Di dunia ini, di tiap satuan jarak, ruang, dan waktu, selalu ada faktor pembeda di antara rimbunan kesamaan. Biasanya disebut dengan karakter. Unsur yang membuat sesosok individu tetap hidup walaupun raganya mati. Dan jadi kenang-kenangan paling sulit dilupakan untuk sebuah karya.
Dari sebuah blangkon, kumis tebal, dan setelan beskap bisa tercipta sebuah karakter antagonis abadi. Sulit dilupakan. Suaranya yang berat, seram, dan sifat kikirnya membuat anak kecil mana pun akan membencinya. Namun diujung semua itu ada jiwa kebapakan yang mengayomi, pemberi nasehat, dan celoteh jenaka yang begitu dicintai anak-anak. Itulah karakter. Proporsional, tapi fenomenal. Tidak berlebihan, tapi dirindukan. Pak Raden.
Tidak pernah terbayang seperti apa minggu pagi masa anak-anak dulu tanpa karakter Unyil, Usro, Ucrit, Bu Badriyah, Pak Ableh, sampai pengumpul receh Pak Ogah. Bersama Pak Raden mereka berlakon dengan sangat menghibur. Lewat karakter masing-masing mereka mampu ‘menghidupkan’ boneka untuk menuturkan cerita. Tidak sarat konflik, tapi penuh muatan nilai.
Berkat Pak Raden, dulu ibu-ibu tak perlu khawatir anak-anaknya salah menonton acara TV. Ibu-ibu tidak harus mengeluarkan usaha lebih banyak mana yang mesti ditiru, dan mana yang sebaiknya dihindari.
Hanya dari kopyah,dan sarung melingkar bisa tercipta karakter Unyil. Untuk jadi anak sholeh, anak-anak bisa belajar dari sana.
Bermodal kepala botak, karakter Pak Ogah sudah bisa berpesan bahwa meminta yang bukan haknya adalah tidakan tercela.
Semuanya dimainkan tanpa maksud menggurui. Itulah karakter.
Mungkin saja sekarang Pak Raden telah melepas blangkonnya. Menanggalkan kain beskapnya. Mencukur habis kumisnya. Dan suara serak beratnya tidak akan pernah terdengar lagi. Tapi anak-anak kecil yang dulu pernah menjadi penikmat cipta dan karyanya akan terus mengingat bagaimana sebuah karakter semestinya diciptakan.
Terima kasih Pak Raden. Untuk hadiah berupa masa kecil yang bahagia. Kami berhutang banyak…
Dari sebuah blangkon, kumis tebal, dan setelan beskap bisa tercipta sebuah karakter antagonis abadi. Sulit dilupakan. Suaranya yang berat, seram, dan sifat kikirnya membuat anak kecil mana pun akan membencinya. Namun diujung semua itu ada jiwa kebapakan yang mengayomi, pemberi nasehat, dan celoteh jenaka yang begitu dicintai anak-anak. Itulah karakter. Proporsional, tapi fenomenal. Tidak berlebihan, tapi dirindukan. Pak Raden.
Tidak pernah terbayang seperti apa minggu pagi masa anak-anak dulu tanpa karakter Unyil, Usro, Ucrit, Bu Badriyah, Pak Ableh, sampai pengumpul receh Pak Ogah. Bersama Pak Raden mereka berlakon dengan sangat menghibur. Lewat karakter masing-masing mereka mampu ‘menghidupkan’ boneka untuk menuturkan cerita. Tidak sarat konflik, tapi penuh muatan nilai.
Berkat Pak Raden, dulu ibu-ibu tak perlu khawatir anak-anaknya salah menonton acara TV. Ibu-ibu tidak harus mengeluarkan usaha lebih banyak mana yang mesti ditiru, dan mana yang sebaiknya dihindari.
Hanya dari kopyah,dan sarung melingkar bisa tercipta karakter Unyil. Untuk jadi anak sholeh, anak-anak bisa belajar dari sana.
Bermodal kepala botak, karakter Pak Ogah sudah bisa berpesan bahwa meminta yang bukan haknya adalah tidakan tercela.
Semuanya dimainkan tanpa maksud menggurui. Itulah karakter.
Mungkin saja sekarang Pak Raden telah melepas blangkonnya. Menanggalkan kain beskapnya. Mencukur habis kumisnya. Dan suara serak beratnya tidak akan pernah terdengar lagi. Tapi anak-anak kecil yang dulu pernah menjadi penikmat cipta dan karyanya akan terus mengingat bagaimana sebuah karakter semestinya diciptakan.
Terima kasih Pak Raden. Untuk hadiah berupa masa kecil yang bahagia. Kami berhutang banyak…