilegon. Dalam artian, lapangan kerja terbuka luas maka para pendatang secara massive masuk ke Cilegon.
Nah di sini gue ngeliat peluang. Walaupun untuk ukuran kota industri yang penting dan gede, Cilegon menurut gue infrastruktur pendukungnya masih biasa-biasa aja. Gue nggak bilang kurang.
Infrastruktur utamanya boleh lah udah komplit. Tapi pendukungnya masih kurang ‘wah’ dan masih sedikit yang mau investasi di sini. Padahal 423.708 jiwa  (sumber: www.kemendagri.go.id) adalah pasar yang menggiurkan.
Karena predikatnya sebagai kota industri, Cilegon dipadati oleh para pendatang dari berbagai daerah. Nah mereka ini dateng membawa latar belakang, karakter, selera, dan gaya hidup yang beda-beda dari daerahnya. Contoh kecil yang biasa gue alami dan paling simpel nih ya, mari kita ngomongin pendatang muda dari Bandung. Anak muda Bandung biasanya gaul abis. Di daerah asalnya kuliner khas banyak, tempat nongkrong tinggal pilih, urusan fashion nggak perlu bingung. Tapi mereka mendadak mati gaya ketika pindah ke Cilegon. Again, karena infrastruktur pendukung di Cilegon biasa aja. Anak muda Bandung tersebut tetap bisa hidup, tapi ketika dia perlu membeli fashion bermerek misalnya, dia bakal cari ke luar Cilegon. Ke Tangerang, Jakarta, atau bahkan balik ke Bandung sekalian.
Itu baru yang dari Bandung, belom dari daerah lain. Nah untuk yang bingung gimana caranya menginvestasikan uang berlebih, gue sih nggak ragu nyaranin untuk ‘menanam’ uang di sini. Bisa dengan bikin restoran khas daerah asal yang di Cilegon masih terbatas banget, bisa juga buka gerai-gerai di bidang sandang dan pangan yang branded, atau ide-ide lain yang mana di Cilegon ini masih banyak banget celahnya. Ah Cilegon kan luasnya cuma 175km per segi, kecil! Yups, tapi justru handicap ini bisa jadi potensi buat Cilegon. Apa sih yang konsumen harapkan dari penjual barang dan jasa? Salah satu jawabannya adalah dekat. Dengan area ‘jelajah’ yang nggak begitu luas, penduduk Cilegon nggak perlu ngeluarin effort gede untuk dapet apa yang mereka mau. Yang penting para pelaku usaha pinter-pinter dan kreatif aja manfaatin lahan.
Properti apalagi, ini menjanjikan banget. Mereka yang dateng ke Cilegon dengan status jomblo dan bekerja di sini jumlahnya terus bertambah seiring banyaknya pabrik-pabrik baru yang juga subur bertumbuh. Nggak sedikit mereka yang ketemu jodoh di sini kemudian berkeluarga. Otomatis kebutuhan untuk hunian dan bisnis juga meningkat. Apalagi ketika Krakatau Steel patungan sama pabrik baja Korea untuk bikin industri baja yang baru, maka slot ekspatriat harus ditambahin di struktur kependudukan Cilegon. Makin banyak kan penduduknya?
Gimana dengan sektor pariwisata? Jujur aja Cilegon nggak punya objek wisata baik alam atau non-alam yang menarik. Tapi untuk menuju objek-objek wisata terbaik di Banten dan Lampung, Cilegon adalah pintu gerbangnya. Mau ke Anyer, Ujung Kulon, Gunung Krakatau, bahkan Teluk Kiluan, semuanya kudu lewat Cilegon. Ini kode banget buat yang mau buka jasa travel.
Omong-omong soal travel, yang gue liat peka dalam hal ini adalah PT. KAI. Perusahaan plat merah itu menyadari potensi pendatang dari Jawa yang bermukim di Cilegon. Maka dari itu PT. KAI membuka rute Merak-Kediri untuk mengakomodir mereka yang mau pulang ke kampung halaman atau sekedar jalan-jalan.
Dan ini sih sekedar saran atau cita-cita gue ya, karena sejarahnya yang lumayan panjang sebagai kota industri, suatu hari Cilegon mesti punya museum industri. Keren kan? Bisa wisata industri gitu di Cilegon.
Dan pada akhirnya gue nggak jamin investasi di Cilegon bisa berhasil juga nggak bisa jawab kapan Return of Investment sebuah bisnis bisa balik. Yang bisa gue pastikan adalah banyak market yang belum tergarap di kota yang gue tinggalin sejak kelas 4 SD ini.

Cilegon adalah satu dari sedikit kota kecil dimana industri dan kehidupan sosial masyarakat berdampingan dengan harmonis. Mari kakak kunjungi Cilegon kakak, boleh kakak….

Cilegon menjelang senja

Share:

Saturday, 17 May 2014

Jakarta Menyusut


Paling enak tuh kalo udah denger kata ‘weekend’. Apalagi weekend yang sifatnya gondrong (weekend panjang maksudnya). Kaya kemaren tuh tanggal 15 Mei pas tanggal merah. Sebetulnya ada hari kejepitnya sih, tapi orang-orang biasanya pada ambil cuti.
Jakarta. Jarang loh ada orang penikmat long weekend yang ngabisin liburannya di sini. Tapi gue malah janjian sama dua temen gue untuk city tour di Jakarta.
Jujur, ini pertama kalinya gue bener-bener nikmatin liburan panjang ke Jakarta. Biasanya kan nyari yang ijo-ijo ke gunung, atau yang sepoi-sepoi ke pantai. Tapi karena nggak ada rencana dan budget yang lagi dikebiri, gue mengiyakan ajakan spontan city tour ini.
Terus gimana hasilnya? Gue dapet kesimpulan: Luas Jakarta pada saat long weekend ‘menyusut’ secara signifikan. Rute gue seharian di Jakarta City Tour kemaren adalah: Gambir-Senen-Matraman-Salemba-Menteng-Lebak Bulus-Kembangan-Kebon Jeruk-Cengkareng-Kalideres. Itu udah representasi seluruh wilayah Jakarta minus bagian utara, kenek Mayasari Bakti mah masih kalah deh trayeknya sama gue hari itu. Lalu dimana bagian luas Jakarta yang menyusut? Gue jelasin di paragraf berikut.
Untuk mengitari rute tadi, gue start dari jam satu siang dan berakhir jam delapan malem. Tujuh jam. Dimulai dari Stasiun Gambir untuk antri beli tiket arus balik lebaran yang panjang antriannya bikin napsu makan ilang. Terus lanjut ke Senen cuma untuk ngomentarin poster film yang ada di bioskop sono. Lalu gue juga masih sempet minum nutrisari jeruk sambil selfie-selfie di Taman Soerapati terus lanjut jalan kaki ke Taman Menteng, kemudian selfie-selfie lagi. Sempet juga nyuekin tatapan prihatin orang-orang yang lewat karena kita bertiga dengan noraknya foto-foto di depan SDN 01 Menteng, tempat dulu Obama sekolah dan jajan lidi-lidian atau maen jimbot. Terus, sebelom balik gue juga sempet makan bebek goreng enak banget di daerah Kembangan.
Ngaso bentar. Yang belakang kayak sih lagi antri mau foto bareng,gue mah cool aja.


Coba bayangin kalo itu semua dilakukan di hari biasa. Tujuh jam apakah cukup? Nggak usah mikirin selfie deh di Taman Soeropati, ngeliat jejeran kendaraan ‘parkir’ di ruas Jalan Diponegoro aja udah males. Kebetulan waktu gue ospek dulu selalu lewat jalan ini, dan untuk melaluinya bisa ngabisin satu setengah jam sendiri. Padahal panjang jalannya nggak lebay-lebay amat. Atau ketika kita naek busway jurusan Lebak Bulus-Grogol, boro-boro mikirin makan bebek goreng, bisa sampe di Pondok Indah dalam tiga puluh menit aja udah sujud syukur banget.
Dan kemaren, kita bertiga sempet jalan kaki dari Matraman sampe nyaris Tugu Proklamator. Kita nggak kuatir diseruduk bajaj, atau diserempet metromini. Dan asyiknya, kita nggak kuatir kena macet. Perasaan langka bagi siapa saja yang ada di Jakarta. Waktu tempuh dari satu tempat ke tempat laen cuma dalam hitungan menit. Jadi deh kesimpulannya, Jakarta menjadi ‘kecil’ di saat long weekend.
Jakarta jadi ‘kecil’ di long weekend atau hari libur, karena penduduknya masih beranggapan bahwa untuk menikmati Jakarta adalah dengan cara meninggalkannya sejenak. Jadi deh tiap libur Jakarta kayak ditinggal penduduknya pindah ke planet laen. Kesian Jakarta, dia kayak sapi perah di hari biasa, lalu ketika liburan datang mendadak jadi sepah yang dibuang.

By the way, gue belom cerita yah tentang dua partner jalan-jalan gue kali ini. Mereka berdua adalah cewek bernama Retha dan Melda. Mereka cewek-cewek tangguh. Nggak banyak loh cewek yang mau jalan kaki di trotoar Jakarta ditengah cuaca yang labil, entar panas entar gerimis. Mereka nggak takut betis mereka bekonde atau jadi empat. Mereka kuat untuk jalan kaki, mereka kuat untuk nggak ngeluh, mereka kuat nahan panas matahari. Tapi nggak tau deh mereka kuat apa nggak diPHP-in cowok. Yang mau kenalan atau ngajak mereka jalan-jalan, coba deh kenalan atau stalking-stalking dulu, nih twiter mereka: @margarethisme dan @melisamelda. They’re rocks \m/
Kiri: Melda. Tengah: Gue. Kanan: Retha




Kiri: Melda. Tengah: Gue. Kanan: Retha. Atas: Duta BSI





Share: