Wednesday, 28 May 2014

Karena Inggris Adalah...

Ada sejembreng alasan untuk seseorang, even buat mereka yang nggak suka jalan-jalan, untuk mengunjungi Inggris. Mulai dari alasan yang paling logis sampe yang paling absurd. Termasuk gue. Gue punya alasan yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan tapi cukup kuat untuk membuat Inggris menjadi tujuan gue.
Why? But, Why not?
Oke, tapi kalo emang harus dijabarkan alasan kenapa gue mesti ke Inggris adalah: Gue belom pernah ke Inggris, makanya mesti kesana. Simpel. Dan menjadi harus ke Inggris karena selain tobat, mengunjungi Inggris masuk dalam kategori ‘harus dilakukan’ sebelom gue mati.
Emang se-worth it apa sih Inggris? Keren banget apa? Untuk jawab pertanyaan itu sih gue bilang relatif. Tiap orang bisa suka, bisa juga nggak. Kalo gue ya udah pasti termasuk yang bilang Inggris itu kerennya very very outstanding!
Kekerenan negara Eropa barat ini dimulai dari bentuk negaranya. Salah satu mimpi gue di bidang traveling adalah, mengunjungi negara dengan bentuk monarki. Alias negara yang ngakuin raja atau ratu sebagai kepala negara. Inggris termasuk dong. Gue suka aja gitu sama negara kerajaan. Bayangin, di saat jaman udah maju gini masih ada populasi manusia yang menganggap seseorang adalah manifetasi Tuhan di dunia dalam bentuk raja atau ratu. Inggris adalah satu-satunya negara adi kuasa yang masih mempertahankan monarki parlementer sebagai bentuk negara. Coba bandingkan sama sekutunya AS yang liberal banget. Monarki di Inggris menjadi lebih punya nilai tambah karena ratu mereka bukan sekedar simbol pemersatu bangsa kayak di sebagian besar negara Eropa bahkan dunia yang bentuknya juga monarki. Ratu Inggris punya kedudukan politis dan pengaruh yang nggak kecil di dunia. Di Inggris atau di luar Inggris, sang ratu dan keluarganya sangat dicintai masyarakat dunia. Unik kan? Makanya gue pengen banget kesono. Nyobain hidup di antara manusia yang sangat mengkultuskan seseorang.
Inggris juga punya segudang identitas yang nggak dimiliki negara lain, khususnya di Eropa. Misalnya soal mata uang. Di saat negara-negara Uni Eropa sibuk mengkonversi mata uang mereka ke Euro, Inggris tenang-tenang aja dan pede tetep pakai Poundsterling. Cuma Poundsterling yang bisa mengimbangi kedigdayaan USD di Eropa. Makanya, gue pengen banget ke Inggris. Seenggaknya sekali seumur hidup dompet gue yang setipis tempe warteg ini pernah diisi oleh lembaran Poundsterling. Poundsteling coy, Poundsterling! Sebab Dollar dalem dompet udah mulai mainstream. Ihiw, asik dah gaya gue.
Apa lagi ya? Oh iya landmark. Bicara soal Inggris nggak enak rasanya kalo nggak ngomongin juga bangunan-bangunan yang jadi simbol negara ini. Inggris adalah negara dimana bangunan modern dan antik bisa berdiri secara harmonis. Siapa yang nggak tau Big Ben yang terkenal itu coba? Nggak usah minder, gue juga nggak tau. Lha wong gue belom pernah ke sana. Tapi pasti sensasinya lebih dari sekedar ‘maknyus’ kalo bisa foto-foto dengan latar belakang London Eye yang futuristik atau fasade gedung parlemen Inggris berhias Big Ben yang seolah masih belum move on dari abad pertengahan. Jadi makin pengen deh ke sana…
Lalu…tentu saja, sepak bola. Ngomongin Inggris, nggak bisa nggak ngomongin si kulit bundar. Inggris adalah tanah lahirnya sepak bola. Turnamen tertua di dunia berasal dari Inggris, yaitu Piala FA. Suporter sepak bola negara mana yang rela menyebrangi benua dengan modal nekat cuma demi nonton timnas mereka main? Jawabannya adalah Inggris dengan Hooligans-nya yang fanatik. Stadion mana di Eropa yang paling punya daya magis dan bergengsi? Jawabannya, lagi-lagi, di Inggris. Yaitu Wembley, stadion yang menjadi saksi sejarah The Three Lions sekali-kalinya (hingga tulisan ini dibikin) ngangkat trofi piala dunia di tahun 1966. Lalu gue nggak boleh ngelupain Old Traffrord. Bukan, gue bukan penggemar Manchester United. Gue penggmar AC Milan. Untuk para Milanisti, Old Trafford di musim 2002/2003 adalah kenangan manis. Di sanalah Paolo Maldini mencium trofi ‘si kuping besar’ untuk yang ke enam kalinya. Ahhh…gue pengen kesana, selfie di depan The Theatre of Dream sambil pakai jersey AC Milan. Top of all, sebagai penggila bola, gue mesti menginjak tanah tempat sepak bola dilahirkan.
Terakhir…kenapa gue mesti ke Inggris adalah untuk mengamalkan ilmu. Belasan tahun gue belajar Bahasa Inggris nyampe lidah keseleo dan itu pun nggak jaminan bisa, masa iya gue nggak minat ke sana? Emang nggak harus ke Inggris sih untuk ngetes gue fasih apa nggak berbahasa British style, tapi alangkah afdolnya kalo bahasa itu bisa gue pakai di negara aslinya.
 Sebagai penutup, muncul pertanyaan. Kenapa Old Trafford dijuluki The Theatre of Dream? Karena setiap pemain bola di seluruh dunia punya mimpi mempertunjukkan bakatnya di sana.  Setiap tim, ingin mempertontonkan drama terbaik di sana. Dan untuk scope yang lebih luas, buat gue Inggris adalah teater impian untuk siapa aja yang punya hobi jalan-jalan. Gue kepengen banget ke sana, untuk menunjukkan apa aja yang bisa gue bawa dari Indonesia. Walopun mungkin cuma menyapa penduduk sana dengan noraknya, “Hi, I’m Iqbal from Indonesia!”
Gue mesti ke Inggris!






Share:

Tuesday, 20 May 2014

Cilegon dan Investasi


Selamat datang di Cilegon =)


Kalo bukan karena industri bajanya, mungkin nggak banyak orang yang tau Cilegon itu apa, dan dimana. Dulu, Cilegon hanyalah kota kecil di pesisir ujung barat Pulau Jawa. Kota ini cuma jadi pasar tumpah atau tempat singgah bagi yang mau ke Sumatera dari Jawa atau sebaliknya.
Kehadiran sebuah pabrik baja bernama Trikora di era Bung Karno merubah seluruhnya tatanan kehidupan sosial kota ini. Apalagi setelah jaman Orde Baru mengambil alih industri baja tersebut dan mengganti namanya menjadi Krakatau Steel. Secara resmi, Cilegon mentasbihkan namanya menjadi kota industri penting di Indonesia.
Industri baja itu menarik industri-industri lainnya sebagai pendukung untuk tumbuh. Jadi deh pribahasa ‘ada gula ada semut’ berlaku di Cilegon. Dalam artian, lapangan kerja terbuka luas maka para pendatang secara massive masuk ke Cilegon.
Nah di sini gue ngeliat peluang. Walaupun untuk ukuran kota industri yang penting dan gede, Cilegon menurut gue infrastruktur pendukungnya masih biasa-biasa aja. Gue nggak bilang kurang.
Infrastruktur utamanya boleh lah udah komplit. Tapi pendukungnya masih kurang ‘wah’ dan masih sedikit yang mau investasi di sini. Padahal 423.708 jiwa  (sumber: www.kemendagri.go.id) adalah pasar yang menggiurkan.
Karena predikatnya sebagai kota industri, Cilegon dipadati oleh para pendatang dari berbagai daerah. Nah mereka ini dateng membawa latar belakang, karakter, selera, dan gaya hidup yang beda-beda dari daerahnya. Contoh kecil yang biasa gue alami dan paling simpel nih ya, mari kita ngomongin pendatang muda dari Bandung. Anak muda Bandung biasanya gaul abis. Di daerah asalnya kuliner khas banyak, tempat nongkrong tinggal pilih, urusan fashion nggak perlu bingung. Tapi mereka mendadak mati gaya ketika pindah ke Cilegon. Again, karena infrastruktur pendukung di Cilegon biasa aja. Anak muda Bandung tersebut tetap bisa hidup, tapi ketika dia perlu membeli fashion bermerek misalnya, dia bakal cari ke luar Cilegon. Ke Tangerang, Jakarta, atau bahkan balik ke Bandung sekalian.
Itu baru yang dari Bandung, belom dari daerah lain. Nah untuk yang bingung gimana caranya menginvestasikan uang berlebih, gue sih nggak ragu nyaranin untuk ‘menanam’ uang di sini. Bisa dengan bikin restoran khas daerah asal yang di Cilegon masih terbatas banget, bisa juga buka gerai-gerai di bidang sandang dan pangan yang branded, atau ide-ide lain yang mana di Cilegon ini masih banyak banget celahnya. Ah Cilegon kan luasnya cuma 175km per segi, kecil! Yups, tapi justru handicap ini bisa jadi potensi buat Cilegon. Apa sih yang konsumen harapkan dari penjual barang dan jasa? Salah satu jawabannya adalah dekat. Dengan area ‘jelajah’ yang nggak begitu luas, penduduk Cilegon nggak perlu ngeluarin effort gede untuk dapet apa yang mereka mau. Yang penting para pelaku usaha pinter-pinter dan kreatif aja manfaatin lahan.
Properti apalagi, ini menjanjikan banget. Mereka yang dateng ke Cilegon dengan status jomblo dan bekerja di sini jumlahnya terus bertambah seiring banyaknya pabrik-pabrik baru yang juga subur bertumbuh. Nggak sedikit mereka yang ketemu jodoh di sini kemudian berkeluarga. Otomatis kebutuhan untuk hunian dan bisnis juga meningkat. Apalagi ketika Krakatau Steel patungan sama pabrik baja Korea untuk bikin industri baja yang baru, maka slot ekspatriat harus ditambahin di struktur kependudukan Cilegon. Makin banyak kan penduduknya?
Gimana dengan sektor pariwisata? Jujur aja Cilegon nggak punya objek wisata baik alam atau non-alam yang menarik. Tapi untuk menuju objek-objek wisata terbaik di Banten dan Lampung, Cilegon adalah pintu gerbangnya. Mau ke Anyer, Ujung Kulon, Gunung Krakatau, bahkan Teluk Kiluan, semuanya kudu lewat Cilegon. Ini kode banget buat yang mau buka jasa travel.
Omong-omong soal travel, yang gue liat peka dalam hal ini adalah PT. KAI. Perusahaan plat merah itu menyadari potensi pendatang dari Jawa yang bermukim di Cilegon. Maka dari itu PT. KAI membuka rute Merak-Kediri untuk mengakomodir mereka yang mau pulang ke kampung halaman atau sekedar jalan-jalan.
Dan ini sih sekedar saran atau cita-cita gue ya, karena sejarahnya yang lumayan panjang sebagai kota industri, suatu hari Cilegon mesti punya museum industri. Keren kan? Bisa wisata industri gitu di Cilegon.
Dan pada akhirnya gue nggak jamin investasi di Cilegon bisa berhasil juga nggak bisa jawab kapan Return of Investment sebuah bisnis bisa balik. Yang bisa gue pastikan adalah banyak market yang belum tergarap di kota yang gue tinggalin sejak kelas 4 SD ini.

Cilegon adalah satu dari sedikit kota kecil dimana industri dan kehidupan sosial masyarakat berdampingan dengan harmonis. Mari kakak kunjungi Cilegon kakak, boleh kakak….

Cilegon menjelang senja

Share:

Saturday, 17 May 2014

Jakarta Menyusut


Paling enak tuh kalo udah denger kata ‘weekend’. Apalagi weekend yang sifatnya gondrong (weekend panjang maksudnya). Kaya kemaren tuh tanggal 15 Mei pas tanggal merah. Sebetulnya ada hari kejepitnya sih, tapi orang-orang biasanya pada ambil cuti.
Jakarta. Jarang loh ada orang penikmat long weekend yang ngabisin liburannya di sini. Tapi gue malah janjian sama dua temen gue untuk city tour di Jakarta.
Jujur, ini pertama kalinya gue bener-bener nikmatin liburan panjang ke Jakarta. Biasanya kan nyari yang ijo-ijo ke gunung, atau yang sepoi-sepoi ke pantai. Tapi karena nggak ada rencana dan budget yang lagi dikebiri, gue mengiyakan ajakan spontan city tour ini.
Terus gimana hasilnya? Gue dapet kesimpulan: Luas Jakarta pada saat long weekend ‘menyusut’ secara signifikan. Rute gue seharian di Jakarta City Tour kemaren adalah: Gambir-Senen-Matraman-Salemba-Menteng-Lebak Bulus-Kembangan-Kebon Jeruk-Cengkareng-Kalideres. Itu udah representasi seluruh wilayah Jakarta minus bagian utara, kenek Mayasari Bakti mah masih kalah deh trayeknya sama gue hari itu. Lalu dimana bagian luas Jakarta yang menyusut? Gue jelasin di paragraf berikut.
Untuk mengitari rute tadi, gue start dari jam satu siang dan berakhir jam delapan malem. Tujuh jam. Dimulai dari Stasiun Gambir untuk antri beli tiket arus balik lebaran yang panjang antriannya bikin napsu makan ilang. Terus lanjut ke Senen cuma untuk ngomentarin poster film yang ada di bioskop sono. Lalu gue juga masih sempet minum nutrisari jeruk sambil selfie-selfie di Taman Soerapati terus lanjut jalan kaki ke Taman Menteng, kemudian selfie-selfie lagi. Sempet juga nyuekin tatapan prihatin orang-orang yang lewat karena kita bertiga dengan noraknya foto-foto di depan SDN 01 Menteng, tempat dulu Obama sekolah dan jajan lidi-lidian atau maen jimbot. Terus, sebelom balik gue juga sempet makan bebek goreng enak banget di daerah Kembangan.
Ngaso bentar. Yang belakang kayak sih lagi antri mau foto bareng,gue mah cool aja.


Coba bayangin kalo itu semua dilakukan di hari biasa. Tujuh jam apakah cukup? Nggak usah mikirin selfie deh di Taman Soeropati, ngeliat jejeran kendaraan ‘parkir’ di ruas Jalan Diponegoro aja udah males. Kebetulan waktu gue ospek dulu selalu lewat jalan ini, dan untuk melaluinya bisa ngabisin satu setengah jam sendiri. Padahal panjang jalannya nggak lebay-lebay amat. Atau ketika kita naek busway jurusan Lebak Bulus-Grogol, boro-boro mikirin makan bebek goreng, bisa sampe di Pondok Indah dalam tiga puluh menit aja udah sujud syukur banget.
Dan kemaren, kita bertiga sempet jalan kaki dari Matraman sampe nyaris Tugu Proklamator. Kita nggak kuatir diseruduk bajaj, atau diserempet metromini. Dan asyiknya, kita nggak kuatir kena macet. Perasaan langka bagi siapa saja yang ada di Jakarta. Waktu tempuh dari satu tempat ke tempat laen cuma dalam hitungan menit. Jadi deh kesimpulannya, Jakarta menjadi ‘kecil’ di saat long weekend.
Jakarta jadi ‘kecil’ di long weekend atau hari libur, karena penduduknya masih beranggapan bahwa untuk menikmati Jakarta adalah dengan cara meninggalkannya sejenak. Jadi deh tiap libur Jakarta kayak ditinggal penduduknya pindah ke planet laen. Kesian Jakarta, dia kayak sapi perah di hari biasa, lalu ketika liburan datang mendadak jadi sepah yang dibuang.

By the way, gue belom cerita yah tentang dua partner jalan-jalan gue kali ini. Mereka berdua adalah cewek bernama Retha dan Melda. Mereka cewek-cewek tangguh. Nggak banyak loh cewek yang mau jalan kaki di trotoar Jakarta ditengah cuaca yang labil, entar panas entar gerimis. Mereka nggak takut betis mereka bekonde atau jadi empat. Mereka kuat untuk jalan kaki, mereka kuat untuk nggak ngeluh, mereka kuat nahan panas matahari. Tapi nggak tau deh mereka kuat apa nggak diPHP-in cowok. Yang mau kenalan atau ngajak mereka jalan-jalan, coba deh kenalan atau stalking-stalking dulu, nih twiter mereka: @margarethisme dan @melisamelda. They’re rocks \m/
Kiri: Melda. Tengah: Gue. Kanan: Retha




Kiri: Melda. Tengah: Gue. Kanan: Retha. Atas: Duta BSI





Share:

Thursday, 8 May 2014

Sherlock!


Kalo ada yang liat bio Twiter gue di akun @yosfiqariqbal , maka ada kata ‘Sherlockian’. Apa itu Sherlockian? Apa, yang dijual mbok-mbok buat sarapan? Itu ketan woy! Jadi Sherlockian ini adalah sebutan buat para penggemar tokoh detektif rekaan penulis Inggris yang hidup di tahun 1859-1930, Sir Arthur Conan Doyle. Sherlock Holmes namanya.
Sir Arthur Conan Doyle

Sekilas nih tentang tokoh Sherlock. Dia ini adalah seorang dengan kemampuan otak brilian dalam meyingkap fakta-fakta yang luput dari pemikiran orang kebanyakan. Scotland Yard (satuan kepolisian Inggris) sering minta bantuan doi kalo udah mentok menangani sebuah kasus. Sherlock sendiri menyebut profesinya ini sebagai konsultan detektif, sebuah profesi yang diklaimnya satu-satunya di dunia. Kemampuan menganalisis dan menyimpulkan sesuatu itu disebutnya sebagai science of deduction (mampir ke thescienceofdeduction.co.uk deh, keren loh!). Sherlock bisa mengetahui kepribadian seseorang hanya dengan menganalisis sepatu orang tersebut. Seperti cenayang, tapi sesungguhnya itu merupakan kesimpulan dari beberapa fakta yang sangat logis. Uniknya, atas kemampuannya yang luar biasa itu, Sherlock nggak pernah minta bayaran untuk orang-orang yang datang minta bantuannya. Yang terpenting baginya adalah, ada sebuah kasus dan otaknya bisa terus bekerja. Makanya doi sering ngerasa bosen kalo beberapa hari aja nggak nemu kasus pembunuhan. Pendeknya, Sherlock ini adalah seorang psikopat. Yeah, high function pshycopat. Dalam setiap aksinya detektif hebat ini selalu didampingi oleh seorang pensiunan dokter militer bernama dr. John Watson. Watson ini yang selalu menulis jurnal tentang kasus-kasus yang ditangani Sherlock Holmes.
Karya-karya tentang Sherlock Holmes ini banyak banget diadaptasi ke berbagai bentuk. Ceritanya ada berseri-seri. Ada yang dikumpulin dalam bentuk novel utuh berupa kumpulan kasus sampe yag dijual secara stensilan. Ada juga beberapa penerbit yang membeli hak terbitnya sehingga jangan heran kalo ketemu sama novel Sherlock Holmes yang bukan ditulis sama Conan Doyle.
Sebagai penggemar detektif fiksi ini, gue mau share tentang Sherlock Holmes dari berbagai versi. Menurut gue, ada tiga versi yang paling laris dan banyak orang tau tentang Sherlock Holmes ini. Yaitu versi novel, Film Hollywood, dan versi serial TV-nya. Gue bahas atu-atu nih ya.
Pertama versi novel. Di novel ini ceritanya mengggunakan point of view orang kedua. Yaitu dari sudut pandang si dr. Watson sebagai perawi kisah. Nggak banyak loh novel dengan sudut pandang kayak gini dan bagus. Sherlock di sini karakternya dingin, cerdas, angkuh, sinis dengan yang namanya cinta, dan percaya diri. Tapi karena media buku yang terbatas, kita cuma tau bentuk fisik Sherlock yang tinggi dan kurus. Kasus favorit gue adalah ‘The Dancing Men’, atau Sandi Orang Menari. Kayak gimana ceritanya? Cari bukunya aja deh, terus baca =p
Salah Satu Novel Sherlock Holmes

Kedua, versi Film Hollywood. Sherlock diperankan oleh Robert Downey Jr dan Watson diperankan oleh si Jude Law. Di film ini kita lebih leluasa menginterpretasikan sosok dan setting yang mungkin cuma kita reka-reka kalo baca novelnya. Misalnya, gimana situasi London di tahun 1800-an. Karakter si detektif ini sedikit beda sama novelnya. Di sini Sherlock Holmes nggak begitu ‘kaku’, dia masih mempunyai selera humor. Yah, khas aktingnya si Robert Downey lah. Versi industri film Amrik ini ada dua sekuel. Yang pertama berjudul ‘Sherlock Holmes’, yang kedua ‘Sherlock Holmes: Game Of Shadow’. Lebih seru yang mana? Gue pribadi sih yang kedua. Karena Sherlock ketemu sama musuh yang sepadan kemampuannya, James Morriarty. Denger-denger sih film ketiganya rilis Desember taun ini.
Robert Downey Jr Sebagai Holmes Versi Hollywood


Jude Law Sebagai Watson Versi Hollywood

Terakhir versi serial TV. Kalo di TV nasional sih belom ada yang nayangin ya. Kita bisa nonton di AXN TV atau saluran BBC. Atau bisa juga download. Dan kalo lagi untung, bisa juga nemu di mamang DVD. Serial ini udah berjalan 3 season dimana tiap seasonnya berjarak 2 tahun. Sherlock di sini diperankan dengan sangak apik oleh Bennedict Cummberbatch, sedangkan lakon dr. Watson dimainkan Martin Freeman (yang jadi Bilbo Baggins di The Hobbit). Eh tau nggak, ini versi paling unik loh. Karena di versi ini setting cerita ada di tahun 2010-an. Dengan kata lain, dengan kreatifnya tim serial ini ‘memindahkan’ London dari abad 19 ke abad 21. Sherlocknya udah punya smartphone, Watson juga rajin ngeblog dan ngetik ceritanya pakai Apple. Keren. Karakter Sherlocknya bener-bener sama kayak di novel. Dan yang paling penting, versi ini  menceritakan sisi lain dari sang detektif yang nggak pernah dibahas di versi mana pun. Misalnya tentang keluarga Sherlock, masa kecil Sherlock, arti nama Sherlock, sampai hubungan personal penuh emosi dengan Watson sahabatnya. Kekuatan utama dari serial ini adalah cerita berbeda di tiap episodenya tapi sebetulnya saling berkaitan dengan ending yang seolah ‘biasa aja’ tapi sanggup bikin Sherlockian nggak bisa tidur nunggu episode terbarunya keluar.
Om Bennedict Sebagai Sherlock di Versi TV Series


Mas Martin Sebagai Watson di Versi TV Series

Dari tiga versi itu, jualan utamanya sih sama. Analisis, hipotesa, dan pengambilan kesimpulan yang nggak terbayangkan dan paling nggak kita bakal berseru: “awesome!”
Itu aja sih menurut gue versi Sherlock paling terkenal. Kalo ada yang punya Sherlock versi lain, boleh banget loh share infonya ke gue. Ditunggu ya! I’m Sherlockian. You? =)


“Brainy is new sexy.” –Sherlock Holmes-
Share:

Monday, 5 May 2014

Yogya, Setangkup Haru Dalam Rindu

Stasiun Tugu agak gerimis di suatu sore. Saat itu peralihan dari akhir Mei ke awal Juni 2013. Pasca turun dari kereta Gajah Wong gue langsung memegang tangan halusnya erat. Takut kehilangan. Ini bukan gombal, tapi emang beneran takut dia ngilang di antara para penumpang yang turun dan naik dari beberapa rangkaian gerbong. Belom lagi ditambah sama penyedia jasa angkutan mulai dari taksi sampe becak yang bikin suasana jadi tambah crowded. Gue mempercepat langkah dan menggenggam tangannya makin erat, nggak peduli kita baru aja melewati perjalanan lumayan melelahkan selama 8 jam dari Jakarta.
Kita berdua menghirup udara yang lumayan seger ketika sampai di pintu keluar. Bau tanah yang kesapu gerimis begitu khas. Wangi Yogyakarta! Nggak jauh di hadapan kita berdua adalah ruas jalan paling legendaris di Yogya. Tapi gue bakal cerita tentang jalan ini belakangan. Karena itu adalah bagian paling, let say, menguras energi.
Entah kenapa harus Yogakarta. Mungkin karena ini adalah jalan tengah dalam menentukan kemana kami akan ‘melarikan diri’ sejenak dari rutinitas kerjaan yang nggak ada habisnya, bos resek, dan partner kerja dengan sealaihumgambreng permasalahannya. Yogya bisa merangkum semua kegiatan yang kita butuhkan untuk berlibur. Alam, budaya, belanja, dan kuliner, semuanya bisa didapet dalam satu kayuhan dayung.
Misalnya aja nih ya, dengan modal seratus ribuan kami nyewa motor dari seputaran Jalan Dagen ke daerah Kaliurang, cari udara segar dan kesejukan yang langka. Waktu itu kami pake jaket couple warna hijau tua yang sengaja kami beli di Jakarta untuk trip kali ini. Jalanan nanjak melewati lereng gunung dan udara yang makin dingin sama sekali nggak berasa karena di atas motor matic itu kami ngobrol ngalor ngidul tanpa beban. Dan yang penting, tangannya memeluk pinggang gue. Kami merasa seperti Sultan dan Kanjeng Ratu pemilik jalan. Yang laen mah rakyat jelata, ngontrak aja deh.
Di depan peta perebaran gunung api. Keren ga petanya?

Kami mengunjungi Museum Gunung Merapi. Tapi apalah arti museum dan segala fakta-faktanya untuk dua orang yang sedang digandrung cinta. Harusnya gue dan dia berdiskusi tentang sejarah Gunung Merapi disertai dengan segala mitos-mitosnya. Karena tempat ini benar-benar menarik, penuh ilmu, dan membuka mata gue bahwa Indonesia harusnya bangga punya banyak gunung api. Tinggal bagaimana pemerintahnya melakukan manajemen bencana yang benar. Tapi apa mau dikata, gue malah asyik ngegombalin dia di depan maket Gunung Merapi beserta daerah-daerah yang mengelilinginya. Lukisan Merapi di dinding museum seolah mewakili perasaan gue. Perasaan yang membuncah, berpijar, mengalir, dan meletup-letup. Indahnya Merapi, selain lava pijarnya bisa menggemburkan tanah, ternyata dia juga pandai meniru perasaan hati manusia.
Di Depan Museum Gunung Merapi. Keren ga?

By the way, ini kok jadi galau gini yah? Ini kan ceritanya gue lagi liburan loh. Anyway, sampailah kita di Malioboro. Pusatnya Yogyakarta. Dimana seluruh elemen masyarakat Yogya mulai dari pengusaha sampai turis bertemu. Shoping di sini emang udah paling bener deh. Dia selalu ngomelin gue karena gue kurang pinter nawar. Akhirnya kita bagi tugas, gue yang pilih barang dan dia yang nawar. Seneng banget rasanya ketika dia suka sama batik warna abu-abu pilihan gue. Kita beli di Toko Batik Mirota. Sempet kecele juga sih, biarpun namanya toko batik, tapi ternyata di dalam toko ini segala rupa ada. Saking niatnya nih toko, mereka sampe mempekerjakan pembatik betulan untuk demo menulis batik di depan semua pengunjung. Harapan gue sih cuma satu, semoga batik pilihan gue masih dia pake sampe sekarang.
Lelah menyusuri Malioboro, kamipun lapar. Gerimis mulai turun. Lampu-lampu jalan berbentuk heksagonal itu bersinar temaram berwarna kuning tua. Kami duduk di sebuah lapak dan memesan bebek goreng. Nggak terlalu enak. Tapi siapa yang peduli. Just me, and her sweet killing smile. Gini, ada nggak yang bisa jawab: Adakah yang lebih romantis selain kombinasi rintik gerimis dan Yogyakarta?
Abis borong batik. Keren ya topinya?

Dan pada akhirnya bahkan Jalan Malioboro yang dicintai banyak orang itu juga memiliki ujung. Seperti sebuah hubungan yang memilih untuk tiba diujung lebih awal karena tergerus lelah dan frustasi. Pedes. Sepedes sambel nasi kucing yang gue dan dia makan di Angkringan Lek Man. Dan berat. Seberat mengayuh sepeda kerlap-kerlip aneka warna di alun-alun Yogya.
Di ujung Jalan Malioboro. Keren ya yang naek sepeda?

Jadi sekarang, jangan heran kalo ngeliat gue minta tolong seseorang untuk nahan gue nyilet-nyilet urat nadi pas denger lagu Yogyakartanya Bang Katon Bagaskara. Bahkan gue sempet berjanji, kalo nggak ada yang urgent-urgent banget semisal diundang nonton bola bareng Sri Sultan, gue nggak bakal balik ke Yogyakarta lagi. Mungkin karena seperti yang Bang Katon bilang dalam lagunya, ada setangkup haru dalam rindu  di sana. Harunya sih udah ilang, tapi rindunya itu loh, aeeeee mateeee….. *ngacak-ngacak jemuran tetangga*







Share: