Monday, 28 December 2015

Hup Holland Hup, Negeri Van Oranje!

Jarang-jarang gue memutuskan nonton sebuah film hanya karena suka sama posternya. Ketika pertama gue liat posternya, film Negeri Van Oranje udah bikin gue suka. Suka karena komposisinya yang bagus dan tone warnanya yang nggak biasa untuk ukuran film Indonesia. I must wacth it. Apalagi setelah nonton teasernya di youtube, semakin menegaskan kalo ini film sepertinya lebih dari layak untuk ditonton.

Cast aktor dan aktrisnya pun nggak sembarangan. Tiga nama aktor jagoan layar lebar Indonesia rasanya udah cukup jadi jaminan gimana kualitas Negeri Van Oranje. Ada Arifin Putra yang nyoba keluar dari patron karakternya selama ini, di mana doi sukses memerankan Banjar yang petakilan dan pede abis. Jauh dari karakter ‘sinetron’-nya selama ini. Ada juga Abimana Aryasetya, begitu pas dengan role-nya sebagai Wicak yang tenang dan misterius. Kemudian Chico Jericho, tanpa kesulitan menyatu dengan karakter Geri yang woles dan flamboyan. Tapi bintang dari film ini menurut gue adalah Ge Pamungkas. Gue baru liat komika satu ini berakting secara full di sebuah film. Dan dia berhasil. Ge seperti memainkan dirinya sendiri dalam tokoh Daus. Jenius di dalam, tapi gokil blo’on di luar. Sejak pertama gue liat penampilan Ge Pamungkas di panggung stand up comedy, gue udah ngerasa ini orang pasti bisa melakukan ‘yang lebih’ dengan bakatnya. Dan di Negeri Van Oranje ini dia membuktikannya. Keren, Ge!

Dan aktrisnya, oohhh…Tatjana Saphira! Auranya luar biasa aktris yang satu ini, cakepnya udah dari sononya. Karakter Lintang yang mellow, periang, dan agak labil bisa bikin simpati penontonnya. Kayaknya budget film Negeri Van Oranje gede banget, selain karena syutingnya di Eropa, juga akrena mereka harus bayar bidadari dari langit untuk memerankan Lintang. Eaaaa…

Ngomong-ngomong Eropa, settingya film ini emang sialan banget. Bikin gue mupeng sepanjang film. Sebelum Negeri Van Oranje, ada beberapa film Indonesia yang juga pake Eropa sebagai latar, tapi ya gitu cuman jadi ‘background’ doang. Di Negeri Van Oranje, Belanda digambarkan dengan cukup proporsional. Untuk yang mau lanjut S2 di Belanda, kalo jeli, film ini berisi banyak banget referensi universitas. Spot-spot yang diambil untuk lokasi syutingnya memang bener-bener untuk keperluan cerita, bukan sekedar menujunkkan “ini loh kita lagi syuting di Eropa!”. Walaupun ada beberapa scene di Eropa ini yang tone warnanya terlalu pekat. Jadi gue kayak nonton editan Photoshop bergerak dengan saturation berlebih. Nggak ganggu sih, tapi cukup jadi duri dalam daging mengingat salah kekuatan film ini adalah tone warnanya yang ciamik.

Terus yang bikin gue betah nonton adalah, persahabatan yang terjalin dalam cerita benar-benar mengalir. Kelima bintang utamanya punya chemistry kuat, sehingga mereka kayak beneran temenan di luar film. Keliatan sih film yang dibikin dengan persiapan dan nggak asal-asalan. Ini membuat storyline yang udah diset sedemikian rupa jadi makin rapih dan hidup. Joke dan komedinya bikin penonton ketawa ikhlas. Dialog-dialognya jadi lebih dalam.

Oiya, wardrobe yang dipake di film ini juga unik-unik. Stelan yang dipake para pemaennya bisa jadi referensi tren fashion, di luar bener apa nggak mahasiswa S2 di Eropa itu fashionnya seperti yang mereka pake. Jas yang dipake Chico, Celana yang dipake Arifin, Topi ‘Haji Bolot’ yang dipake Ge, Jaket yang dipake Abimana, dan dress unik Tatjana, cucok-cucok cyiiinnn….

Rilis film ini pas banget di suasana liburan, meski harus bersaing dengan film ‘sakral’ Star Wars. Buat yang bingung kemana baiknya mengisi waktu libur, Negeri Van Oranje bisa jadi obat. Ceritanya yang ringan, walaupun gue ngerasa twistnya nggak ada yang spesial dan bisa ditebak, bisa bikin liburan lebih relax.

Pokonya, Tatjana, aku padamu…Hup Holland Hup! =)
Share:

Friday, 11 December 2015

Relationship Para Tokoh Film, Kamu Yang Mana?

Sebelum ini gue pernah nulis tentang tipe-tipe relationship, dan klub sepak bola. Di postingan ini gue pun mau nulis dengan template yang sama. Tapi dengan isi dan pengorelasian yang beda. Kalo di tulisan pertama objeknya adalah relationship-klub bola, maka di postingan ini menjadi relationship- tokoh dalam film.

Film itu tercipta berawal dari ide dan kegelisahan pembuatnya. Mengamati relationship tiap pasangan di dunia ini kemungkinan adalah bagian dari kegelisahan itu sehingga timbul sebuah ide untuk menuangkannya ke dalam skenario, dan kemudian pita film. Setiap tema dan judul nyarisselalu mempunyai benang merah dengan hubungan sepasang kekasih, mantan kekasih, atau mereka yang berharap menjadi kekasih.

Siapa tau ada yang relationshipnya kayak pasangan film-film berikut:

1. Seth-Meg (City of Angels)
Ini tentang cinta dengan dasar yang secara kodrat udah beda. Seth adalah seorang Malaikat, sedangkan Meg manusia biasa. Tapi mereka jatuh cinta. Hubungan mereka mirip-mirip jutaan hubungan di luar sana yang juga dengan perbedaan prinsipil. Misalnya beda suku yang nggak bisa diterima, beda umur yang kelewat jauh, beda jari mana yang biasa dipake buat ngupil, sampe beda…ummm…agama. Siklus bagi mereka yang menjalani relationship tipe ini adalah: Awalnya indah, perbedaan akan menyatukan kita, terus ada pertenatangan dari lingkungan sekitar, kemudian terjebak dalam kalimat klise “Jalanin aja dulu, ke depannya gimana entar”, lalu tekanan makin kuat, putus asa, selesai. Banyak sih yang berakhir bahagia, tapi yang gagal juga nggak kalah banyak. Seth, dan Meg juga sempat menikmati cinta yang indah. Seindah Tahoe Lake yang menjadi latar cerita cinta mereka. Begitu salah satu di antara mereka memutuskan untuk berkorban supaya menjadi sama, mereka justru terpisah. Ada sebuah anekdot ironis untuk yang menjalani hubungan dengan perbedaan prinsipil seperti ini, “Kalian selalu punya alasan untuk putus.”

2. Genta-Riani (5cm)
Ada benernya juga kalo banyak yang bilang cowok-cewek sahabatan itu nggak bakal pernah tulus. Salah satunya pasti ada yang ngarep lebih. Di 5cm, Genta dan Riani diceritakan bersahabat deket. Tapi salah satu dari mereka mencintai yang lain, namun nggak berbalas. Akhirnya mereka bener-bener ‘cuma’ sahabatan. Sabar aja ya buat yang terjebak friendzone. I know, pedih. Hubungan kalian begitu Tulus. Iya Tulus penyanyi. Bagai sepasang sepatu selalu bersama tak bisa bersatu. Film 5cm mengajarkan untuk menurunkan ekspetasi terhadap sahabat berlawanan jenis. Jaga terus perasaan sebatas sahabat, siapa tau dengan begitu justru jodoh. Daripada dari awal ngarep lebih tapi selamanya cuma dikenalin sebagai temen pas kondangan bareng.

3. Joni-Jelita (Janji Joni)
Apa pun yang terjadi, Joni nggak mau ngecewakan Jelita. Joni nggak mau Jelita nunggu dia terlalu lama. Janji harus dipenuhi, walaupun harus masuk ke sarang penyamun. Kalo ada yang pasangannya kayak si Joni, pertahankan dia. Dia berani bikin komitmen dan nggak kenal nyerah untuk menepatinya di tengah segala keterbatasan dan rintangan. Walopun mungkin aja komitmennya dimulai dari yang kecil-kecil dulu. Adakah yang lebih membahagiakan daripada punya pasangan yang berani membangun kepercayaan dan membuktikannya?

4. Nobita-Shizuka (Stand By Me)
Filmnya memang tentang persahabatan Nobita dan Doraemon. Tapi di sini juga diceritakan kisah cinta Nobita dan Shizuka. Menurut gue, ini kondisi ideal dari semua relationship. Temenan dari kecil, naksir, lalu kemudian berjodoh. Udah gitu klop banget seperti Yin, dan Yang yang saling mengimbangi. Nobita punya karakter bodoh, malas, nggak bisa diandalkan, payah dalam olah raga, pokoknya tipe-tipe yang kalo berantem ama telor semut aja kalah. Tapi Shizuka yang cantik, pintar, idola kampung, dan girly abis ini mau nerima Nobita. Pasangan yang kayak gini jelas bikin iri siapa aja. Jodohnya udah ada di depan mata sejak belom akil baligh.

Sekian beberapa film dengan relationship para tokohnya. Ada kah yang paling mewakili kalian? Atau ada tokoh film dengan relationship yang lain? =)
Share:

Tuesday, 8 December 2015

Kalo Deception Point-nya Dan Brown Dibikin Film

Minggu kemaren gue baru aja ngelarin baca novelnya Dan Brown. Judulnya ‘Deception Point’. Seperti di karya-karya sebelumnya, Dan Brown lagi-lagi memanjakan para penggemar teori konspirasi lewat setting, plot, penokohan dan imajinasinya.

Berbeda dari karya sebelumnya yang mencapurkan konspirasi dengan seni dan kepercayaan tertentu. Dan Brown mencoba menusuk ranah politik di Deception Point, dan tentu saja dibalut dengan kisah konspirasi kelas tinggi. Ini gue rasa kalo ada produser yang minat buat memfilmkannya, bakalan nemuin berbagai kendala. Atau bahkan masalahnya adalah bukan pada minat atau tidak minatnya produser, tapi berani atau tidak.

Dengan kecerdasan, dan gue yakin melalui riset mendetail dan imajinasi kampretnya, Dan Brown benar-benar ‘menguliti’ bagaimana intrik politik saat pemilihan umum di AS berjalan. Secara meyakinkan dia juga mengkritik, kalo nggak mau dibilang menelanjangi, lembaga kebanggan Negara adidaya tersebut, NASA.

Setelah Baca halaman terakhir dan menutup buku ini, reaksi gue akan sama layaknya orang kebanyakan sehabis baca buku fiksi bagus. Gimana ya jadinya kalo buku ini dijadiin film? Kayaknya seru. Walaupun pasti kontroversi nggak bakal bisa dihindari kayak di The Da Vinci Code. Hollywood pasti mikir-mikir nih, karena di salah satu bab Deception Point Dan Brown menyinggung adanya hubungan transaksional antara industri film tersebut dan NASA. The Da Vinci Code okelah bisa diproduksi, padahal yang diangkat justru isu yang lebih sensitif, yaitu agama. Tapi industri film justru suka dengan isu tersebut karena orang jadi penasaran pengen nonton. Nah kalo di Deception Point bakalan beda cerita, karena yang kena sindir justru industry itu sendiri. Karena setelah baca buku ini, mendadak gue ngerasa bahwa NASA, dan film-film semacam Red Planet, Armageddon, sampai yang terbaru The Martian, menjadi nggak keren lagi.

Oiya, balik lagi ke topik gimana kalo buku ini diangkat ke layar lebar? Nggak usah jauh-jauh dan berat-berat deh dengan ngebahas apa dampak sosial dan politik dunia kalo film ini terbit. Gue mencoba membayangkan siapa-siapa aja yang cocok memerankan karakter kunci dalam novel tersebut. Setelah berdiskusi sebentar dengan dispenser di kamar kosan, gue menemukan beberapa nama aktor dan aktris.

1. Rachel Sexton
Rachel Sexton ini bisa dibilang tokoh sentral dalam cerita penuh intrik ini. Seorang ‘kurir’ informasi antara NRO (gue lupa singkatannya, tapi ini adalah sebuah badan intelejen AS yang benar-benar ada) dengan Gedung Putih. Penggambaran Ms. Sexton, begitu dia dipanggil, berpenampilan biasa aja sebagaimana agen dari dinas rahasia. Cantik. Pintar sudah pasti karena dia harus bekerja untuk dua bos, yaitu direktur NRO dan Presiden AS. Dan dia pula lah yang mengurai misteri di akhir-akhir cerita. Berusia sekitar 33 tahun, dan jomblo. Gue kepikiran Gwyneth Paltrow buat memerankannya. Doi udah lebih dari 33 tahun sih, tapi bisa diakalin lah keriput-keriput dikit mah. Perannya sebagai Pepper di Iron Man cukup menggambarkan perannya sebagai wanita cerdas dan good looking.

2. Mike Tolland
Seorang ahli kelautan dan bintang TV. Dia menjadi salah satu ilmuwan yang dipilih oleh presiden untuk meneliti temuan NASA yang mengguncang dunia. Orangnya santai, lucu, tapi berwawasan luas. Owen Wilson kayaknya cocok deh memerankan Mike Tolland. Sikap serius tapi santainya udah teruji di film Sanghai Knight bareng Jackie Chan. Dan kesan tangguhnya bisa diliat di film No Escape. Gue memilih Owen setelah menyingkirkan James Franco. James pernah berperan sebagai ilmuwan sih di Rise of Planet Of The Apes, tapi untuk jadi orang yang kocak dia kelewat kaku.

3. Zach Herney
Ini nih si Presiden AS yang diceritakan sedang berada di penghujung masa kekuasaannya. Dia mempunyai misi untuk mempertahankan NASA tetap menjadi lembaga kebanggaan masyarakat AS. Seperti sosok presiden mana pun di dunia, sosok ini harus diperankan oleh mereka yang mempunyai kharisma lebih. Pengen milih Morgan Freeman, tanpa bermaksud rasis, tapi di novel ciri fisik Herney berkulit putih. Chris Evans, kemudaan. Dwayne Johnson, ah ini peran presiden bukan lawan panco Optimus Prime. Jhonny Deep, ah….sudahlah. Akhirnya ketemu sama figur Liam Neeson. Beberapa kali jadi sosok kebapakan di The A-Team, dan jadi Zeus di Clash of The Titans. Dan pernah juga memerankan pelindung sejati di Taken. Cukup ayak untuk diberi kesempatan memerankan ‘manusia paling berkuasa di dunia’.

4. William Pickering
Direktur NRO. Dan Brown menyebutkan bahwa NRO adalah organisasi intelejen AS paling rahasia. Kerjaannya kepo-kepo segala sesuatu di dunia ini yang dikehendaki oleh Gedung Putih. Punya akses penuh terhadap militer AS. Juga punya teknologi canggih. William Pickering ini adalah direktur dari NRO. Nggak ada sesuatu pun yang nggak diketahuinya di dunia ini. Kalo ada yang dia nggak tau, berarti sesuatu itu nggak ada. Dia punya kekuasaan memberi rekomendasi presiden negara mana yang berbahaya dan memulai perang. Pembawaannya tenang, dingin, keras, dan penuh perhitungan. Michael Caine cocok deh jadi Pickering. Pengalamannya main di Kingsman dan juga jadi ketua mata-mata partikelir bakalan nolong banget. Sorot matanya pun tajam penuh emosi. Pas untuk seseorang yang punya kekuasaan setinggi direktur NRO.

Demikian menurut gue. Untuk yang udah pernah baca bukunya mungkin ada yang nggak setuju. Sok atuh, komen di kolom komentar. Mana tau ada yang lebih cocok.

Buat yang belom baca, gue sangat merekomendasikan novel sains fiksi ini. Nama Dan Brown adalah jaminan bahwa kita bakal menemukan kejutan-kejutan di dalamnya. Selamat membaca =)
Share:

Monday, 7 December 2015

Ngetes Ilmu di Liga Blogger Indonesia 2016

Tidak sekali dua kali gue nulis tentang ini, tentang alasan gue mengikuti perlombaan atau suatu event yang berhubungan dengan blogging. Sekarang lebih khusus lagi, gue bakal nulis kenapa gue ikutan, katakan lah sebuah kompetisi, yaitu Liga Blogger Indonesia Musim ke-4/2016.

Mungki alasan-alasan umum seperti untuk menambah teman, memperluas wawasan, dan, syukur-syukur dapet followers barang selusin-dua lusin. Oke, itu emang ada dalam list. Tapi bukan itu sekarang yang utama buat gue. Gue merasa udah waktunya bagi gue mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari kegiatan blogging gue. Bukan cuma alasan-alasan umum tadi.

Begini, gue ngeblog tentu nggak sembarangan nulis. Dan gue yakin semua blogger waras yang sedang tidak berada di bawah pengaruh alkohol dan acungan senjata juga pasti demikian. Dalam ngeblog, gue memerlukan semua sumber daya yang dalam diri gue. Banyak yang bilang gue berbakat dalam menulis. Nah, bakat lah sumber daya utamanya. Tapi gimana gue bisa yakin bahwa gue benar-benar punya bakat dan minat dalam menulis? Ya salah satu caranya adalah mengetahui pendapat para ahli dibidangnya. Karena gue menulis lewat platform blog, secara otomatis gue butuh tau gimana pendapat dan pandangan blogger lain tentang tulisan gue.

Ikutan Liga Blogger Indonesia 2016 juga sebagai pengukur kemampuan gue dalam mengelola blog secara keseluruhan. Mulai dari kualitas tulisan, sampe penyajian konten berkualitas yang bisa menarik hati seseorang yang mulanya cuma iseng blogwalking, jadi ikutan komentar. Gue mau tau sampe sejauh mana gue bisa bersaing dengan blogger-blogger yang udah pengalaman maupun yang masih baru. Sederhananya sih, ini bisa jadi ajang ngetes ilmu buat gue. Sebanyak apa ilmu yang gue dapet dan mengkorelasikannya ke dalam tulisan.

Kalo udah dapet pendapat, kritik, dan saran lalu kemudian gue tau sejauh mana gue bis bertahan di Liga Blogger Indonesia 2016, gue berharap semoga diri gue terpacu untuk bikin karya yang lebih positif lagi. Lebih rajin lagi nonton film supaya bisa nulis lebih banyak dan lebih informatif tentang film. Semoga gue istiqomah. Amin. *benerin sorban*

Karena ini kompetisi dan ada juaranya, pasti semua pesertanya terbesit hadiah dalam pikiran. Gue realistis aja, dengan kemampuan gue sekarang mungkin cuma bisa lolos babak kualifikasi adalah target paling measurable. Tapi namanya rejeki, siapa yang tau? Kalo boleh berandai-andai dan tarolah gue dalam pengandaian itu gue yang juara di kompetisi ini, makan gue mau hadiahnya tiket nonton di Blitz dengan velvet class buat dua orang. Biar kata movie goers gini gue belom pernah loh nonton di Blitz velvet class. Sedih.

Gue punya kritik dan saran buat penyelenggara Liga Blogger Indonesia 2016. Gue menyoroti khusus untuk sistem pemberian poin dalam kompetisi ini. Berikut gue copas ketentuan pemberian poinnya:

POIN :
  • Mengerjakan Postingan Tema = 1 poin
  • Mengerjakan Postingan Tema dengan durasi waktu tepat = 1 poin.
  • Bila tidak sesuai waktu, tidak masalah. Poin diberikan = 0 poin.
  • Postingan BEBAS maksimal 2 Posting. Total Poin = 1 poin.
  • Mengerjakan Posting Bebas hanya 1 posting, tidak dapat poin alias = 0 poin.
  • Mendapatkan komentar minimal 5 komentar, mendapat poin = 1 poin. Dan kelipatannya seterusnya. *menyesuaikan jumlah peserta tiap grup.
  • Poin KOMENTAR hanya berlaku buat POSTINGAN TEMA.
  • Postingan yang tidak terdapftar di FORM, maka tidak dapat poin sama sekali. LBI mengecek dari sana.

Nah semuanya bersifat ‘fisik’. Gue tidak menemukan pemberian poin berdasarkan hal teknis atau kualitas sebuah postingan. Misalnya seperti kerapihan, ketepatan penggunaan tanda baca, tingkat ke-typo-an, atau kalo mau bisa sampe ke bobot isi tulisannya. Kalo ada poin-poin tersebut gue yakin para peserta publish tulisannya bukan karena hanya memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Gitu aja sih kritik dan sarannya. =)


Share:

Tuesday, 1 December 2015

Film-film Tentang Lingkungan Hidup

Isu lingkungan nggak bakal pernah habis untuk dibahas. Selama manusia masih punya akal untuk memproduksi, dan bumi masih punya udara, sebab-akibat hubungan manusia dan lingkungan akan terus ada.
Beberapa bulan lalu gue sedih dengan keteledoran manusia yang menyebabkan kebakaran hutan di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan. Dampaknya gila-gilaan, bahkan sampe ke luar negeri.

Yang terbaru, adalah gonjang-ganjing taman bunga amaryllis di Jogja yang secara semena-mena diinjek-injek demi sebuah definisi baru soal prestis bernama selfie.

Kenapa manusia merusak alam? Karena butuh. Untuk kasus yang bunga amaryllis mungkin hanya menimbulkan sebuah goncangan sosial bagi pelaku, maupun mereka-mereka yang mengutuknya di dunia maya. Tapi coba bayangkan di kasus kebakaran hutan. Dampaknya udah ke ranah fisik. Dalam jangka panjang, mungkin berakibat kepunahan bagi golongan dan kelas tertentu dari makhluk hidup. Bisa tanaman, binatang, atau bahkan manusia itu sendiri.

Ada tiga film yang selalu terbayang di otak gue kalo denger atau liat kerusakan alam. Film-film ini memberi gambaran masa depan gimana kalo bumi udah rusak parah. Gue suka film-film ini karena nggak secara gamblang menyebutkan bahwa apa yang terjadi di dalam cerita adalah akibat ulah manusia. Berikut filmnya:

1. Waterworld Kevin Costner bermutasi hingga memiliki ingsan dan punya selaput di sela jari-jari kaki dan tangannya kayak katak. Doi bermutasi karena lingkungan. Dia menjadi pengembara di dunia yang sepenuhnya ditutupi lautan. Ya seluruhnya lautan. Karena di sini diceritakan es kutub mencair seluruhnya. Ilustrasi ironis di film ini adalah, ketika sebatang pohon dan segenggam tanah kering setara harganya dengan nyawa orang. Waterworld adalah film sains fiksi tahun 1995. Sineas tahun segitu udah punya kegelisahan akan nasib bumi. Kita yang berjarak 20 tahun dari Waterworld, di mana ozon atmosfer kutub bumi bolongnya makin lebar, mestinya lebih khawatir lagi.

2. Mad Max: Fury Road
Sebetulnya film Mad Max udah ada dari tahun 1979. Tapi gue nggak ngikutin. Baru nonton ya versi yang terbaru ini, tahun 2015. Pemainnya masih sodara satu spesies sama gue, Tom Hardy. Film ini emang isinya hampir full action. Tapi kalo diamati secara seksama, pesan kerusakan lingkungannya sangat kental. Di sini diceritakan seluruh dunia berupa padang pasir yang luas. Semuanya akibat sebuah ledakan nuklir dahsyat (nggak diceritakan apakah karena perang, atau uji coba). Manusia-manusia banyak yang mengalami mutasi gen dan fisik. Penyakit-penyakit nggak bisa sembuh. Kalo ada manusia yang selamat dan masih normal, maka pilihannya cuma dua. Kalo perempuan, maka mereka dikurung dan dijadikan indukan supaya bisa melahirkan manusia yang normal. Kalau laki-laki, maka dia dijadikan ‘kantong darah’ berjalan bagi mereka yang sudah terkena radiasi. Ada adegan di mana si Tom Hardy cs melewati rawa-rawa berair asam. Belakangan baru diketahui bahwa rawa itu dulunya hutan yang lebat, dan ada sungai yang mengalir. Sedih hati Hayati mendengarnya, bang.

3. The Day After Tomorrow  
Penggermar Jack Gyllenhaal mana suaranyaaaa???
Ini salah satu film favorit gue. Intinya jelas, bumi mengalami perubahan suhu yang ekstrem akibat dari melelehnya es di kutub. Film ini secara lebay, tapi masuk akal, mempertontonkan bagaimana jika lubang ozon makin gede akibat pemanasan global dari air conditioner (AC) sejuk yang kita nikmati. Bakal terjadi hujan es segede-gede bola bisbol. Gue suka adegan endingnya yang simbolik sekaligus ‘nakutin’ banget. Yaitu ketika dua orang astronot memandang bumi dari luar angkasa. Nggak ada lagi bumi yang indah dengan warna hijau, kuning, cokelat, dan dominan biru. Nggak keliatan lagi bentuk benua yang seperti sekarang kita ketahui. Semuanya putih. Bumi kembali ke zaman es.

Salut sama pembuat film-film tersebut. Tapi gue sih jujur, gue belom siap kalo-kalo aja kejadian di film-film di atas beneran keturutan di saaat gue masih hidup. Jangan. Gue masih punya mimpi main di kebun bunga belakang rumah bersama anak, istri, dan syukur, cucu-cucu gue.
Share:

Thursday, 19 November 2015

Foto Instagramable di Lokasi Syuting Film Indonesia Dengan Teknologi Laser Autofocus

Mesti diakui bahwa film Indonesia masih ada di bawah bayang-bayang film luar negeri, khususnya dari Hollywood. Mau dari segi apa pun kayaknya kok film kita kalah semuanya, ya. Mulai dari hal soft kayak ide, dan skenario, sampe hal teknis seperti akting, visual effect, hingga properti, film negeri ini masih kurang bisa bersaing. Banyak faktornya, biasanya yang paling klasik adalah masalah dana. Emang paling nggak enak kalo nggak punya dana, mau ngapa-ngapain susah.

Tapi industri film adalah tempatnya orang-orang kreatif. Masalah dana bukan halangan bagi mereka untuk memproduksi sebuah film yang bagus. Salah satu cara untuk mengakali kekurangan ini adalah dengan membuat film yang nggak banyak makan biaya gede kayak film action atau superhero. Indonesia masih harus banyak belajar untuk dua genre film tersebut, walaupun ada beberapa yang lumayan bagus.

Untuk menarik banyak penonton, gue melihat film Indonesia sekarang punya kecenderungan mengadaptasi dari novel-novel best seller, atau memproduce film dengan menawarkan pemandangan alam suatu daerah di Indonesia bahkan luar negeri. Atau ada yang menggabungkan keduanya. Jadi intinya selain punya cerita yang menginspirasi, lokasi film-film ini juga instagramable banget. Lokasi syutingnya bagus, kalo upload foto di Instagram dengan latar tempat-tempat ini pasti yang nge-love bececeran saking banyaknya.

Film-film instagramable ini memiliki efek bagi siapa aja yang nonton jadi kepengen banget buat mengunjungi lokasi syutingnya. Gue udah ngelist beberapa film Indonesia yang settingnya bukan sekedar pelengkap, tapi juga sebagai alat cuci mata dan pemacu jiwa petualang. Pokoknya instagramable kelas berat!

1. Laskar Pelangi
Di angkat dari novel memoar best seller karya Andrea Hirata. Film yang bercerita tentang anak-anak dengan bakat luar biasa namun terbatas soal materi ini bersetting di Belitung. Sebuah pulau bagian dari Provinsi Bangka Belitung. Ada sebuah scene keren abis. Pas para Laskar Pelanginya main di pantai Tanjung Tinggi. Pantai Tanjung Tinggi ini adalah jualan utama pariwisata pemprov Bangka Belitung. Apalagi setelah film Laskar Pelangi booming. Airnya yang tenang, pasirnya yang putih halus, dan yang pasti batu-batuan misterius berukuran gigantis adalah perpaduan fotogenic tiada lawan. Pantai ini disebut juga pantai Laskar Pelangi. 
https://www.google.com/search?q=laskar+pelangi&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAkQ_AUoA2oVChMIztSjs5mcyQIVwY-OCh0S5AMz#imgrc=H2qc9jCTlk8kQM%3A



2. 5cm
Masih dari novel best seller, kali ini dari karya penuh filosofi Dhony Dirgantara (cek kalo gue salah spelling namanya) yang dieksekusi dengan ringan oleh Rizal Mantovani. Cerita tentang persahabatan dan kehidupan ini memilih setting di Gunung Semeru. Scene-scene bentangan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bertebaran. Jejeran perbukitan Bromo, sekilas melintasi Pasir Berbisik, Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, Padang Oro-oro Ombo, samudera awan, dan, yeah, puncak Mahameru! Abis nonton film ini pasti bawaannya pengen ke sana terus ambil kamera dan selfie. Upload di Instagram, dan liat deh berapa love yang mampir. 
https://www.google.com/search?q=5cm&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAcQ_AUoAWoVChMI2sCd0JmcyQIVwY-OCh0S5AMz&biw=1525&bih=708&dpr=0.9#imgrc=df2hGVUDsw0z6M%3A


3. Pendekar Tongkat Emas 
Kalo ini adalah film yang lahir karena kegelisahan seorang Mira Lesmana yang ingin mengembalikan kejayaan film silat klasik Indonesia. Beneran silat klasik. Bisa diliat dari temanya yang juga retro abis, tentang perebutan benda mustika dan balas dendam. Tapi film ini mungkin nggak sebagus yang gue tonton seandainya syutingnya nggak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar di Waingapu. Yah, Indonesia timur emang nggak ada matinya. Pengguna Instagram betah nih kalo ke sini. Di film, kita bakal disuguhkan pemandangan padang rumput luas berbukit dengan diselingi bebatuan, deburan ombak tepi laut dengan background sunset, dan bukit-bukit kapur. Untuk yang Instagramnya banyak menggunakan hastag semisal #culture, bakal diservis sama penampakan kain-kain tenun khas Sumba, rumah adat, senjata tradisional, dan kuda-kuda Sumba yang perkasa. Komplit, kan? 
https://www.google.com/search?q=pendekar+tongkat+emas&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAkQ_AUoA2oVChMIiuPO9ZmcyQIVS46OCh02rAe4&biw=1525&bih=708&dpr=0.9#imgdii=5sb78GdZDXV2GM%3A%3B5sb78GdZDXV2GM%3A%3BfpW3Wik7eSaY0M%3A&imgrc=5sb78GdZDXV2GM%3A


Tiga film itu yang berhasil mempengaruhi gue untuk mengunjungi lokasi syutingnya. Alhamdulillah untuk Belitung dan Mahameru gue udah pernah. Nah tinggal yang Waingapu nih belom pernah. Butuh waktu nggak sedikit untuk ke sana, sedangkan izin cuti ke bos susahnya amit-amit. Ya disamping costly juga, sih. Mahal gitu ke sana.

Tapi ya sepengalaman gue foto-foto waktu ke Belitung dan Mahameru, gue bawa kamera DSLR. Gue ini tipe orang yang kalo lagi liburan pengen banyak foto, tapi nggak mau ribet sama keribetan DSLR. Tau dong kalo DSLR itu segede termos? Kalo udah masuk tas dan ada momen bagus difoto, gue males ngeluarinnya lagi. Akhinya gue foto seadanya dengan kamera HP.

Nah kamera HP ini kan terbatas ya kemampuannya. Kadang fokus, kadang blur. Ketika gue mau menciptakan efek blur, eh dia malah fokus. Ketika ada momen bagus yang menuntut detail, eh dia malah blur. Udah gitu fiturnya full automatic. Bakalan susah buat gue motret siluet di pinggiran pantai Tanjung Tinggi, karena foto siluet kan mesti backlight. Apalagi motret lowlight dan kepengen efek light trails atau stardust, wassalam dah kalo pake kamera HP biasa. Sayang banget kan gue udah ke tempat-tempat bagus tapi foto-fotonya nggak ‘pantes’ buat upload ke Instagram.

Mungkin udah saatnya gue berpikir untuk ganti HP yang lebih canggih dan mendukung untuk foto-foto supaya lebih instagramable. ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG bisa nih gue coba. OS-nya udah Android Lollipop. Kameranya udah 13 MP. Nggak usah kuatir juga foto gue ngeblur, karena kameranya juga ada fitur Laser Autofocus. Semau-mau gue deh mau fokus di bagian mana gambarnya, dan cerita ketinggalan momen bisa diminalisir. Untuk output dengan layar 5 inchi dan kualitas HD, udah paling bener deh. Lebarnya pas, dan kualitas HD-nya bikin yang liat hasil foto nggak usah memicingkan mata ketika ingin melihat detail foto. Apalagi dilapisi sama Gorilla Glass, aman deh. Kalo jadi beli nih HP, gue bakal isi sama aplikasi edit foto jempolan. Nggak usah kuatir lemot, kapasitas RAM 2GB udah cukup banget buat install dan running semacam Photoshop Express atau Vsco. Gue cek harganya sih terjangkau banget kalo dibandingin dengan produk lain di kelasnya. Dan yang paling bikin gue teriak kegirangan adalah, kamera di ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG bisa disetting manual bukaan diafragmanya macam DSLR. Yiha! Bisa bikin foto siluet yang lebih tajam deh kalo nanti gue jadi ke bukit-bukit kapur di Waingapu. Atau bikin foto light trails di saat gue traveling ke lokasi sebuah film di suatu kota. Nggak perlu pegel-pegel bawa DSLR. Nabung, nabung, nabung, biar bisa kebeli nih HP. 
https://www.asus.com/Phone/ZenFone-2-Laser-ZE500KG/gallery/


Ke depannya semoga ada lagi film Indonesia yang syutingnya di tempat dengan kategori ‘worth to be uploaded to Instagram’. Jadi setelah gue punya ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG, langsung meluncur deh ke TKP. Foto out of focus? Bhay! =)


Share:

Tuesday, 17 November 2015

MR. Holmes, Holmes Yang Berbeda


Gue dulu pernah punya novel Sherlock Holmes yang menceritakan masa tua sang detektif. Gue lupa apa judulnya, lupa juga siapa penulisnya. Buku ini nggak ngasih kesan apa-apa. Makanya nggak gue baca sampe abis. Selain gaya bahasanya yang beda banget sama Sherlock versi Conan Doyle sehingga membutuhkan cukup banyak effort untuk adaptasi, juga karena alurnya yang datar banget. Belom sampe setengah buku, udah gue tinggal. Dan itu adalah salah satu penyesalan gue sebagai Sherlockian.

Kemaren pas nonton Spectre, ada trailer film berjudul MR. Holmes. Di situ diceritakan selentingan isi filmnya. Yaitu tentang detektif legenda yang memilih pensiun dan menghabiskan masa tuanya di sebuah desa. Gue langsung teringat sama buku Sherlock Holmes gue yang dulu. Apakah ini adalah adaptasi dari buku tersebut? Sebagai Sherlockian, gue penasaran. Kudu nonton ini film!

Akhirnya kemaren gue bela-belain cabut ke Semanggi demi nonton film ini, dengan menembus gerimis dan ngorek-ngorek isi dompet karena tanggal tua. Begitu gue masuk studio udah terisi lebih dari setengahnya. Lumayan juga nih film daya tariknya. Padahal weekday, ujan, dan masih harus bersaing sama beberapa film box office. Gue yakin mereka yang nonton hari itu Sherlockian semua. Anggap aja begitu. MR. Holmes cuma ada di jaringan bioskop tertentu dan filmnya juga nggak booming, apa yang bikin mereka mau nonton? Yes, coz they’re Sherlockian!

MR. Holmes menampilkan Ian McKellen sebagai Sherlock Holmes. Menurut gue, film ini menasbihkan beliau sebagai aktor legend serba bisa setingkat Morgan Freeman. Jadi penjahat pshyco kayak Magneto, bisa. Jadi penyihir bijak macam Gandalf, oke juga. Dan sekarang kakek satu ini memerankan orang supercerdas rapuh dan nyaris pikun. Hasilnya? Amazing. McKellen begitu detail memerankan pria berusia 93 tahun. Nggak ada satu gesture pun yang keluar dari seharusnya seorang lanjut usia bergerak dan bersikap. Namun begitu, sorot mata cerdas khas detektifnya begitu tajam terlihat. Keren, keren, keren!

Dan seperti di bukunya, alurnya lambat. Jangan pernah ngarep di sini kita bakal ketemu sama Sherlock Holmesnya Robert Downey Jr yang penuh action dan ledakan-ledakan gede. Atau versinya Cumberbatch yang riuh sama kegaduhan sirine polisi. Kesannya flat. Gue nggak nyaranin untuk nonton film ini buat yang nggak suka, apalagi yang nggak tau, Sherlock Holmes. Gue berani taruhan, kalo tetep nekat nonton, setengah film pasti ke luar studio. Atau paling banter ketiduran. Gue masih penasaran sama buku gue yang ilang itu. Kalo emang bener ini diangkat dari buku tersebut, gue pengen tau gimana penulisnya menuliskan plot ganda kayak di filmnya. Plotnya terdiri dari satu plot utama dan dua subplot. Awalnya plot tersebut tidak saling berhubungan, tapi akhirnya plot ini menyatu di ending yang apik.

Kekuatan utama film ini adalah sisi lain dari seorang Sherlock Holmes. Selama ini kita tau detektif hebat ini dari gambaran seorang John Watson. Nah di sini Holmes tua mencoba meluruskan semua yang keliru ditulis oleh sahabatnya itu. Di MR. Holmes, kita akan dibuat tersentuh dengan usaha sang detektif yang mencoba untuk berdamai dengan masa lalunya. Homes yang dikenal dingin, nggak punya perasaan, dan selalu kesepian, perlahan ingin diubahnya. Lewat penjaga rumahnya, Mrs. Monro, dan anaknya, Roger, Holmes tua ingin menebus kesalahan pola pikirnya ketika muda. Menyentuh. Tapi tenang, teknik-teknik deduktif khas Sherlock Holmes tetap bisa disaksikan kok. Biar gimana, ini film Sherlock Holmes, unsur misterinya tetap ada.

MR. Holmes adalah kado buat Sherlockian yang rindu sosok Holmes di novelnya. Walaupun versi Downey Jr, dan Cumberbatch punya ciri khas masing-masing. Ngomong-ngomong, McKellen, Downey Jr, dan Cumberbatch adalah pemeran Sherlock Holmes. Apalagi benang merah mereka bertiga? Yap, mereka adalah juga superhero Marvel. Kebetulan? =) 
 
klik untuk sumber
Klik gambar untuk sumber


Share:

Wednesday, 11 November 2015

James Bond: Spectre, Nanggung...

Sempat ragu apakah gue akan nonton seri James Bond terbaru, Spectre, apa nggak. Soalnya gue udah intip di timeline sosmed beberapa selebtwit yang sangat beruntung dapet tiket premiere, menilai film ini dengan mengecewakan. Pengen nonton, takut kecewa. Nggak nonton, penasaran. Jalan tengahnya: Nonton lah gue di hari minggu yang gerimis itu, tapi gue tanamkan dalam hati untuk merendahkan ekspektasi gue. Jaga-jaga aja kalo ternyata para selebtwit itu bener bahwa nih film nggak sebagus film Bond seharusnya.

Di opening tease, Spectre menawarkan film action kelas satu. Bikin degdegan. Bikin gue lupa sama para pengkritik. Wanita cantik, adegan unjuk nyali ala Bond, dar der dor suara senapan bikin di awal bikin film Bond ke-4 yang dibintangi Daniel Craig ini seolah memberi gambaran seperti apa ini film secara keseluruhan: Action movie keren dengan twist brilian!

Sayang seribu sayang. Di tengah, film ini kayak motor keabisan bensin. Alurnya melambat, dengan kebanyakan drama merambat. Gue ngerti, dramanya ini dibangun untuk menciptakan benang merah dari satu set alur ke alur yang lain. Tapi masalahnya terlalu lama. Penonton yang tadinya ‘panas’ dibiarin terlalu lama ‘cooling down’. Efeknya adalah ketika sang James Bond beraksi penonton (gue khususnya), bertanya-tanya, “Eh tadi misinya si Bond ini ngapain, ya?” gitu. Cukup mengganggu menurut gue sih.

Actionnya juga jadi kentang banget. Receh so pasti nggak. Tapi bikin greget juga jauh. Sekedar perbandigan, kalo dibandingkan sama kejar-kejaran mobil di Fast Furious, Spectre kalah matang. Kalo boleh pinjem bahasanya para juri stand up comedy, “Set up-nya udah keren, delivery-nya juga oke, tapi sayang punchline-nya tipis.”. Jatohnya semuanya jadi serba nanggung. Penonton udah ngarep adegan spektakuler, eh gataunya kena moment, "Lah, segitu doang?". Padahal ini udah tahun 2015 teknologi udah canggih, tapi entah kenapa rasa action-nya seperti flashback ke jamannya, paling nggak, Bond versi Timothy Dalton. Konon kabarnya Spectre ini adalah remake. Dengan kata lain dulu ada Spectre versinya Sean Conery atau Roger Moore. Kalo mau fair kudu nonton nih versi jadulnya.

Itu dari segi alur. Dari segi penokohan, gue ngerasa kok Daniel Craig auranya nggak keluar ya? Padahal modal utama jadi Bond ini ya pesonanya. Apakah karena kurang dapet chemistry karena pemeran M-nya baru? Mungkin. Yang bikin lumayan kesel adalah mubazirnya akting Monica Belucci. Gila, sekelas Monica Belucci cuman dapet sekitar dua set scene. Itu pun berakhir dengan doi jadi ‘korban’ Bond di, ehem, ranjang.

Penokohan di Spectre ini ketolong banget sama penampilan John Wishaw sebagai Q. Penonton (khusunya cewek) pasti kesengsem berat sama kesan smart, kalem, dan lucunya. Dialog-dialognya dengan Bond, M, dan Moneypenny lumayan segar.

Tapi kalo ngeliat film ini secara keselurahan, bisa aja Spectre ini cuman jembatan atau prekuel dari seri James Bond selanjutnya. Kalo memang begitu, pantes ini film drama dan ngobrol ngalur ngidulnya lama. Karena harus menceritakan dulu awal kisah sebelum ke seri selanjutnya.

Terus layak tonton kah? Layak dong. Film Bond mah nggak ada yang nggak layak tonton. Cuman ya itu tadi, jadiin film ini sebagai koleksi referensi film Bond, jangan ngarep lebih. Kabarnya ini peran terakhir Daniel Craig sebagai Bond. Tapi belakangan yang bersangkutan membantah. Kok? Untuk menaikkan penjualan? Who knows… =)
Share:

Thursday, 5 November 2015

Tipe Relationship, dan Klub Sepak Bola

Gue salah satu orang yang percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini saling terhubung. Sejauh apa pun dan seabsurd apa pun itu. Duren dengan kucing, pasti ada hubungannya. Duku dengan tukang bubur kacang ijo, pasti juga ada korelasinya. Walaupun memang, mungkin keterkaitannya secara nggak langsung.

Bahkan kalo mau repot dan mikir keras sampe Tingki Wingki berubah warna jadi abu-abu monyet, sebuah hubungan (istilah kekiniannya: relationship) pun memiliki hubungan jauh dengan klub bola. Ini bisa diliat dari karakter hubungan itu dengan keadaan dan kondisi sebuah klub bola saat ini. Gini…

1. Real Madrid Wanna Be

Glamour. Inilah hubungan kalian. Relationship jenis ini melibatkan dua orang dengan selera tinggi. Coba liat Real Madrid, berapa jumlah Euro yang mereka aur-aurin demi membeli gemerlap bintang-bintang lapangan hijau. Pemaen dengan harga di bawah, kalo dirupiahin, 300 milyar sih masih kelas tarkam kecamatan di Spanyol. Pokoknya duit nggak masalah, yang penting pemaen-pemaen mentereng dan termahal ada di sini. Couple yang Real Madrid wanna be ini dipersatukan oleh lingkungan jet set. Tas mereka branded, jam tangan yang ada berlian swarowskinya, makan malem kudu steak paha sapi kanan sambel ijo. Golongan ini paling jelek kalo ke mall ya GI, MOI, atau Taman Anggrek. ITC? Blok M? Taman Puring? Pasar Rumput? Ah...sudahlah. Pokoknya hubungan ini terjalin dengan jargon, “Lu jual, kita beli!”. Masalahnya adalah, kalo ada sedikit aja salah satunya nggak nyaman, misalnya tiba-tiba mobil mogok dan harus naek delman, maka akan terjadi huru-hara. Kayak Real Madrid, kalah dua kali berturut-turut aja mereka bisa pecat pelatih. Persetan lah bayar pesangon seperapat triliyun.



2. Yeah, You’re FC Barcelona

Hubungan ini adalah jenis hubungan yang ideal menurut gue. Barcelona itu klub bola paling adaftif menurut gue. Dulu mampu menyerap total football-nya Belanda. Lalu ketika sistem ini udah nggak relevan lagi sama sepak bola modern, muncul jogo bonito. Yaitu sepak bola indah ala Amerika Latin yang dimotori Ronaldinho. Beberapa tahun kemudian Ronaldinho menua dan permainannya mulai terbaca lawan. Tapi Barcelona nggak keabisan ide. Lewat seorang putra jebolan akademi sepak bolanya, La Massia, mereka menemukan gaya tiki-taka. Itu loh, gaya maen operan-operan pendek yang bikin lawan gregetan. Lalu pola tiki-tika juga terbaca musuh, dan Barcelona kembali ke gaya konvensional. Sampe sekarang Barca masih jadi klub paling prestisius, kalo bisa ngalahin klub ini disarankan untuk tumpengan atau potong sapi. Dan sebuah hubungan yang Barcelona banget ini cenderung tahan banting. Bahkan antibadai. Mereka selalu punya solusi yang membahagiakan semua pihak kalo ada masalah. Berantem-berantem dikit mah bagaikan upil di kolong meja buat mereka. Energi pasangan jenis ini nggak ada abisnya. Sama kayak Barcelona yang stok pemaen berkualitasnya banyak.

3. OMG, You’re AC Milan If You…

Dulunya royal, tapi sekarang mulai perhitungan. Di rentang waktu 1990-2011an, AC Milan begitu haus gelar juara. Gepokan duit segede Patas AC 45 nggak masalah buat beli-beli pemaen juara. Hasilnya ya Milan jadi klub Italia yang paling banyak ngoleksi juara Liga Champions. Tapi setelah itu dan akibat hantaman krismon di Eropa, klub ini mengalami deficit anggaran. Jadi kebijakan yang diambil cukup menggelikan: Beli pemaen gratis, atau minjem.Klub juga mulai itung-itungan soal gaji dan kontribusi. Pemaen yang minim ‘sumbangan’ bagi permainan klub, maka gajinya dipotong, atau paling apes kontraknya diputus. Nah untuk pasangan jenis ini harap berhati-hati. Dulu waktu pertama jadian biasanya apa aja dibelain. Beliin sandal jepit seharga HP, dijabanin. Maen ke Dufan tiga hari sekali, hayok aja. Tapi semakin ke sini akan tersadar bahwa semua itu nggak ada gunanya. Semakin baper bahwa pengeluaran nggak sesuai dengan yang didapatkan. Mulai deh fase mikirin, “Anjrit, kemaren makan bakso doang abis dua ratus.”, terus menyangkal padahal emang makan baksonya nambah empat kali. Mulai deh itungan-itungan sama pasangan. Mulai deh bikin perjanjian nggak tertulis untuk membagi tugas siapa yang bayarin nonton siapa yang bayarin makan. Dan siapa yang akan adu panco ama Pak Satpam kalo duit kurang pas mau bayar di kasir alpamaret. Bisanya nih, biasanya loh ya, relationship ini buat anak kuliahan yang masih ngandelin duit kiriman ortu. Atau fresh graduate baru dapet kerja yang belom bisa nego gaji, dapet UMR aja udah bahagia.



4. Be Strong, Liverpool!

Cieeee yang LDR sama gelar juara. Liverpool banget! Maaf nih Liverpudlian, tapi kan emang iya Liverpool udah lama nggak juara. Terakhir juara kan pas…pas tahun…tahun…ya pokoknya ada lah. Yak, yang sama juga dengan mereka para pelaku LDR. Tipe-tipe manusia penyabar yang sangat mendewakan kalimat, “Semua akan indah pada waktunya.”. Bener sih. Tapi ya itu tadi, sabar. Yang kuat. Ntar juga juara. Ntar juga ketemuan. Entah kapan. Santai aja. Nguras Ciliwung aja dulu. Be strong!



5. Wow, Bayern Muenchen!!!

Perfect! Kalo diliat dari luar. Itu lah klub asal Bavaria ini. Stadion mentereng, kaya raya, pemaennya kategori legend semua bagi sepak bola Jerman, ngerasain gelar juara Bundes Liga udah begah. Gue sempet mikir ini klub apa lagi yang dicari? Tapi ternyata klub ini sering digoyang sama persoalan internal mereka sendiri. Punya pemaen bintang dan pelatih top serta jajaran manajemen yang kritis acapkali membuat gesekan-gesekan kecil. Tapi mereka tetap solid untuk bagaimana berita itu tidak bocor ke media. Yah kalopun bocor jangan banyak-banyak lah. Sama nih kayak relationship yang keliatan mesra diluar tapi sesungguhnya menyimpan api dalam sekam. Ini pasangan kalo kondangan, saking sempurnanya, semua perhatian pasti tertuju padanya. Nggak peduli pada kenyataan bahwa mereka ngamplop ceban doangan. Singkatnya, secara tampilan luar pasangan ini bikin ngiri mampus.

Segitu aja sih yang kepikiran dari gue tentang sebuah hubungan antara klub bola dan relationship. Ada yang punya korelasi yang lebih valid, nggak? Dengan Persib Bandung, gitu? Boleh lah dishare… =)
Share:

Saturday, 31 October 2015

Pak Raden, dan Karakter

Di dunia ini, di tiap satuan jarak, ruang, dan waktu, selalu ada faktor pembeda di antara rimbunan kesamaan. Biasanya disebut dengan karakter. Unsur yang membuat sesosok individu tetap hidup walaupun raganya mati. Dan jadi kenang-kenangan paling sulit dilupakan untuk sebuah karya.

Dari sebuah blangkon, kumis tebal, dan setelan beskap bisa tercipta sebuah karakter antagonis abadi. Sulit dilupakan. Suaranya yang berat, seram, dan sifat kikirnya membuat anak kecil mana pun akan membencinya. Namun diujung semua itu ada jiwa kebapakan yang mengayomi, pemberi nasehat, dan celoteh jenaka yang begitu dicintai anak-anak. Itulah karakter. Proporsional, tapi fenomenal. Tidak berlebihan, tapi dirindukan. Pak Raden.

Tidak pernah terbayang seperti apa minggu pagi masa anak-anak dulu tanpa karakter Unyil, Usro, Ucrit, Bu Badriyah, Pak Ableh, sampai pengumpul receh Pak Ogah. Bersama Pak Raden mereka berlakon dengan sangat menghibur. Lewat karakter masing-masing mereka mampu ‘menghidupkan’ boneka untuk menuturkan cerita. Tidak sarat konflik, tapi penuh muatan nilai.

Berkat Pak Raden, dulu ibu-ibu tak perlu khawatir anak-anaknya salah menonton acara TV. Ibu-ibu tidak harus mengeluarkan usaha lebih banyak mana yang mesti ditiru, dan mana yang sebaiknya dihindari.

Hanya dari kopyah,dan sarung melingkar bisa tercipta karakter Unyil. Untuk jadi anak sholeh, anak-anak bisa belajar dari sana.

Bermodal kepala botak, karakter Pak Ogah sudah bisa berpesan bahwa meminta yang bukan haknya adalah tidakan tercela.

Semuanya dimainkan tanpa maksud menggurui. Itulah karakter.

Mungkin saja sekarang Pak Raden telah melepas blangkonnya. Menanggalkan kain beskapnya. Mencukur habis kumisnya. Dan suara serak beratnya tidak akan pernah terdengar lagi. Tapi anak-anak kecil yang dulu pernah menjadi penikmat cipta dan karyanya akan terus mengingat bagaimana sebuah karakter semestinya diciptakan.

Terima kasih Pak Raden. Untuk hadiah berupa masa kecil yang bahagia. Kami berhutang banyak…
Share:

Tuesday, 27 October 2015

Mario Series: Lembar #2



Akhirnya gue memutuskan untuk melanjutkan Mario Series. Ceilah melanjutkan...padahal mah baru juga nulis satu bab. Pokoknya gue bertekad melanjutkan serial ini. Tapi ya tergantung respon pembaca juga sih. Kalo banyak yang baca dan nanggepin, gue panjang-panjangin nih cerita. Kalo sedikit yang baca, ya gue bikin di tengah cerita semua tokohnya dikirim ke Mars terus malah nyasar ke Pluto dan mereka hidup bahagia di sana. Selesai.

Nah setelah bab pertama, gue mencoba melangkah untuk menulis bab keduanya. Selamat menikmati, mari bantu Mario menyelesaikan skripsinya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Babeh Duloh amat serius memperhatikan burung murainya yang belum juga mau mandi. Padahal udah jam 9 lebih. Tukang ketupat sayur, tukang bubur ayam, sampe tukang ikan cupang keliling udah pada lewat. Biasanya sebelum para tukang itu lewat burung kesayangannya ini udah mandi rapih, wangi, dengan bulu yang disasak halus.

Sementara itu di teras rumah yang teduh dan berjarak beberapa meter dari Babeh Duloh, ada Enyak Wati. Wanita berkalang daster itu sedang asyik memaju mundurkan setrika arang di permukaan beberapa pakaian.

“Udah napa Bang, ntar juga ntu burung mandi sendiri. Kaga usah dijogrogin begitu.” Enyak Wati kesel ngeliat polah suaminya. Curhatannya tentang duit belanja yang kurang sementara nilai tukar rupiah semakin lemah dan rencana kudeta junta militer di Kamerun dianggap angin lalu oleh suaminya itu.

“Eh Wati, ni burung lagi kagak pede mandi sendiri. Kudu ditongkrongin. Kuurrr…kuurrr...kurrr…ayo mandi dong, manis. Entar abis mandi kita makan jangkrik ama kroto diasinin.” Babeh Duloh menjentikkan ibu jarinya dengan telunjuk di depan burung murainya yang tertunduk lesu.

“Manis, manis, manis…dikata manisan buah atep kali tuh burung. Sarapan dulu noh, keburu adem tuh uli goreng ama teh paitnya.”

“Uli goreng mulu, roti dong sekali-sekali ama kiju.” Babeh Duloh cuma melengos.

“Yeee Abang juga kalo ngasih duit belanja tega banget. Kalo mao pake kiju lebihin dong segobang dua gobang.”

“Eh Wati, lu kata gue punya pu’un duit?”

“Mangkanya jangan protes mulu! Udah buruan nyarap, ntar asem lambungnya kumat aye yang repot. Abang pan kalo dibawa ke puskesmas manja, minta digendong. Mana kaga mao bawa motor sendiri, maonya aye yang bawa terus abang enak tinggal dibonceng. Boncengnya kudu duduk di depan kayak manten sunat.”

Mario yang mendengar perdebatan itu dari ruang tengah segera menutup layar Cameroon. Entah kenapa konsentrasinya dalam merangkai paragraf demi paragraf skripsi menguap begitu saja. Ada perasaan khawatir tentang rencananya untuk cabut dari rumah dan memilih ngekost. Setujukah enyak dengan rencananya? Babeh gimana, bakal ngizinin nggak?

Bukan apa-apa, Mario adalah anak tunggal. Pewaris satu-satunya dua kotak bacan doko dan pancawarna milik babeh. Memiliki niat untuk meninggalkan rumah dan meninggalkan kedua orangtuanya jelas bakal menemui pertentangan yang berarti. Walaupun tujuannya sungguh amat mulia, yaitu mengakhiri beban babeh bayarin uang kuliah.

Dari balik kaca nako Mario bisa ngeliat kedua orangtuanya masih berbincang. Sekarang waktunya dia ngomong tentang skripsi dan ngekos.

“Eh, anak perjaka enyak. Nah begitu dong keluar, jangan ngebelongsong aja di dalem kayak kalong. Pegimane kispi lu, udah kelar?”

“Skripsi, Nyak.”

“Nah iya, entu…”

“Elu Yo, enyak lu pan cuman lulusan sekolah di bawah pu’un bambu. Mana ngarti ama si Dipsi.”

“Skripsi, Beh.”

“Nah iya, entu…”

“Ah, sudahlah…” Mario menggosok jidatnya yang berkerut.

Enyak meletakkan setrika arangnya dan mulai meramu campuran daun sirih, gambir, dan kapur untuk dikunyah.

“Nyak, Beh, Mario mau ngomong.”

“Apaan?” Enyak dan babeh nyaut berbarengan.

“Gini Nyak, Beh. Mario pan udah lama banget kaga lulus-lulus, Mario niatnya pengen lulus taun ini.”

“Cakep dah itu. Babeh demen nih. Babeh nyampe bosen ditanyain kang ojek pangkalan depan kapan lu lulus. Ya babeh bilang aja abis magrib. Abisan bingung babeh mau ngomong apa.”

“Ngomong Jawa aja, Beh, biar pada bingung.”

Babeh meninggalkan burungnya yang masih aja ogah mandi, beliau pindah ke bale-bale bambu dan duduk di sebelah Mario.

“Emang masih lama ya lu ngerjain kuitansinya?”

“SKRIPSI.”

“Iya, perasaan udah tiga belas kali pu’un delima enyak bebuah tapi belom kelar juga tuh…”

“SKRIPSI.” Mario melotot sebelum Enyak ngomong ‘Bekasi’, atau ‘ekstasi’.

“Mangkanya buruan kelarin.”

“Ini juga lagi Mario usahakan, Nyak. Ada beberapa masalah sih sebenernya. Tapi untuk sementara Enyak sama Babeh cukup tau satu masalah aja.”

“Apaan, tuh?” Tanya babeh heboh sambil menutup satu matanya.

“Nggak usah nutup satu mata juga kali, Beh. Emang ini kuis dangdut pas mau iklan? Yaudah lah ya...jadi demi supaya skripsi Mario cepet kelar, Mario mau ngekost aja deket kampus. Biar enak bolak-baliknya.”

Hening. Cuma kedengeran suara mulut enyak ngunyah sirih.

“Elu mau pegih dari rumah ini, dong?” Babeh jadi orang pertama yang nyela suara bibir enyak.

“Iya, tapi kan ntar juga kalo duit jajan abis Mario pulang.”

“Masa lu tega ninggalin enyak sih, Yo? Ntar yang beliin gambir ama daon sirih buat enyak siapa?”

“Ntar Mario ajarin aplikasi gojek buat pesen beliin itu, biar Enyak tetep bisa nyirih tanpa Mario.”

“Terus ntar yang jadi anak enyak siapa?”

“YA TETEP MARIO, PAN CUMAN NGEKOS, BUKAN BERUBAH JADI TATAKAN KOPI!”

“Iya, Yo. Bener enyak lu, sepi kaga ada elu. Masa babeh kudu kawin lagi?”

- BUKKKKK- Babeh keselek setrikaan.

“Ini demi masa depan, Beh, Nyak. Kalo Mario tetep ada di sini, cuma jadi beban Mario ngeliat Enyak sama Babeh. Susah konsentrasi.”

“Elu pan punya penyakit maag. Kaga bisa telat makan. Kalo nggak ada enyak lu pasti lewatin makan.” Enyak masih kurang setuju melepas kepergian anaknya.

“Pan ada Maria, Nyak. Dia bisa ingetin Mario buat makan.”

“Pacar lu entu? Ah, enyak kurang resep ama dia, pikirannya cuman separo. Waktu itu enyak suruh ke warung beli koyo cap cabe, eh dia malah beli kecap ama cabe. Dikata enyak pengen ngerujak kali.”

“Ya Maria emang di waktu tertentu suka gitu. Tapi dia bisa diandalkan, kok.”

Babeh dan enyak kehabisan alasan buat menahan anak semata wayangnya itu. Keduanya belum sepenuhnya rela Mario harus pisah atap dengan mereka di samping kuatir juga penyakit ngompolnya Mario kambuh.

“Ya udah deh, babeh mah setuju aja. Yang penting lu cepetan dah lulus. Babeh pan juga pengen punya foto anak wisuda pake jubah betmen.”

“Toga itu namanya, Beh.”

“Oh toga, di Tenabang ada yang dagangin, kagak? Ntar kita foto bertiga pake toga pas elu wisuda.” Enyak nimpalin.

Mario akan sangat merindukan suasana ini. Sarapan uli goreng sambil dengerin babeh dan enyak membahasakan cinta lewat perdebatan mereka. Tapi masa depan dengan tiket skripsi harus di kejar di depan sana.

“Ngomong-ngomong, burungnya dipindahin keman, Beh?”

“Kagak kemana-mana. Onoh ada di kandang mandinya.”

“Mana? Kosong, tuh.”

Babeh dengan panic melongok kea rah kandang mandi untuk burung yang berbentuk bangun ruang balok seukuran peti buah. Kosong.

“ASTAGAH, BABEH LUPA NUTUP PINTUNYA! AUUUOOOO!!!”

Babeh kejang-kejang.
Share:

Friday, 23 October 2015

Kisah Kasih di Sekolah, Kisah Kasih di Film May Who?

Tiada kisah paling indah…

Kisah kasih di sekolah…

Haduuuhhh…taroan deh, kalo denger lagunya Obie Mesakh itu pasti yang denger pikirannya langsung melayang ke masa SMP atau SMA dulu. Kalo dengerinnya pake baper, bisa jadi efeknya sampe senyum-senyum sendiri, mata berbinar menerawang, dan muka bersemu merah sambil melintir ujung rambut. Yang botak berarti sambil melintir ujung knalpot bajaj.

Kalo dibilang paling indah, memang nggak ada yang bisa ngalahin sensasi ketika kita jatuh cinta di masa-masa tersebut. Coba tanya ke diri sendiri bisa nggak ngelupain rasanya deg-degan dan gremet-gremet di hati ketika:

- Masuk kelas pagi-pagi, terus nemuin surat cinta di laci meja

- Menyukai seseorang diam-diam

- Ngobrol sama gebetan tanpa pernah berani menatap matanya

- Ditolak

- Seneng banget denger suara telepon rumah, karena mengira itu dari si doi. Pas diangkat ternyata orang PLN yang nanyain alamat

- Rumah di Blok M, tapi turun dari angkotnya di Cileduk karena seangkot sama gebetan dan gebetan rumahnya di Cileduk. Begitu sama-sama turun, nggak berani nyapa. Boro-boro ngajak ngobrol. Si gebetan pun pulang dijemput pacarnya yang udah nunggu di perempatan. Kemudian pulang naek angkot jurusan Blok M lagi dengan hati berantakan. Udah di angkot baru sadar kalo duit jajan udah abis. Perih.

Beberapa minggu yang lalu ketika gue nonton sebuah film karya sineas Thailand berjudul ‘May Who?’, gue teringat lagi dengan kisah-kisah cinta gue maupun beberapa temen gue pas SMP. Film ini benar-benar tau seperti apa geliat percintaan di masa SMP. Tentang pemuja rahasia, kisah cinta segitiga, dan kekuatan untuk menerima apa adanya. Semuanya dikemas wajar. Jadi nggak ada tuh adegan anak SMP pacaran naek mobil Ferrari atau peran antagonis psikopat yang selalu mengharapkan si pemeran utama mati kegiles alat berat buat ngeruk kali Ciliwung. ‘May Who?’ seolah menyampaikan pesan, “Kayak gini loh anak SMP kalo lagi kasmaran.”. And it’s works!

Castnya juga unyu-unyu abis. Khas film Asia Timur dan Asia Tenggara. Kita nggak bakal jauh-jauh dari tampang baby face klimis tanpa bulu dan jerawat. Pong, seorang murid di sebuah SMP yang jago gambar tapi masuk dalam kasta ‘nggak terlihat’ di sekolah diperankan oleh Bank Thiti. Cewek-cewek kalo lagi berenang terus ngeliat dia, pasti nggak sadar tau-tau mereka udah berenang nyebrangin Selat Sunda. Terus saingannya si Pong dalam mengejar cinta adalah Fame, seorang murid multitalent dan bintang sekolah. Dia digambarkan menjadi sosok sempurna, idola para cewek, guru, sampe cowok (ini serius). Fame diperankan oleh Tor Thanapob. Dan tokoh sentral dalam film ini tentu saja si May. Gadis yang entah bagaimana punya ‘kelainan’. Kelainannya apa? Nonton aja sendiri. May juga di sekolah nggak terkenal kayak Pong, tapi kepolosan dan tatapan matanya yang kayak ubin musholla (adem), bikin sesuatu terjadi antara Pong, Fame,dan May. May ini diperankan oleh Punpun Suttata. Kalo yang suka film atau Thailand series pasti nggak asing sama ketiga cast tadi.

Tapi biarpun ini film romance, kekuatannya ada pada komedinya yang sarkas, dan penuh ironi abis. Gue biasanya kurang suka sama film komedi yang kebanyakan adegan lucunya pake teknik slapstick. Tapi di ‘May Who?’ gue enjoy aja. Satu hal yang gue sadari, kenapa film ini lucu? Yak arena ini film Thailand. Dalam artian gini, misalnya satu komedi dengan ukuran, adegan, dan kadar yang sama dimainkan berbarengan oleh film, katakanlah, Hollywood, Bollywood, Korea, dan Indonesia, maka gue yakin nggak selucu film Thailand. Komedinya mirip-mirip film Stand By Me Doraemon. Dan itu tadi, Stand By Me nggak bisa selucu May Who?.

Yang gue suka dari film Thailand adalah storyline-nya yang seolah-olah ketebak. Terus di hampir ujung film ada twist yang bikin kita mikir, “Ooohhh…ternyata tebakan gue salah.”. Tapi pas diujung film ternyata tebakan kita bener. Kampret banget ini.

Di luar itu semua, gue salut sama pemerintah Thailand. Mereka kayaknya jor-joran banget promo nih film. Padahal dalam film nggak ada loh jualan tempat wisata atau landmark khas Thailand. Kayaknya Negara gajah putih ini sudah mulai menyadari potensi sineas-sineasnya. Bentar lagi mungkin K-Film atau K-Drama bakalan kalah. Mengingat film Thailand ini kalo muncul nggak dengan ide yang bener-bener baru, tapi selalu pake sudut pandang yang fresh.

Udah ah segitu aja…nonton gih. Gue waktu itu dapet gratisan dari temen yang menang kuis di Blitz. Sayang ya, padahal film bagus tapi cuma di jaringan bioskop yang terbatas. =(


Share:

Monday, 19 October 2015

Film Goosebumps, Lebih Dari Horror


Dulu, serial Goosebumps itu kayak kotak Pandora atau buah simalakama. Dibaca takut, nggak dibaca bikin penasaran. Jujur, nggak semua buku Gosebumps pernah gue baca, tapi hampir semua buku Goosebumps yang gue baca adalah pinjeman. Aaaanyway, gue tetep suka sama cerita-ceritanya. Walaupun gue lupa-lupa inget judul-judul yang pernah gue baca sambil nyelip di ketek nyokap. Yang bikin serem di Goosebumps itu deskripsi-deskripsi tempatnya. Kalo yang pernah baca, pasti nggak asing sama suasana gang-gang sempit gelap, gudang bawah tanah, pemakaman, bahkan ada yang di luar angkasa. Abis baca, lokasi-lokasi di dalam buku itu nempel di otak gue selama beberapa waktu. Ke WC bawaannya ngeri, takut ada tangan yang tiba-tiba nongol dari dalem kloset. Gue bahkan dulu takut sama nenek (gue manggil beliau ‘nyai’) gue, mengingat beliau pendek, rada bungkuk, berambut putih, dan suka pake baju gamis gitu. Gue kalo nginep di rumah beliau nggak pernah berani pipis sendiri. Selalu minta anterin nyokap. Apalagi kalo kebangun tengah malem.

“Ma, mau pipis. Anterin ke WC.”

“Ahhh…mama ngantuk…”

“Mau kencing, Bal? Nyok nyai anterin.” Nenek gue tiba-tiba muncul dibelakang gue dengan rambut awut-awutan. Fix, gue pipis di kasur.

Itu lah the power of Goosebumps. Karakter sama deskripsinya begitu kuat. Begitu beratnya cobaan mental anak SD jaman gue dulu. Mister gepeng, kolor ijo, gerandong, dan buku Goosebumps.

Goosebumps perlahan menghilang dari kehidupan gue. Dulu kalo nggak salah dibikin serial TV-nya, tapi gue nggak ngikutin. Baca bukunya aja merinding, apalagi liat makhluk tanpa kepala divisualisasikan. Apalagi jam tayangnya malem banget.

Tiba-tiba weekend kemaren temen gue ngajak nonton Goosebumps. Gue cukup surprise juga serial ini diangkat ke layar lebar. Dari buku yang mana nih? Seri mana yang dijadiin film? Pasti horrornya lebih dari film-film sejenisnya belakangan ini. Gila, Goosebumps gitu loh, legend! Ragu-ragu gue terima ajakan temen gue ini.

Begitu masuk bioskop dan menyaksikan adegan-adegan awal, gue berpikir keras ini film diangkat dari buku yang mana. Bahkan lama-lama gue kecewa di sepertiga film ini, “Kok film Goosebumps ngepop banget sih? Penuh warna-warni. Kurang dark. Terlalu riuh. Dan backsound yang lebih ke film adaptasi dari teenlit.” Gitu pikir gue. Apa sih yang diharapkan dari film horror selaen kemuculan setan yang tiba-tiba dan ngagetin? Di film ini, sama sekali nggak ada.

Tapi bukan Goosebumps namanya kalo nggak ngasih kejutam. Ternyata film ini menceritakan tentang penulis Goosebumps itu sendiri, R.L. Stine, yang diperankan oleh aktor komedi Black Jack. Iya komedi. Kenyataannya film ini nggak ada horror-horrornya sama sekali. Ini adalah film yang memvisualisasikan proses kreatif sang penulis. Tentang bagaimana R.L. Stine menciptakan hantu dan monster dalam bukunya.

Gue langsung terbangun dari kantuk gue. Goosebumps the movie ini berubah jadi film petualangan seru. Penuh humor. Ringan. Dan tentu saja dengan bumbu roman picisan tapi nggak basi. Kecuali elu anak angkatan 2000-an yang nggak tau R.L. Stine terus sepanjang film bertanya-tanya siapa dia, film ini nggak perlu penontonnya buat mikir keras. Endingnya ketebak. Kalo ada versi 3D, mending nonton yang 3D deh. CGI-nya keren.

Terakhir, ini poin paling bagus menurut gue sebagai blogger. R.L. Stine membocorkan sedikit ilmu menulisnya. Kalo jeli, kita bakal nemuin tips membangun karakter, pembagian babak dalam cerita, hingga pesan tersirat bagaimana cara menyatukan bakat dan komitmen dalam menulis. Untuk moodbooster dalam menulis, buat gue film ini berhasil banget.

Nonton gih…. =)


http://www.breathecast.com/articles/goosebumps-movie-news-new-trailer-released-for-film-starring-jack-black-29507/
Klik Untuk Sumber



Share:

Monday, 5 October 2015

Review Film: The Martian

The Martian


Satu bulan ini gue udah nonton dua film dengan tema survival. Bulan lalu film Everest yang bercerita tentang survival seorang pendaki di puncak tertinggi dunia udah gue review. Nah sekarang giliran film satunya lagi.

Judulnya The Martian. Gue agak underestimate pada awalnya sama film ini. Ah palingan juga film tipikal Hollywood yang astronotnya nyelametin bumi, dan berujung pada negeri Paman Sam jadi pahlawan dunia. Begitu pikir gue. Tapi pikiran itu langsung terbantahkan bahkan sejak menit-menit awal film ini.

Oiya, kalian bisa skip paragraf ini kalo takut nemuin spoiler karena gue mau cerita sedikit tentang temanya. Martian mengedepankan sebuah premis cukup ekstrim, "Bagaimana kalau seseorang harus bertahan hidup sendirian di sebuah planet tandus dan tidak berpenghuni?". Di Everest, kita menyaksikan rombongan manusia harus bertahan di tempat paling berbahaya di bumi. Tapi Martian menawarkan yang lebih, kita bakal dibuat kagum oleh usaha hanya seorang manusia bertahan hidup di luar bumi karena ditinggal oleh tim astronotnya secara nggak sengaja. Di mars. Sendirian. 80 juta kilometer dari rumah, keluarga, dan konter pulsa langganan.

Film ini nggak ngasih jeda kita untuk berpaling. Banyak dialog-dialog penuh isi yang sayang banget untuk lewat begitu saja. Istilah-istilah science dan ilmu astronomi bertebaran di sepanjang film. Walaupun begitu, masih ringan untuk dicerna oleh yang awam. Humornya pun segar dan nggak receh.

Kelebihan lain menurut gue, film ini minim banget drama. Jangan kuatir baper deh kalo nonton nih film. Nggak ada tuh adegan klise penuh cucuran air mata ala Armageddon misalnya. Film ini sangat fokus menjaga storyline supaya tetap di jalur tema. Gue kagum setengah mati sama ide-ide si Mark Wattney (Om Matt Damon) dengan rencananya untuk tetap survive sambil menunggu misi berikutnya dari bumi ke mars. Wich is, itu empat tahun lagi. Sementara persediaan makanan di pangkalan mars tersebut cuma untuk satu tahun. Matt Damon cukup asik untuk peran ini.

Yang (mungkin) bikin sebagian besar penonton bertanya adalah, di mana lokasi syutingnya? Tim sinematografinya pasti lembur nih mikirin dan riset gimana permukaan dan struktur secara keseluruhan dari planet mars. Kalo yang gue liat sih pengambilan gambarnya ada di Grand Canyon, dan padang pasir. Mungkin mars sesungguhnya nggak kayak gitu, tapi sinematografernya berhasil meyakinkan gue bahwa mereka beneran syuting di mars. Sumpah, detail banget. Apalagi ditambah sama tone merah untuk menguatkan kesan planet marsnya.

Kalopun ada yang kurang, gue rasa sisi psikologis dari si Mark ini kurang dieksploitasi. Di Everest, kita ditunjukkan gimana akibat buruk berada di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl terhadap psikologis. Bisa berupa halusinasi, frustasi, stres, sampe putus asa. Tapi di The Martian, Mark cukup woles-woles aja sama keadaannya. Agak jadi nggak wajar sih ya, bayangin aja sendirian di planet laen gitu. Mungkin kurang bahan riset kali ya? Kalo orang yang tersesat di gunung kan udah banyak, gampang nanyainnya. Lah ini ilang di planet tempat jin maen gaple, jelas belom ada yang pernah.

Pokoknya ini film layak banget untuk ditonton. Bahkan menimbulkan efek pengen nonton lagi. Nggak ada itu cerita Amerika sibuk jadi pahlawan dunia sementara negara-negara laen cuman jadi tim hore. Placement produk Rover juga proporsional dan halus banget. Nggak ganggu kayak Gerry Chocolatos yang nongol di film Habibie.

Pada ke bioskop gih, seru loh filmnya. Pengen liat bokong telanjangnya Matt Damon, kan? *eh



Share:

Friday, 2 October 2015

Ngeblog Untuk Perekonomian



Gue bersyukur dengan kenyataan bahwa gue adalah termasuk dalam generasi yang dilintasi zaman internet. Semuanya jadi lebih mudah. Dari mulai cari informasi sejarah sampe beli tahu sumedang tanpa harus ke Sumedang, semuanya mudah karena bantuan internet.

Tapi gue juga menyesal, karena gue termasuk yang telat memanfaatkan salah satu fitur dari internet, yaitu blog. Sebenernya gue mulai ngeblog sejak SMA, tapi ya gitu, angin-anginan. Jumlah postingan gue lebih sedikit dari jumlah senyum Rano Karno di serial Si Doel Anak Sekolahan. Padahal kalo gue tau manfaat dan impact dari blog itu sedemikian besar seperti pada saat ini, komputer jangkrik di rumah gue pasti lebih banyak digunakan buat nulis, bukan buat maen solitaire.

Semakin ke sini, blog jadi makin populer. Apalagi pasca menjamurnya smartphone. Blog jadi makin mudah di akses. Bukan hanya oleh bloger (mereka yang menulis dan penyedia konten), tapi juga untuk blogee (mereka yang menikmati konten, ini istilah gue aja sih). Bagi bloger, mereka bisa menuangkan ide dan pengalaman lalu membaginya. Kalo banyak yang suka, ini bisa jadi personal branding tersendiri. yang berujung pada blog bisa sebagai ladang penghasilan. Sementara blogee bisa meyerap informasi sebanyak-banyaknya dari tulisan bloger ini.

Selain itu, secara khusus di dunia bisnis pun mengalami sedikit pergeseran pola pemasaran. Kalo dulu para pelaku usaha masih terpaku pada dogma bahwa media pemasaran yang efektif adalah media televisi, dan media cetak. Wich is, cost-nya gede banget. Nah sejak ada blog ini mereka mulai melirik para bloger yang sesuai dengan image produk mereka untuk mengulasnya lewat tulisan lalu disebarkan melalui media sosial. Efek ‘nendang’-nya jauh lebih dahsyat daripada media cetak yang perlahan mulai ditinggalkan.

Dengan adanya blog, batas antara bisnis kecil dan bisnis besar jadi semakin tipis. Semuanya punya kesempatan yang sama untuk berpromosi. Masyarakat blogee pun jadi punya banyak pilihan. Kalo diliat secara makro, blogging ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Logikanya, semakin banyak blogging, semakin banyak pelaku usaha yang sukses memasarkan produknya lewat blog dengan bantuan bloger, semakin banyak orang yang berani memulai usaha, otomatis terjadi penigkatan demand-supply, maka terjadi pula perputaran uang.

Karena blogging ini pula jadi banyak bisnis penopang untuk mendukung kegiatan ini. Misalnya aja bisnis jasa design blog, jasa penulisan konten, dan penyedia domain yang makin banyak. Sekarang anak jurusan informatika atau IT nggak perlu bingung nyari kerja setelah mereka lulus kuliah. Mereka bisa garap ‘lahan’ yang isinya para bloger ini. Secara nggak langsung, blogging bisa menumbuhkan presentase wirausahawan yang katanya kurang di Indonesia.

Pebisnis pun nggak perlu kuatir blogging ini bakal mati, kayak misalnya sosial media-sosial media lain. Dulu Friendster down karena nggak mampu membendung inovasi, dan invasi Facebook. Kemudian Facebook juga sempet nyaris kolaps akibat kesimpelan Twitter, yang untungnya Om Zuckerberg ngambil langkah cepat untuk akuisisi Whatssap dan Instagram sehingga FB masih eksis sampe sekarang. Twitter pun gue denger-denger sahamnya turun drastis akibat kemunculan beberapa media sosial baru yang bermunculan dan menawarkan segala macam fasilitas untuk eksis dan narsis. Tapi para pengguna blog nggak perlu khawatir. Gue pernah denger bahwa bloger di Indonesia itu kurang banget, tapi gue nggak pernah denger bloger Indonesia berkurang. Di antara beberapa platform media sosial yang berjatuhan, blog tetap bertumbuh. Jadi sekali lagi, para pelaku usaha nggak perlu kuatir kehilangan lapak digital buat promosi.

Dan untuk para bloger, terus lah ngeblog. Kalian sangat dibutuhkan. Yang udah jarang blogging, mulai lah untuk ngeblog lagi. Yang belum punya blog, buruan bikin. Biarkan pemerintah dengan keyakinannya membangun infrastruktur dan mencabut subsisdi BBM untuk menumbuhkan ekonomi bangsa ini. Kita lakukan dengan cara kita sendiri, dengan kata-kata.

Tulisan ini diikut sertakan dalam #PojokWBIdol
Share:

Monday, 21 September 2015

Review Film: Everest


http://www.muvila.com/film/artikel/inilah-ketakutan-yang-dirasakan-para-pemain-film-everest-150918g.html
Klik untuk sumber gambar

Sederhana. Itu kesan pertama gue setelah abis nonton film ini. Dan memang begitu adanya. Dari judulnya aja udah sederhana banget. Everest. Nggak banyak cingcong pakai kata-kata kiasan atau idiom yang bikin kita mikir apa hubungan antara judul dan pesan dari isi film. Pun dengan jalan cerita serta temanya, simple.

Untuk ukuran film dengan tema adventure, film ini sangat minim adegan-adegan yang bikin adrenalin terpacu. Mungkin karena ini based on true story ya, jadi harus dibikin semirip mungkin dengan kejadian aslinya di tahun 1996. Kalo harus ngebandingin sama film sejenis dengan tema sama, katakanlah Vertical Limit, kita nggak bakal nemuin sensasi yang sama. Di Vertical Limit jantung kita bakalan kembang kempis dengan scene-scene ‘sejengkal dari maut’. Di Everest, cuma sedikit yang kayak gitu.

Gue suka banget sama premis yang diketengahkan penulis skenarionya. Ini adalah pertanyaan yang semua anak gunung pasti pernah dapet, “Untuk apa sih naek gunung?”. Di cerita ini tokoh bernama Beck Weathers kudu keluar duit sebesar 65.000USD, dan meninggalkan keluarganya demi mencapai puncak Everest dengan bertaruh nyawa. Atau si Rob yang harus meninggalkan istrinya yang lagi hamil. Begitulah takdir para pendaki, pertanyaan yang akan selalu ada.

Di setiap tokoh di film ini dihadapkan dengan pertanyaan tadi. Dan masing-masing punya jawabannya. Nah, jawaban mereka ini lah yang jadi fondasi untuk mengembangkan cerita Everest yang sederhana ini. Dan itu berhasil. Konflik batin yang terjadi akibat ego mereka untuk menaklukkan puncak tertinggi dunia cukup bikin emosi nyampur aduk. Apalagi kalo liat aktingnya Keira Knightley sebagai istri yang ditinggal suami, beuh, sangat mengundang empati. Tapi di satu sisi, film ini jadi flat banget. Nggak ada twist yang bikin penonton nebak-nebak kemana arah endingnya. Alurnya ya blas lurus-lurus aja. Kita cuma akan menonton kekhawatiran para tokoh yang ditinggal mendaki ke puncak Everest. Again, kalo sepanjang film kita sibuk ngebandingin sama Vertical Limit, mendingan tidur atau abisin pop corn di luar studio.

Strongest poin Everest terletak pada sinematografinya yang apik nggak ketulungan. Gambar-gambar landscape dari daratan setinggi 4.000mdpl ke atas dan lekuk-lekuk alam yang dramatis, berhamburan sepanjang film. Anak gunung atau pecinta alam gue jamin mati ngilu ngeliatnya. Dan akting para pemainnya ketika mulai mendaki sampai mereka ke puncak Everest sangat-sangat keliatan real. Bagaimana mereka kedinginan, mengigil, ketakutan, berbicara di suhu ekstrem, semuanya natural. Gambaran suasana badai Everest, desauan angin, hingga detail salju yang menempel di wajah atau tubuh para pemain tertuang tanpa cela. Nilai lebihnya, kalo nyimak baik-baik, banyak ilmu naik gunung di tiap dialognya.

Castingnya juga nggak mengecewakan. Dear para cowok, selamat, kalian bisa liat Keira Knightley yang keibuan banget. Jason Clark sangat manly memerankan pemimpin regu pendaki. Wibawanya nggak terbantahkan lagi. Gue paling suka sama Josh Brolin, doi bisa memerankan dengan sangat bagus tokoh Beck yang songong, dan arogan tapi sesungguhnya rapuh banget. Penonton cewek nggak usah kuatir, ada Jake Gyllenhal yang bakal bikin betah. Di sini doi brewokan, dan easy going banget. Tapi menurut gue kayaknya Jake ini sangat mubazir ada di film. Dia ini kalopun nggak ada nggak bakal ganggu alur cerita. Kesannya Jake ini ‘dipaksa’ ada untuk menunjukkan bahwa tragedi Everest 1996 itu ada Scott Fischer sebagai korbannya.

Pesan moralnya cukup menusuk para pendaki gunung, khususnya nih jaman sekarang. Dimana kebanyakan orang naek gunung hanya demi ego tanpa pernah tau ‘perasaan’ gunug. Gue lupa dialog siapa di tengah film, tapi ini menarik banget, “Di tiap pendakian selalu akan ada cerita manusia melawan gunung. Dan gunung selalu menang.”
Share:

Friday, 18 September 2015

Panjat Pinang

BANGUUUNNN, BANGUUUNNN, BANGUUUNNN…YES, YESSS, YESSS!!!

Selamat Pagi! Selamat hari Jumat. Wah, nggak berasa udah mau weekend lagi ya guys. Gimana nih, udah pada punya acara buat liburan besok? Mancing? Hang out? Nimba sumur? Nikung pacar orang? Yang pasti pagi ini masih ditemenin sama gue, Yosfiqar Iqbal, penyiar paling kece di Kening Lebar FM yang datang tak dijemput pulang minta ongkos.

Oiya, ngomong-ngomong weekend nih, pada seneng banget dong ya lepas dari rutinitas kerjaan. Tapi gue justru sibuk nih guys menjelang weekend. Cuz ada yang harus gue kerjain. Jadi gini, Warung Blogger kan lagi ngadain kompetisi #PojokWBIdol. Dan sekarang udah masuk lima besar. And thank God, gue adalah salah satunya. Untuk minggu ini tiap peserta dapet tema menulis tentang Pancasila. Gue dapet tugas untuk cuap-cuap tentang sila ke-3. Persatuan Indonesia.

Berat ya guys kayaknya topiknya. Eit, tapi tenang aja, penyiar kesayangan kalian ini punya cerita yang Insya Allah masuk ke tema yang ditentukan. Oke sebelom lo-lo request lagu kesukaan, gue bakal cerita dulu tentang persatuan. Cerita dengan ruang lingkup lokal sih, tapi ini punya makna secara global. Lo bisa dengerin ceritanya, setelah lagu yang satu ini. Keep stecun in 100000000000001.1 Kening Lebar FM. Don’t go anywhwere!

*mengalun lagu Satu Nusa Satu Bangsa*
* * *

Cerita ini terjadi beberapa tahun lalu. Gue masih kuliah tingkat satu kalo nggak salah. Waktu itu ada event lomba tujuhbelasan di lingkungan tempat tinggal gue. Panitia tingkat RW berencana bikin lomba panjat pinang yang pesertanya adalah perwakilan dari tiap RT. Setelah susah payah panitia ngumpulin peserta, akhirnya dari Sembilan RT yang mampu berpartisipasi cuma tiga RT. Tiga RT ini diwakili oleh anak-anak muda. Mungkin sisa RT yang nggak ikutan isinya adalah manula sama ibu menyusui semua.

Satu regu terdiri dari empat orang. Seperti regu-regu yang lain, regu gue pun nyusun strategi dan formasi demi supaya mendapatkan hadiah utama di ujung batang pinang, yaitu uang tunai senilai lima juta rupiah yang secara simbolis ditulis di sebuah stereofoam. Gue yang saat itu masih kurus didaulat untuk jadi yang paling atas dan nantinya manjat tuh pinang sampe atas.

Ketiga temen gue yang lain adalah sahabat sepermainan gue dari kecil. Ada Cecep, dia ini sahabat gue yang kurang beruntung. Karena putus sekolah, sekarang dia nyari nafkah dengan jadi kuli bangunan. Tapi untuk lomba satu ini, tenaga Cecep berguna banget. Tau dong tenaga kuli gimana? Jadilah Cecep menempati posisi paling bawah. Dia ini yang nantinya menopang kami bertiga demi supaya sampe di puncak pinang. Lalu ada Ajis, dia ini leadernya. Maklum, doi adalah anggota aktif Karang Taruna. Jadi kemampuan mengorganisirnya udah mumpuni banget. Yang terakhir ada Baul. Dia ini kurang jelas tugasnya apa. Gue yakin dia ada di lomba ini cuma untuk ngisi kuota peserta doang.

Lomba pun dimulai di tengah lapangan. Batang pinang berlumur oli ditancapkan di tanah merah dan sengaja dibuat kubangan lumpur di sekitarnya. Penonton udah bejibun. Para ketua RT, dan Pak RW memantau dari tenda khusus di pinggir lapangan sambil ngemil tape uli plus teh manis.

“Kita terakhir aja. Liat tim yang lain dulu, gimana cara mereka manjat. Lagian kan kalo mereka duluan ntar olinya berkurang nempel di badan mereka.” Ajis membriefing kami. Kami bertiga sepakat sama Ajis. Entah pada ngerti apa nggak.

Dua tim RT sebelah berguguran. Bukan perkara mudah memanjat batang pinang yang tinggi, udah gitu diolesin oli. Bahkan di antara mereka ada yang jatoh dari ketinggian lumayan. Tiba giliran tim gue mencoba. Sesuai dengan yang udah dibicarakan, Cecep paling bawah. Dia langsung memeluk tiang pinang itu erat-erat,

“Cep!”

“Iya, Jis?’

“Itu pinangnya yang dipeluk. Bukan GUE!”

“Oh, map.”

Setelah Cecep, Aji yang punya bodi lumayan naik ke pundak Cecep. Baul akhirnya diputuskan untuk menempati posisi di atas Ajis. Gue membantunya naik dengan menggunakan telapak tangan gue sebagai pijakan. Sial, berat juga mutan biawak satu ini. Akhirnya Cecep, Ajis, dan Baul berhasil membentuk formasi rumah susun tiga tingkat. Gue liat Cecep udah mulai gemetar, kayaknya keberatan.

“Bal, ee’tan…ue uah nggak uaaatttt….” Cecep mengatakan sesuatu dengan nada ngeden.

“Hah?”

“Eeeeetaaannn…eaaattt ngeettt niii….”

“Apaan sih? Nggak jelas.”

“CEPETAN! BERAT BENGET INI, NYONG!” Teriak Cecep setelah mengumpulkan segenap tenaga.

Baiklah. Demi Cecep yang kalo didengerin nada ngedennya udah nggak BAB selama dua minggu, demi Ajis dan Baul, dan demi lima juta rupiah. Gue mengambil ancang-ancang, lari, dan…tap, tap, tap! Yak gue berhasil ada di atas Baul! Gue menggunakan punggung Baul sebagai pijakan. Gue memeluk batang pinang sepenuhnya.

“Iqbal udah di atas!” Baul memberi komando. Gue melihat ke bawah, dan menyaksikan temen-temen gue jatoh berhamburan. Tinggal lah gue di atas. Licin. Beberapa kali merosot. Boro-boro naek, mempertahankan ketinggian aja rasanya kayak ngapalin tabel unsur periodik, susah banget. Gue makin merosot, tangan kesemutan dan akhirnya jatoh.

Hari udah menjelang sore. Penonton emak-emak yang tadinya pake jins udah berganti daster. Belom ada satu pun tim yang berhasil. Badan gue udah nggak karuan. Oli campur tanah liat melumuri badan dan muka gue. Ini kalo gue balik ke rumah, gue yakin emak gue pun nggak bakal ngenalin. Kami semua putus asa, kecuali ada yang bisa terbang, mustahil bisa meraih lima juta di atas sana.

Tiba-tiba Pak RW maju ke tengah-tengah para peserta. Pak RW ini masih muda, tapi berwibawa. Kumisnya mengingatkan gue akan Cok Simbara di sinetron Nokta Merah Perkawinan.

“Jadi pegimane? Pade nyerah? Sayang banget itu doku lima jute kagak keambil. Begini aje dah, daari pade entu duit nganggur, mendingan lu-lu pade gabung aje jadi satu tim. Biar gampangan dikit. Ntar duitnye kite pake buat pesta kecil-kecilan. Bakar-bakaran ayam gitu. Gimane?”

Para peserta berpandangan. Bener juga. Kami semua setuju untuk bersatu. Strategi pun disusun. Dan gue kebagian posisi di posisi nomor dua dari atas. Kami membentuk formasi piramida. Cecep nggak sendirian lagi jadi fondasi di bawah. Dan buat gue lebih mudah memanjat tubuh-tubuh penuh oli daripada batang pinang langsung. Beberapa kali kami gagal. Tapi dipercobaan yang kesekian, gue berhasil sampe atas. Sekarang harapan tinggal berada di salah satu anak bernama Sidik. Dia yang paling kurus, dan harusnya paling atas. Sidik memanjat satu demi satu badan kami. Pas sampe di pundak gue, dia kesulitan untuk naek lebih tinggi lagi. Gue merasakan orang di bawah gue mulai goyah.

“Dik, injek aja kepala gue.”

“Yakin, lu?”

“Iya nggak apa-apa.”

“Tadi gue abis nginjek…nginjek…”

“Apaan?”

“Nggak. Nggak jadi, deh. Ya udah gue naek nih.”

Sidik menginjak kepala gue sebagai pijakan. Gile, berat juga, leher gue kram. Mike Tyson boleh bangga dengan leher betonnya, gue punya leher konblok.

Setelah gue rasa Sidik lepas dari kepala gue, gue pasrah. Merosot gitu aja ke bawah dan membiarkan badan gue jatoh ke kubangan lumpur. Gue nggak bisa buka mata karena muka kecipratan lumpur dari temen-temen gue yang juga berjatohan.

Yang pasti, ketika gue bisa buka mata, gue melihat Cecep dan beberapa temen dari RT lain lagi menggendong Sidik. Sidik yang sedang mengaggkat stereofoam bertuliskan Rp. 5.000.000. Kami berhasil. Seperti kata pak RW, kami akan berpesta!

*mengalun lagu We Are The Champion*
* * *

Yoooooooo….gitu ceritanya guys. Gimana menarik nggak? Nggak? Yowis nggak apa-apa. Itu lah cerita gue yang gue persembahkan untuk dedikasi gue mengukuti #PojokWBIdol. Dukung  terus gue ya, Guys! Intinya sih, sesuatu bisa banget jadi lebih gampang kalo kita bersatu. Nggak usah jauh-jauh mikir beda pulau, atau beda bangsa. Kita bisa mulai bersatu dari mulai tingkat RT! Oke guys, yang sekarang masih marahan, semoga cepet baikan. Bersatu kita teguh, bercerai kita rujuk lagi! Ahay!

Dan masih bareng gue Yosfiqar Iqbal, penyiar paling kece Kening Lebar FM yang datang tak dijemput pulang minta ongkos, lo semua bisa share pengalaman lo tentang persatuan atau sekedar komen di kolom komentar. Request lagu dan kirim-kirim salam juga bisa loh. See you again next time, take care, and bhay! Have a nice weekend, guys!

*Closing theme song: Go Go Power Rangers*

Share:

Friday, 11 September 2015

The Power of Kakak Adek Zone

Jadi anak pertama itu ada enak, dan ada nggak enaknya. Enaknya kalo punya adek bisa memberdayakan si adek dengan semena-mena, anak pertama punya power buat nyuruh-nyuruh. Nyuruh ke warung, nyuruh ambil remote TV, nyuruh tereak buat berentiin abang bakso, sampe nyuruh kalah pas tanding winning eleven di PS. Mental kompeni anak pertama nggak usah diragukan.

Tapi dibalik ‘kekuasaan’ yang besar itu tersimpan sebuah kegelisahan di tiap anak pertama. Sebuah beban berat. Si sulung nggak bakal bisa nyuruh adeknya buat ikutan memikul beban ini. Ya, beban untuk menjadi sebuah role model sempurna buat adek-adeknya.

Gue adalah anak pertama dari empat bersaudara. Orang tua gue dianugerahi formasi unik terkait gender anak-anaknya. Cowok-cewek-cowok-cewek. Begitulah. Kayak empat tokoh utama di film Narnia. Dulu waktu ketiga adek gue masih pada kecil-kecil, gue puas ‘menindas’ mereka. Ngelarang ini-itu, sampe berkonspirasi untuk menghindari omelan nyokap-bokap.

Di antara mereka, tentu gue jadi yang paling pertama dewasa. Gue mulai mengenal apa itu arti tanggung jawab. Ada sentimen dalam diri gue yang selalu mengatakan bahwa gue harus keliatan hebat di depan tiga adek gue ini. Tapi masalahnya adalah nggak semudah komen di status Facebook. Selalu ada rintangan. Oh iya, ada satu hal yang gue nggak suka ketika seseorang beranjak dewasa. Yaitu mulai ditanamkannya oleh Tuhan rasa putus asa dalam diri.

Entah kapan tepatnya, tapi sekarang ketika gue ngerasa lelah atau frustasi dengan keadaan, lalu teringat wajah ketiga adek gue, maka secara otomatis gue seperti mendapatkan energi lebih untuk memulai lagi.

Apalagi kalo gue inget pencapaian mereka. Si Nining, adek gue yang paling tua, sekarang udah kerja. Gajinya gede. Udah bisa songong nraktir gue macem-macem dia. Terus si Boim, adek gue nomor dua. Anak bokap yang paling ganteng (versi bokap). Doi udah kuliah. Jadi kapten tim basket, dan punya banyak idola. Selain masak sama beberes rumah, kerjaan nyokap adalah nolak-nolakin telepon dari penggemarnya Boim. Yang terakhir Ita, si bungsu. Gue manggilnya si keriting karena rambutnya emang kayak mie tektek. Dia ini yang paling mirip gue, tapi bukan fisik. Di antara adek-adek gue, dia yang paling suka baca novel dan komik. Gue pernah ngegap nih anak lagi nyorat-nyoret sesuatu di buku tulis. Pas gue baca ternyata cerpen. Bakat nulisnya udah keliatan.

Begitulah. Ketika gue mau nyerah, olok-olok mereka selalu muncul di alam bawah sadar gue. Mereka terus berkembang, gue nggak boleh stuck atau bahkan sampe mundur. Demikian otak gue mensugesti.

Pernah pas jaman kuliah gue mau bolos untuk salah satu mata kuliah yang menurut gue dosennya nggak asik. Hari itu mood gue pun lagi ancur-ancurnya. Kuliah makin lama makin susah. Rasanya pengen minta modal ke bokap buat buka kios teh botol aja, dan berenti kuliah. Jadilah gue memutuskan untuk bolos. Satu kaki gue udah naik ke Kopaja sebelum secara slowmotion bayangan ketiga adek gue muncul. Gambaran masa depan mereka yang sukses dan kegagalan gue karena males kuliah berkelebatan. Damn! Gue nggak mau kayak gitu. Akhirnya gue nggak jadi naek tuh Kopaja.

“Bodat, kau!” Hardik kondektur. Kesel karena kehilangan prospek rejeki dua ribu perak dari gue.

Demi masa depan yang gemilang di depan adek-adek gue, gue kembali menyebrangi perempatan Grogol yang panasnya kayak mesin bajaj overheat untuk balik lagi ke kampus. Gue duduk manis di ruang kuliah. Dan lalu komti kelas gue ngomong,

“Woy, Pak Mul barusan SMS, dia nggak masuk. Kuliah hari ini ditiadakan.”

DOSA tuh dosen!

Itu sedikit cerita tentang usaha gue untuk tetap menjaga pride gue di masa depan di mata adek-adek gue. Gue bukan kakak yang sempurna buat mereka, tapi gue nggak mau mereka kehilangan kebanggan terhadap gue. Gue nggak boleh diem di antara bibit talenta mereka yang terus tumbuh subur.

Mungkin ketiga adek gue bukan alesan gue untuk memulai. Tapi mereka adalah alesan kenapa gue nggak boleh berhenti.

Tulisan ini dibuat dalam rangka event #PojokWBIdol
Share:

Thursday, 10 September 2015

Yang Bisa Dilakukan Biar Waktu Macet Jadi Nggak Bete-bete Amat



Waktu pertama pindah ke Jakarta, gue cukup stres dengan pressure ritme mobilitasnya. Gue dituntut untuk gerak cepet, tapi di satu sisi ada hal yang sangat-sangat menghambat untuk gue melakukan itu. Hambatan terbesarnya adalah kemacetan. Di awal-awal kerja di Jakarta, gue selalu ngeluh kalo lagi kejebak macet. Kesel, mangkel, sebel, emosi, bawaannya pengen nyabut knalpot terus tereak, “BUBAAARRRR!”.
Tapi lama kelamaan gue jadi makin terbiasa sama situasi macet ini. Mungkin karena gue udah tau selanya. Jam segini macet di sono, jam segono macet di sini. Jadi nggak kaget lagi, walaupun kesel dikit-dikit sih ada. Namun seperti kata pepatah, daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Gue pun mencoba menerapkannya di tengah bekunya lalu lintas Jakarta. Daripada gue nyela-nyela pemerintah yang nggak pernah konsisten menerapkan kebijakan pengurangan kemacetan, atau menegeluh tentang betapa bebalnya para pengguna kendaraan pribadi yang nggak mau pindah ke angkutan umum, gue punya beberapa aktifitas yang bikin bad traffic day gue nggak bête-bete amat. Gini:
1.        
      1. Berkhayal
Di tegah antrean kendaraan yang bejibun, nggak banyak yang bisa dilakukan secara fisik. Benerin kolor yang nyelip aja susah, tengsin juga ama motor atau mobil di belakang. Tapi kemacetan nggak bisa mengekang pikiran gue. Gue bebas berkhayal. Khayalan gue paling sering adalah, gimana kalo Jakarta ini adalah Cybertron. Planetnya para Transformers. Jadi mobil-mobil, dan motor-motor ini kalo pada nggak sabar lagi macet berubah jadi  robot. Jadi mereka ngantrinya pada berdiri, desek-desekan, bahkan kadang sikut-sikutan kayak di Commuter Line. Terus ada kang asongan dagangin oli, mur, ama busi. Kalo macetnya kelamaan dan robot-robot itu capek, mereka pada ngasoh duduk di trotoar. Absurd. Ya namanya juga ngayal. Cara ini lumayan bisa meredam emosi. Coba deh.

2.      2. Ngopi, atau Ngeteh
Ya nggak harus bawa termos atau kendi sih, apalagi dispenser hot/cold. Gue sih selalu sedia kopi instan dalem botol atau kaleng pas berangkat kerja, teh dalem botol juga kadang-kadang. Gue selipin di kantong jaket. Jadi pas masuk daerah macet, yang laen pada mati gaya ngisep asep knalpot, gue mah ngopi atau ngeteh. Kalo kena macetnya di lampu merah TB Simatupang, Ragunan sono, sesekali bisa dicoba bawa pisang goreng ama tape uli. Macetnya lama, udah gitu lampu merahnya bisa sampe tiga menitan. Naek mobil? Yah itu mah mesen pepperoni pizza bumbu pecel juga masih sempet.

3.      3. Denger Radio
Awalnya sih dengerin MP3 dari HP. Tapi lama-lama bosen sama playlist gue yang genrenya 90-an sampe awal 2000-an. Beralihlah gue dengerin radio tiap berangkat kerja. Setelah cari-cari channel radio yang kira-kira ngepas, ketemu deh radio yang penyiarnya asik. Nama penyiarnya Surya, Molan, dan ditemenin sama Felix. Ini orang bertiga kalo siaran beda banget sama radio laen. Joke-joke mereka ngerelate banget sama pendengar. Jadi kadang gue cengar-cengir sendiri kalo lagi stuck di lampu merah. Sampe pernah terjebak ackward moment karena ke gap pak polisi lalu lintas waktu gue ngakak sendirian. Yang terpenting, mereka kalo siaran hampir nggak pernah taping. Gue nggak pernah suka sama radio yang siarannya cuma taping suara penyiarnya doang. Surya-Molan suka live akustikan, bikin sandiwara parodi, jadi radio dangdut, sampe buka konsultasi kalo ada pendengar yang mengalami masalah pada kendaraannya, atau alat-alat elektronik. Semuanya dibahas dengan sangat tidak serius. Gue nggak bisa sebutin radionya, entar dikira ini postingan promo. Yang belom tau, coba aja googling Surya-Molan. Dengerin dulu deh sekali acaranya, dijamin selera humor turun drastis.

Begitulah cara gue ngakalin situasi nggak ngenakin saat macet. Kesimpulannya, semacet-macetnya jalanan di Jakarta, lebih macet lagi jalanan di Puncak waktu long weekend.

Kali aja ada yang punya cara lain selain punya gue di atas, bisa kali nih dishare di kolem komentar. =)
Share: