Thursday, 19 November 2015

Foto Instagramable di Lokasi Syuting Film Indonesia Dengan Teknologi Laser Autofocus

Mesti diakui bahwa film Indonesia masih ada di bawah bayang-bayang film luar negeri, khususnya dari Hollywood. Mau dari segi apa pun kayaknya kok film kita kalah semuanya, ya. Mulai dari hal soft kayak ide, dan skenario, sampe hal teknis seperti akting, visual effect, hingga properti, film negeri ini masih kurang bisa bersaing. Banyak faktornya, biasanya yang paling klasik adalah masalah dana. Emang paling nggak enak kalo nggak punya dana, mau ngapa-ngapain susah.

Tapi industri film adalah tempatnya orang-orang kreatif. Masalah dana bukan halangan bagi mereka untuk memproduksi sebuah film yang bagus. Salah satu cara untuk mengakali kekurangan ini adalah dengan membuat film yang nggak banyak makan biaya gede kayak film action atau superhero. Indonesia masih harus banyak belajar untuk dua genre film tersebut, walaupun ada beberapa yang lumayan bagus.

Untuk menarik banyak penonton, gue melihat film Indonesia sekarang punya kecenderungan mengadaptasi dari novel-novel best seller, atau memproduce film dengan menawarkan pemandangan alam suatu daerah di Indonesia bahkan luar negeri. Atau ada yang menggabungkan keduanya. Jadi intinya selain punya cerita yang menginspirasi, lokasi film-film ini juga instagramable banget. Lokasi syutingnya bagus, kalo upload foto di Instagram dengan latar tempat-tempat ini pasti yang nge-love bececeran saking banyaknya.

Film-film instagramable ini memiliki efek bagi siapa aja yang nonton jadi kepengen banget buat mengunjungi lokasi syutingnya. Gue udah ngelist beberapa film Indonesia yang settingnya bukan sekedar pelengkap, tapi juga sebagai alat cuci mata dan pemacu jiwa petualang. Pokoknya instagramable kelas berat!

1. Laskar Pelangi
Di angkat dari novel memoar best seller karya Andrea Hirata. Film yang bercerita tentang anak-anak dengan bakat luar biasa namun terbatas soal materi ini bersetting di Belitung. Sebuah pulau bagian dari Provinsi Bangka Belitung. Ada sebuah scene keren abis. Pas para Laskar Pelanginya main di pantai Tanjung Tinggi. Pantai Tanjung Tinggi ini adalah jualan utama pariwisata pemprov Bangka Belitung. Apalagi setelah film Laskar Pelangi booming. Airnya yang tenang, pasirnya yang putih halus, dan yang pasti batu-batuan misterius berukuran gigantis adalah perpaduan fotogenic tiada lawan. Pantai ini disebut juga pantai Laskar Pelangi. 
https://www.google.com/search?q=laskar+pelangi&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAkQ_AUoA2oVChMIztSjs5mcyQIVwY-OCh0S5AMz#imgrc=H2qc9jCTlk8kQM%3A



2. 5cm
Masih dari novel best seller, kali ini dari karya penuh filosofi Dhony Dirgantara (cek kalo gue salah spelling namanya) yang dieksekusi dengan ringan oleh Rizal Mantovani. Cerita tentang persahabatan dan kehidupan ini memilih setting di Gunung Semeru. Scene-scene bentangan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bertebaran. Jejeran perbukitan Bromo, sekilas melintasi Pasir Berbisik, Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, Padang Oro-oro Ombo, samudera awan, dan, yeah, puncak Mahameru! Abis nonton film ini pasti bawaannya pengen ke sana terus ambil kamera dan selfie. Upload di Instagram, dan liat deh berapa love yang mampir. 
https://www.google.com/search?q=5cm&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAcQ_AUoAWoVChMI2sCd0JmcyQIVwY-OCh0S5AMz&biw=1525&bih=708&dpr=0.9#imgrc=df2hGVUDsw0z6M%3A


3. Pendekar Tongkat Emas 
Kalo ini adalah film yang lahir karena kegelisahan seorang Mira Lesmana yang ingin mengembalikan kejayaan film silat klasik Indonesia. Beneran silat klasik. Bisa diliat dari temanya yang juga retro abis, tentang perebutan benda mustika dan balas dendam. Tapi film ini mungkin nggak sebagus yang gue tonton seandainya syutingnya nggak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar di Waingapu. Yah, Indonesia timur emang nggak ada matinya. Pengguna Instagram betah nih kalo ke sini. Di film, kita bakal disuguhkan pemandangan padang rumput luas berbukit dengan diselingi bebatuan, deburan ombak tepi laut dengan background sunset, dan bukit-bukit kapur. Untuk yang Instagramnya banyak menggunakan hastag semisal #culture, bakal diservis sama penampakan kain-kain tenun khas Sumba, rumah adat, senjata tradisional, dan kuda-kuda Sumba yang perkasa. Komplit, kan? 
https://www.google.com/search?q=pendekar+tongkat+emas&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAkQ_AUoA2oVChMIiuPO9ZmcyQIVS46OCh02rAe4&biw=1525&bih=708&dpr=0.9#imgdii=5sb78GdZDXV2GM%3A%3B5sb78GdZDXV2GM%3A%3BfpW3Wik7eSaY0M%3A&imgrc=5sb78GdZDXV2GM%3A


Tiga film itu yang berhasil mempengaruhi gue untuk mengunjungi lokasi syutingnya. Alhamdulillah untuk Belitung dan Mahameru gue udah pernah. Nah tinggal yang Waingapu nih belom pernah. Butuh waktu nggak sedikit untuk ke sana, sedangkan izin cuti ke bos susahnya amit-amit. Ya disamping costly juga, sih. Mahal gitu ke sana.

Tapi ya sepengalaman gue foto-foto waktu ke Belitung dan Mahameru, gue bawa kamera DSLR. Gue ini tipe orang yang kalo lagi liburan pengen banyak foto, tapi nggak mau ribet sama keribetan DSLR. Tau dong kalo DSLR itu segede termos? Kalo udah masuk tas dan ada momen bagus difoto, gue males ngeluarinnya lagi. Akhinya gue foto seadanya dengan kamera HP.

Nah kamera HP ini kan terbatas ya kemampuannya. Kadang fokus, kadang blur. Ketika gue mau menciptakan efek blur, eh dia malah fokus. Ketika ada momen bagus yang menuntut detail, eh dia malah blur. Udah gitu fiturnya full automatic. Bakalan susah buat gue motret siluet di pinggiran pantai Tanjung Tinggi, karena foto siluet kan mesti backlight. Apalagi motret lowlight dan kepengen efek light trails atau stardust, wassalam dah kalo pake kamera HP biasa. Sayang banget kan gue udah ke tempat-tempat bagus tapi foto-fotonya nggak ‘pantes’ buat upload ke Instagram.

Mungkin udah saatnya gue berpikir untuk ganti HP yang lebih canggih dan mendukung untuk foto-foto supaya lebih instagramable. ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG bisa nih gue coba. OS-nya udah Android Lollipop. Kameranya udah 13 MP. Nggak usah kuatir juga foto gue ngeblur, karena kameranya juga ada fitur Laser Autofocus. Semau-mau gue deh mau fokus di bagian mana gambarnya, dan cerita ketinggalan momen bisa diminalisir. Untuk output dengan layar 5 inchi dan kualitas HD, udah paling bener deh. Lebarnya pas, dan kualitas HD-nya bikin yang liat hasil foto nggak usah memicingkan mata ketika ingin melihat detail foto. Apalagi dilapisi sama Gorilla Glass, aman deh. Kalo jadi beli nih HP, gue bakal isi sama aplikasi edit foto jempolan. Nggak usah kuatir lemot, kapasitas RAM 2GB udah cukup banget buat install dan running semacam Photoshop Express atau Vsco. Gue cek harganya sih terjangkau banget kalo dibandingin dengan produk lain di kelasnya. Dan yang paling bikin gue teriak kegirangan adalah, kamera di ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG bisa disetting manual bukaan diafragmanya macam DSLR. Yiha! Bisa bikin foto siluet yang lebih tajam deh kalo nanti gue jadi ke bukit-bukit kapur di Waingapu. Atau bikin foto light trails di saat gue traveling ke lokasi sebuah film di suatu kota. Nggak perlu pegel-pegel bawa DSLR. Nabung, nabung, nabung, biar bisa kebeli nih HP. 
https://www.asus.com/Phone/ZenFone-2-Laser-ZE500KG/gallery/


Ke depannya semoga ada lagi film Indonesia yang syutingnya di tempat dengan kategori ‘worth to be uploaded to Instagram’. Jadi setelah gue punya ASUS Zenfone 2 Laser 5.0 ZE500KG, langsung meluncur deh ke TKP. Foto out of focus? Bhay! =)


Share:

Tuesday, 17 November 2015

MR. Holmes, Holmes Yang Berbeda


Gue dulu pernah punya novel Sherlock Holmes yang menceritakan masa tua sang detektif. Gue lupa apa judulnya, lupa juga siapa penulisnya. Buku ini nggak ngasih kesan apa-apa. Makanya nggak gue baca sampe abis. Selain gaya bahasanya yang beda banget sama Sherlock versi Conan Doyle sehingga membutuhkan cukup banyak effort untuk adaptasi, juga karena alurnya yang datar banget. Belom sampe setengah buku, udah gue tinggal. Dan itu adalah salah satu penyesalan gue sebagai Sherlockian.

Kemaren pas nonton Spectre, ada trailer film berjudul MR. Holmes. Di situ diceritakan selentingan isi filmnya. Yaitu tentang detektif legenda yang memilih pensiun dan menghabiskan masa tuanya di sebuah desa. Gue langsung teringat sama buku Sherlock Holmes gue yang dulu. Apakah ini adalah adaptasi dari buku tersebut? Sebagai Sherlockian, gue penasaran. Kudu nonton ini film!

Akhirnya kemaren gue bela-belain cabut ke Semanggi demi nonton film ini, dengan menembus gerimis dan ngorek-ngorek isi dompet karena tanggal tua. Begitu gue masuk studio udah terisi lebih dari setengahnya. Lumayan juga nih film daya tariknya. Padahal weekday, ujan, dan masih harus bersaing sama beberapa film box office. Gue yakin mereka yang nonton hari itu Sherlockian semua. Anggap aja begitu. MR. Holmes cuma ada di jaringan bioskop tertentu dan filmnya juga nggak booming, apa yang bikin mereka mau nonton? Yes, coz they’re Sherlockian!

MR. Holmes menampilkan Ian McKellen sebagai Sherlock Holmes. Menurut gue, film ini menasbihkan beliau sebagai aktor legend serba bisa setingkat Morgan Freeman. Jadi penjahat pshyco kayak Magneto, bisa. Jadi penyihir bijak macam Gandalf, oke juga. Dan sekarang kakek satu ini memerankan orang supercerdas rapuh dan nyaris pikun. Hasilnya? Amazing. McKellen begitu detail memerankan pria berusia 93 tahun. Nggak ada satu gesture pun yang keluar dari seharusnya seorang lanjut usia bergerak dan bersikap. Namun begitu, sorot mata cerdas khas detektifnya begitu tajam terlihat. Keren, keren, keren!

Dan seperti di bukunya, alurnya lambat. Jangan pernah ngarep di sini kita bakal ketemu sama Sherlock Holmesnya Robert Downey Jr yang penuh action dan ledakan-ledakan gede. Atau versinya Cumberbatch yang riuh sama kegaduhan sirine polisi. Kesannya flat. Gue nggak nyaranin untuk nonton film ini buat yang nggak suka, apalagi yang nggak tau, Sherlock Holmes. Gue berani taruhan, kalo tetep nekat nonton, setengah film pasti ke luar studio. Atau paling banter ketiduran. Gue masih penasaran sama buku gue yang ilang itu. Kalo emang bener ini diangkat dari buku tersebut, gue pengen tau gimana penulisnya menuliskan plot ganda kayak di filmnya. Plotnya terdiri dari satu plot utama dan dua subplot. Awalnya plot tersebut tidak saling berhubungan, tapi akhirnya plot ini menyatu di ending yang apik.

Kekuatan utama film ini adalah sisi lain dari seorang Sherlock Holmes. Selama ini kita tau detektif hebat ini dari gambaran seorang John Watson. Nah di sini Holmes tua mencoba meluruskan semua yang keliru ditulis oleh sahabatnya itu. Di MR. Holmes, kita akan dibuat tersentuh dengan usaha sang detektif yang mencoba untuk berdamai dengan masa lalunya. Homes yang dikenal dingin, nggak punya perasaan, dan selalu kesepian, perlahan ingin diubahnya. Lewat penjaga rumahnya, Mrs. Monro, dan anaknya, Roger, Holmes tua ingin menebus kesalahan pola pikirnya ketika muda. Menyentuh. Tapi tenang, teknik-teknik deduktif khas Sherlock Holmes tetap bisa disaksikan kok. Biar gimana, ini film Sherlock Holmes, unsur misterinya tetap ada.

MR. Holmes adalah kado buat Sherlockian yang rindu sosok Holmes di novelnya. Walaupun versi Downey Jr, dan Cumberbatch punya ciri khas masing-masing. Ngomong-ngomong, McKellen, Downey Jr, dan Cumberbatch adalah pemeran Sherlock Holmes. Apalagi benang merah mereka bertiga? Yap, mereka adalah juga superhero Marvel. Kebetulan? =) 
 
klik untuk sumber
Klik gambar untuk sumber


Share:

Wednesday, 11 November 2015

James Bond: Spectre, Nanggung...

Sempat ragu apakah gue akan nonton seri James Bond terbaru, Spectre, apa nggak. Soalnya gue udah intip di timeline sosmed beberapa selebtwit yang sangat beruntung dapet tiket premiere, menilai film ini dengan mengecewakan. Pengen nonton, takut kecewa. Nggak nonton, penasaran. Jalan tengahnya: Nonton lah gue di hari minggu yang gerimis itu, tapi gue tanamkan dalam hati untuk merendahkan ekspektasi gue. Jaga-jaga aja kalo ternyata para selebtwit itu bener bahwa nih film nggak sebagus film Bond seharusnya.

Di opening tease, Spectre menawarkan film action kelas satu. Bikin degdegan. Bikin gue lupa sama para pengkritik. Wanita cantik, adegan unjuk nyali ala Bond, dar der dor suara senapan bikin di awal bikin film Bond ke-4 yang dibintangi Daniel Craig ini seolah memberi gambaran seperti apa ini film secara keseluruhan: Action movie keren dengan twist brilian!

Sayang seribu sayang. Di tengah, film ini kayak motor keabisan bensin. Alurnya melambat, dengan kebanyakan drama merambat. Gue ngerti, dramanya ini dibangun untuk menciptakan benang merah dari satu set alur ke alur yang lain. Tapi masalahnya terlalu lama. Penonton yang tadinya ‘panas’ dibiarin terlalu lama ‘cooling down’. Efeknya adalah ketika sang James Bond beraksi penonton (gue khususnya), bertanya-tanya, “Eh tadi misinya si Bond ini ngapain, ya?” gitu. Cukup mengganggu menurut gue sih.

Actionnya juga jadi kentang banget. Receh so pasti nggak. Tapi bikin greget juga jauh. Sekedar perbandigan, kalo dibandingkan sama kejar-kejaran mobil di Fast Furious, Spectre kalah matang. Kalo boleh pinjem bahasanya para juri stand up comedy, “Set up-nya udah keren, delivery-nya juga oke, tapi sayang punchline-nya tipis.”. Jatohnya semuanya jadi serba nanggung. Penonton udah ngarep adegan spektakuler, eh gataunya kena moment, "Lah, segitu doang?". Padahal ini udah tahun 2015 teknologi udah canggih, tapi entah kenapa rasa action-nya seperti flashback ke jamannya, paling nggak, Bond versi Timothy Dalton. Konon kabarnya Spectre ini adalah remake. Dengan kata lain dulu ada Spectre versinya Sean Conery atau Roger Moore. Kalo mau fair kudu nonton nih versi jadulnya.

Itu dari segi alur. Dari segi penokohan, gue ngerasa kok Daniel Craig auranya nggak keluar ya? Padahal modal utama jadi Bond ini ya pesonanya. Apakah karena kurang dapet chemistry karena pemeran M-nya baru? Mungkin. Yang bikin lumayan kesel adalah mubazirnya akting Monica Belucci. Gila, sekelas Monica Belucci cuman dapet sekitar dua set scene. Itu pun berakhir dengan doi jadi ‘korban’ Bond di, ehem, ranjang.

Penokohan di Spectre ini ketolong banget sama penampilan John Wishaw sebagai Q. Penonton (khusunya cewek) pasti kesengsem berat sama kesan smart, kalem, dan lucunya. Dialog-dialognya dengan Bond, M, dan Moneypenny lumayan segar.

Tapi kalo ngeliat film ini secara keselurahan, bisa aja Spectre ini cuman jembatan atau prekuel dari seri James Bond selanjutnya. Kalo memang begitu, pantes ini film drama dan ngobrol ngalur ngidulnya lama. Karena harus menceritakan dulu awal kisah sebelum ke seri selanjutnya.

Terus layak tonton kah? Layak dong. Film Bond mah nggak ada yang nggak layak tonton. Cuman ya itu tadi, jadiin film ini sebagai koleksi referensi film Bond, jangan ngarep lebih. Kabarnya ini peran terakhir Daniel Craig sebagai Bond. Tapi belakangan yang bersangkutan membantah. Kok? Untuk menaikkan penjualan? Who knows… =)
Share:

Thursday, 5 November 2015

Tipe Relationship, dan Klub Sepak Bola

Gue salah satu orang yang percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini saling terhubung. Sejauh apa pun dan seabsurd apa pun itu. Duren dengan kucing, pasti ada hubungannya. Duku dengan tukang bubur kacang ijo, pasti juga ada korelasinya. Walaupun memang, mungkin keterkaitannya secara nggak langsung.

Bahkan kalo mau repot dan mikir keras sampe Tingki Wingki berubah warna jadi abu-abu monyet, sebuah hubungan (istilah kekiniannya: relationship) pun memiliki hubungan jauh dengan klub bola. Ini bisa diliat dari karakter hubungan itu dengan keadaan dan kondisi sebuah klub bola saat ini. Gini…

1. Real Madrid Wanna Be

Glamour. Inilah hubungan kalian. Relationship jenis ini melibatkan dua orang dengan selera tinggi. Coba liat Real Madrid, berapa jumlah Euro yang mereka aur-aurin demi membeli gemerlap bintang-bintang lapangan hijau. Pemaen dengan harga di bawah, kalo dirupiahin, 300 milyar sih masih kelas tarkam kecamatan di Spanyol. Pokoknya duit nggak masalah, yang penting pemaen-pemaen mentereng dan termahal ada di sini. Couple yang Real Madrid wanna be ini dipersatukan oleh lingkungan jet set. Tas mereka branded, jam tangan yang ada berlian swarowskinya, makan malem kudu steak paha sapi kanan sambel ijo. Golongan ini paling jelek kalo ke mall ya GI, MOI, atau Taman Anggrek. ITC? Blok M? Taman Puring? Pasar Rumput? Ah...sudahlah. Pokoknya hubungan ini terjalin dengan jargon, “Lu jual, kita beli!”. Masalahnya adalah, kalo ada sedikit aja salah satunya nggak nyaman, misalnya tiba-tiba mobil mogok dan harus naek delman, maka akan terjadi huru-hara. Kayak Real Madrid, kalah dua kali berturut-turut aja mereka bisa pecat pelatih. Persetan lah bayar pesangon seperapat triliyun.



2. Yeah, You’re FC Barcelona

Hubungan ini adalah jenis hubungan yang ideal menurut gue. Barcelona itu klub bola paling adaftif menurut gue. Dulu mampu menyerap total football-nya Belanda. Lalu ketika sistem ini udah nggak relevan lagi sama sepak bola modern, muncul jogo bonito. Yaitu sepak bola indah ala Amerika Latin yang dimotori Ronaldinho. Beberapa tahun kemudian Ronaldinho menua dan permainannya mulai terbaca lawan. Tapi Barcelona nggak keabisan ide. Lewat seorang putra jebolan akademi sepak bolanya, La Massia, mereka menemukan gaya tiki-taka. Itu loh, gaya maen operan-operan pendek yang bikin lawan gregetan. Lalu pola tiki-tika juga terbaca musuh, dan Barcelona kembali ke gaya konvensional. Sampe sekarang Barca masih jadi klub paling prestisius, kalo bisa ngalahin klub ini disarankan untuk tumpengan atau potong sapi. Dan sebuah hubungan yang Barcelona banget ini cenderung tahan banting. Bahkan antibadai. Mereka selalu punya solusi yang membahagiakan semua pihak kalo ada masalah. Berantem-berantem dikit mah bagaikan upil di kolong meja buat mereka. Energi pasangan jenis ini nggak ada abisnya. Sama kayak Barcelona yang stok pemaen berkualitasnya banyak.

3. OMG, You’re AC Milan If You…

Dulunya royal, tapi sekarang mulai perhitungan. Di rentang waktu 1990-2011an, AC Milan begitu haus gelar juara. Gepokan duit segede Patas AC 45 nggak masalah buat beli-beli pemaen juara. Hasilnya ya Milan jadi klub Italia yang paling banyak ngoleksi juara Liga Champions. Tapi setelah itu dan akibat hantaman krismon di Eropa, klub ini mengalami deficit anggaran. Jadi kebijakan yang diambil cukup menggelikan: Beli pemaen gratis, atau minjem.Klub juga mulai itung-itungan soal gaji dan kontribusi. Pemaen yang minim ‘sumbangan’ bagi permainan klub, maka gajinya dipotong, atau paling apes kontraknya diputus. Nah untuk pasangan jenis ini harap berhati-hati. Dulu waktu pertama jadian biasanya apa aja dibelain. Beliin sandal jepit seharga HP, dijabanin. Maen ke Dufan tiga hari sekali, hayok aja. Tapi semakin ke sini akan tersadar bahwa semua itu nggak ada gunanya. Semakin baper bahwa pengeluaran nggak sesuai dengan yang didapatkan. Mulai deh fase mikirin, “Anjrit, kemaren makan bakso doang abis dua ratus.”, terus menyangkal padahal emang makan baksonya nambah empat kali. Mulai deh itungan-itungan sama pasangan. Mulai deh bikin perjanjian nggak tertulis untuk membagi tugas siapa yang bayarin nonton siapa yang bayarin makan. Dan siapa yang akan adu panco ama Pak Satpam kalo duit kurang pas mau bayar di kasir alpamaret. Bisanya nih, biasanya loh ya, relationship ini buat anak kuliahan yang masih ngandelin duit kiriman ortu. Atau fresh graduate baru dapet kerja yang belom bisa nego gaji, dapet UMR aja udah bahagia.



4. Be Strong, Liverpool!

Cieeee yang LDR sama gelar juara. Liverpool banget! Maaf nih Liverpudlian, tapi kan emang iya Liverpool udah lama nggak juara. Terakhir juara kan pas…pas tahun…tahun…ya pokoknya ada lah. Yak, yang sama juga dengan mereka para pelaku LDR. Tipe-tipe manusia penyabar yang sangat mendewakan kalimat, “Semua akan indah pada waktunya.”. Bener sih. Tapi ya itu tadi, sabar. Yang kuat. Ntar juga juara. Ntar juga ketemuan. Entah kapan. Santai aja. Nguras Ciliwung aja dulu. Be strong!



5. Wow, Bayern Muenchen!!!

Perfect! Kalo diliat dari luar. Itu lah klub asal Bavaria ini. Stadion mentereng, kaya raya, pemaennya kategori legend semua bagi sepak bola Jerman, ngerasain gelar juara Bundes Liga udah begah. Gue sempet mikir ini klub apa lagi yang dicari? Tapi ternyata klub ini sering digoyang sama persoalan internal mereka sendiri. Punya pemaen bintang dan pelatih top serta jajaran manajemen yang kritis acapkali membuat gesekan-gesekan kecil. Tapi mereka tetap solid untuk bagaimana berita itu tidak bocor ke media. Yah kalopun bocor jangan banyak-banyak lah. Sama nih kayak relationship yang keliatan mesra diluar tapi sesungguhnya menyimpan api dalam sekam. Ini pasangan kalo kondangan, saking sempurnanya, semua perhatian pasti tertuju padanya. Nggak peduli pada kenyataan bahwa mereka ngamplop ceban doangan. Singkatnya, secara tampilan luar pasangan ini bikin ngiri mampus.

Segitu aja sih yang kepikiran dari gue tentang sebuah hubungan antara klub bola dan relationship. Ada yang punya korelasi yang lebih valid, nggak? Dengan Persib Bandung, gitu? Boleh lah dishare… =)
Share: