Stasiun Tugu agak gerimis di suatu sore. Saat itu peralihan dari akhir
Mei ke awal Juni 2013. Pasca turun dari kereta Gajah Wong gue langsung memegang
tangan halusnya erat. Takut kehilangan. Ini bukan gombal, tapi emang beneran
takut dia ngilang di antara para penumpang yang turun dan naik dari beberapa
rangkaian gerbong. Belom lagi ditambah sama penyedia jasa angkutan mulai dari
taksi sampe becak yang bikin suasana jadi tambah crowded. Gue mempercepat
langkah dan menggenggam tangannya makin erat, nggak peduli kita baru aja
melewati perjalanan lumayan melelahkan selama 8 jam dari Jakarta.
Kita berdua menghirup udara yang lumayan seger ketika sampai di pintu
keluar. Bau tanah yang kesapu gerimis begitu khas. Wangi Yogyakarta! Nggak jauh
di hadapan kita berdua adalah ruas jalan paling legendaris di Yogya. Tapi gue
bakal cerita tentang jalan ini belakangan. Karena itu adalah bagian paling, let
say, menguras energi.
Entah kenapa harus Yogakarta. Mungkin karena ini adalah jalan tengah
dalam menentukan kemana kami akan ‘melarikan diri’ sejenak dari rutinitas
kerjaan yang nggak ada habisnya, bos resek, dan partner kerja dengan
sealaihumgambreng permasalahannya. Yogya bisa merangkum semua kegiatan yang
kita butuhkan untuk berlibur. Alam, budaya, belanja, dan kuliner, semuanya bisa
didapet dalam satu kayuhan dayung.
Misalnya aja nih ya, dengan modal seratus ribuan kami nyewa motor dari
seputaran Jalan Dagen ke daerah Kaliurang, cari udara segar dan kesejukan yang
langka. Waktu itu kami pake jaket couple warna hijau tua yang sengaja kami beli
di Jakarta untuk trip kali ini. Jalanan nanjak melewati lereng gunung dan udara
yang makin dingin sama sekali nggak berasa karena di atas motor matic itu kami
ngobrol ngalor ngidul tanpa beban. Dan yang penting, tangannya memeluk pinggang
gue. Kami merasa seperti Sultan dan Kanjeng Ratu pemilik jalan. Yang laen mah
rakyat jelata, ngontrak aja deh.
Di depan peta perebaran gunung api. Keren ga petanya? |
Kami mengunjungi Museum Gunung Merapi. Tapi apalah arti museum dan segala
fakta-faktanya untuk dua orang yang sedang digandrung cinta. Harusnya gue dan
dia berdiskusi tentang sejarah Gunung Merapi disertai dengan segala
mitos-mitosnya. Karena tempat ini benar-benar menarik, penuh ilmu, dan membuka
mata gue bahwa Indonesia harusnya bangga punya banyak gunung api. Tinggal
bagaimana pemerintahnya melakukan manajemen bencana yang benar. Tapi apa mau
dikata, gue malah asyik ngegombalin dia di depan maket Gunung Merapi beserta
daerah-daerah yang mengelilinginya. Lukisan Merapi di dinding museum seolah
mewakili perasaan gue. Perasaan yang membuncah, berpijar, mengalir, dan
meletup-letup. Indahnya Merapi, selain lava pijarnya bisa menggemburkan tanah,
ternyata dia juga pandai meniru perasaan hati manusia.
Di Depan Museum Gunung Merapi. Keren ga? |
By the way, ini kok jadi galau gini yah? Ini kan ceritanya gue lagi liburan
loh. Anyway, sampailah kita di Malioboro. Pusatnya Yogyakarta. Dimana seluruh
elemen masyarakat Yogya mulai dari pengusaha sampai turis bertemu. Shoping di
sini emang udah paling bener deh. Dia selalu ngomelin gue karena gue kurang
pinter nawar. Akhirnya kita bagi tugas, gue yang pilih barang dan dia yang
nawar. Seneng banget rasanya ketika dia suka sama batik warna abu-abu pilihan
gue. Kita beli di Toko Batik Mirota. Sempet kecele juga sih, biarpun namanya
toko batik, tapi ternyata di dalam toko ini segala rupa ada. Saking niatnya nih
toko, mereka sampe mempekerjakan pembatik betulan untuk demo menulis batik di
depan semua pengunjung. Harapan gue sih cuma satu, semoga batik pilihan gue
masih dia pake sampe sekarang.
Lelah menyusuri Malioboro, kamipun lapar. Gerimis mulai turun.
Lampu-lampu jalan berbentuk heksagonal itu bersinar temaram berwarna kuning
tua. Kami duduk di sebuah lapak dan memesan bebek goreng. Nggak terlalu enak.
Tapi siapa yang peduli. Just me, and her sweet killing smile. Gini, ada nggak
yang bisa jawab: Adakah yang lebih romantis selain kombinasi rintik gerimis dan
Yogyakarta?
Abis borong batik. Keren ya topinya? |
Dan pada akhirnya bahkan Jalan Malioboro yang dicintai banyak orang itu
juga memiliki ujung. Seperti sebuah hubungan yang memilih untuk tiba diujung
lebih awal karena tergerus lelah dan frustasi. Pedes. Sepedes sambel nasi
kucing yang gue dan dia makan di Angkringan Lek Man. Dan berat. Seberat
mengayuh sepeda kerlap-kerlip aneka warna di alun-alun Yogya.
Di ujung Jalan Malioboro. Keren ya yang naek sepeda? |
Jadi sekarang, jangan heran kalo ngeliat gue minta tolong seseorang untuk
nahan gue nyilet-nyilet urat nadi pas denger lagu Yogyakartanya Bang Katon
Bagaskara. Bahkan gue sempet berjanji, kalo nggak ada yang urgent-urgent banget
semisal diundang nonton bola bareng Sri Sultan, gue nggak bakal balik ke
Yogyakarta lagi. Mungkin karena seperti yang Bang Katon bilang dalam lagunya,
ada setangkup haru dalam rindu di sana.
Harunya sih udah ilang, tapi rindunya itu loh, aeeeee mateeee….. *ngacak-ngacak
jemuran tetangga*
yooossss...... ngakak abis gue bacanya. Kacau banget dah itu sosok seseorang masih juga ikutan dipajang dengan muka di blur pula. Ampooon dah. Ini mah namanya cinta lama gagal move on. Btw anyway busway, jogja emang maknyus, buat gue kota itu kota seribu satu kenangan. Setel lagu KLA ah.... *sodorin silet
ReplyDeleteIya Mbak, ini sepanjang nulis juga diiringi lagu Aku Rapopo-nya Julia Perez =(
DeleteMuahahahaha...
Delete*numpang ngakak*
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteYogya, Truly never ending Indonesia :)
ReplyDeleteTempat di mana selalu ingin kembali.
Salam kenal, mas yos ^^
Iya Mbak, nanti kalo udah punya istri mesti balik ke sana ='). Salam kenal juga Mbak Indah. *Jabat tangan*
DeleteNah ini... inget pesennya gol a gong. Bikin lg ntar tulisan dg judul... membunuh kenangan lama dengan menciptakan cerita baru ;)
Deletewanitaku, cintamu tak setulus jogja... :)
ReplyDeleteMakjlebs, bangets =(
ReplyDeleteaiiihh..liat foto yg diblur dan ditutup itu saya jadi bingung mau komen apa biar enggak nyilet2 perasaan Mas Yos :) Tenang aja Mas, saya yg KLanis level galaksi aja enggak suka sama lagu Yogyakarta koq, jadi gak bakalan ngajak Mas Yos ndengerin lagu itu :) Bener kata Mak Noe tuh, bunuh kenangan lama dg membuat cerita baru.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berpartisipasi di GA ini ya, good luck.