Thursday, 5 June 2014

Kita, dan Piala Dunia

2014.
Tahun penuh gegap gempita buat Bangsa Indonesia. Di tahun ini, ada dua event gede-gedean yang bikin negara ini penuh warna. Penuh warna dalam arti yang sebenarnya.
Yang pertama adalah pemilu. Coba liat pemilu legislatif kemaren, kurang berwarna gimana? 12 partai politik nasional berlomba-lomba nyari simpati lewat bendera dan atribut aneka warna. Mulai dari merah marun, putih cerah, ijo lumut, ijo daun, biru dongker, biru laut, kuning…ummm…kuning…ah sudah lah. Yang jelas warna-warna ini bakalan terus mendominasi jalan, baligo, kaca belakang angkot, sampe jaket tukang ojek hingga pemilihan presiden nanti.
Walaupun menarik untuk ditunggu, tapi gue nggak mau bahas pemilihan pesiden di sini. Yang mau gue share di sini adalah event ke dua yang bisa bikin Indonesia begitu berwarna. Yaitu Piala Dunia 2014 di Brazil.
Piala Dunia adalah turnamen olah raga paling banyak penontonnya sepanjang sejarah olah raga itu sendiri. Di Brazil nanti, dari tanggal 12 Juni-13 Juli 2014, diprediksi ada 3,2 milyar pasang mata yang nonton baik langsung maupun lewat layar kaca. Noh, itu udah lebih dari setengah penduduk bumi.
3,2 milyar kepala itu membawa beraneka warna yang mewakili 32 negara kontestan. Contohnya nih, merah Spanyol si juara bertahan, oranye Belanda sang nenek moyang total football, biru Italia si pioneer sepak bola bertahan, putih pasukan panser Jerman, dan tentu saja kuning bintang lima tuan rumah Brazil.
Lalu dimana posisi Indonesia di turnamen empat tahunan tersebut? Sebenernya Indonesia pernah ikut Piala Dunia ke-2 di tahun 1938 Prancis, tapi dulu masih pake nama Hindia Belanda. Banyak yang menganggap itu adalah keikutsertaan Indonesia yang pertama, dan hingga kini, yang terakhir di Piala Dunia. Tapi kalo menurut gue sih nggak. Tetep aja waktu itu Indonesia belom merdeka, bukan negara berdaulat. Para pemainnya pun kebanyakan orang-orang Belanda dan Tiongkok. Jadi menurut gue Hindia Belanda itu suatu negara, dan Indonesia adalah negara lain.
Tapi biar gimana juga kalo sedikit mau dipaksakan, seenggaknya ada sedikit ‘benang merah’ antara Indonesia dan Piala Dunia. Dan udah lah, nggak perlu dikenang tahun 1938 itu. Kita pikirin Indonesia yang sekarang aja.
Di Piala Dunia tahun ini, posisi Indonesia masih sama dengan ketika Piala Dunia empat sampai enam belas tahun tahun yang lalu. Yaitu sebagai pasar potensial bagi para sponsor. Penduduk banyak, gila bola, dan fanatik terhadap tim tertentu adalah ‘lahan subur’ bagi para stake holder World Cup untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Apalagi pelaksanaannya berbarengan sama bulan ramadhan, siaran bola yang biasanya dini hari itu dipastikan banjir penonton. Yahhh, acara-acara joget-joget nggak jelas atau pukul-pukulan stereofoam pas sahur harus mikirin ide kreatif lain supaya rating nggak turun drastis.
Piala Dunia seperti sangat disambut di negeri ini. Padahal kalo boleh ngeluh, gue adalah salah satu penonton Piala Dunia yang menikmatinya dengan getir. Bukan cuma karena gue adalah pendukung timnas Belanda, negara yang diklaim mewariskan kesengsaraan bagi negeri ini, tapi juga karena sampe umur gue 26 tahun Indonesia masih belom juga mampu berpartisipasi di ajang sepak bola paling bergengsi ini. Dengan nama Indonesia, dan sebagai negara berdaulat.
Gue lagi-lagi mesti jadi tim hore buat negara lain. Nobar dari satu tempat ke tempat laen dengan ‘lawan’ dari bangsa sendiri yang juga dukung negara lain. Lapak-lapak jersey mulai dari yang KW sampe yang ori abis laku keras. Tentu aja, jersey merah dengan garuda di dada nggak masuk hitungan.
Mari sedikit beranda-andai. Gimana kalo misalnya suatu saat Indonesia masuk Piala Dunia? Yang pasti gue nggak bakal dukung Belanda. Tempat-tempat nonton bareng di lapangan, café, restoran, mall, warung kopi, pos kamling, pasti semuanya dipenuhi orang berjersey merah dengan garuda di dada dan nyanyi lagu Indonesia Raya berbarengan. Beuh, pasti merinding banget. I know how it feels.
Gue pernah nonton timnas Indonesia di Piala Asia 2007, waktu itu kita lawan Bahrain. Stadion Gelora Bung Karno berkapasitas 88.000 orang dan itu penuh tanpa ada space. Semuanya merah. And the best part is…justru bukan ketika Indonesia menang, tapi pas lagu Indonesia Raya berkumandang. Percaya deh, nggak ada yang lebih menggetarkan dari itu untuk seorang warga negara. Nyanyi lagu kebangsaan bareng 88.000 orang suara gue sampe serak dan nggak berasa air mata ngalir.
Mungki seperti itu rasanya kalo Indonesia Raya mengalun di venue Piala Dunia. Atau mungkin lebih. Apa Indonesia bisa? Kenapa nggak bisa? Pantai Gading dan Bosnia Herzegovina membuktikan bahwa perang saudara nggak menghambat mereka untuk berpartisipasi di Piala Dunia. Yunani yang katanya perekonomiannya bangkrut aja bisa lolos. Kalo mau, Indonesia lebih dari sekedar bisa.
Segudang talenta Indonesia miliki dari Sabang sampe Merauke. Secercah harapan muncul lewat permainan dan bakat apik dari tim nasional U-19 belakangan ini. Kalo ngeliat mereka main, rasanya nggak bohong orang tua gue cerita kalo dulu di Asia Indonesia tuh nggak ada lawannya. Dulu, Jepang mah cemen.
Itu di sisi bibit. Dimana kita udah punya yang unggul. Tapi kalo ngeliat pengelolaan organisasinya yang masih karut marut seperti banyaknya pemain professional yang nggak nerima gaji, permainan kasar yang berujung kematian, kerusuhan supporter, infrastruktur kurang mendukung, sampe masalah politisasi sepak bola, kayaknya Indonesia masih jauh dari panggung dunia. Para pesohor sepak bola dunia yang sempet mampir ke Indonesia kayak Jose Mourinho, Cesc Fabregas, Frank De Boer, si Road Runner from Welsh Gareth Bale, sampe pelatih Ajax Frank De Boer sepakat bahwa Indonesia punya bakat-bakat luar biasa namun kurang terasah karena pola pembinaan yang nggak jelas dan infrastruktur yang kurang. Akibatnya ibarat buah, bakat-bakat ini jatoh duluan sebelom mateng.
Siapa pun yang jadi presiden Indonesia nantinya, gue cuma berharap dia punya mimpi yang sama kayak gue, atau setidaknya mempunyai secuil pemikiran untuk menyaksikan rakyatnya menari, bernyanyi, dan menabuh gendang untuk mendukung negara sendiri di Piala Dunia. IN-DO-NE-SIA!
Untuk sekarang…gue dukung Belanda dulu deh ya. Hup Hup Holland Hup! *sungkem ke Bang Pitung karena dukung kompeni*

 
Kapan pemain Indonesia sejajar dengan mereka?
Share:

4 comments:

  1. Pemilu utk 17+, Piala Dunia utk (biasanya) kaum lelaki.
    Ah apalah daya aku yg 17- dan termasuk kaum perempuan ini. Gaasik ah. Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha...biasanya kaum perempuan juga heboh kok di Piala Dunia, apalagi kalo Italia yang main. Mau nonton bareng gue? *kode* =D

      Delete
    2. Nonton bareng ya, kak? Yaudah, yuk. Kakak disana, aku disini, ada jarak di antara kita. Eyak haha.

      Delete
  2. Hup Holland Hup, bukan Hup Hup Holland Hup :p

    ReplyDelete