Monday, 28 December 2015

Hup Holland Hup, Negeri Van Oranje!

Jarang-jarang gue memutuskan nonton sebuah film hanya karena suka sama posternya. Ketika pertama gue liat posternya, film Negeri Van Oranje udah bikin gue suka. Suka karena komposisinya yang bagus dan tone warnanya yang nggak biasa untuk ukuran film Indonesia. I must wacth it. Apalagi setelah nonton teasernya di youtube, semakin menegaskan kalo ini film sepertinya lebih dari layak untuk ditonton.

Cast aktor dan aktrisnya pun nggak sembarangan. Tiga nama aktor jagoan layar lebar Indonesia rasanya udah cukup jadi jaminan gimana kualitas Negeri Van Oranje. Ada Arifin Putra yang nyoba keluar dari patron karakternya selama ini, di mana doi sukses memerankan Banjar yang petakilan dan pede abis. Jauh dari karakter ‘sinetron’-nya selama ini. Ada juga Abimana Aryasetya, begitu pas dengan role-nya sebagai Wicak yang tenang dan misterius. Kemudian Chico Jericho, tanpa kesulitan menyatu dengan karakter Geri yang woles dan flamboyan. Tapi bintang dari film ini menurut gue adalah Ge Pamungkas. Gue baru liat komika satu ini berakting secara full di sebuah film. Dan dia berhasil. Ge seperti memainkan dirinya sendiri dalam tokoh Daus. Jenius di dalam, tapi gokil blo’on di luar. Sejak pertama gue liat penampilan Ge Pamungkas di panggung stand up comedy, gue udah ngerasa ini orang pasti bisa melakukan ‘yang lebih’ dengan bakatnya. Dan di Negeri Van Oranje ini dia membuktikannya. Keren, Ge!

Dan aktrisnya, oohhh…Tatjana Saphira! Auranya luar biasa aktris yang satu ini, cakepnya udah dari sononya. Karakter Lintang yang mellow, periang, dan agak labil bisa bikin simpati penontonnya. Kayaknya budget film Negeri Van Oranje gede banget, selain karena syutingnya di Eropa, juga akrena mereka harus bayar bidadari dari langit untuk memerankan Lintang. Eaaaa…

Ngomong-ngomong Eropa, settingya film ini emang sialan banget. Bikin gue mupeng sepanjang film. Sebelum Negeri Van Oranje, ada beberapa film Indonesia yang juga pake Eropa sebagai latar, tapi ya gitu cuman jadi ‘background’ doang. Di Negeri Van Oranje, Belanda digambarkan dengan cukup proporsional. Untuk yang mau lanjut S2 di Belanda, kalo jeli, film ini berisi banyak banget referensi universitas. Spot-spot yang diambil untuk lokasi syutingnya memang bener-bener untuk keperluan cerita, bukan sekedar menujunkkan “ini loh kita lagi syuting di Eropa!”. Walaupun ada beberapa scene di Eropa ini yang tone warnanya terlalu pekat. Jadi gue kayak nonton editan Photoshop bergerak dengan saturation berlebih. Nggak ganggu sih, tapi cukup jadi duri dalam daging mengingat salah kekuatan film ini adalah tone warnanya yang ciamik.

Terus yang bikin gue betah nonton adalah, persahabatan yang terjalin dalam cerita benar-benar mengalir. Kelima bintang utamanya punya chemistry kuat, sehingga mereka kayak beneran temenan di luar film. Keliatan sih film yang dibikin dengan persiapan dan nggak asal-asalan. Ini membuat storyline yang udah diset sedemikian rupa jadi makin rapih dan hidup. Joke dan komedinya bikin penonton ketawa ikhlas. Dialog-dialognya jadi lebih dalam.

Oiya, wardrobe yang dipake di film ini juga unik-unik. Stelan yang dipake para pemaennya bisa jadi referensi tren fashion, di luar bener apa nggak mahasiswa S2 di Eropa itu fashionnya seperti yang mereka pake. Jas yang dipake Chico, Celana yang dipake Arifin, Topi ‘Haji Bolot’ yang dipake Ge, Jaket yang dipake Abimana, dan dress unik Tatjana, cucok-cucok cyiiinnn….

Rilis film ini pas banget di suasana liburan, meski harus bersaing dengan film ‘sakral’ Star Wars. Buat yang bingung kemana baiknya mengisi waktu libur, Negeri Van Oranje bisa jadi obat. Ceritanya yang ringan, walaupun gue ngerasa twistnya nggak ada yang spesial dan bisa ditebak, bisa bikin liburan lebih relax.

Pokonya, Tatjana, aku padamu…Hup Holland Hup! =)
Share:

Friday, 11 December 2015

Relationship Para Tokoh Film, Kamu Yang Mana?

Sebelum ini gue pernah nulis tentang tipe-tipe relationship, dan klub sepak bola. Di postingan ini gue pun mau nulis dengan template yang sama. Tapi dengan isi dan pengorelasian yang beda. Kalo di tulisan pertama objeknya adalah relationship-klub bola, maka di postingan ini menjadi relationship- tokoh dalam film.

Film itu tercipta berawal dari ide dan kegelisahan pembuatnya. Mengamati relationship tiap pasangan di dunia ini kemungkinan adalah bagian dari kegelisahan itu sehingga timbul sebuah ide untuk menuangkannya ke dalam skenario, dan kemudian pita film. Setiap tema dan judul nyarisselalu mempunyai benang merah dengan hubungan sepasang kekasih, mantan kekasih, atau mereka yang berharap menjadi kekasih.

Siapa tau ada yang relationshipnya kayak pasangan film-film berikut:

1. Seth-Meg (City of Angels)
Ini tentang cinta dengan dasar yang secara kodrat udah beda. Seth adalah seorang Malaikat, sedangkan Meg manusia biasa. Tapi mereka jatuh cinta. Hubungan mereka mirip-mirip jutaan hubungan di luar sana yang juga dengan perbedaan prinsipil. Misalnya beda suku yang nggak bisa diterima, beda umur yang kelewat jauh, beda jari mana yang biasa dipake buat ngupil, sampe beda…ummm…agama. Siklus bagi mereka yang menjalani relationship tipe ini adalah: Awalnya indah, perbedaan akan menyatukan kita, terus ada pertenatangan dari lingkungan sekitar, kemudian terjebak dalam kalimat klise “Jalanin aja dulu, ke depannya gimana entar”, lalu tekanan makin kuat, putus asa, selesai. Banyak sih yang berakhir bahagia, tapi yang gagal juga nggak kalah banyak. Seth, dan Meg juga sempat menikmati cinta yang indah. Seindah Tahoe Lake yang menjadi latar cerita cinta mereka. Begitu salah satu di antara mereka memutuskan untuk berkorban supaya menjadi sama, mereka justru terpisah. Ada sebuah anekdot ironis untuk yang menjalani hubungan dengan perbedaan prinsipil seperti ini, “Kalian selalu punya alasan untuk putus.”

2. Genta-Riani (5cm)
Ada benernya juga kalo banyak yang bilang cowok-cewek sahabatan itu nggak bakal pernah tulus. Salah satunya pasti ada yang ngarep lebih. Di 5cm, Genta dan Riani diceritakan bersahabat deket. Tapi salah satu dari mereka mencintai yang lain, namun nggak berbalas. Akhirnya mereka bener-bener ‘cuma’ sahabatan. Sabar aja ya buat yang terjebak friendzone. I know, pedih. Hubungan kalian begitu Tulus. Iya Tulus penyanyi. Bagai sepasang sepatu selalu bersama tak bisa bersatu. Film 5cm mengajarkan untuk menurunkan ekspetasi terhadap sahabat berlawanan jenis. Jaga terus perasaan sebatas sahabat, siapa tau dengan begitu justru jodoh. Daripada dari awal ngarep lebih tapi selamanya cuma dikenalin sebagai temen pas kondangan bareng.

3. Joni-Jelita (Janji Joni)
Apa pun yang terjadi, Joni nggak mau ngecewakan Jelita. Joni nggak mau Jelita nunggu dia terlalu lama. Janji harus dipenuhi, walaupun harus masuk ke sarang penyamun. Kalo ada yang pasangannya kayak si Joni, pertahankan dia. Dia berani bikin komitmen dan nggak kenal nyerah untuk menepatinya di tengah segala keterbatasan dan rintangan. Walopun mungkin aja komitmennya dimulai dari yang kecil-kecil dulu. Adakah yang lebih membahagiakan daripada punya pasangan yang berani membangun kepercayaan dan membuktikannya?

4. Nobita-Shizuka (Stand By Me)
Filmnya memang tentang persahabatan Nobita dan Doraemon. Tapi di sini juga diceritakan kisah cinta Nobita dan Shizuka. Menurut gue, ini kondisi ideal dari semua relationship. Temenan dari kecil, naksir, lalu kemudian berjodoh. Udah gitu klop banget seperti Yin, dan Yang yang saling mengimbangi. Nobita punya karakter bodoh, malas, nggak bisa diandalkan, payah dalam olah raga, pokoknya tipe-tipe yang kalo berantem ama telor semut aja kalah. Tapi Shizuka yang cantik, pintar, idola kampung, dan girly abis ini mau nerima Nobita. Pasangan yang kayak gini jelas bikin iri siapa aja. Jodohnya udah ada di depan mata sejak belom akil baligh.

Sekian beberapa film dengan relationship para tokohnya. Ada kah yang paling mewakili kalian? Atau ada tokoh film dengan relationship yang lain? =)
Share:

Tuesday, 8 December 2015

Kalo Deception Point-nya Dan Brown Dibikin Film

Minggu kemaren gue baru aja ngelarin baca novelnya Dan Brown. Judulnya ‘Deception Point’. Seperti di karya-karya sebelumnya, Dan Brown lagi-lagi memanjakan para penggemar teori konspirasi lewat setting, plot, penokohan dan imajinasinya.

Berbeda dari karya sebelumnya yang mencapurkan konspirasi dengan seni dan kepercayaan tertentu. Dan Brown mencoba menusuk ranah politik di Deception Point, dan tentu saja dibalut dengan kisah konspirasi kelas tinggi. Ini gue rasa kalo ada produser yang minat buat memfilmkannya, bakalan nemuin berbagai kendala. Atau bahkan masalahnya adalah bukan pada minat atau tidak minatnya produser, tapi berani atau tidak.

Dengan kecerdasan, dan gue yakin melalui riset mendetail dan imajinasi kampretnya, Dan Brown benar-benar ‘menguliti’ bagaimana intrik politik saat pemilihan umum di AS berjalan. Secara meyakinkan dia juga mengkritik, kalo nggak mau dibilang menelanjangi, lembaga kebanggan Negara adidaya tersebut, NASA.

Setelah Baca halaman terakhir dan menutup buku ini, reaksi gue akan sama layaknya orang kebanyakan sehabis baca buku fiksi bagus. Gimana ya jadinya kalo buku ini dijadiin film? Kayaknya seru. Walaupun pasti kontroversi nggak bakal bisa dihindari kayak di The Da Vinci Code. Hollywood pasti mikir-mikir nih, karena di salah satu bab Deception Point Dan Brown menyinggung adanya hubungan transaksional antara industri film tersebut dan NASA. The Da Vinci Code okelah bisa diproduksi, padahal yang diangkat justru isu yang lebih sensitif, yaitu agama. Tapi industri film justru suka dengan isu tersebut karena orang jadi penasaran pengen nonton. Nah kalo di Deception Point bakalan beda cerita, karena yang kena sindir justru industry itu sendiri. Karena setelah baca buku ini, mendadak gue ngerasa bahwa NASA, dan film-film semacam Red Planet, Armageddon, sampai yang terbaru The Martian, menjadi nggak keren lagi.

Oiya, balik lagi ke topik gimana kalo buku ini diangkat ke layar lebar? Nggak usah jauh-jauh dan berat-berat deh dengan ngebahas apa dampak sosial dan politik dunia kalo film ini terbit. Gue mencoba membayangkan siapa-siapa aja yang cocok memerankan karakter kunci dalam novel tersebut. Setelah berdiskusi sebentar dengan dispenser di kamar kosan, gue menemukan beberapa nama aktor dan aktris.

1. Rachel Sexton
Rachel Sexton ini bisa dibilang tokoh sentral dalam cerita penuh intrik ini. Seorang ‘kurir’ informasi antara NRO (gue lupa singkatannya, tapi ini adalah sebuah badan intelejen AS yang benar-benar ada) dengan Gedung Putih. Penggambaran Ms. Sexton, begitu dia dipanggil, berpenampilan biasa aja sebagaimana agen dari dinas rahasia. Cantik. Pintar sudah pasti karena dia harus bekerja untuk dua bos, yaitu direktur NRO dan Presiden AS. Dan dia pula lah yang mengurai misteri di akhir-akhir cerita. Berusia sekitar 33 tahun, dan jomblo. Gue kepikiran Gwyneth Paltrow buat memerankannya. Doi udah lebih dari 33 tahun sih, tapi bisa diakalin lah keriput-keriput dikit mah. Perannya sebagai Pepper di Iron Man cukup menggambarkan perannya sebagai wanita cerdas dan good looking.

2. Mike Tolland
Seorang ahli kelautan dan bintang TV. Dia menjadi salah satu ilmuwan yang dipilih oleh presiden untuk meneliti temuan NASA yang mengguncang dunia. Orangnya santai, lucu, tapi berwawasan luas. Owen Wilson kayaknya cocok deh memerankan Mike Tolland. Sikap serius tapi santainya udah teruji di film Sanghai Knight bareng Jackie Chan. Dan kesan tangguhnya bisa diliat di film No Escape. Gue memilih Owen setelah menyingkirkan James Franco. James pernah berperan sebagai ilmuwan sih di Rise of Planet Of The Apes, tapi untuk jadi orang yang kocak dia kelewat kaku.

3. Zach Herney
Ini nih si Presiden AS yang diceritakan sedang berada di penghujung masa kekuasaannya. Dia mempunyai misi untuk mempertahankan NASA tetap menjadi lembaga kebanggaan masyarakat AS. Seperti sosok presiden mana pun di dunia, sosok ini harus diperankan oleh mereka yang mempunyai kharisma lebih. Pengen milih Morgan Freeman, tanpa bermaksud rasis, tapi di novel ciri fisik Herney berkulit putih. Chris Evans, kemudaan. Dwayne Johnson, ah ini peran presiden bukan lawan panco Optimus Prime. Jhonny Deep, ah….sudahlah. Akhirnya ketemu sama figur Liam Neeson. Beberapa kali jadi sosok kebapakan di The A-Team, dan jadi Zeus di Clash of The Titans. Dan pernah juga memerankan pelindung sejati di Taken. Cukup ayak untuk diberi kesempatan memerankan ‘manusia paling berkuasa di dunia’.

4. William Pickering
Direktur NRO. Dan Brown menyebutkan bahwa NRO adalah organisasi intelejen AS paling rahasia. Kerjaannya kepo-kepo segala sesuatu di dunia ini yang dikehendaki oleh Gedung Putih. Punya akses penuh terhadap militer AS. Juga punya teknologi canggih. William Pickering ini adalah direktur dari NRO. Nggak ada sesuatu pun yang nggak diketahuinya di dunia ini. Kalo ada yang dia nggak tau, berarti sesuatu itu nggak ada. Dia punya kekuasaan memberi rekomendasi presiden negara mana yang berbahaya dan memulai perang. Pembawaannya tenang, dingin, keras, dan penuh perhitungan. Michael Caine cocok deh jadi Pickering. Pengalamannya main di Kingsman dan juga jadi ketua mata-mata partikelir bakalan nolong banget. Sorot matanya pun tajam penuh emosi. Pas untuk seseorang yang punya kekuasaan setinggi direktur NRO.

Demikian menurut gue. Untuk yang udah pernah baca bukunya mungkin ada yang nggak setuju. Sok atuh, komen di kolom komentar. Mana tau ada yang lebih cocok.

Buat yang belom baca, gue sangat merekomendasikan novel sains fiksi ini. Nama Dan Brown adalah jaminan bahwa kita bakal menemukan kejutan-kejutan di dalamnya. Selamat membaca =)
Share:

Monday, 7 December 2015

Ngetes Ilmu di Liga Blogger Indonesia 2016

Tidak sekali dua kali gue nulis tentang ini, tentang alasan gue mengikuti perlombaan atau suatu event yang berhubungan dengan blogging. Sekarang lebih khusus lagi, gue bakal nulis kenapa gue ikutan, katakan lah sebuah kompetisi, yaitu Liga Blogger Indonesia Musim ke-4/2016.

Mungki alasan-alasan umum seperti untuk menambah teman, memperluas wawasan, dan, syukur-syukur dapet followers barang selusin-dua lusin. Oke, itu emang ada dalam list. Tapi bukan itu sekarang yang utama buat gue. Gue merasa udah waktunya bagi gue mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari kegiatan blogging gue. Bukan cuma alasan-alasan umum tadi.

Begini, gue ngeblog tentu nggak sembarangan nulis. Dan gue yakin semua blogger waras yang sedang tidak berada di bawah pengaruh alkohol dan acungan senjata juga pasti demikian. Dalam ngeblog, gue memerlukan semua sumber daya yang dalam diri gue. Banyak yang bilang gue berbakat dalam menulis. Nah, bakat lah sumber daya utamanya. Tapi gimana gue bisa yakin bahwa gue benar-benar punya bakat dan minat dalam menulis? Ya salah satu caranya adalah mengetahui pendapat para ahli dibidangnya. Karena gue menulis lewat platform blog, secara otomatis gue butuh tau gimana pendapat dan pandangan blogger lain tentang tulisan gue.

Ikutan Liga Blogger Indonesia 2016 juga sebagai pengukur kemampuan gue dalam mengelola blog secara keseluruhan. Mulai dari kualitas tulisan, sampe penyajian konten berkualitas yang bisa menarik hati seseorang yang mulanya cuma iseng blogwalking, jadi ikutan komentar. Gue mau tau sampe sejauh mana gue bisa bersaing dengan blogger-blogger yang udah pengalaman maupun yang masih baru. Sederhananya sih, ini bisa jadi ajang ngetes ilmu buat gue. Sebanyak apa ilmu yang gue dapet dan mengkorelasikannya ke dalam tulisan.

Kalo udah dapet pendapat, kritik, dan saran lalu kemudian gue tau sejauh mana gue bis bertahan di Liga Blogger Indonesia 2016, gue berharap semoga diri gue terpacu untuk bikin karya yang lebih positif lagi. Lebih rajin lagi nonton film supaya bisa nulis lebih banyak dan lebih informatif tentang film. Semoga gue istiqomah. Amin. *benerin sorban*

Karena ini kompetisi dan ada juaranya, pasti semua pesertanya terbesit hadiah dalam pikiran. Gue realistis aja, dengan kemampuan gue sekarang mungkin cuma bisa lolos babak kualifikasi adalah target paling measurable. Tapi namanya rejeki, siapa yang tau? Kalo boleh berandai-andai dan tarolah gue dalam pengandaian itu gue yang juara di kompetisi ini, makan gue mau hadiahnya tiket nonton di Blitz dengan velvet class buat dua orang. Biar kata movie goers gini gue belom pernah loh nonton di Blitz velvet class. Sedih.

Gue punya kritik dan saran buat penyelenggara Liga Blogger Indonesia 2016. Gue menyoroti khusus untuk sistem pemberian poin dalam kompetisi ini. Berikut gue copas ketentuan pemberian poinnya:

POIN :
  • Mengerjakan Postingan Tema = 1 poin
  • Mengerjakan Postingan Tema dengan durasi waktu tepat = 1 poin.
  • Bila tidak sesuai waktu, tidak masalah. Poin diberikan = 0 poin.
  • Postingan BEBAS maksimal 2 Posting. Total Poin = 1 poin.
  • Mengerjakan Posting Bebas hanya 1 posting, tidak dapat poin alias = 0 poin.
  • Mendapatkan komentar minimal 5 komentar, mendapat poin = 1 poin. Dan kelipatannya seterusnya. *menyesuaikan jumlah peserta tiap grup.
  • Poin KOMENTAR hanya berlaku buat POSTINGAN TEMA.
  • Postingan yang tidak terdapftar di FORM, maka tidak dapat poin sama sekali. LBI mengecek dari sana.

Nah semuanya bersifat ‘fisik’. Gue tidak menemukan pemberian poin berdasarkan hal teknis atau kualitas sebuah postingan. Misalnya seperti kerapihan, ketepatan penggunaan tanda baca, tingkat ke-typo-an, atau kalo mau bisa sampe ke bobot isi tulisannya. Kalo ada poin-poin tersebut gue yakin para peserta publish tulisannya bukan karena hanya memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Gitu aja sih kritik dan sarannya. =)


Share:

Tuesday, 1 December 2015

Film-film Tentang Lingkungan Hidup

Isu lingkungan nggak bakal pernah habis untuk dibahas. Selama manusia masih punya akal untuk memproduksi, dan bumi masih punya udara, sebab-akibat hubungan manusia dan lingkungan akan terus ada.
Beberapa bulan lalu gue sedih dengan keteledoran manusia yang menyebabkan kebakaran hutan di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan. Dampaknya gila-gilaan, bahkan sampe ke luar negeri.

Yang terbaru, adalah gonjang-ganjing taman bunga amaryllis di Jogja yang secara semena-mena diinjek-injek demi sebuah definisi baru soal prestis bernama selfie.

Kenapa manusia merusak alam? Karena butuh. Untuk kasus yang bunga amaryllis mungkin hanya menimbulkan sebuah goncangan sosial bagi pelaku, maupun mereka-mereka yang mengutuknya di dunia maya. Tapi coba bayangkan di kasus kebakaran hutan. Dampaknya udah ke ranah fisik. Dalam jangka panjang, mungkin berakibat kepunahan bagi golongan dan kelas tertentu dari makhluk hidup. Bisa tanaman, binatang, atau bahkan manusia itu sendiri.

Ada tiga film yang selalu terbayang di otak gue kalo denger atau liat kerusakan alam. Film-film ini memberi gambaran masa depan gimana kalo bumi udah rusak parah. Gue suka film-film ini karena nggak secara gamblang menyebutkan bahwa apa yang terjadi di dalam cerita adalah akibat ulah manusia. Berikut filmnya:

1. Waterworld Kevin Costner bermutasi hingga memiliki ingsan dan punya selaput di sela jari-jari kaki dan tangannya kayak katak. Doi bermutasi karena lingkungan. Dia menjadi pengembara di dunia yang sepenuhnya ditutupi lautan. Ya seluruhnya lautan. Karena di sini diceritakan es kutub mencair seluruhnya. Ilustrasi ironis di film ini adalah, ketika sebatang pohon dan segenggam tanah kering setara harganya dengan nyawa orang. Waterworld adalah film sains fiksi tahun 1995. Sineas tahun segitu udah punya kegelisahan akan nasib bumi. Kita yang berjarak 20 tahun dari Waterworld, di mana ozon atmosfer kutub bumi bolongnya makin lebar, mestinya lebih khawatir lagi.

2. Mad Max: Fury Road
Sebetulnya film Mad Max udah ada dari tahun 1979. Tapi gue nggak ngikutin. Baru nonton ya versi yang terbaru ini, tahun 2015. Pemainnya masih sodara satu spesies sama gue, Tom Hardy. Film ini emang isinya hampir full action. Tapi kalo diamati secara seksama, pesan kerusakan lingkungannya sangat kental. Di sini diceritakan seluruh dunia berupa padang pasir yang luas. Semuanya akibat sebuah ledakan nuklir dahsyat (nggak diceritakan apakah karena perang, atau uji coba). Manusia-manusia banyak yang mengalami mutasi gen dan fisik. Penyakit-penyakit nggak bisa sembuh. Kalo ada manusia yang selamat dan masih normal, maka pilihannya cuma dua. Kalo perempuan, maka mereka dikurung dan dijadikan indukan supaya bisa melahirkan manusia yang normal. Kalau laki-laki, maka dia dijadikan ‘kantong darah’ berjalan bagi mereka yang sudah terkena radiasi. Ada adegan di mana si Tom Hardy cs melewati rawa-rawa berair asam. Belakangan baru diketahui bahwa rawa itu dulunya hutan yang lebat, dan ada sungai yang mengalir. Sedih hati Hayati mendengarnya, bang.

3. The Day After Tomorrow  
Penggermar Jack Gyllenhaal mana suaranyaaaa???
Ini salah satu film favorit gue. Intinya jelas, bumi mengalami perubahan suhu yang ekstrem akibat dari melelehnya es di kutub. Film ini secara lebay, tapi masuk akal, mempertontonkan bagaimana jika lubang ozon makin gede akibat pemanasan global dari air conditioner (AC) sejuk yang kita nikmati. Bakal terjadi hujan es segede-gede bola bisbol. Gue suka adegan endingnya yang simbolik sekaligus ‘nakutin’ banget. Yaitu ketika dua orang astronot memandang bumi dari luar angkasa. Nggak ada lagi bumi yang indah dengan warna hijau, kuning, cokelat, dan dominan biru. Nggak keliatan lagi bentuk benua yang seperti sekarang kita ketahui. Semuanya putih. Bumi kembali ke zaman es.

Salut sama pembuat film-film tersebut. Tapi gue sih jujur, gue belom siap kalo-kalo aja kejadian di film-film di atas beneran keturutan di saaat gue masih hidup. Jangan. Gue masih punya mimpi main di kebun bunga belakang rumah bersama anak, istri, dan syukur, cucu-cucu gue.
Share: