2014.
Tahun penuh gegap gempita buat Bangsa Indonesia. Di
tahun ini, ada dua event gede-gedean yang bikin negara ini penuh warna. Penuh
warna dalam arti yang sebenarnya.
Yang pertama adalah pemilu. Coba liat pemilu
legislatif kemaren, kurang berwarna gimana? 12 partai politik nasional
berlomba-lomba nyari simpati lewat bendera dan atribut aneka warna. Mulai dari
merah marun, putih cerah, ijo lumut, ijo daun, biru dongker, biru laut,
kuning…ummm…kuning…ah sudah lah. Yang jelas warna-warna ini bakalan terus
mendominasi jalan, baligo, kaca belakang angkot, sampe jaket tukang ojek hingga
pemilihan presiden nanti.
Walaupun menarik untuk ditunggu, tapi gue nggak mau
bahas pemilihan pesiden di sini. Yang mau gue share di sini adalah event ke dua
yang bisa bikin Indonesia begitu berwarna. Yaitu Piala Dunia 2014 di Brazil.
Piala Dunia adalah turnamen olah raga paling banyak
penontonnya sepanjang sejarah olah raga itu sendiri. Di Brazil nanti, dari
tanggal 12 Juni-13 Juli 2014, diprediksi ada 3,2 milyar pasang mata yang nonton
baik langsung maupun lewat layar kaca. Noh, itu udah lebih dari setengah
penduduk bumi.
3,2 milyar kepala itu membawa beraneka warna yang
mewakili 32 negara kontestan. Contohnya nih, merah Spanyol si juara bertahan,
oranye Belanda sang nenek moyang total football, biru Italia si pioneer sepak
bola bertahan, putih pasukan panser Jerman, dan tentu saja kuning bintang lima tuan
rumah Brazil.
Lalu dimana posisi Indonesia di turnamen empat tahunan
tersebut? Sebenernya Indonesia pernah ikut Piala Dunia ke-2 di tahun 1938
Prancis, tapi dulu masih pake nama Hindia Belanda. Banyak yang menganggap itu
adalah keikutsertaan Indonesia yang pertama, dan hingga kini, yang terakhir di
Piala Dunia. Tapi kalo menurut gue sih nggak. Tetep aja waktu itu Indonesia
belom merdeka, bukan negara berdaulat. Para pemainnya pun kebanyakan
orang-orang Belanda dan Tiongkok. Jadi menurut gue Hindia Belanda itu suatu
negara, dan Indonesia adalah negara lain.
Tapi biar gimana juga kalo sedikit mau dipaksakan,
seenggaknya ada sedikit ‘benang merah’ antara Indonesia dan Piala Dunia. Dan
udah lah, nggak perlu dikenang tahun 1938 itu. Kita pikirin Indonesia yang
sekarang aja.
Di Piala Dunia tahun ini, posisi Indonesia masih sama
dengan ketika Piala Dunia empat sampai enam belas tahun tahun yang lalu. Yaitu
sebagai pasar potensial bagi para sponsor. Penduduk banyak, gila bola, dan
fanatik terhadap tim tertentu adalah ‘lahan subur’ bagi para stake holder World
Cup untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Apalagi pelaksanaannya berbarengan
sama bulan ramadhan, siaran bola yang biasanya dini hari itu dipastikan banjir
penonton. Yahhh, acara-acara joget-joget nggak jelas atau pukul-pukulan
stereofoam pas sahur harus mikirin ide kreatif lain supaya rating nggak turun drastis.
Piala Dunia seperti sangat disambut di negeri ini.
Padahal kalo boleh ngeluh, gue adalah salah satu penonton Piala Dunia yang menikmatinya
dengan getir. Bukan cuma karena gue adalah pendukung timnas Belanda, negara
yang diklaim mewariskan kesengsaraan bagi negeri ini, tapi juga karena sampe
umur gue 26 tahun Indonesia masih belom juga mampu berpartisipasi di ajang
sepak bola paling bergengsi ini. Dengan nama Indonesia, dan sebagai negara
berdaulat.
Gue lagi-lagi mesti jadi tim hore buat negara lain.
Nobar dari satu tempat ke tempat laen dengan ‘lawan’ dari bangsa sendiri yang
juga dukung negara lain. Lapak-lapak jersey mulai dari yang KW sampe yang ori
abis laku keras. Tentu aja, jersey merah dengan garuda di dada nggak masuk
hitungan.
Mari sedikit beranda-andai. Gimana kalo misalnya suatu
saat Indonesia masuk Piala Dunia? Yang pasti gue nggak bakal dukung Belanda.
Tempat-tempat nonton bareng di lapangan, café, restoran, mall, warung kopi, pos
kamling, pasti semuanya dipenuhi orang berjersey merah dengan garuda di dada dan
nyanyi lagu Indonesia Raya berbarengan. Beuh, pasti merinding banget. I know
how it feels.
Gue pernah nonton timnas Indonesia di Piala Asia 2007,
waktu itu kita lawan Bahrain. Stadion Gelora Bung Karno berkapasitas 88.000
orang dan itu penuh tanpa ada space. Semuanya merah. And the best part
is…justru bukan ketika Indonesia menang, tapi pas lagu Indonesia Raya
berkumandang. Percaya deh, nggak ada yang lebih menggetarkan dari itu untuk
seorang warga negara. Nyanyi lagu kebangsaan bareng 88.000 orang suara gue
sampe serak dan nggak berasa air mata ngalir.
Mungki seperti itu rasanya kalo Indonesia Raya
mengalun di venue Piala Dunia. Atau mungkin lebih. Apa Indonesia bisa? Kenapa
nggak bisa? Pantai Gading dan Bosnia Herzegovina membuktikan bahwa perang
saudara nggak menghambat mereka untuk berpartisipasi di Piala Dunia. Yunani
yang katanya perekonomiannya bangkrut aja bisa lolos. Kalo mau, Indonesia lebih
dari sekedar bisa.
Segudang talenta Indonesia miliki dari Sabang sampe
Merauke. Secercah harapan muncul lewat permainan dan bakat apik dari tim
nasional U-19 belakangan ini. Kalo ngeliat mereka main, rasanya nggak bohong
orang tua gue cerita kalo dulu di Asia Indonesia tuh nggak ada lawannya. Dulu,
Jepang mah cemen.
Itu di sisi bibit. Dimana kita udah punya yang unggul.
Tapi kalo ngeliat pengelolaan organisasinya yang masih karut marut seperti banyaknya
pemain professional yang nggak nerima gaji, permainan kasar yang berujung
kematian, kerusuhan supporter, infrastruktur kurang mendukung, sampe masalah
politisasi sepak bola, kayaknya Indonesia masih jauh dari panggung dunia. Para
pesohor sepak bola dunia yang sempet mampir ke Indonesia kayak Jose Mourinho,
Cesc Fabregas, Frank De Boer, si Road Runner from Welsh Gareth Bale, sampe
pelatih Ajax Frank De Boer sepakat bahwa Indonesia punya bakat-bakat luar biasa
namun kurang terasah karena pola pembinaan yang nggak jelas dan infrastruktur
yang kurang. Akibatnya ibarat buah, bakat-bakat ini jatoh duluan sebelom
mateng.
Siapa pun yang jadi presiden Indonesia nantinya, gue
cuma berharap dia punya mimpi yang sama kayak gue, atau setidaknya mempunyai
secuil pemikiran untuk menyaksikan rakyatnya menari, bernyanyi, dan menabuh
gendang untuk mendukung negara sendiri di Piala Dunia. IN-DO-NE-SIA!
Untuk sekarang…gue dukung Belanda dulu deh ya. Hup Hup
Holland Hup! *sungkem ke Bang Pitung karena dukung kompeni*
Pemilu utk 17+, Piala Dunia utk (biasanya) kaum lelaki.
ReplyDeleteAh apalah daya aku yg 17- dan termasuk kaum perempuan ini. Gaasik ah. Hahaha.
Hahaha...biasanya kaum perempuan juga heboh kok di Piala Dunia, apalagi kalo Italia yang main. Mau nonton bareng gue? *kode* =D
DeleteNonton bareng ya, kak? Yaudah, yuk. Kakak disana, aku disini, ada jarak di antara kita. Eyak haha.
DeleteHup Holland Hup, bukan Hup Hup Holland Hup :p
ReplyDelete