Awalnya liat teaser film ini gue kok nyangkanya ini
film klise yang jualan utamanya adalah sebuah impian yang jadi kenyataan. Udah
kebayang adegan-adegan dan dialog-dialog super yang bakal bikin motivasi semua
orang terbakar untuk berbondong-bondong ngejar mimpi.
Ternyata gue salah. Gue baca review dari beberapa
seleb twit yang udah nonton premierenya dan mereka ngasih tanggapan yang, untuk
ukuran film Indonesia, keren! Akhirnya di pemutaran hari pertama nonton nih
film. Dan mengecewakan sih kalo diliat dari kursi-kursi bioskop yang terisi
kurang dari seperempatnya.
Eit, tapi kalo diliat dari kualitas film ini sendiri
sebenernya bisa dipertanyakan kenapa begitu banyak kursi kosong, padahal
filmnya bagus. Film ini bersetting di Maluku saat bentrokan berlatar belakang
sara sedang menghantui penduduk di sana. Pusat cerita berada di kota kecil
bernama Tulehu. Tulehu ini adalah kota penghasil pemain-pemain sepakbola
berbakat. Pemain professional Indonesia yang bermarga Lestaluhu, Pellu, dan Tuassalamony
berasal dari kota pesisir ini.
Hampir di sepanjang film kita disuguhkan pemandangan
pantai khas Maluku yang, hmmmm….sedap. Dan di beberapa scene berhasil membuat
orang berdecak kagum.
Film ini terasa begitu natural karena seluruh dialognya
full berbahasa Maluku lengkap dengan logat timurnya. Dialognya mengalir, dan kekhawatiran
gue tentang kata-kata ‘mutiara’ klise pembangkit semangat sama sekali nggak
terbukti di film ini. Pemilihan pemeran yang terdiri dari anak-anak Maluku asli
juga sangat membantu penyampaian pesan film ini. Mereka dengan halus mengajak
kita berempati bagaimana rasanya menikmati masa kecil ditengah masyarakat dengan
senjata terhunus.
Chico Jericho si pemeran utama, sukses berat membangun
karakter orang timur yang sedang galau
dan nyaris putus asa. Dia berduet oleh Shafira Umm si pemeran istri Chico yang
memang aslinya orang timur. Gue terkejut ketika muncul Ridho Slank sebagai
pemain yang memiliki peran cukup signifikan di film ini. Dan dia berhasil!
Jujur, film ini terasa membosankan di setengah jam
awal. Itu mungkin karena si sutradara pengen menggambarkan lebih dulu konflik
dan latar belakang Maluku saat itu. Sebetulnya cerita baru bermulai ketika Sani
(Chico Jericho) menemukan sekelompok anak berbakat dalam bermain bola. Sani
mengumpulkan mereka dan memberi mereka pelatihan sepak bola (Di sini
diceritakan bahwa Sani adalah seorang atlet sepak bola yang gagal menembus
seleksi PSSI Baretti). Nah di sini menurut gue nggak klise-nya. Sani melatih
mereka bermain bola bukan hanya untuk meraih kemenangan, tapi untuk tujuan yang
lebih sederhana dari itu.
Film ini menggunakan sepakbola sebagai katalis
penyampai pesan. Mungkin itulah sebabnya kenapa film ini launching ditengah
perhelatan Piala Dunia.
Dan yang paling penting, nih film ingin menyampaikan “ini
loh Indonesia”. Semua konflik yang ada di film ini itu Indonesia banget. Cuma
kebetulan aja setting dan plot ceritanya di Maluku.
Sayangnya, seperti kelemahan film sepakbola lainnya,
adegan saat bertanding bolanya begitu kaku dan agak kurang realistis. Film
sepakbola Indonesia yang adegan tanding bolanya lumayan menurut gue adalah
Garuda Di Dadaku 2, dan itupun kurang memuaskan. I know, dalam film memang
membutuhkan efek dramatisasi, dan Cahaya Dari Timur ini berhasil menimbulkan
efek itu tapi gagal meyakinkan penonton bahwa seperti itulah pertandingan
sepakbola. Untungnya itu ketolong sama scene-scene dan dialog di luar adegan
pertandingan itu.
Kalo yang butuh tontonan beda untuk film Indonesia,
Cahaya Dari Timur ini sangat layak dinikmati. Apalagi untuk yang gila bola,
ditengah euforia Piala Dunia film ini bisa sedikit membuka mata bahwa Indonesia
bisa saja ke Piala Dunia. Perjalanan ke sana, bisa dimulai dari Tulehu, eh
bukan…tapi Maluku. Beta Maluku!