Sunday, 24 May 2015

Demanding Relationship

Kayaknya sekarang becandaan tentang jomblo dan mantan udah dalam tingkat capucino cincau di depan mini market. Banyak banget, dimana aja ada. Di sosmed, jomblo abis jadi bahan bullying. Tersangka utama kalo hujan turun di malem minggu. Mantan pun sama aja, galau dikit, langsung jadi kambing hitam.

Yang gue heran, kadang yang jomblonya juga sih suka menganiaya diri sendiri. Begitu malem minggu dateng, langsung deh jadi ngerasa makhluk paling malang di bumi. Update status di sosmed, "Duh, nasib jomblo. Pulang dari mall naek kopaja disuruh duduk di bawah".  Nah yang baru putus sama pacar dan belom dapet gantinya pun nggak kalah eksis. Mantan pun jadi sasaran. Langsung ngeramein TL dengan status yang kalo dirangkum kira-kira gini, "Arus ke Puncak, Bogor, ramai lancar. Sedangkan arus balik ke hati mantan macet total". Kemon men, galau karena mantan itu bukan perkara masih sayang. Tapi karena belom ikhlas aja.

Dan gue makin bingung karena in fact, banyak jomblo dan yang punya mantan kayaknya 'nikmatin' banget situasi mereka. Di satu sisi pengen banget punya pacar, di sisi lain tenggelam dalam status kejombloannya dan berharap seluruh dunia tau betapa jomblo itu cobaan yang lebih berat daripada kebelet pipis di tengah kemacetan. Di satu sisi ngaku udah move on, tapi di sisi lain di tiap kejadian selalu mengait-ngaitkan dengan mantan dan segala kenangannya.

Tapi daripada gue nomongin 10 keutungan menjomblo atau jurus kilat ngelupain mantan, mendingan gue bahas kenapa populasi jomblo dan mantan itu cenderung meningkat.

Pacaran. Ya, ini penyebab kenapa ada jomblo yang kemudian jadi mantan dari seseorang. Kalo nggak ada yang pacaran, nggak bakal ada jomblo yang punya mantan. Pacaran yang gagal tentunya. Relationship yang kandas.

Apa penyebab putusnya hubungan sepasang kekasih dalam dunia perpacaran? Banyak. Gue udah ngobrol-ngobrol dengan anggota paguyuban penjual pisang goreng dan ibu-ibu pecinta batu akik pancawarna, dan kesimpulan dari banyaknya penyebab putus semua itu bermula dari hubungan yang dibangun pelan-pelan dengan salah. Gue menyebutnya 'demanding relationship'.

Apa itu demanding relationship? Ya relationship yang demanding.  Oke, maksudnya gini, ini hubungan yang terlalu banyak nuntut. Terlalu banyak minta ke pasangan. Untuk yang baru-baru memulai sebuah relationship, okelah sikap demanding ini permisif. Namanya juga baru membangun, wajar dong kalo minta ke pasangannya ini itu demi kepentingan penyesuaian.

Tapi kalo keterusan bisa menimbulkan rasa nggak nyaman di salah satu pihak. Gue pribadi sih menganggap rasa nyaman ini yang paling penting dalam suatu hubungan. Semua bermula dari rasa ini. Demanding ini adalah bibit dari segala sikap jelek lainnya dalam hubungan yang masuk dalam blacklist dan telah disahkan oleh Kongres Luar Biasa Organisasi Perpacaran Dunia. Misalnya egois, possesif, insecure, sampe bau ketek.

Awalnya selalu minta dijemput pacar. Kemudian kalo pacar nggak bisa jemput bawaannya curiga. Timbul nggak percaya. Terus terjadi inflasi dan nilai tukar rupiah melemah. Main tuduh-tuduhan. Salah satu ngerasa nggak nyaman. Putus. Voila, bertambahlah populasi jomblo dan mantan.

Atau awalnya selalu minta ketemuan. Tiap hari. Kemudian suatu hari si pacar nggak bisa ketemuan karena mau maen sama temennya. Kemudian insecure. Mikirnya si dia bohong. Terus Nassar dan Musdalifah jadi cerai. Akhirnya terjebak sama pengen putus tapi masih sayang banget zone. Nggak kerasa udah pilpres lagi, baru nyadar betapa nggak nyamannya hubungan kayak gitu. Putus deh. Biro Pusat Statistik pun punya data baru bertambahnya jomblo dan mantan.

Dalam prestasi meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan. Same as in relationship. Sikap yang demanding ini bakal menghambat banget dalam mempertahankan sebuah hubungan, menjaga kenyamanan supaya tetap ada. Indikasinya nyaman apa nggak itu gampang, ketika menjalani sebuah hubungan enjoy apa nggak. Kalo jawabannya nggak, ya kelar.

Gue termasuk yang percaya sama saran klise, "udah jalanin aja". Iya, untuk mencegah sikap yang demanding ini diperlukan pemahaman jalanin aja. Nggak usah terlalu ngarepin segala sesuatu dan pasangan sesuai sama kemauan. Tapi bukan berarti pasrah tiada ujung juga, itu lah kenapa menurut gue memiliki tujuan dalam hubungan itu penting banget. Mau cuma main-main, boleh. Mau serius, nggak ada yang larang. Semua ada konsekuensinya masing-masing.

Gue selalu inget ini kalo gue udah mulai terlalu demanding sama si pacar: Dalam teori ekonomi kalo ada demand (permintaan), maka ada suply (penawaran). Kalo ada demand dan suply, maka ada transaksi. Kalo udah transaksional, maka ada hitung-hitungan untung rugi. Dan jika sebuah hubungan sudah mampu menghitung untung rugi, maka udah nggak ada ketulusan.

Sekian. Dan terima cium....

Share:

Thursday, 14 May 2015

Dari Gie Hingga Che

Internet menawarkan segalanya. Terutama informasi. Sekarang mau tau harga cabe kriting aja tinggal klik di smartphone. Sekarang liat orang baca koran itu berasa aneh. Hampir semua media cetak bedol desa pindah ke template online. Padahal koran dan dan media cetak lainnya ini bisa jadi tolak ukur minat baca seseorang loh. Gue waktu kuliah dulu minimal seminggu beli koran dua kali. Sekali beki koran olahraga yang isinya berita bola, sekali lagi beli koran bekas buat alas sholat jumat.

Untungnya buku beda sama koran. Kelebihan buku dibanding koran adalah, buku nggak punya tanggal expired. Jadi secara fisik lebih collectible. Walaupun ada beberapa penulis yang menjual bukunya secata ebook, buku dengan format hardcopy tetep punya tempat tersendiri.

Tapi karena arus informasi yang edan banget itu lah industri perbukuan ini mengalami sedikit pergeseran. Maksudnya? Begini, beberapa tahun yang lalu ketika gue masuk ke toko buku, pilihannya cuma sedikit. Penulis dan penerbit pun bisa diitung pake batangan lidi. Itu karena dulu emang masuk ke dunia penerbitan emang susah banget. Nah sekarang, coba masuk ke Gramedia, tiap minggu ada aja entry baru. Ada aja penulis baru. Oke, ini bagus. Berarti penulis-penulis kita produktif. Tapi kadang gue menemukan buku-buku yang kayaknya 'yang penting' terbit. Apalagi sejak fenomena selebtwit mencuat, gue ngeliatnya penerbit-penerbit ini ngajak si seleb yang berfollowers ribuan buat nulis buku apa aja tanpa ngeliat capabilitasnya. Hasilnya? Ya gitu, banyak yang salah beli karena ngira mereka yang berfollowers banyak pasti bisa menghasilkan karya yang baik.

Makanya, buku yang paling berkesan buat gue itu terhitung buku-buku jadul. Beberapa buku ini cukup mempengaruhi gue. Terutama dalam hal hobi. Coba dicek beberapa buku di bawah ini, siapa tau ada yang sama buku favoritnya sama gue:

1. Lima Sekawan (Penulis: Enid Blyton)
Anak angkatan 2000an kayaknya udah jarang yang kenal sama penulis satu ini. Jamannya gue SD, serial Ghosebumps-nya Enid Blyton seremnya nggak ada lawan. Kalo udah bisa ngoleksi lengkap semua serinya, wuih tingkat kekerenan seseorang bisa ngelebihin Ariel Noah dipakein kacamata item bolong sebelah.
Tapi favorit gue dari Enid bukan Ghosebumps. Adalah serial Lima Sekawan yang bikin gue jatuh cinta sama buku-buku berbau petualangan. Serial ini menceritakan tentang Julian, Dick, Anne, George, dan seekor anjing bernama Timmy. Mereka selalu terlibat dalam perualangan seru. Penculik, penipu, bahkan pembunuh berhasil mereka kalahkan.

2. Sherlock Holmes (Penulis: Sir Arthur Conan Doyle)
Masih buku serial. Gue cinta mati sama karakter Sherlock Holmes. Lebih cinta lagi karena dikebanyakan bukunya, Conan Doyle menggunakan sudut pandang orang pertama tapi dengan pemeran utama orang kedua dengan sangat baik. Sudut pandang yang jarang ada di buku lain.
Buku-buku Sherlock Holmes bercerita tentang seorang detektif swasta cerdas Inggris. Kemampuannya untuk menarik sebuah kesimpulan berhasil memecahkan beberapa kasus kriminal dan menolong kepolisian Inggris. Dalam aksinya, dia dibantu sama Dr. Jhon Watson.
Karena baca buku ini nih gue jadi ketagihan baca Detektif Conan, atau Kindaichi.

3. Traveler's Tale: Belok Kanan, Barcelona! (Penulis: Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, Iman Hidajat)
Awalnya memutuskan untuk beli buku ini karena gue kira ini buku tips and trick atau how to jalan-jalan ke Barcelona gitu. Ternyata bukan. Tentang jalan-jalan memang, tapi dikemas dengan cerita fiksi yang wow banget. Karakter-karater, plot, twist, sampe setting dari Vietnam, Abidjan, Amman, Kopenhagen, Selat Gibraltar, Maroko, Madrid, Sevilla, dan Barcelona, semua terjalin mengalir. Buku ini ditulis sama empat penulis yang mewakili empat karakter di dalamnya. Selain buku ini, gue belom nemuin lagi traveling fiksi yang lebih baik. Traveler's Tale juga yang menggugah gue untuk lebih banyak jalan-jalan. Di luar sana, banyak tempat yang indah. Buku ini nitip pesan, " kalo ilmu harus dituntut hingga negeri Cina, maka cinta harus dikejar hingga Barcelona".

4. Catatan Seorang Demonstran (Penulis: Soe Hok Gie)
Gue baca buku ini karena Nicholas Saputra. Gue dan dia emang punya kesamaan. Sama-sama cowok. Walaupun kalo gue dijejerin sebelahan ama dia maka gue bagaikan serpihan upil kering yang dipeperin di kolong meja. Anyway, gue ngefans sama Nicholas. Sampe suatu hari doi promo film barunya berjudul 'Gie'. Dan gue baru tau kalo film itu diangkat dari diary seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie. Begitu nonton filmnya, ternyata beredar kabar bahwa banyak adegan dan dialog yang disensor. Makanya gue kepo dengan nyari versi bukunya. Walaupun agak susah, akhirnya nemu juga.
Mahasiswa sekarang mestinya baca buku ini. Di sini diceritakan tentang kehidupan Soe Hok Gie, seorang keturunan Tionghoa yang kritis. Yang paling menarik adalah BAB ketika dia menimba ilmu di FS UI. Gie yang tanpa kompromi, mengkritik pemerintahan Bung Karno. Ketika Bung Karno jatuh karena tragedi '65, dia pula orang pertama yang mengkritik kebijakan Orde Baru. Gie bahkan nggak segan membongkar bobroknya almamaternya sendiri. Itu membuatnya dijauhi teman-temannya dan dimusuhi para penguasa. Tapi Gie tetap pada prinsipnya, "Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan".
Sebagai pendiri Mapala UI, Soe Hok Gie wafat dengan cara yang 'keren', yaitu di puncak Mahameru. Gue suka naek gunung setelah baca beberapa kata dari buku ini, ketika Soe Hok Gie ditanya mengapa dia dan teman-temannya suka naek gunung sementara Indonesia sedang kacau, "Kami adalah generasi yang ridak percaya oleh jargon-jargon hipokrisi. Nasionalisme tidak mungkin tumbuh oleh jargon-jargon. Manusia bisa mencintai secara sehat jika dia mengenal objeknya dari dekat. Mencintai tanah air Indonesia bisa dilakukan dengan melihat alam beserta rakyatnya dari dekat. Karena itu lah, kami naik gunung".

5. Becoming Che (Penulis: Calica Ferrer)
Sosok Che Guevara dulu waktu gue SMA ikonik banget. Potret siluet mukanya laku banget jadi bahan sablonan kaos anak-anak muda. Gue termasuk orang yang ikut-ikutan. Gue cuma tau Che Guevara sebatas beliau adalah pejuang kemerdekaan Kuba.
Pas ke toko buku, gue ngeliat buku bersampul merah dengan judul Becoming Che dan gambar siluet muka Che Guevara yang fenomenal itu. Setelah gue baca (setelah bayar di kasir tentunya), ternyata buku ini nggak menceritakan perjuangan seorang Che Guevara membebaskan Kuba. Bayangan gue tentang banyaknya adegan perang di buku ini musnah seketika.
Tapi justru itu yang bikin gue nemuin sisi lain. Ternyata buku ini menceritakan kehidupan Che Guevara sebelum doi jadi komandan di Kuba. Buku ini juga yang ngasih tau gue betapa bodohnya gue karena ngira Che adalah orang Kuba. Guevara Ernesto De La Serna, itu lah nama aslinya dan dia lahir di Rosario, Argentina. Sekampung sama Lionel Messi.
Awalnya dia dan penulis buku ini adalah sahabat kecil. Hingga suatu hari dua sahabat ini memutuskan untuk keliling Amerika Selatan dengan tujuan meneliti penyakit Lepra. Di sini serunya, Calica Ferrer bertutur tentang petualangannya bersama Guevara melewati Chili, Peru, Bolivia, Venezuela, hingga ke Maccu Piccu di Amerika bagian tengah. Gue emang gampang takluk sama buku yang berbau jalan-jalan gini.
Di perjalanan ini lah Guevara muda tergugah untuk menentang segala macam penjajahan. Dia mendengar bahwa Kuba sedang dikuasai oleh diktator. Di Amerika Tengah itu lah kedua sahabat ini berpisah. Calica melanjutkan penelitiannya, sedangkan Guevara menuju Kuba membantu perjuangan Fidel Castro demi idealismenya dengan sakit asma yang akut. Ya siapa sangka komandan perang gagah berani itu bergantung sama obat asma. Calica membujuknya untuk pulang, tapi dijawab santai oleh Guevara, "Sebab mundur, adalah sebuah pengkhianatan".

Banyak sih buku laen yang gue suka, kayak buku tabungan pas abis gajian misalnya. Tapi yang paling berkesan ya lima buku di atas tadi. Udah gitu aja.

"Tulisan ini diikutsertakan dalam best article Blogger Energy"

Share:

Thursday, 7 May 2015

Naik-naik ke Puncak Gunung Dahulu, Naik Pelaminan Kemudian

"Naek gunung, yuk!"
Sebuah ajakan lumayan mengagetkan gue yang lagi asik makan mie Aceh di bilangan Setiabudi. Bukan apa-apa, ajakan itu terlontar dari pacar gue. Pacar gue ini emang demen banget jalan-jalan, tapi kebanyakan ke pantai. Snorkling gitu. Makanya gue nyaris keselek kuah mie begitu dia bilang mau naek gunung.

Naek gunung bukan hal baru buat gue, seenggaknya gue nggak awam-awam amat soal beginian. Tapi naek gunung bareng pacar, adalah hal lain lagi. Akhirnya pas long weekend kemaren kami memutuskan untuk mendaki Merbabu.

Syukur, pendakian berjalan lancar. Walaupun persiapan hingga prakteknya beda kalo gue naek gunung sendiri. Intinya, kalo naek gunung bareng pacar ada beberapa yang harus diperhatikan.

Pertama. Jaga antusiasme.
Kalo kita suka naek gunung sementara pasangan kita nggak suka, saran gue jangan dipaksakan. Antusiasme ini adalah modal dasar. Karena ketika naek gunung, apalagi baru pertama, pasti ngerasain momen "Anjrit, ngapain sih gue di sini. Tau kayak gini mendingan gue di rumah aja". Frustasi. Cuma rasa antusias yang bikin kita lolos dari rasa kayak gitu. Sebelom berangkat, gue berungkali nanya keseriusan si pacar tentang niatnya naek gunung. Apalagi ini Merbabu, gunung yang udah diatas 3000 meteran. Lewat jalur Wekas pula, yang terkenal serem. Puji syukur, si pacar tetep semangat walau malemnya sempet kena hipotermia dan bisa sampe di salah satu puncak Merbabu.
Pemandangan dari pos dua Merbabu. Scene ini yang bikin antusiasme gue dan pacar tetap terjaga.

Kedua. Persiapan.
Kalo ini sih nggak naek gunung bareng pacar juga harus mantap. Tapi kalo bareng pacar, persiapannya jadi agak lebih. Gue mesti tau lebih tentang si pacar. Makanan yang dia suka, obat-obatan pribadinya, kondisi fisiknya, bahkan siklus bulanannya pun penting untuk diketahui. Gue nggak becanda. Buat cewek yang mau naek gunung, ini penting. Percayalah. Semuanya harus dipersiapkan secara matang. Beberapa minggu sebelom berangkat, gue paksa si pacar untuk minimal joging tiap pagi. And its work.

Ketiga. Berbagi beban.
Cuma karena dia pacar gue dan perempuan, bukan berarti gue sok bawa semua peralatan naek gunung sendirian. Alam nggak pernah mengizinkan manusia untuk membohongi diri sendiri. Jadi buang jauh-jauh sikap sok kuat di depan pacar. Okelah gue bawain matras dan sleeping bagnya di tas keril gue. Tapi dia juga gue bebani tanggung jawab buat bawa logistik yang lumayan berat.

Keempat. Nikmati momen.
Jarang-jarang kan liat sunset berdua dari ketinggian lebih dari 2000an meter mdpl? Ini waktu yang tepat buat ngobrol banyak dari hati ke hati. Di gunung, obrolan bakal mengalir jujur dan apa adanya. Jargon yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui karakter asli seseorang maka ajaklah naik gunung, adalah benar adanya.

You're closest to heaven. And dont want to go home by now....

Begitulah. Untuk wanita, ketimbang minta dibawakan bunga edelweiss oleh lelakimu, lebih baik ikut bersamanya untuk melihatnya langsung tanpa harus merenggut keabadian sang bunga. Karena seperti kata nasihat klise namun benar: lelaki tidak memilih wanita yang menunggunya di puncak, tapi mereka memilih siapa wanita yang menemaninya hingga sampai di puncak.

Buat yang pacaran, nggak ada salahnya naik-naik ke puncak gunung dahulu. Naik-naik ke pelaminan kemudian. Eaaaaa.....

Next, naek pelaminan ya, Neng....


Share: