Thursday, 3 September 2015

Interview With Nick Fury



Gue mengusap ujung sepatu pantofel gue yang berdebu. Berdiri di depan gedung yang konon katanya berlantai dua ratusan lebih. Niat banget kang bangunannya. Gue berdiri sejenak di depan pintu masuk gedung itu yang sebagian terbuat dari kaca. Karena dilapisi kaca film, jadi gue bisa ngaca bentar buat memastikan dandanan gue memenuhi standar internasional interview kerja. Rambut? Oke, udah nggak ada yang jungkit ke atas. Gigi? Bersih, nggak ada sisa kacang ijo nyelip sisa sarapan tadi. Jidat? Beuh, alus, setelah semaleman gue gosok pakai batu bacan.
Gue memasuki pelataran gedung megah dengan warna dominan silver itu. Wow, banyak orang dengan kemampuan super berseliweran. Ada petugas security yang patroli, badannya melayang dengan pentungan berbentuk godam. Ya, itu Thor. Si Pangeran Asgard lagi kebagian jadwal piket ternyata. Terus di meja receptionis terlihat gagang telepon yang bergerak-gerak sendiri. Gue tau, itu pasti Invicible Woman yang lagi jadi operator. Doi nggak keliatan, sehingga tulisan dengan guruf capital berfont times new roman dengan ukuran gigantis terpampang jelas, S.H.I.E.L.D. Dan masih banyak lagi makhluk-makhluk unik dengan kemampuan aneh di sekitar gue sekarang tapi gue nggak tau namanya. Ada yang bisa nembus tembok, bergerak cepet, sampe ada yang punya kemampuan tiap makan siang nggak bayar. Keren.
Gue teringat telepon dua hari yang lalu dari Nick Fury, sebuah panggilan kerja. Katanya sih departemen finance SHIELD lagi butuh staf pajak. Setelah menyeleksi dari sekian juta CV yang masuk, entah bagaimana CV gue yang kepilih. Gue pun menerima tawaran interview ini dengan senang hati. Kapan lagi dapet kesempatan kerja bareng Natasha Romanof. Gue ngefans abis sama pembasmi preman yang satu ini, mukanya mirip-mirip Scarlett Johanson. Kayaknya mereka kembar deh.
Anyway, gue menuju lift karena ruang interviewnya ada di lantai 198. Nggak kebayang tingginya lantai 198, dari sono mungkin rumah gue di pinggiran Pandeglang keliatan. Deg-degan gini jadinya. Makin deg-degan pas gue liat papan peringatan di depan lift, ‘Lift Rusak, Gunakan Tangga Darurat!’. Ini yang masang peringatan kayaknya nggak punya puser. Gue berpikir keras gimana caranya ke lantai 198 tanpa lift, dan tanpa sekarat.
“Hei, Boy!”
Gue dikejutkan sama suara di belakng gue. Kedengerannya suara tadi manggil gue deh. Gue menoleh, dan mendapati seorang berperawakan tegap, jelas potongan tentara, rambut keriting afronya dicepak klimis bagian sampingnya, otot-otot tangannya mengesankan orang ini bisa ganti ban truk tanpa perlu dongkrak. Yang unik, di balik punggungnya ada sayap terbuat dari besi yang memungkinkan dia bisa ke warung beli autan dengan cara terbang.
“Falcon!” Seru gue.
“Mau ke atas ya? Ayo kuantar. Sementara lift masih rusak, aku yang bertugas antar jemput pengunjung yang mau turun naik gedung.”
“Yup. Lantai 198. Ketemu sama Nick Fury.”
“Beres.”
“Tapi, itu kenapa anda jalannya aneh gitu?”
“Kayaknya pinggangku keseleo. Tadi abis gendong Hulk ke lantai paling atas.”
“Oh…”
Gue pun terbang digamblok Falcon.

Setelah muntah beberapa kali di toilet karena manuver dan kecepatan terbang si Falcon yang mirip burung merpati balap pakai Nos, gue dipersilahkan menunggu di ruangannya Nick Fury. Cadaassss, gue sekarang berada di ruang direktur SHIELD. Atasannya para superhero!
Nggak berapa lama, pintu terbuka dan terdengar suara langkah yang santai namun tegas. Pemilik langkah itu lalu duduk di depan gue, kami berhadapan, hanya dipisahkan meja yang terbuat dari gedebong pisang. Di hadapan gue sekarang adalah Nick Fury. Dengan jubah hitamnya yang khas, dan penutup mata.
“Lama nunggu?”  Tanyanya tanpa basa-basi.
“Setengah jam.” Jawab gue seramah mungkin.
“Maaf. Tadi saya lagi ngurusin vendor yang biasa ngejahit kostumnya Captain America. Kayaknya si Captain harus diet, bajunya udah banyak yang nggak muat.”
“…..”
“Oke, kita mulai aja intervewnya. Silahkan perkenalkan diri.”
“Loh, bukannya SHIELD punya mata-mata canggih untuk mengetahui jati diri seseorang? Biasanya orang yang ngumpet di tumpukan sampah Bantar Gebang aja bisa ketauan, masa mata-matain saya yang cuman tiap hari bolak-balik rumah-kebon-rumah-kebon, SHIELD  nggak tau?”
“Formalitas doang. Biar kekinian…”
“Ummm…Oke. Nama saya Yosfiqar Iqbal, 27 tahun, rumah di Pandeglang, tapi domisili di Tangerang.”
“Oh, di Tangerang?”
“Iya, Pak.”
“Tangerangnya di mananya?”
“Poris.”
“Wah, kenal sama Haji Romli?”
“Tetangga saya itu, mah.”
“Salam ya, kapan ngopi-ngopi lagi gitu.”
“Sip,Pak!”
“Kamu ke sini naik apa?”
“Commuter Line. Turun di Cawang, terus nyambung patas 57. Di Blok M dijemput Hulk, terus saya dilempar sampe sini.”
“Hmmm…” Nick bergumam cool.
“….”
“Ya, jadi kami sedang membutuhkan staf pajak untuk menghandle pelaporan pajak para superhero di sini.”
“Superhero juga bayar pajak?”
“Iya. Biar gimana juga kan mereka kerja. Kalo lagi nggak ada kejahatan ya mereka biasanya disewa buat kegiatan-kegiatan masyarakat atau pemerintah gitu. Captain America misalnya, kalo lagi nganggur tamengnya itu bisa dileasing buat jadi penggorengan di dapur umum daerah rawan banjir. Hulk, sama The Thing lagi bantuin proyek pembangunan fly over Cileduk-Tendean. Ant Man dapet kontrak setahun dari Dinas Kebersihan buat bersihin selokan-selokan kecil yang mampet. Semuanya dibayar, dan semuanya harus dibayar pajaknya. We need you, Iqbal.”
“Ummm…”
“By the way, ini di CV kamu tertulis kamu hobi nonton. Nonton apa?”
“Nonton bola.”
“Klub jagoan?”
“AC Milan!”
“Wow, The Great Paolo Maldini! Saya juga suka.”
“Nonton film, saya juga suka.”
“Film apa?”
“Banyak sih, kecuali horror. Saya nggak suka.” Jawab gue dengan suara diserak-serakin, biar kesannya gue nggak takut sama film horror.
“Avengers, suka ga?”
“Hah? Jadi yang kemaren itu film? Setelah sekian banyak gedung roboh, mobil meledak, kucing hamil keguguran, dan Nassar-Musdalifah cerai, itu semua film doang???”
“Reality show, tepatnya. Lagi iseng aja, sih.”
“….” Superhero kalo lagi iseng serem, ya.
“Musik?”
“Saya nggak bawa gitar, Pak.”
“Maksud saya, kamu suka musik?”
“Suka dong. Slankers gitu loh!”
“Yoiii…Piss!”
Nick membolak-balik CV gue, entah apa yang diliatnya.
“Sekarang kita nego gaji. Tulis berapa gaji yang kamu harapkan di sini.” Nick menyodorkan gue sebuah tablet touchscreen transparan. Gue mengetik beberapa digit angka dan menyodorkannya kembali.
“Wah, nggak bisa turun nih, Bal?”
“Nggak Pak. Itu udah berdasarkan harga keekonomian. Saya harus memenuhi kebutuhan saya, nyetor ke ibu saya, ngasih jajan ke ketiga adek saya, biaya malem mingguan, bensin, ngopi-ngopi, patungan gorengan, nyicil rumah di Pondok Indah, dan masih banyak lagi.”
“Yakin nih gaji segini worth it sama kinerja kamu?”
“Insha Allah, Pak. Ya walaupun mungkin sesekali anda kesel sama saya karena saya suka lupa.”
“Oke baiklah. Tunggu kabar dari kami dua minggu lagi. Nanti Stark bakal menghubungi kamu. Sekian dari saya. Jika ada yang salah sesungguhnya itu dari saya, jika benar itu datangnya dari Allah. Sampai jumpa di Dorce Show, Show, Show!”
“Maaf, Pak. Salah skrip tuh.”
“Oiya, maksudnya sampai jumpa lagi di SHIELD!”
Gue pun kembali turun ke lantai dasar. Kali ini nggak dianterin Falcon, tapi loncat gitu aja. Di bawah sana, Agen Natasha Romanoff udah siap menangkap gue dengan tangan terbuka. Ahhh…indahnya dunia.


Tulisan ini sebagai partisipasi ikutan Pojok WB Idol



Share:

9 comments:

  1. Kak Yos!!! hahahahaha ah kek macem baca cerpen.wkwkw iron man nya manaaa

    ReplyDelete
  2. Pasti suka dengan tokoh2 kartun superhero ya? Fans berat kapten America, Iron man dll hihihihi

    ReplyDelete
  3. Pasti suka dengan tokoh2 kartun superhero ya? Fans berat kapten America, Iron man dll hihihihi

    ReplyDelete
  4. hahaa... punya imajinasi yang tinggi nih.. :))

    ReplyDelete
  5. Dear All, maaf ga bisa balesin komen satu per satu. Aku pun tak tahu kenapa nggak bisa bales komen ya? Tombol 'Balas'-nya ga ngerespon pas diklik. Ada yang punya solusi kah? =(

    ReplyDelete
  6. hahahaha imajinasinya luar biasa, saya ketawa-ketawa sendiri bacanya, bisa yah superhero jadi kayak begitu...

    ReplyDelete
  7. Semoga Terpilih jadi Next Idol yah :D

    ReplyDelete