Saturday, 29 November 2014

Cinta Pertama: Kopi Campur Garam

Stadion Camp Nou, Barcelona, tahun 1999. Gue masih inget betul kombinasi tempat dan waktu untuk pertama kalinya gue mengenal kopi. Saat itu final Liga Champions Eropa sedang berlangsung antara MU melawan Bayern Muechen. Gue nonton secara langsung. Lewat layar kaca.

Gue yang waktu itu masih SD hobi banget sama sepak bola. Tapi nggak pernah nonton full satu pertandingan karena pasti ketiduran. Di saat itulah temen nonton bareng gue nawarin segelas gede kopi tubruk. Konyolnya, temen gue ini menyampurkan kopinya dengan garam. Kata dia sih kopi pakai garam lebih efektif menjaga mata tetap segar. Gue yang baru mengenal kopi ini nurut aja. Dan sampai sekarang, kalo diinget-inget itu adalah rasa kopi paling aneh yang pernah gue minum. Dan khasiatnya yang menurut temen gue lebih dari kopi biasa, tetap jadi misteri hingga kini.

Dan mulai dari hari itulah hari-hari kopi menemani gue sebagai penikmat sepak bola dimulai. Gue menjadi 'omnivora' kopi kalo nonton bola. Peminum segala jenis kopi. Kopi tubruk, kopi susu, capuccino, apa aja deh, yang sachet atau racik sendiri, selama ada aroma kopinya, seruput abis! Nggak ada partner nonton bola sesetia kopi. Tapi tentu saja nggak pernah lagi pakai garam.

Kopi adalah jodoh bagi apa pun makanan yang gue cemil pas nonton bola. Mulai dari pisang keju sampe kripik bayam, semuanya cocok bersanding dengan minuman dari surga ini.

Hasil dari pertandingan MU VS Bayern Muenchen di tahun 1999 itu adalah 2-1 untuk kemenangan dramatis MU. Kemenangan yang mampu mengubah senyum Lothar Matthaus menjadi tangis hanya dalam waktu kurang dari dua menit.

Gue akan selalu inget itu. Gue nggak pernah suka MU, tapi melihat Sir Alex dan Class of 92-nya mengangkat trofi 'Si Kuping Lebar' sambil gue menikmati segelas kopi tubruk kental, gue juga ikut larut dalam kegembiraan.

Kopi bisa mengubah muram durja menjadi suka kebahagiaan dalam waktu kurang dari dua menit.

Mari ngopi.


Facebook: https://m.facebook.com/yosfiqar.iqbal.3?ref=bookmark
Share:

Saturday, 15 November 2014

Tentang Surat Izin Mengemudi

Jalanan Jakarta nggak pernah kehabisan cerita. Mulai dari macet nggak ada ujung, sampe lampu lalu lintas yang kehilangan fungsinya di depan ribuan mesin beroda.

Suatu waktu di perjalanan pulang abis dinner bareng pacar di Semanggi, gue ngambil jalur memotong supaya bisa tembus di daerah Kebon Jeruk. Setelah rel arah Pakubuwono, gue terkejut. Kok banyak pemotor yang puter arah ya? Ada apa di depan sana? Ada kompeni nyari si Pitung kah?

Setelah lumayan deket, baru gue tau kalo malem itu ada razia polisi yang targetnya adalah para pengendara motor. Mereka yang motornya rapih, perlengkapan safety komplit, dan surat-surat berkendara lengkap pastinya pede-pede aja. Gue sebenernya deg-degan juga karena SIM C gue udah mati dari bulan Mei. Tapi untungnya jalur yang gue ambil nggak dijaga polisi. Aman.

Gue yakin mereka yang tadi puter arah adalah sebagian besar karena surat-surat berkendara mereka nggak lengkap atau udah expired kayak punya gue. Karena gue liat motor-motor itu rapih-rapih, dalam artian secara fisik, nggak ada alesan untuk pak polisi nilang mereka.

Nah kalo gue persempit lagi, keenggaklengkapan surat-surat berkendara mereka adalah karena nggak punya SIM. Atau punya SIM tapi udah nggak berlaku. Atau punya SIM yang masih berlaku tapi nggak pede karena fotonya foto tetangga.

Kenapa mereka pada nggak punya SIM tapi punya motor? Nah ini menariknya. Gue ceritain satu-satu. Kebanyakan orang bukannya nggak mau bikin SIM. Tapi bro, bikin SIM secara murni itu susahnya bukan maen.

Gue ngerasa termasuk yang beruntung karena bisa bikin SIM C secara murni. Gue anggap ini sebuah keajaiban. Lima tahun yang lalu, jauh sebelum Raffi-Nagita pedekate, gue berhasil lulus dalam serangkaian tes pembuatan SIM. Mulai dari tes kesehatan mata, soal kewarganegaraan, tes tulis sampe yang paling susah yaitu simulasi berkendara. Kalo lulus semua tes itu tanpa ada undertable cost sana-sini cuma abis sekitar 75 ribu. Konsekuensinya, mesti sabar dari jam setengah tujuh pagi sampe jam enam sore. Yang ngaku ganteng, coba bikin SIM sendiri, terus liat setelah lulus masih ganteng apa berubah jadi Rambo kalah perang. Waktu yang lama itu dikarenakan kita harus ngantri sama pemohon SIM lainnya. Belom lagi kalo diselak sama mereka yang menggunakan calo.

Itu lah salah satu yang bikin orang males punya SIM. Ada sih jalan pintas, yaitu dengan nembak. Tapi semua tau itu nggak murah.

Tapi ya udah, gue bukan mau ngeritik cara instansi tertentu menerbitkan SIM. Tapi gue cuma mau nuangin ide tentang SIM ini. Sukur-sukur bisa didenger.

Begini. Waktu ada razia polisi lalu lintas, coba liat banyakan mana mereka yang coba menghindar atau mereka yang tenang-tenang aja? Sejauh pengalaman gue sih, mereka yang panik jauh lebih banyak. Dan sebagian besar karena belom punya SIM atau SIM-nya bermasalah. Apalagi anak-anak sekolah yang pake motor, hampir dipastikan alesan mereka menghindar dari razia adalah karena belom punya SIM.

Dari sini bisa diliat kalo sebenernya potensi SIM untuk mengurangi kemacetan, khususnya di Jakarta, sangat besar. Ya kemacetan. Kita nggak usah deh mimpi pemerintah bisa membatasi produksi kendaraan bermotor. Selain sulit, kita juga masih butuh kok industri tersebut.

Benang merah antara SIM dan kemacetan dimulai ketika seseorang pergi ke dealer untuk beli kendaraan. Beli secara kredit adalah cara paling gampang buat dapet motor atau mobil tanpa khawatir ganggu cashflow. Apa aja sih syaratnya? Biasanya kan KTP, KK, dan paling banter slip gaji atau keterangan penghasilan. Kelar. Segitu aja udah bisa bawa pulang motor ke rumah.

Coba kalo Pemda DKI melalui pergub, perda atau apapun namanya bikin peraturan bagi siapa aja yang mau beli kendaraan harus punya SIM lebih dulu. Pasti kendaraan on the road nggak sebanyak sekarang. Karena seperti yang udah gue ceritain di atas, bikin SIM itu sulit. Males. Kalo orang males bikin SIM, mereka nggak bisa beli kendaraan. Mereka bakal berangkat kerja, sekolah, nyangkul, pacaran, nenggunakan kendaraan umum.

Dengan catatan, proses penerbitan SIM juga harus bersih dan transparan. Biar nggak ada lagi cerita anak di bawah 17 tahun udah punya SIM.

Gue nggak tau ini bisa ngatasin macet Jakarta apa nggak. Tapi kalo diliat dari jumlah mereka yang menghindar dari razia dibanding mereka yang cool menghadapi razia polantas, gue optimis.

Dear Pak Ahok... =)




Share:

Wednesday, 12 November 2014

MATA Stories

Dua bulan belakangan, disaat anak umur dua belasan di Jepang udah bisa bikin robot, gue baru punya android.

Awalnya gue nggak nemuin apa yang berbeda dari BB (hp gue yang lama) sama android. Karena dua-duanya mengklaim sebagai ponsel cum laude, alias pintar.

Tapi setelah gue kulik-kulik ternyata terdapat perbedaan yang jelas dan cukup signifikan. Terutama soal...soal...soal...ya itu deh pokoknya. Intinya, gue nggak perlu laptop untuk nulis dan update blog. Gue bisa nulis dan update kapan aja. Bisa sambil makan atau sambil ngibarin bendera.

Oya ada lagi. Gue juga bisa menyalurkan passion gue yang lain di bidang film. Gue suka banget nonton film. Dan di hp baru ini kameranya lumayan. Udah gitu bisa download aplikasi edit video yang lumayan mumpuni.

Video ini gue ambil waktu gue piknik ke Pulau Kelor, Kepulauan Seribu. Modelnya gue ambil secara candid dari temen gue yang lagi asyik pacaran. Agak goyang sih gambarnya, maklum lagi di atas perahu. Kenapa judulnya MATA Stories? Gue juga gatau kenapa pasangan ini membuat akronim nama mereka jadi MATA. Kebayang ga kalo mereka jadi capres-cawapres, pas kampanye jargonnya, "Coblos MATA!". Serem.

Oke I know, garing. Nih videonya:


Itu gue edit pakai aplikasi viva video. Buat yang suka bikin video pemula, ini user friendly banget. Mudah.

Segitu aja sih videonya. Suatu saat gue pengen bikin film pendek yang ada dialognya. Ada yang bisa rekomendasiin  ga aplikasi lain yang cihuy? Or ada yang suka bikin film pendek juga? Ayok dong ajarin gue.
Share:

Sunday, 9 November 2014

Cilegon Syndrome

Yang terberat dari pulang adalah bahwa kita tau akan segera pergi lagi.

Ini yang selalu gue rasain kalo pulang ke Cilegon. Mungkin juga buat sebagian besar orang yang kerja, sekolah, atau kuliah beda kota sama keluarganya. 

Gue sekarang kerja di Jakarta. Tinggal di Tangerang. Dan keluarga gue ada di Cilegon. Ribet ya? Ya begitulah mobilitas gue. Itu belom ditambah sama kalo gue mesti ngapel ke Bogor tiap malem minggu. Maaf, ga maksud pamer ke yang jomblo. 

Paling nggak, satu bulan sekali gue mesti meluangkan waktu buat balik ke Cilegon. Nengok bokap, nyokap, dan ketiga adek gue. Nah ini masalahnya. Di Cilegon, waktu berjalan begitu lambat. Gue selalu suka waktu tidur siang kalo balik ke sini. Tidur cuma dua jam, tapi kayaknya lama banget. Puas. Beda kalo gue, katakanlah, lagi di Tangerang. Kayaknya baru merem dikit, eh tau-tau ayam tetangga yang kemaren masih gadis udah bertelor aja. Gue selalu ngerasa kekurangan waktu. 

Yang bikin nyaman lagi ketika ada di Cilegon adalah, masakan nyokap. Ini mungkin udah ada kesepakatan di antara seluruh anak dunia bahwa masakan paling enak adalah bikinan ibu mereka. Tapi ketika lu jauh dari rumah kemudian pulang dan disuguhin nasi hangat, sayur asem, dengan sedikit sambel, semuanya buatan emak, percayalah rasanya jauh lebih dari sekedar nikmat. Orang yang susah move on dari mantan harusnya tinggal jauh dari orang tua dan sesekali mesti pulang buat makan masakan ibunya. Terus tanya, lebih sulit mana move on dari mantan atau dari masakan juara emak? 

Makanya kadang gue males balik ke Cilegon. Bukan karena jauh atau lewat tol Jakarta-Merak yang perbaikannya ga kelar-kelar dari jaman Nokia 3310 masih tiga jutaan. Tapi karena setelah weekend menjelang berakhir, gue tau gue mesti ke Tangerang. Ada kewajiban yang mesti gue tunaikan di sana. Mulai deh Cilegon Syndrome melanda.

Ketika gue menulis ini, gue lagi di teras rumah sambil ngopi dan menyesap bau khas tanah yang keguyur hujan. Bau yang beda dan makin memperparah Cilegon Syndrome gue. Ogah balik ke Tangerang. Apalagi kalo inget besok adalah hari Senin. Kerjaan yang numpuk. Dan bayang-bayang kemacetan yang sadis. Bawaannya pengen meluk Raline Shah aja gitu.

Eh, tiba-tiba HP gue bunyi. Si pacar nanyain kapan gue balik dari Cilegon. Gue tersenyum. Lalu menghabiskan tetes kopi terakhir. Dan berkemas.

Mau pergi atau pulang, selalu ada apa, dan siapa, yang menunggu gue untuk kembali. 

Share:

Sunday, 2 November 2014

Mandi Setengah Badan

Apa sih yang paling bikin panik di pagi hari selaen ada babon ngamuk?

Kalo gue sih salah satunya adalah udah bangun telat, terus pas mau mandi airnya ga keluar dari keran.

Kejadiannya kira-kira seminggu lalu. Suatu pagi, abis solat subuh gue tidur lagi. Terus tiba-tiba Encing gue buka pintu kamar dengan gaya kayak satpol PP ngegerebek warung remang-remang. Mukanya panik. Gue yang lagi pules tidur bangun dan ikutan panik.
"Bal, ga ada aer. Gimana nih?"
"Masa? Bukannya kemaren baru ngisi dua galon?"
"Bukan aer minum. Tapi buat mandi. Kerannya kagak keluar aer."
"Lah terus?"
Si Encing mikir sejenak. Ummm...sementara Encing gue mikir, gue mau cerita dikit tentang sumber air.

Gue tinggal di pinggiran kota Tangerang. Dirumah Encing gue dan ketiga anaknya. Di sini adalah pemukiman padat. Tempat tinggal gue harus mepet-mepetan sama komplek perumahan dan deretan kontrakan. Jadi gue sering secara nggak sengaja liat aktifitas banyak orang di sini termasuk dalam hal mereka mendapatkan air.
Setelah gue teliti, walopun ga teliti-teliti amat, ada tiga sumber air yang diandalkan penduduk sekitar gue.

1. Air dari perusahaan pengelola air.
Ya sebut aja gitu, gue ga nemu kata ganti yang pas buat nyebut perusahaan itu. Ogah juga nyebut namanya secara langsung.
Biasanya pengguna jasa si perusahaan adalah rumah-rumah di komplek. Developer udah masukin paket layanan ini sejak rumah mereka belom kebeli. Simpel, tiap bulan tinggal bayar biaya perbulannya. Cocok buat orang komplek yang jarang mau repot. Dan katanya sih hemat, dengan catatan yang punya rumah ga miara gajah putih yang kudu mandi dua kali sehari.

2. Pompa air.
Dulu di tiap rumah hampir ada yang namanya pompa air. Yang paling ngetop merek Dragon, warnanya ijo. Ini pompa manual. Kita mesti naikin tuasnya tinggi-tinggi untuk nyedot air terus menekannya sekuat tenaga biar airnya keluar. Pantes orang jaman dulu sehat-sehat, mereka sebelom mandi udah fitnes duluan walopun dengan resiko turun bero yang lebih gede. Seiring perkembangan jambul Syahrini yang makin maju, pompa ini perlahan tergantikan sama pompa air tenaga listrik. Mungkin lebih familiar sama nama Jetpam. Prinsipnya sama, nyedot air dari dalem tanah. Nah keluarga Encing gue ini pake yang model begini. Kita nggak usah bayar air, tapi kudu bayar listrik. Ya namanya juga pompa air tenaga listrik. Kebayang ga kalo suatu saat ada pompa air tenaga kuda? Repot gimana cara bayarnya.

3. Selang.
Ini yang paling unik plus bikin gue kadang prihatin. Gue udah bilang bahwa tempat tinggal gue berdampingan sama banyak kontrakan. Salah satu jenis kontrakannya adalah yang cuma satu pintu gitu. Berderet. Entah karena untuk menekan biaya atau gimana, kadang si empunya kontrakan nggak bikin fasilitas sumber air. Jadi kalo misalnya lu ada kesempatan maen ke kontrakan tipe gini, jangan heran kalo ada kamar mandi tapi ga ada aernya. Gampangnya sih kayak jomblo aja. Hatinya ada, tapi isinya kosong.
Nah darimana dong penghuninya dapet air? Jawabannya ya selang. Orang yang tinggal di kontrakan ini mesti punya selang yang cukup panjang untuk menjangkau sumber air. Sumber airnya dari rumah yang memiliki suplai dari perusahaan pengelola air atau mereka yang punya pompa listrik. Lalu mereka dikenakan charge. Biasanya itungannya per jam. Kayak maen PS.
Kesimpulannya adalah, bisnis properti tetep laku walau ga punya sumber air. Kedua, kalo mau nyewa rumah kontrakan satu pintu gitu coba cek ketersediaan selangnya. Inget, ukurannya juga penting.

Oke, balik lagi ke tragedi matinya keran di rumah Encing gue. Pagi itu gue udah niat berangkat ke kantor ga pake mandi.
"Bentar deh gua pinjem selang ke kontrakannya Ci Mei, terus nyelang ke rumahnya Mpok Biah." Encing gue dapet ide. Menurut gue ide itu setara dengan ide mendaratkan manusia di bulan.

Apesnya, selangnya kurang panjang. Cuma nyampe depan rumah doang, ga sampe kamar mandi. Akhirnya gue berinisiatif ngambil ember ukuran gede lalu mengisinya dengan air yang keluar dari selang. Apes gue belom abis ternyata. Air yang keluar kecil banget, kayak pipis bayi umur 21 hari. Sedangkan gue diburu waktu berangkat ke kantor. Jadilah sebelom tuh ember penuh gue udah angkut ke kamar mandi. Dalam kondisi normal, mungkin gue bisa menghabiskan minimal tiga ember air. Sedangkan waktu itu gue cuma punya setengah ember. Mau nggak mau, gue cuma membasuh bagian-bagian penting aja. Yang penting kena air. Baru setengah badan, airnya udah abis. Hari itu badan gue agak sedikit masih bau naga ketika berangkat kerja.

Jadi mikir, kalo sekarang aja udah mulai susah dapetin air, gimana nanti? Masih relevan kah gue nyebut Indonesia dengan istilah Tanah Air?
Jangan sampe nih suatu saat di Istana negara presiden kita lagi tidur trus dibangunin paspampres.
"Maaf Pak, pertemuan dengan dubes Argentina terpaksa dibatalkan."
"Kenapa? Masih sensi ya dia kemaren ga diajak nongkrong?"
"Anu Pak, air di istana sedang mengalami masalah. Kerannya ga keluar air."
"Ah, gampanglah itu. Nyelang aja dari air mancur Bunderan HI. Punya nomer pemadam kebakaran?"
"Buat apa, Pak?"
"Pake nanya, ya buat pinjem selang yang panjang."

Ga asik kan?





Share: