Kayaknya sekarang becandaan tentang jomblo dan mantan udah dalam tingkat capucino cincau di depan mini market. Banyak banget, dimana aja ada. Di sosmed, jomblo abis jadi bahan bullying. Tersangka utama kalo hujan turun di malem minggu. Mantan pun sama aja, galau dikit, langsung jadi kambing hitam.
Yang gue heran, kadang yang jomblonya juga sih suka menganiaya diri sendiri. Begitu malem minggu dateng, langsung deh jadi ngerasa makhluk paling malang di bumi. Update status di sosmed, "Duh, nasib jomblo. Pulang dari mall naek kopaja disuruh duduk di bawah". Nah yang baru putus sama pacar dan belom dapet gantinya pun nggak kalah eksis. Mantan pun jadi sasaran. Langsung ngeramein TL dengan status yang kalo dirangkum kira-kira gini, "Arus ke Puncak, Bogor, ramai lancar. Sedangkan arus balik ke hati mantan macet total". Kemon men, galau karena mantan itu bukan perkara masih sayang. Tapi karena belom ikhlas aja.
Dan gue makin bingung karena in fact, banyak jomblo dan yang punya mantan kayaknya 'nikmatin' banget situasi mereka. Di satu sisi pengen banget punya pacar, di sisi lain tenggelam dalam status kejombloannya dan berharap seluruh dunia tau betapa jomblo itu cobaan yang lebih berat daripada kebelet pipis di tengah kemacetan. Di satu sisi ngaku udah move on, tapi di sisi lain di tiap kejadian selalu mengait-ngaitkan dengan mantan dan segala kenangannya.
Tapi daripada gue nomongin 10 keutungan menjomblo atau jurus kilat ngelupain mantan, mendingan gue bahas kenapa populasi jomblo dan mantan itu cenderung meningkat.
Pacaran. Ya, ini penyebab kenapa ada jomblo yang kemudian jadi mantan dari seseorang. Kalo nggak ada yang pacaran, nggak bakal ada jomblo yang punya mantan. Pacaran yang gagal tentunya. Relationship yang kandas.
Apa penyebab putusnya hubungan sepasang kekasih dalam dunia perpacaran? Banyak. Gue udah ngobrol-ngobrol dengan anggota paguyuban penjual pisang goreng dan ibu-ibu pecinta batu akik pancawarna, dan kesimpulan dari banyaknya penyebab putus semua itu bermula dari hubungan yang dibangun pelan-pelan dengan salah. Gue menyebutnya 'demanding relationship'.
Apa itu demanding relationship? Ya relationship yang demanding. Oke, maksudnya gini, ini hubungan yang terlalu banyak nuntut. Terlalu banyak minta ke pasangan. Untuk yang baru-baru memulai sebuah relationship, okelah sikap demanding ini permisif. Namanya juga baru membangun, wajar dong kalo minta ke pasangannya ini itu demi kepentingan penyesuaian.
Tapi kalo keterusan bisa menimbulkan rasa nggak nyaman di salah satu pihak. Gue pribadi sih menganggap rasa nyaman ini yang paling penting dalam suatu hubungan. Semua bermula dari rasa ini. Demanding ini adalah bibit dari segala sikap jelek lainnya dalam hubungan yang masuk dalam blacklist dan telah disahkan oleh Kongres Luar Biasa Organisasi Perpacaran Dunia. Misalnya egois, possesif, insecure, sampe bau ketek.
Awalnya selalu minta dijemput pacar. Kemudian kalo pacar nggak bisa jemput bawaannya curiga. Timbul nggak percaya. Terus terjadi inflasi dan nilai tukar rupiah melemah. Main tuduh-tuduhan. Salah satu ngerasa nggak nyaman. Putus. Voila, bertambahlah populasi jomblo dan mantan.
Atau awalnya selalu minta ketemuan. Tiap hari. Kemudian suatu hari si pacar nggak bisa ketemuan karena mau maen sama temennya. Kemudian insecure. Mikirnya si dia bohong. Terus Nassar dan Musdalifah jadi cerai. Akhirnya terjebak sama pengen putus tapi masih sayang banget zone. Nggak kerasa udah pilpres lagi, baru nyadar betapa nggak nyamannya hubungan kayak gitu. Putus deh. Biro Pusat Statistik pun punya data baru bertambahnya jomblo dan mantan.
Dalam prestasi meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan. Same as in relationship. Sikap yang demanding ini bakal menghambat banget dalam mempertahankan sebuah hubungan, menjaga kenyamanan supaya tetap ada. Indikasinya nyaman apa nggak itu gampang, ketika menjalani sebuah hubungan enjoy apa nggak. Kalo jawabannya nggak, ya kelar.
Gue termasuk yang percaya sama saran klise, "udah jalanin aja". Iya, untuk mencegah sikap yang demanding ini diperlukan pemahaman jalanin aja. Nggak usah terlalu ngarepin segala sesuatu dan pasangan sesuai sama kemauan. Tapi bukan berarti pasrah tiada ujung juga, itu lah kenapa menurut gue memiliki tujuan dalam hubungan itu penting banget. Mau cuma main-main, boleh. Mau serius, nggak ada yang larang. Semua ada konsekuensinya masing-masing.
Gue selalu inget ini kalo gue udah mulai terlalu demanding sama si pacar: Dalam teori ekonomi kalo ada demand (permintaan), maka ada suply (penawaran). Kalo ada demand dan suply, maka ada transaksi. Kalo udah transaksional, maka ada hitung-hitungan untung rugi. Dan jika sebuah hubungan sudah mampu menghitung untung rugi, maka udah nggak ada ketulusan.
Sekian. Dan terima cium....
Yang gue heran, kadang yang jomblonya juga sih suka menganiaya diri sendiri. Begitu malem minggu dateng, langsung deh jadi ngerasa makhluk paling malang di bumi. Update status di sosmed, "Duh, nasib jomblo. Pulang dari mall naek kopaja disuruh duduk di bawah". Nah yang baru putus sama pacar dan belom dapet gantinya pun nggak kalah eksis. Mantan pun jadi sasaran. Langsung ngeramein TL dengan status yang kalo dirangkum kira-kira gini, "Arus ke Puncak, Bogor, ramai lancar. Sedangkan arus balik ke hati mantan macet total". Kemon men, galau karena mantan itu bukan perkara masih sayang. Tapi karena belom ikhlas aja.
Dan gue makin bingung karena in fact, banyak jomblo dan yang punya mantan kayaknya 'nikmatin' banget situasi mereka. Di satu sisi pengen banget punya pacar, di sisi lain tenggelam dalam status kejombloannya dan berharap seluruh dunia tau betapa jomblo itu cobaan yang lebih berat daripada kebelet pipis di tengah kemacetan. Di satu sisi ngaku udah move on, tapi di sisi lain di tiap kejadian selalu mengait-ngaitkan dengan mantan dan segala kenangannya.
Tapi daripada gue nomongin 10 keutungan menjomblo atau jurus kilat ngelupain mantan, mendingan gue bahas kenapa populasi jomblo dan mantan itu cenderung meningkat.
Pacaran. Ya, ini penyebab kenapa ada jomblo yang kemudian jadi mantan dari seseorang. Kalo nggak ada yang pacaran, nggak bakal ada jomblo yang punya mantan. Pacaran yang gagal tentunya. Relationship yang kandas.
Apa penyebab putusnya hubungan sepasang kekasih dalam dunia perpacaran? Banyak. Gue udah ngobrol-ngobrol dengan anggota paguyuban penjual pisang goreng dan ibu-ibu pecinta batu akik pancawarna, dan kesimpulan dari banyaknya penyebab putus semua itu bermula dari hubungan yang dibangun pelan-pelan dengan salah. Gue menyebutnya 'demanding relationship'.
Apa itu demanding relationship? Ya relationship yang demanding. Oke, maksudnya gini, ini hubungan yang terlalu banyak nuntut. Terlalu banyak minta ke pasangan. Untuk yang baru-baru memulai sebuah relationship, okelah sikap demanding ini permisif. Namanya juga baru membangun, wajar dong kalo minta ke pasangannya ini itu demi kepentingan penyesuaian.
Tapi kalo keterusan bisa menimbulkan rasa nggak nyaman di salah satu pihak. Gue pribadi sih menganggap rasa nyaman ini yang paling penting dalam suatu hubungan. Semua bermula dari rasa ini. Demanding ini adalah bibit dari segala sikap jelek lainnya dalam hubungan yang masuk dalam blacklist dan telah disahkan oleh Kongres Luar Biasa Organisasi Perpacaran Dunia. Misalnya egois, possesif, insecure, sampe bau ketek.
Awalnya selalu minta dijemput pacar. Kemudian kalo pacar nggak bisa jemput bawaannya curiga. Timbul nggak percaya. Terus terjadi inflasi dan nilai tukar rupiah melemah. Main tuduh-tuduhan. Salah satu ngerasa nggak nyaman. Putus. Voila, bertambahlah populasi jomblo dan mantan.
Atau awalnya selalu minta ketemuan. Tiap hari. Kemudian suatu hari si pacar nggak bisa ketemuan karena mau maen sama temennya. Kemudian insecure. Mikirnya si dia bohong. Terus Nassar dan Musdalifah jadi cerai. Akhirnya terjebak sama pengen putus tapi masih sayang banget zone. Nggak kerasa udah pilpres lagi, baru nyadar betapa nggak nyamannya hubungan kayak gitu. Putus deh. Biro Pusat Statistik pun punya data baru bertambahnya jomblo dan mantan.
Dalam prestasi meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan. Same as in relationship. Sikap yang demanding ini bakal menghambat banget dalam mempertahankan sebuah hubungan, menjaga kenyamanan supaya tetap ada. Indikasinya nyaman apa nggak itu gampang, ketika menjalani sebuah hubungan enjoy apa nggak. Kalo jawabannya nggak, ya kelar.
Gue termasuk yang percaya sama saran klise, "udah jalanin aja". Iya, untuk mencegah sikap yang demanding ini diperlukan pemahaman jalanin aja. Nggak usah terlalu ngarepin segala sesuatu dan pasangan sesuai sama kemauan. Tapi bukan berarti pasrah tiada ujung juga, itu lah kenapa menurut gue memiliki tujuan dalam hubungan itu penting banget. Mau cuma main-main, boleh. Mau serius, nggak ada yang larang. Semua ada konsekuensinya masing-masing.
Gue selalu inget ini kalo gue udah mulai terlalu demanding sama si pacar: Dalam teori ekonomi kalo ada demand (permintaan), maka ada suply (penawaran). Kalo ada demand dan suply, maka ada transaksi. Kalo udah transaksional, maka ada hitung-hitungan untung rugi. Dan jika sebuah hubungan sudah mampu menghitung untung rugi, maka udah nggak ada ketulusan.
Sekian. Dan terima cium....