Friday, 20 June 2014

Review: Cahaya Dari Timur

Awalnya liat teaser film ini gue kok nyangkanya ini film klise yang jualan utamanya adalah sebuah impian yang jadi kenyataan. Udah kebayang adegan-adegan dan dialog-dialog super yang bakal bikin motivasi semua orang terbakar untuk berbondong-bondong ngejar mimpi.
Ternyata gue salah. Gue baca review dari beberapa seleb twit yang udah nonton premierenya dan mereka ngasih tanggapan yang, untuk ukuran film Indonesia, keren! Akhirnya di pemutaran hari pertama nonton nih film. Dan mengecewakan sih kalo diliat dari kursi-kursi bioskop yang terisi kurang dari seperempatnya.
Eit, tapi kalo diliat dari kualitas film ini sendiri sebenernya bisa dipertanyakan kenapa begitu banyak kursi kosong, padahal filmnya bagus. Film ini bersetting di Maluku saat bentrokan berlatar belakang sara sedang menghantui penduduk di sana. Pusat cerita berada di kota kecil bernama Tulehu. Tulehu ini adalah kota penghasil pemain-pemain sepakbola berbakat. Pemain professional Indonesia yang bermarga Lestaluhu, Pellu, dan Tuassalamony berasal dari kota pesisir ini.
Hampir di sepanjang film kita disuguhkan pemandangan pantai khas Maluku yang, hmmmm….sedap. Dan di beberapa scene berhasil membuat orang berdecak kagum.
Film ini terasa begitu natural karena seluruh dialognya full berbahasa Maluku lengkap dengan logat timurnya. Dialognya mengalir, dan kekhawatiran gue tentang kata-kata ‘mutiara’ klise pembangkit semangat sama sekali nggak terbukti di film ini. Pemilihan pemeran yang terdiri dari anak-anak Maluku asli juga sangat membantu penyampaian pesan film ini. Mereka dengan halus mengajak kita berempati bagaimana rasanya menikmati masa kecil ditengah masyarakat dengan senjata terhunus.
Chico Jericho si pemeran utama, sukses berat membangun karakter orang timur  yang sedang galau dan nyaris putus asa. Dia berduet oleh Shafira Umm si pemeran istri Chico yang memang aslinya orang timur. Gue terkejut ketika muncul Ridho Slank sebagai pemain yang memiliki peran cukup signifikan di film ini. Dan dia berhasil!
Jujur, film ini terasa membosankan di setengah jam awal. Itu mungkin karena si sutradara pengen menggambarkan lebih dulu konflik dan latar belakang Maluku saat itu. Sebetulnya cerita baru bermulai ketika Sani (Chico Jericho) menemukan sekelompok anak berbakat dalam bermain bola. Sani mengumpulkan mereka dan memberi mereka pelatihan sepak bola (Di sini diceritakan bahwa Sani adalah seorang atlet sepak bola yang gagal menembus seleksi PSSI Baretti). Nah di sini menurut gue nggak klise-nya. Sani melatih mereka bermain bola bukan hanya untuk meraih kemenangan, tapi untuk tujuan yang lebih sederhana dari itu.
Film ini menggunakan sepakbola sebagai katalis penyampai pesan. Mungkin itulah sebabnya kenapa film ini launching ditengah perhelatan Piala Dunia.
Dan yang paling penting, nih film ingin menyampaikan “ini loh Indonesia”. Semua konflik yang ada di film ini itu Indonesia banget. Cuma kebetulan aja setting dan plot ceritanya di Maluku.
Sayangnya, seperti kelemahan film sepakbola lainnya, adegan saat bertanding bolanya begitu kaku dan agak kurang realistis. Film sepakbola Indonesia yang adegan tanding bolanya lumayan menurut gue adalah Garuda Di Dadaku 2, dan itupun kurang memuaskan. I know, dalam film memang membutuhkan efek dramatisasi, dan Cahaya Dari Timur ini berhasil menimbulkan efek itu tapi gagal meyakinkan penonton bahwa seperti itulah pertandingan sepakbola. Untungnya itu ketolong sama scene-scene dan dialog di luar adegan pertandingan itu.

Kalo yang butuh tontonan beda untuk film Indonesia, Cahaya Dari Timur ini sangat layak dinikmati. Apalagi untuk yang gila bola, ditengah euforia Piala Dunia film ini bisa sedikit membuka mata bahwa Indonesia bisa saja ke Piala Dunia. Perjalanan ke sana, bisa dimulai dari Tulehu, eh bukan…tapi Maluku. Beta Maluku!
Share:

Thursday, 5 June 2014

Kita, dan Piala Dunia

2014.
Tahun penuh gegap gempita buat Bangsa Indonesia. Di tahun ini, ada dua event gede-gedean yang bikin negara ini penuh warna. Penuh warna dalam arti yang sebenarnya.
Yang pertama adalah pemilu. Coba liat pemilu legislatif kemaren, kurang berwarna gimana? 12 partai politik nasional berlomba-lomba nyari simpati lewat bendera dan atribut aneka warna. Mulai dari merah marun, putih cerah, ijo lumut, ijo daun, biru dongker, biru laut, kuning…ummm…kuning…ah sudah lah. Yang jelas warna-warna ini bakalan terus mendominasi jalan, baligo, kaca belakang angkot, sampe jaket tukang ojek hingga pemilihan presiden nanti.
Walaupun menarik untuk ditunggu, tapi gue nggak mau bahas pemilihan pesiden di sini. Yang mau gue share di sini adalah event ke dua yang bisa bikin Indonesia begitu berwarna. Yaitu Piala Dunia 2014 di Brazil.
Piala Dunia adalah turnamen olah raga paling banyak penontonnya sepanjang sejarah olah raga itu sendiri. Di Brazil nanti, dari tanggal 12 Juni-13 Juli 2014, diprediksi ada 3,2 milyar pasang mata yang nonton baik langsung maupun lewat layar kaca. Noh, itu udah lebih dari setengah penduduk bumi.
3,2 milyar kepala itu membawa beraneka warna yang mewakili 32 negara kontestan. Contohnya nih, merah Spanyol si juara bertahan, oranye Belanda sang nenek moyang total football, biru Italia si pioneer sepak bola bertahan, putih pasukan panser Jerman, dan tentu saja kuning bintang lima tuan rumah Brazil.
Lalu dimana posisi Indonesia di turnamen empat tahunan tersebut? Sebenernya Indonesia pernah ikut Piala Dunia ke-2 di tahun 1938 Prancis, tapi dulu masih pake nama Hindia Belanda. Banyak yang menganggap itu adalah keikutsertaan Indonesia yang pertama, dan hingga kini, yang terakhir di Piala Dunia. Tapi kalo menurut gue sih nggak. Tetep aja waktu itu Indonesia belom merdeka, bukan negara berdaulat. Para pemainnya pun kebanyakan orang-orang Belanda dan Tiongkok. Jadi menurut gue Hindia Belanda itu suatu negara, dan Indonesia adalah negara lain.
Tapi biar gimana juga kalo sedikit mau dipaksakan, seenggaknya ada sedikit ‘benang merah’ antara Indonesia dan Piala Dunia. Dan udah lah, nggak perlu dikenang tahun 1938 itu. Kita pikirin Indonesia yang sekarang aja.
Di Piala Dunia tahun ini, posisi Indonesia masih sama dengan ketika Piala Dunia empat sampai enam belas tahun tahun yang lalu. Yaitu sebagai pasar potensial bagi para sponsor. Penduduk banyak, gila bola, dan fanatik terhadap tim tertentu adalah ‘lahan subur’ bagi para stake holder World Cup untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Apalagi pelaksanaannya berbarengan sama bulan ramadhan, siaran bola yang biasanya dini hari itu dipastikan banjir penonton. Yahhh, acara-acara joget-joget nggak jelas atau pukul-pukulan stereofoam pas sahur harus mikirin ide kreatif lain supaya rating nggak turun drastis.
Piala Dunia seperti sangat disambut di negeri ini. Padahal kalo boleh ngeluh, gue adalah salah satu penonton Piala Dunia yang menikmatinya dengan getir. Bukan cuma karena gue adalah pendukung timnas Belanda, negara yang diklaim mewariskan kesengsaraan bagi negeri ini, tapi juga karena sampe umur gue 26 tahun Indonesia masih belom juga mampu berpartisipasi di ajang sepak bola paling bergengsi ini. Dengan nama Indonesia, dan sebagai negara berdaulat.
Gue lagi-lagi mesti jadi tim hore buat negara lain. Nobar dari satu tempat ke tempat laen dengan ‘lawan’ dari bangsa sendiri yang juga dukung negara lain. Lapak-lapak jersey mulai dari yang KW sampe yang ori abis laku keras. Tentu aja, jersey merah dengan garuda di dada nggak masuk hitungan.
Mari sedikit beranda-andai. Gimana kalo misalnya suatu saat Indonesia masuk Piala Dunia? Yang pasti gue nggak bakal dukung Belanda. Tempat-tempat nonton bareng di lapangan, café, restoran, mall, warung kopi, pos kamling, pasti semuanya dipenuhi orang berjersey merah dengan garuda di dada dan nyanyi lagu Indonesia Raya berbarengan. Beuh, pasti merinding banget. I know how it feels.
Gue pernah nonton timnas Indonesia di Piala Asia 2007, waktu itu kita lawan Bahrain. Stadion Gelora Bung Karno berkapasitas 88.000 orang dan itu penuh tanpa ada space. Semuanya merah. And the best part is…justru bukan ketika Indonesia menang, tapi pas lagu Indonesia Raya berkumandang. Percaya deh, nggak ada yang lebih menggetarkan dari itu untuk seorang warga negara. Nyanyi lagu kebangsaan bareng 88.000 orang suara gue sampe serak dan nggak berasa air mata ngalir.
Mungki seperti itu rasanya kalo Indonesia Raya mengalun di venue Piala Dunia. Atau mungkin lebih. Apa Indonesia bisa? Kenapa nggak bisa? Pantai Gading dan Bosnia Herzegovina membuktikan bahwa perang saudara nggak menghambat mereka untuk berpartisipasi di Piala Dunia. Yunani yang katanya perekonomiannya bangkrut aja bisa lolos. Kalo mau, Indonesia lebih dari sekedar bisa.
Segudang talenta Indonesia miliki dari Sabang sampe Merauke. Secercah harapan muncul lewat permainan dan bakat apik dari tim nasional U-19 belakangan ini. Kalo ngeliat mereka main, rasanya nggak bohong orang tua gue cerita kalo dulu di Asia Indonesia tuh nggak ada lawannya. Dulu, Jepang mah cemen.
Itu di sisi bibit. Dimana kita udah punya yang unggul. Tapi kalo ngeliat pengelolaan organisasinya yang masih karut marut seperti banyaknya pemain professional yang nggak nerima gaji, permainan kasar yang berujung kematian, kerusuhan supporter, infrastruktur kurang mendukung, sampe masalah politisasi sepak bola, kayaknya Indonesia masih jauh dari panggung dunia. Para pesohor sepak bola dunia yang sempet mampir ke Indonesia kayak Jose Mourinho, Cesc Fabregas, Frank De Boer, si Road Runner from Welsh Gareth Bale, sampe pelatih Ajax Frank De Boer sepakat bahwa Indonesia punya bakat-bakat luar biasa namun kurang terasah karena pola pembinaan yang nggak jelas dan infrastruktur yang kurang. Akibatnya ibarat buah, bakat-bakat ini jatoh duluan sebelom mateng.
Siapa pun yang jadi presiden Indonesia nantinya, gue cuma berharap dia punya mimpi yang sama kayak gue, atau setidaknya mempunyai secuil pemikiran untuk menyaksikan rakyatnya menari, bernyanyi, dan menabuh gendang untuk mendukung negara sendiri di Piala Dunia. IN-DO-NE-SIA!
Untuk sekarang…gue dukung Belanda dulu deh ya. Hup Hup Holland Hup! *sungkem ke Bang Pitung karena dukung kompeni*

 
Kapan pemain Indonesia sejajar dengan mereka?
Share:

Monday, 2 June 2014

Motret Stage di Jak Cloth 2014

Apa yang paling happening di Jakarta minggu lalu? Yak, Jakarta Clothing Fair atau biasa disingkat Jak Cloth. Ini semacam ‘hajatannya’ para pengusaha clothing line untuk unjuk gigi produk-produknya. Acaranya makin rame karena digelar di minggu yang banyak tanggal merahnya, yaitu ditanggal 28 Mei-1 Juni 2014.
Tanggal 29-nya gue ikutan nimbrung nih. Niatnya sih gue ke Jakarta jalan-jalan aja gitu, nikmatin sepinya Ibu Kota di hari libur. Tapi timeline rame banget ngomongin tentang gelaran fashion yang satu ini. Akhirnya gue meluncur ke Parkir Timur Senayan, tempat booth-booth distro peserta Jak Cloth bertebaran.
Mata gue langsung berbinar ketika sampe sono, bukan hanya karena banyaknya SPG yang bening-bening dengan cara nawarin produknya yang gue jamin bikin cowok merasa sepuluh tahun lebih muda, tapi juga karena gue baca di rundown acaranya ada beberapa bintang tamu yang yahud banget. Mulai dari band indie kayak Still Virgin, Dhyo Haw, Endah n Rhesa, dan Payung Teduh. Masih pada asing ya denger nama mereka? Yah namanya juga band indie, pendengarnya segmented banget. Eh, tapi di penghujung acara ada Sheila on 7 loh! Kalo ini mah yang masa remajanya bahagia pasti tau dong!
Untungnya, pas nonton mereka gue bawa kamera. Jadi lumyan bisa mengasah kemampuan gue motret stage. Yah walopun kamera yang gue pakai bener-bener yang entry level. Jadi terbatas banget. Cuma bisa maen di speed minimal 1/10”, bukaan F4.5, dan ISO gue mentokin di 800 atau 1600 biar foto tetep terang. Tapi sayangnya, noisenya jadi bertebaran. Hhhhh….



Still Virgin. Band indie aliran alternative. Ternyata yang tau lagunya udah banyak. Yang laen nyanyi gue malah bengong. Paling banter loncat-loncat pas di beat yang menghentak.
Yang agak susah tuh pas ngambil foto Dhyo Haw. Begitu band ini tampil, semua penggemar reggae yang mayoritas cowok menyerbu depan panggung. Mereka nih kompak banget, jogetnya asik rapet-rapet, gue jadi agak susah ngambil foto yang stabil. Kamera pas-pasan, lighting panggung yang nggak terprediksi, nggak bawa monopod, dan pakai lensa kit 18-55mm itu sangat membatasi gue untuk motret. Tapi karena keterbatasan itulah gue jadi 'kreatif', gue mesti memanfaatkan tiap celah diantara manusia yang lagi joget reggae, termasuk dari celah ketek mereka. Yooo maannn....

Untungnya masih keambil foto band beraliran reggae ini. Ini sebenernya foto under expossure, tapi gue edit pakai potosop.

Kemudian tibalah Endah n Rhesa tampil. So sweet banget deh ini duo suami istri. Gue ikutin lagu-lagu mereka belum lama ini. Sebagai duo yang memilih jalur indie, couple ini termasuk yang sering tampil di televisi. Format bentuk dan musiknya juga unik sih ya. Endah sebagai vokalis sambil pegang gitar akustik dan Rhesa sang suami berambut gimbal dan gigi gingsulnya begitu nyaman membetot bass, bikin gemes siapapun penikmatnya. Gue lumayan banyak dapet foto pasangan ini.


Rhesa. Skill ngebass-nya dewa!

Endah.  Suara tingginya...

"Kalian, jangan beli kaset bajakan ya. Iya!"

Kaaannn...so sweet kaaannn...


         Kelar Endah n Rhesa, mestinya di panggung yang sama ada Payung Teduh. Tapi gue mesti ke panggung laen buat nonton salah satu band favorit gue, Sheila on 7! Berasa banget perpindahan dari panggung band-band indie ke panggung band major label. Begitu sampe di stagenya Sheila, ternyata ada Souljah yang lagi ngajak ratusan orang joget. Gila, padet banget. Gue nggak kebagian biar sedikit space. Alhasil, gue cuma dengerin Souljah nyanyi tanpa ngeliat mereka.
        Souljah selesai, kepadatan mulai mencair. Kesempatan ini gue gunakan untuk merangsek lebih ke depan. Tapi...tetep gue mentok di jarak yang cukup jauh dari panggung. Emang sih kebanyakan Sheila Gank waktu itu cewek. Tapi cewek-cewek ini pada di 'pagerin' sama cowoknya. Mana cowoknya tinggi-tinggi dan bau keringet. Jadi deh gue ambil foto sekenanya aja.

Foto Om Duta. Waktu ngambil foto ini siku tangan gue di atas kepala orang. Gue bisa pulang dengan selamat, itu udah alhamdulilah =)


      Gitu aja pengalaman motret stage di Jak Cloth. Hasilnya masih jauh dari harapan sih, tapi ini lumayan buat gue yang jarang motret panggung. Pokoknya, next time kudu bawa lensa tele dan monopod. Ya kalo bisa sih kamera gue juga udah up grade gitu. Semoga ada rezeki. Amiinnn....

Eh, eh...walopun nggak nonton Payung Teduh, gue sempet foto bareng vokalinya loh. Namanya Mas Is. Tampang boleh sangar, tapi hati dan aliran musiknya teduh banget.


Share: