Monday, 21 September 2015

Review Film: Everest


http://www.muvila.com/film/artikel/inilah-ketakutan-yang-dirasakan-para-pemain-film-everest-150918g.html
Klik untuk sumber gambar

Sederhana. Itu kesan pertama gue setelah abis nonton film ini. Dan memang begitu adanya. Dari judulnya aja udah sederhana banget. Everest. Nggak banyak cingcong pakai kata-kata kiasan atau idiom yang bikin kita mikir apa hubungan antara judul dan pesan dari isi film. Pun dengan jalan cerita serta temanya, simple.

Untuk ukuran film dengan tema adventure, film ini sangat minim adegan-adegan yang bikin adrenalin terpacu. Mungkin karena ini based on true story ya, jadi harus dibikin semirip mungkin dengan kejadian aslinya di tahun 1996. Kalo harus ngebandingin sama film sejenis dengan tema sama, katakanlah Vertical Limit, kita nggak bakal nemuin sensasi yang sama. Di Vertical Limit jantung kita bakalan kembang kempis dengan scene-scene ‘sejengkal dari maut’. Di Everest, cuma sedikit yang kayak gitu.

Gue suka banget sama premis yang diketengahkan penulis skenarionya. Ini adalah pertanyaan yang semua anak gunung pasti pernah dapet, “Untuk apa sih naek gunung?”. Di cerita ini tokoh bernama Beck Weathers kudu keluar duit sebesar 65.000USD, dan meninggalkan keluarganya demi mencapai puncak Everest dengan bertaruh nyawa. Atau si Rob yang harus meninggalkan istrinya yang lagi hamil. Begitulah takdir para pendaki, pertanyaan yang akan selalu ada.

Di setiap tokoh di film ini dihadapkan dengan pertanyaan tadi. Dan masing-masing punya jawabannya. Nah, jawaban mereka ini lah yang jadi fondasi untuk mengembangkan cerita Everest yang sederhana ini. Dan itu berhasil. Konflik batin yang terjadi akibat ego mereka untuk menaklukkan puncak tertinggi dunia cukup bikin emosi nyampur aduk. Apalagi kalo liat aktingnya Keira Knightley sebagai istri yang ditinggal suami, beuh, sangat mengundang empati. Tapi di satu sisi, film ini jadi flat banget. Nggak ada twist yang bikin penonton nebak-nebak kemana arah endingnya. Alurnya ya blas lurus-lurus aja. Kita cuma akan menonton kekhawatiran para tokoh yang ditinggal mendaki ke puncak Everest. Again, kalo sepanjang film kita sibuk ngebandingin sama Vertical Limit, mendingan tidur atau abisin pop corn di luar studio.

Strongest poin Everest terletak pada sinematografinya yang apik nggak ketulungan. Gambar-gambar landscape dari daratan setinggi 4.000mdpl ke atas dan lekuk-lekuk alam yang dramatis, berhamburan sepanjang film. Anak gunung atau pecinta alam gue jamin mati ngilu ngeliatnya. Dan akting para pemainnya ketika mulai mendaki sampai mereka ke puncak Everest sangat-sangat keliatan real. Bagaimana mereka kedinginan, mengigil, ketakutan, berbicara di suhu ekstrem, semuanya natural. Gambaran suasana badai Everest, desauan angin, hingga detail salju yang menempel di wajah atau tubuh para pemain tertuang tanpa cela. Nilai lebihnya, kalo nyimak baik-baik, banyak ilmu naik gunung di tiap dialognya.

Castingnya juga nggak mengecewakan. Dear para cowok, selamat, kalian bisa liat Keira Knightley yang keibuan banget. Jason Clark sangat manly memerankan pemimpin regu pendaki. Wibawanya nggak terbantahkan lagi. Gue paling suka sama Josh Brolin, doi bisa memerankan dengan sangat bagus tokoh Beck yang songong, dan arogan tapi sesungguhnya rapuh banget. Penonton cewek nggak usah kuatir, ada Jake Gyllenhal yang bakal bikin betah. Di sini doi brewokan, dan easy going banget. Tapi menurut gue kayaknya Jake ini sangat mubazir ada di film. Dia ini kalopun nggak ada nggak bakal ganggu alur cerita. Kesannya Jake ini ‘dipaksa’ ada untuk menunjukkan bahwa tragedi Everest 1996 itu ada Scott Fischer sebagai korbannya.

Pesan moralnya cukup menusuk para pendaki gunung, khususnya nih jaman sekarang. Dimana kebanyakan orang naek gunung hanya demi ego tanpa pernah tau ‘perasaan’ gunug. Gue lupa dialog siapa di tengah film, tapi ini menarik banget, “Di tiap pendakian selalu akan ada cerita manusia melawan gunung. Dan gunung selalu menang.”
Share:

Friday, 18 September 2015

Panjat Pinang

BANGUUUNNN, BANGUUUNNN, BANGUUUNNN…YES, YESSS, YESSS!!!

Selamat Pagi! Selamat hari Jumat. Wah, nggak berasa udah mau weekend lagi ya guys. Gimana nih, udah pada punya acara buat liburan besok? Mancing? Hang out? Nimba sumur? Nikung pacar orang? Yang pasti pagi ini masih ditemenin sama gue, Yosfiqar Iqbal, penyiar paling kece di Kening Lebar FM yang datang tak dijemput pulang minta ongkos.

Oiya, ngomong-ngomong weekend nih, pada seneng banget dong ya lepas dari rutinitas kerjaan. Tapi gue justru sibuk nih guys menjelang weekend. Cuz ada yang harus gue kerjain. Jadi gini, Warung Blogger kan lagi ngadain kompetisi #PojokWBIdol. Dan sekarang udah masuk lima besar. And thank God, gue adalah salah satunya. Untuk minggu ini tiap peserta dapet tema menulis tentang Pancasila. Gue dapet tugas untuk cuap-cuap tentang sila ke-3. Persatuan Indonesia.

Berat ya guys kayaknya topiknya. Eit, tapi tenang aja, penyiar kesayangan kalian ini punya cerita yang Insya Allah masuk ke tema yang ditentukan. Oke sebelom lo-lo request lagu kesukaan, gue bakal cerita dulu tentang persatuan. Cerita dengan ruang lingkup lokal sih, tapi ini punya makna secara global. Lo bisa dengerin ceritanya, setelah lagu yang satu ini. Keep stecun in 100000000000001.1 Kening Lebar FM. Don’t go anywhwere!

*mengalun lagu Satu Nusa Satu Bangsa*
* * *

Cerita ini terjadi beberapa tahun lalu. Gue masih kuliah tingkat satu kalo nggak salah. Waktu itu ada event lomba tujuhbelasan di lingkungan tempat tinggal gue. Panitia tingkat RW berencana bikin lomba panjat pinang yang pesertanya adalah perwakilan dari tiap RT. Setelah susah payah panitia ngumpulin peserta, akhirnya dari Sembilan RT yang mampu berpartisipasi cuma tiga RT. Tiga RT ini diwakili oleh anak-anak muda. Mungkin sisa RT yang nggak ikutan isinya adalah manula sama ibu menyusui semua.

Satu regu terdiri dari empat orang. Seperti regu-regu yang lain, regu gue pun nyusun strategi dan formasi demi supaya mendapatkan hadiah utama di ujung batang pinang, yaitu uang tunai senilai lima juta rupiah yang secara simbolis ditulis di sebuah stereofoam. Gue yang saat itu masih kurus didaulat untuk jadi yang paling atas dan nantinya manjat tuh pinang sampe atas.

Ketiga temen gue yang lain adalah sahabat sepermainan gue dari kecil. Ada Cecep, dia ini sahabat gue yang kurang beruntung. Karena putus sekolah, sekarang dia nyari nafkah dengan jadi kuli bangunan. Tapi untuk lomba satu ini, tenaga Cecep berguna banget. Tau dong tenaga kuli gimana? Jadilah Cecep menempati posisi paling bawah. Dia ini yang nantinya menopang kami bertiga demi supaya sampe di puncak pinang. Lalu ada Ajis, dia ini leadernya. Maklum, doi adalah anggota aktif Karang Taruna. Jadi kemampuan mengorganisirnya udah mumpuni banget. Yang terakhir ada Baul. Dia ini kurang jelas tugasnya apa. Gue yakin dia ada di lomba ini cuma untuk ngisi kuota peserta doang.

Lomba pun dimulai di tengah lapangan. Batang pinang berlumur oli ditancapkan di tanah merah dan sengaja dibuat kubangan lumpur di sekitarnya. Penonton udah bejibun. Para ketua RT, dan Pak RW memantau dari tenda khusus di pinggir lapangan sambil ngemil tape uli plus teh manis.

“Kita terakhir aja. Liat tim yang lain dulu, gimana cara mereka manjat. Lagian kan kalo mereka duluan ntar olinya berkurang nempel di badan mereka.” Ajis membriefing kami. Kami bertiga sepakat sama Ajis. Entah pada ngerti apa nggak.

Dua tim RT sebelah berguguran. Bukan perkara mudah memanjat batang pinang yang tinggi, udah gitu diolesin oli. Bahkan di antara mereka ada yang jatoh dari ketinggian lumayan. Tiba giliran tim gue mencoba. Sesuai dengan yang udah dibicarakan, Cecep paling bawah. Dia langsung memeluk tiang pinang itu erat-erat,

“Cep!”

“Iya, Jis?’

“Itu pinangnya yang dipeluk. Bukan GUE!”

“Oh, map.”

Setelah Cecep, Aji yang punya bodi lumayan naik ke pundak Cecep. Baul akhirnya diputuskan untuk menempati posisi di atas Ajis. Gue membantunya naik dengan menggunakan telapak tangan gue sebagai pijakan. Sial, berat juga mutan biawak satu ini. Akhirnya Cecep, Ajis, dan Baul berhasil membentuk formasi rumah susun tiga tingkat. Gue liat Cecep udah mulai gemetar, kayaknya keberatan.

“Bal, ee’tan…ue uah nggak uaaatttt….” Cecep mengatakan sesuatu dengan nada ngeden.

“Hah?”

“Eeeeetaaannn…eaaattt ngeettt niii….”

“Apaan sih? Nggak jelas.”

“CEPETAN! BERAT BENGET INI, NYONG!” Teriak Cecep setelah mengumpulkan segenap tenaga.

Baiklah. Demi Cecep yang kalo didengerin nada ngedennya udah nggak BAB selama dua minggu, demi Ajis dan Baul, dan demi lima juta rupiah. Gue mengambil ancang-ancang, lari, dan…tap, tap, tap! Yak gue berhasil ada di atas Baul! Gue menggunakan punggung Baul sebagai pijakan. Gue memeluk batang pinang sepenuhnya.

“Iqbal udah di atas!” Baul memberi komando. Gue melihat ke bawah, dan menyaksikan temen-temen gue jatoh berhamburan. Tinggal lah gue di atas. Licin. Beberapa kali merosot. Boro-boro naek, mempertahankan ketinggian aja rasanya kayak ngapalin tabel unsur periodik, susah banget. Gue makin merosot, tangan kesemutan dan akhirnya jatoh.

Hari udah menjelang sore. Penonton emak-emak yang tadinya pake jins udah berganti daster. Belom ada satu pun tim yang berhasil. Badan gue udah nggak karuan. Oli campur tanah liat melumuri badan dan muka gue. Ini kalo gue balik ke rumah, gue yakin emak gue pun nggak bakal ngenalin. Kami semua putus asa, kecuali ada yang bisa terbang, mustahil bisa meraih lima juta di atas sana.

Tiba-tiba Pak RW maju ke tengah-tengah para peserta. Pak RW ini masih muda, tapi berwibawa. Kumisnya mengingatkan gue akan Cok Simbara di sinetron Nokta Merah Perkawinan.

“Jadi pegimane? Pade nyerah? Sayang banget itu doku lima jute kagak keambil. Begini aje dah, daari pade entu duit nganggur, mendingan lu-lu pade gabung aje jadi satu tim. Biar gampangan dikit. Ntar duitnye kite pake buat pesta kecil-kecilan. Bakar-bakaran ayam gitu. Gimane?”

Para peserta berpandangan. Bener juga. Kami semua setuju untuk bersatu. Strategi pun disusun. Dan gue kebagian posisi di posisi nomor dua dari atas. Kami membentuk formasi piramida. Cecep nggak sendirian lagi jadi fondasi di bawah. Dan buat gue lebih mudah memanjat tubuh-tubuh penuh oli daripada batang pinang langsung. Beberapa kali kami gagal. Tapi dipercobaan yang kesekian, gue berhasil sampe atas. Sekarang harapan tinggal berada di salah satu anak bernama Sidik. Dia yang paling kurus, dan harusnya paling atas. Sidik memanjat satu demi satu badan kami. Pas sampe di pundak gue, dia kesulitan untuk naek lebih tinggi lagi. Gue merasakan orang di bawah gue mulai goyah.

“Dik, injek aja kepala gue.”

“Yakin, lu?”

“Iya nggak apa-apa.”

“Tadi gue abis nginjek…nginjek…”

“Apaan?”

“Nggak. Nggak jadi, deh. Ya udah gue naek nih.”

Sidik menginjak kepala gue sebagai pijakan. Gile, berat juga, leher gue kram. Mike Tyson boleh bangga dengan leher betonnya, gue punya leher konblok.

Setelah gue rasa Sidik lepas dari kepala gue, gue pasrah. Merosot gitu aja ke bawah dan membiarkan badan gue jatoh ke kubangan lumpur. Gue nggak bisa buka mata karena muka kecipratan lumpur dari temen-temen gue yang juga berjatohan.

Yang pasti, ketika gue bisa buka mata, gue melihat Cecep dan beberapa temen dari RT lain lagi menggendong Sidik. Sidik yang sedang mengaggkat stereofoam bertuliskan Rp. 5.000.000. Kami berhasil. Seperti kata pak RW, kami akan berpesta!

*mengalun lagu We Are The Champion*
* * *

Yoooooooo….gitu ceritanya guys. Gimana menarik nggak? Nggak? Yowis nggak apa-apa. Itu lah cerita gue yang gue persembahkan untuk dedikasi gue mengukuti #PojokWBIdol. Dukung  terus gue ya, Guys! Intinya sih, sesuatu bisa banget jadi lebih gampang kalo kita bersatu. Nggak usah jauh-jauh mikir beda pulau, atau beda bangsa. Kita bisa mulai bersatu dari mulai tingkat RT! Oke guys, yang sekarang masih marahan, semoga cepet baikan. Bersatu kita teguh, bercerai kita rujuk lagi! Ahay!

Dan masih bareng gue Yosfiqar Iqbal, penyiar paling kece Kening Lebar FM yang datang tak dijemput pulang minta ongkos, lo semua bisa share pengalaman lo tentang persatuan atau sekedar komen di kolom komentar. Request lagu dan kirim-kirim salam juga bisa loh. See you again next time, take care, and bhay! Have a nice weekend, guys!

*Closing theme song: Go Go Power Rangers*

Share:

Friday, 11 September 2015

The Power of Kakak Adek Zone

Jadi anak pertama itu ada enak, dan ada nggak enaknya. Enaknya kalo punya adek bisa memberdayakan si adek dengan semena-mena, anak pertama punya power buat nyuruh-nyuruh. Nyuruh ke warung, nyuruh ambil remote TV, nyuruh tereak buat berentiin abang bakso, sampe nyuruh kalah pas tanding winning eleven di PS. Mental kompeni anak pertama nggak usah diragukan.

Tapi dibalik ‘kekuasaan’ yang besar itu tersimpan sebuah kegelisahan di tiap anak pertama. Sebuah beban berat. Si sulung nggak bakal bisa nyuruh adeknya buat ikutan memikul beban ini. Ya, beban untuk menjadi sebuah role model sempurna buat adek-adeknya.

Gue adalah anak pertama dari empat bersaudara. Orang tua gue dianugerahi formasi unik terkait gender anak-anaknya. Cowok-cewek-cowok-cewek. Begitulah. Kayak empat tokoh utama di film Narnia. Dulu waktu ketiga adek gue masih pada kecil-kecil, gue puas ‘menindas’ mereka. Ngelarang ini-itu, sampe berkonspirasi untuk menghindari omelan nyokap-bokap.

Di antara mereka, tentu gue jadi yang paling pertama dewasa. Gue mulai mengenal apa itu arti tanggung jawab. Ada sentimen dalam diri gue yang selalu mengatakan bahwa gue harus keliatan hebat di depan tiga adek gue ini. Tapi masalahnya adalah nggak semudah komen di status Facebook. Selalu ada rintangan. Oh iya, ada satu hal yang gue nggak suka ketika seseorang beranjak dewasa. Yaitu mulai ditanamkannya oleh Tuhan rasa putus asa dalam diri.

Entah kapan tepatnya, tapi sekarang ketika gue ngerasa lelah atau frustasi dengan keadaan, lalu teringat wajah ketiga adek gue, maka secara otomatis gue seperti mendapatkan energi lebih untuk memulai lagi.

Apalagi kalo gue inget pencapaian mereka. Si Nining, adek gue yang paling tua, sekarang udah kerja. Gajinya gede. Udah bisa songong nraktir gue macem-macem dia. Terus si Boim, adek gue nomor dua. Anak bokap yang paling ganteng (versi bokap). Doi udah kuliah. Jadi kapten tim basket, dan punya banyak idola. Selain masak sama beberes rumah, kerjaan nyokap adalah nolak-nolakin telepon dari penggemarnya Boim. Yang terakhir Ita, si bungsu. Gue manggilnya si keriting karena rambutnya emang kayak mie tektek. Dia ini yang paling mirip gue, tapi bukan fisik. Di antara adek-adek gue, dia yang paling suka baca novel dan komik. Gue pernah ngegap nih anak lagi nyorat-nyoret sesuatu di buku tulis. Pas gue baca ternyata cerpen. Bakat nulisnya udah keliatan.

Begitulah. Ketika gue mau nyerah, olok-olok mereka selalu muncul di alam bawah sadar gue. Mereka terus berkembang, gue nggak boleh stuck atau bahkan sampe mundur. Demikian otak gue mensugesti.

Pernah pas jaman kuliah gue mau bolos untuk salah satu mata kuliah yang menurut gue dosennya nggak asik. Hari itu mood gue pun lagi ancur-ancurnya. Kuliah makin lama makin susah. Rasanya pengen minta modal ke bokap buat buka kios teh botol aja, dan berenti kuliah. Jadilah gue memutuskan untuk bolos. Satu kaki gue udah naik ke Kopaja sebelum secara slowmotion bayangan ketiga adek gue muncul. Gambaran masa depan mereka yang sukses dan kegagalan gue karena males kuliah berkelebatan. Damn! Gue nggak mau kayak gitu. Akhirnya gue nggak jadi naek tuh Kopaja.

“Bodat, kau!” Hardik kondektur. Kesel karena kehilangan prospek rejeki dua ribu perak dari gue.

Demi masa depan yang gemilang di depan adek-adek gue, gue kembali menyebrangi perempatan Grogol yang panasnya kayak mesin bajaj overheat untuk balik lagi ke kampus. Gue duduk manis di ruang kuliah. Dan lalu komti kelas gue ngomong,

“Woy, Pak Mul barusan SMS, dia nggak masuk. Kuliah hari ini ditiadakan.”

DOSA tuh dosen!

Itu sedikit cerita tentang usaha gue untuk tetap menjaga pride gue di masa depan di mata adek-adek gue. Gue bukan kakak yang sempurna buat mereka, tapi gue nggak mau mereka kehilangan kebanggan terhadap gue. Gue nggak boleh diem di antara bibit talenta mereka yang terus tumbuh subur.

Mungkin ketiga adek gue bukan alesan gue untuk memulai. Tapi mereka adalah alesan kenapa gue nggak boleh berhenti.

Tulisan ini dibuat dalam rangka event #PojokWBIdol
Share:

Thursday, 10 September 2015

Yang Bisa Dilakukan Biar Waktu Macet Jadi Nggak Bete-bete Amat



Waktu pertama pindah ke Jakarta, gue cukup stres dengan pressure ritme mobilitasnya. Gue dituntut untuk gerak cepet, tapi di satu sisi ada hal yang sangat-sangat menghambat untuk gue melakukan itu. Hambatan terbesarnya adalah kemacetan. Di awal-awal kerja di Jakarta, gue selalu ngeluh kalo lagi kejebak macet. Kesel, mangkel, sebel, emosi, bawaannya pengen nyabut knalpot terus tereak, “BUBAAARRRR!”.
Tapi lama kelamaan gue jadi makin terbiasa sama situasi macet ini. Mungkin karena gue udah tau selanya. Jam segini macet di sono, jam segono macet di sini. Jadi nggak kaget lagi, walaupun kesel dikit-dikit sih ada. Namun seperti kata pepatah, daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Gue pun mencoba menerapkannya di tengah bekunya lalu lintas Jakarta. Daripada gue nyela-nyela pemerintah yang nggak pernah konsisten menerapkan kebijakan pengurangan kemacetan, atau menegeluh tentang betapa bebalnya para pengguna kendaraan pribadi yang nggak mau pindah ke angkutan umum, gue punya beberapa aktifitas yang bikin bad traffic day gue nggak bête-bete amat. Gini:
1.        
      1. Berkhayal
Di tegah antrean kendaraan yang bejibun, nggak banyak yang bisa dilakukan secara fisik. Benerin kolor yang nyelip aja susah, tengsin juga ama motor atau mobil di belakang. Tapi kemacetan nggak bisa mengekang pikiran gue. Gue bebas berkhayal. Khayalan gue paling sering adalah, gimana kalo Jakarta ini adalah Cybertron. Planetnya para Transformers. Jadi mobil-mobil, dan motor-motor ini kalo pada nggak sabar lagi macet berubah jadi  robot. Jadi mereka ngantrinya pada berdiri, desek-desekan, bahkan kadang sikut-sikutan kayak di Commuter Line. Terus ada kang asongan dagangin oli, mur, ama busi. Kalo macetnya kelamaan dan robot-robot itu capek, mereka pada ngasoh duduk di trotoar. Absurd. Ya namanya juga ngayal. Cara ini lumayan bisa meredam emosi. Coba deh.

2.      2. Ngopi, atau Ngeteh
Ya nggak harus bawa termos atau kendi sih, apalagi dispenser hot/cold. Gue sih selalu sedia kopi instan dalem botol atau kaleng pas berangkat kerja, teh dalem botol juga kadang-kadang. Gue selipin di kantong jaket. Jadi pas masuk daerah macet, yang laen pada mati gaya ngisep asep knalpot, gue mah ngopi atau ngeteh. Kalo kena macetnya di lampu merah TB Simatupang, Ragunan sono, sesekali bisa dicoba bawa pisang goreng ama tape uli. Macetnya lama, udah gitu lampu merahnya bisa sampe tiga menitan. Naek mobil? Yah itu mah mesen pepperoni pizza bumbu pecel juga masih sempet.

3.      3. Denger Radio
Awalnya sih dengerin MP3 dari HP. Tapi lama-lama bosen sama playlist gue yang genrenya 90-an sampe awal 2000-an. Beralihlah gue dengerin radio tiap berangkat kerja. Setelah cari-cari channel radio yang kira-kira ngepas, ketemu deh radio yang penyiarnya asik. Nama penyiarnya Surya, Molan, dan ditemenin sama Felix. Ini orang bertiga kalo siaran beda banget sama radio laen. Joke-joke mereka ngerelate banget sama pendengar. Jadi kadang gue cengar-cengir sendiri kalo lagi stuck di lampu merah. Sampe pernah terjebak ackward moment karena ke gap pak polisi lalu lintas waktu gue ngakak sendirian. Yang terpenting, mereka kalo siaran hampir nggak pernah taping. Gue nggak pernah suka sama radio yang siarannya cuma taping suara penyiarnya doang. Surya-Molan suka live akustikan, bikin sandiwara parodi, jadi radio dangdut, sampe buka konsultasi kalo ada pendengar yang mengalami masalah pada kendaraannya, atau alat-alat elektronik. Semuanya dibahas dengan sangat tidak serius. Gue nggak bisa sebutin radionya, entar dikira ini postingan promo. Yang belom tau, coba aja googling Surya-Molan. Dengerin dulu deh sekali acaranya, dijamin selera humor turun drastis.

Begitulah cara gue ngakalin situasi nggak ngenakin saat macet. Kesimpulannya, semacet-macetnya jalanan di Jakarta, lebih macet lagi jalanan di Puncak waktu long weekend.

Kali aja ada yang punya cara lain selain punya gue di atas, bisa kali nih dishare di kolem komentar. =)
Share:

Thursday, 3 September 2015

Interview With Nick Fury



Gue mengusap ujung sepatu pantofel gue yang berdebu. Berdiri di depan gedung yang konon katanya berlantai dua ratusan lebih. Niat banget kang bangunannya. Gue berdiri sejenak di depan pintu masuk gedung itu yang sebagian terbuat dari kaca. Karena dilapisi kaca film, jadi gue bisa ngaca bentar buat memastikan dandanan gue memenuhi standar internasional interview kerja. Rambut? Oke, udah nggak ada yang jungkit ke atas. Gigi? Bersih, nggak ada sisa kacang ijo nyelip sisa sarapan tadi. Jidat? Beuh, alus, setelah semaleman gue gosok pakai batu bacan.
Gue memasuki pelataran gedung megah dengan warna dominan silver itu. Wow, banyak orang dengan kemampuan super berseliweran. Ada petugas security yang patroli, badannya melayang dengan pentungan berbentuk godam. Ya, itu Thor. Si Pangeran Asgard lagi kebagian jadwal piket ternyata. Terus di meja receptionis terlihat gagang telepon yang bergerak-gerak sendiri. Gue tau, itu pasti Invicible Woman yang lagi jadi operator. Doi nggak keliatan, sehingga tulisan dengan guruf capital berfont times new roman dengan ukuran gigantis terpampang jelas, S.H.I.E.L.D. Dan masih banyak lagi makhluk-makhluk unik dengan kemampuan aneh di sekitar gue sekarang tapi gue nggak tau namanya. Ada yang bisa nembus tembok, bergerak cepet, sampe ada yang punya kemampuan tiap makan siang nggak bayar. Keren.
Gue teringat telepon dua hari yang lalu dari Nick Fury, sebuah panggilan kerja. Katanya sih departemen finance SHIELD lagi butuh staf pajak. Setelah menyeleksi dari sekian juta CV yang masuk, entah bagaimana CV gue yang kepilih. Gue pun menerima tawaran interview ini dengan senang hati. Kapan lagi dapet kesempatan kerja bareng Natasha Romanof. Gue ngefans abis sama pembasmi preman yang satu ini, mukanya mirip-mirip Scarlett Johanson. Kayaknya mereka kembar deh.
Anyway, gue menuju lift karena ruang interviewnya ada di lantai 198. Nggak kebayang tingginya lantai 198, dari sono mungkin rumah gue di pinggiran Pandeglang keliatan. Deg-degan gini jadinya. Makin deg-degan pas gue liat papan peringatan di depan lift, ‘Lift Rusak, Gunakan Tangga Darurat!’. Ini yang masang peringatan kayaknya nggak punya puser. Gue berpikir keras gimana caranya ke lantai 198 tanpa lift, dan tanpa sekarat.
“Hei, Boy!”
Gue dikejutkan sama suara di belakng gue. Kedengerannya suara tadi manggil gue deh. Gue menoleh, dan mendapati seorang berperawakan tegap, jelas potongan tentara, rambut keriting afronya dicepak klimis bagian sampingnya, otot-otot tangannya mengesankan orang ini bisa ganti ban truk tanpa perlu dongkrak. Yang unik, di balik punggungnya ada sayap terbuat dari besi yang memungkinkan dia bisa ke warung beli autan dengan cara terbang.
“Falcon!” Seru gue.
“Mau ke atas ya? Ayo kuantar. Sementara lift masih rusak, aku yang bertugas antar jemput pengunjung yang mau turun naik gedung.”
“Yup. Lantai 198. Ketemu sama Nick Fury.”
“Beres.”
“Tapi, itu kenapa anda jalannya aneh gitu?”
“Kayaknya pinggangku keseleo. Tadi abis gendong Hulk ke lantai paling atas.”
“Oh…”
Gue pun terbang digamblok Falcon.

Setelah muntah beberapa kali di toilet karena manuver dan kecepatan terbang si Falcon yang mirip burung merpati balap pakai Nos, gue dipersilahkan menunggu di ruangannya Nick Fury. Cadaassss, gue sekarang berada di ruang direktur SHIELD. Atasannya para superhero!
Nggak berapa lama, pintu terbuka dan terdengar suara langkah yang santai namun tegas. Pemilik langkah itu lalu duduk di depan gue, kami berhadapan, hanya dipisahkan meja yang terbuat dari gedebong pisang. Di hadapan gue sekarang adalah Nick Fury. Dengan jubah hitamnya yang khas, dan penutup mata.
“Lama nunggu?”  Tanyanya tanpa basa-basi.
“Setengah jam.” Jawab gue seramah mungkin.
“Maaf. Tadi saya lagi ngurusin vendor yang biasa ngejahit kostumnya Captain America. Kayaknya si Captain harus diet, bajunya udah banyak yang nggak muat.”
“…..”
“Oke, kita mulai aja intervewnya. Silahkan perkenalkan diri.”
“Loh, bukannya SHIELD punya mata-mata canggih untuk mengetahui jati diri seseorang? Biasanya orang yang ngumpet di tumpukan sampah Bantar Gebang aja bisa ketauan, masa mata-matain saya yang cuman tiap hari bolak-balik rumah-kebon-rumah-kebon, SHIELD  nggak tau?”
“Formalitas doang. Biar kekinian…”
“Ummm…Oke. Nama saya Yosfiqar Iqbal, 27 tahun, rumah di Pandeglang, tapi domisili di Tangerang.”
“Oh, di Tangerang?”
“Iya, Pak.”
“Tangerangnya di mananya?”
“Poris.”
“Wah, kenal sama Haji Romli?”
“Tetangga saya itu, mah.”
“Salam ya, kapan ngopi-ngopi lagi gitu.”
“Sip,Pak!”
“Kamu ke sini naik apa?”
“Commuter Line. Turun di Cawang, terus nyambung patas 57. Di Blok M dijemput Hulk, terus saya dilempar sampe sini.”
“Hmmm…” Nick bergumam cool.
“….”
“Ya, jadi kami sedang membutuhkan staf pajak untuk menghandle pelaporan pajak para superhero di sini.”
“Superhero juga bayar pajak?”
“Iya. Biar gimana juga kan mereka kerja. Kalo lagi nggak ada kejahatan ya mereka biasanya disewa buat kegiatan-kegiatan masyarakat atau pemerintah gitu. Captain America misalnya, kalo lagi nganggur tamengnya itu bisa dileasing buat jadi penggorengan di dapur umum daerah rawan banjir. Hulk, sama The Thing lagi bantuin proyek pembangunan fly over Cileduk-Tendean. Ant Man dapet kontrak setahun dari Dinas Kebersihan buat bersihin selokan-selokan kecil yang mampet. Semuanya dibayar, dan semuanya harus dibayar pajaknya. We need you, Iqbal.”
“Ummm…”
“By the way, ini di CV kamu tertulis kamu hobi nonton. Nonton apa?”
“Nonton bola.”
“Klub jagoan?”
“AC Milan!”
“Wow, The Great Paolo Maldini! Saya juga suka.”
“Nonton film, saya juga suka.”
“Film apa?”
“Banyak sih, kecuali horror. Saya nggak suka.” Jawab gue dengan suara diserak-serakin, biar kesannya gue nggak takut sama film horror.
“Avengers, suka ga?”
“Hah? Jadi yang kemaren itu film? Setelah sekian banyak gedung roboh, mobil meledak, kucing hamil keguguran, dan Nassar-Musdalifah cerai, itu semua film doang???”
“Reality show, tepatnya. Lagi iseng aja, sih.”
“….” Superhero kalo lagi iseng serem, ya.
“Musik?”
“Saya nggak bawa gitar, Pak.”
“Maksud saya, kamu suka musik?”
“Suka dong. Slankers gitu loh!”
“Yoiii…Piss!”
Nick membolak-balik CV gue, entah apa yang diliatnya.
“Sekarang kita nego gaji. Tulis berapa gaji yang kamu harapkan di sini.” Nick menyodorkan gue sebuah tablet touchscreen transparan. Gue mengetik beberapa digit angka dan menyodorkannya kembali.
“Wah, nggak bisa turun nih, Bal?”
“Nggak Pak. Itu udah berdasarkan harga keekonomian. Saya harus memenuhi kebutuhan saya, nyetor ke ibu saya, ngasih jajan ke ketiga adek saya, biaya malem mingguan, bensin, ngopi-ngopi, patungan gorengan, nyicil rumah di Pondok Indah, dan masih banyak lagi.”
“Yakin nih gaji segini worth it sama kinerja kamu?”
“Insha Allah, Pak. Ya walaupun mungkin sesekali anda kesel sama saya karena saya suka lupa.”
“Oke baiklah. Tunggu kabar dari kami dua minggu lagi. Nanti Stark bakal menghubungi kamu. Sekian dari saya. Jika ada yang salah sesungguhnya itu dari saya, jika benar itu datangnya dari Allah. Sampai jumpa di Dorce Show, Show, Show!”
“Maaf, Pak. Salah skrip tuh.”
“Oiya, maksudnya sampai jumpa lagi di SHIELD!”
Gue pun kembali turun ke lantai dasar. Kali ini nggak dianterin Falcon, tapi loncat gitu aja. Di bawah sana, Agen Natasha Romanoff udah siap menangkap gue dengan tangan terbuka. Ahhh…indahnya dunia.


Tulisan ini sebagai partisipasi ikutan Pojok WB Idol



Share: