Gue mengusap ujung sepatu pantofel gue yang berdebu. Berdiri
di depan gedung yang konon katanya berlantai dua ratusan lebih. Niat banget
kang bangunannya. Gue berdiri sejenak di depan pintu masuk gedung itu yang
sebagian terbuat dari kaca. Karena dilapisi kaca film, jadi gue bisa ngaca
bentar buat memastikan dandanan gue memenuhi standar internasional interview
kerja. Rambut? Oke, udah nggak ada yang jungkit ke atas. Gigi? Bersih, nggak
ada sisa kacang ijo nyelip sisa sarapan tadi. Jidat? Beuh, alus, setelah
semaleman gue gosok pakai batu bacan.
Gue memasuki pelataran gedung megah dengan warna dominan
silver itu. Wow, banyak orang dengan kemampuan super berseliweran. Ada petugas
security yang patroli, badannya melayang dengan pentungan berbentuk godam. Ya, itu
Thor. Si Pangeran Asgard lagi kebagian jadwal piket ternyata. Terus di meja
receptionis terlihat gagang telepon yang bergerak-gerak sendiri. Gue tau, itu
pasti Invicible Woman yang lagi jadi operator. Doi nggak keliatan, sehingga tulisan
dengan guruf capital berfont times new roman dengan ukuran gigantis terpampang
jelas, S.H.I.E.L.D. Dan masih banyak lagi makhluk-makhluk unik dengan kemampuan
aneh di sekitar gue sekarang tapi gue nggak tau namanya. Ada yang bisa nembus
tembok, bergerak cepet, sampe ada yang punya kemampuan tiap makan siang nggak
bayar. Keren.
Gue teringat telepon dua hari yang lalu dari Nick Fury,
sebuah panggilan kerja. Katanya sih departemen finance SHIELD lagi butuh staf
pajak. Setelah menyeleksi dari sekian juta CV yang masuk, entah bagaimana CV
gue yang kepilih. Gue pun menerima tawaran interview ini dengan senang hati.
Kapan lagi dapet kesempatan kerja bareng Natasha Romanof. Gue ngefans abis sama
pembasmi preman yang satu ini, mukanya mirip-mirip Scarlett Johanson. Kayaknya
mereka kembar deh.
Anyway, gue menuju lift karena ruang interviewnya ada di
lantai 198. Nggak kebayang tingginya lantai 198, dari sono mungkin rumah gue di
pinggiran Pandeglang keliatan. Deg-degan gini jadinya. Makin deg-degan pas gue
liat papan peringatan di depan lift, ‘Lift Rusak, Gunakan Tangga Darurat!’. Ini
yang masang peringatan kayaknya nggak punya puser. Gue berpikir keras gimana
caranya ke lantai 198 tanpa lift, dan tanpa sekarat.
“Hei, Boy!”
Gue dikejutkan sama suara di belakng gue. Kedengerannya
suara tadi manggil gue deh. Gue menoleh, dan mendapati seorang berperawakan
tegap, jelas potongan tentara, rambut keriting afronya dicepak klimis bagian
sampingnya, otot-otot tangannya mengesankan orang ini bisa ganti ban truk tanpa
perlu dongkrak. Yang unik, di balik punggungnya ada sayap terbuat dari besi
yang memungkinkan dia bisa ke warung beli autan dengan cara terbang.
“Falcon!” Seru gue.
“Mau ke atas ya? Ayo kuantar. Sementara lift masih rusak,
aku yang bertugas antar jemput pengunjung yang mau turun naik gedung.”
“Yup. Lantai 198. Ketemu sama Nick Fury.”
“Beres.”
“Tapi, itu kenapa anda jalannya aneh gitu?”
“Kayaknya pinggangku keseleo. Tadi abis gendong Hulk ke
lantai paling atas.”
“Oh…”
Gue pun terbang digamblok Falcon.
Setelah muntah beberapa kali di toilet karena manuver dan
kecepatan terbang si Falcon yang mirip burung merpati balap pakai Nos, gue
dipersilahkan menunggu di ruangannya Nick Fury. Cadaassss, gue sekarang berada
di ruang direktur SHIELD. Atasannya para superhero!
Nggak berapa lama, pintu terbuka dan terdengar suara langkah
yang santai namun tegas. Pemilik langkah itu lalu duduk di depan gue, kami
berhadapan, hanya dipisahkan meja yang terbuat dari gedebong pisang. Di hadapan
gue sekarang adalah Nick Fury. Dengan jubah hitamnya yang khas, dan penutup
mata.
“Lama nunggu?” Tanyanya
tanpa basa-basi.
“Setengah jam.” Jawab gue seramah mungkin.
“Maaf. Tadi saya lagi ngurusin vendor yang biasa ngejahit
kostumnya Captain America. Kayaknya si Captain harus diet, bajunya udah banyak
yang nggak muat.”
“…..”
“Oke, kita mulai aja intervewnya. Silahkan perkenalkan diri.”
“Loh, bukannya SHIELD punya mata-mata canggih untuk
mengetahui jati diri seseorang? Biasanya orang yang ngumpet di tumpukan sampah
Bantar Gebang aja bisa ketauan, masa mata-matain saya yang cuman tiap hari
bolak-balik rumah-kebon-rumah-kebon, SHIELD
nggak tau?”
“Formalitas doang. Biar kekinian…”
“Ummm…Oke. Nama saya Yosfiqar Iqbal, 27 tahun, rumah di
Pandeglang, tapi domisili di Tangerang.”
“Oh, di Tangerang?”
“Iya, Pak.”
“Tangerangnya di mananya?”
“Poris.”
“Wah, kenal sama Haji Romli?”
“Tetangga saya itu, mah.”
“Salam ya, kapan ngopi-ngopi lagi gitu.”
“Sip,Pak!”
“Kamu ke sini naik apa?”
“Commuter Line. Turun di Cawang, terus nyambung patas 57. Di
Blok M dijemput Hulk, terus saya dilempar sampe sini.”
“Hmmm…” Nick bergumam cool.
“….”
“Ya, jadi kami sedang membutuhkan staf pajak untuk
menghandle pelaporan pajak para superhero di sini.”
“Superhero juga bayar pajak?”
“Iya. Biar gimana juga kan mereka kerja. Kalo lagi nggak ada
kejahatan ya mereka biasanya disewa buat kegiatan-kegiatan masyarakat atau
pemerintah gitu. Captain America misalnya, kalo lagi nganggur tamengnya itu
bisa dileasing buat jadi penggorengan di dapur umum daerah rawan banjir. Hulk,
sama The Thing lagi bantuin proyek pembangunan fly over Cileduk-Tendean. Ant
Man dapet kontrak setahun dari Dinas Kebersihan buat bersihin selokan-selokan
kecil yang mampet. Semuanya dibayar, dan semuanya harus dibayar pajaknya. We
need you, Iqbal.”
“Ummm…”
“By the way, ini di CV kamu tertulis kamu hobi nonton.
Nonton apa?”
“Nonton bola.”
“Klub jagoan?”
“AC Milan!”
“Wow, The Great Paolo Maldini! Saya juga suka.”
“Nonton film, saya juga suka.”
“Film apa?”
“Banyak sih, kecuali horror. Saya nggak suka.” Jawab gue
dengan suara diserak-serakin, biar kesannya gue nggak takut sama film horror.
“Avengers, suka ga?”
“Hah? Jadi yang kemaren itu film? Setelah sekian banyak
gedung roboh, mobil meledak, kucing hamil keguguran, dan Nassar-Musdalifah
cerai, itu semua film doang???”
“Reality show, tepatnya. Lagi iseng aja, sih.”
“….” Superhero kalo lagi iseng serem, ya.
“Musik?”
“Saya nggak bawa gitar, Pak.”
“Maksud saya, kamu suka musik?”
“Suka dong. Slankers gitu loh!”
“Yoiii…Piss!”
Nick membolak-balik CV gue, entah apa yang diliatnya.
“Sekarang kita nego gaji. Tulis berapa gaji yang kamu
harapkan di sini.” Nick menyodorkan gue sebuah tablet touchscreen transparan.
Gue mengetik beberapa digit angka dan menyodorkannya kembali.
“Wah, nggak bisa turun nih, Bal?”
“Nggak Pak. Itu udah berdasarkan harga keekonomian. Saya
harus memenuhi kebutuhan saya, nyetor ke ibu saya, ngasih jajan ke ketiga adek
saya, biaya malem mingguan, bensin, ngopi-ngopi, patungan gorengan, nyicil rumah
di Pondok Indah, dan masih banyak lagi.”
“Yakin nih gaji segini worth it sama kinerja kamu?”
“Insha Allah, Pak. Ya walaupun mungkin sesekali anda kesel
sama saya karena saya suka lupa.”
“Oke baiklah. Tunggu kabar dari kami dua minggu lagi. Nanti
Stark bakal menghubungi kamu. Sekian dari saya. Jika ada yang salah
sesungguhnya itu dari saya, jika benar itu datangnya dari Allah. Sampai jumpa
di Dorce Show, Show, Show!”
“Maaf, Pak. Salah skrip tuh.”
“Oiya, maksudnya sampai jumpa lagi di SHIELD!”
Gue pun kembali turun ke lantai dasar. Kali ini nggak
dianterin Falcon, tapi loncat gitu aja. Di bawah sana, Agen Natasha Romanoff
udah siap menangkap gue dengan tangan terbuka. Ahhh…indahnya dunia.
Tulisan ini sebagai partisipasi ikutan Pojok WB Idol
Kak Yos!!! hahahahaha ah kek macem baca cerpen.wkwkw iron man nya manaaa
ReplyDeletePasti suka dengan tokoh2 kartun superhero ya? Fans berat kapten America, Iron man dll hihihihi
ReplyDeletePasti suka dengan tokoh2 kartun superhero ya? Fans berat kapten America, Iron man dll hihihihi
ReplyDeletehahaa... punya imajinasi yang tinggi nih.. :))
ReplyDeleteGubraaak.. :D :D :D :D
ReplyDeleteDear All, maaf ga bisa balesin komen satu per satu. Aku pun tak tahu kenapa nggak bisa bales komen ya? Tombol 'Balas'-nya ga ngerespon pas diklik. Ada yang punya solusi kah? =(
ReplyDeletehahahaha imajinasinya luar biasa, saya ketawa-ketawa sendiri bacanya, bisa yah superhero jadi kayak begitu...
ReplyDeletejeleger........ :D :D :D :D
ReplyDeleteSemoga Terpilih jadi Next Idol yah :D
ReplyDelete