Wednesday, 21 December 2016

Cara Supaya Travelling Menjadi Sarana Ampuh Untuk Move On

Suara motor bebek di depan kamar kontrakan itu segera menyadarkan Gofar untuk menyeka air matanya. Air mata duka sejak sejam lalu. Air mata menganak sungai sebagai akibat perihnya diputusin pacar di warung nasi padang. Tidak usah dijelaskan kenapa Gofar diputusin, karena terlalu rumit daripada rumus bikin roket atau senyawa apa yang telah membentuk Planet Pluto. Yang jelas ruginya jadi dobel. Pertama Gofar kehilangan pacar. Kedua Gofar harus membayari pacarnya, sekarang mantannya, yang kalap makan gulai kepala ikan kakap sampai dua ekor. Tega itu pacar.

Trek. Terdengar suara stop kontak motor pertanda mesin motor mati. Gofar terlambat sepersekian detik menyeka air matanya, karena pintu kontrakan yang dibayar secara patungan itu keburu dibuka. Masuk seorang cowok sebaya Gofar. Badannya besar, gemuk, sangat cocok menggendong ransel gunung yang nemplok di punggungnya. Tampilannya berantakan, mengesankan dia habis pulang dari berburu naga. Namanya Gofur.

“Lah, ngapa lu nangis? Jemuran nggak kering?”

“Putus.”

“Yaelah jemuran putus doang, timbang disambung doang.”

“BUKAN ITU, JURIG!”

“Oke. Santai. Jadi yang putus, apa? Gue baru balik dari gunung, nggak tau wajar apa nggak, yang pasti kecerdasan gue kayaknya masih ketinggalan di sono.”

Gofar menceritakan semuanya. Betapa nestapa menyerangnya. Betapa kehilangan pacar terasa dunia dikuasai Voldemort. Mengerikan. Gelap.

“Hmmm…ya udah. Kayaknya lu butuh jalan-jalan, deh. Traveling gitu.”

“Nolong emang? Dia bisa balik lagi ke gue?”

“Bisa iya. Bisa nggak. Seenggaknya perasaan lu enakan. Liat nih gue, jalan-jalan mulu dan nggak pernah tuh nagis karena cinta kayak elu.”

“Tapi kan elo jomblo terus.”

“….”

“….”

Hening.

“Hmmm…masa iya sih bisa gitu? Cuma jalan-jalan doang?” Gofar memecah diam di antara mereka.

“Bisa banget.”

“Gimana?”

“Gue mandi dulu.”

Sepuluh menit kemudian mereka sudah duduk di warung kopi depan kontrakan. Gofur pesan teh hangat, dan Gofar minum temulawak setelah diyakinkan bahwa warung tersebut tidak menjual baygon oplosan untuk ditenggak. Gofur mulai menjelaskan cara supaya travelling bisa menjadi obat mujarab untuk move on.

1. Pergi Sendirian

“Elo mandi apa nyabut singkong, cepet amat?”

“Yang penting basah.”

“Jadi gimana cara seperti yang elo bilang tadi?”

“Pertama. Elu pergi lah jalan-jalan sendirian. Kemana kek, nggak perlu jauh-jauh. Soalnya nih, kalo baru-baru putus semua makhluk bertulang belakang biasanya memasuki fase denial alias pengingkaran. Nggak terima kalo ternyata udah putus. Nah pas elu menyendiri, biasanya sisi kedewasaan itu muncul. Elu jadi ngerti kenapa elu diputusin. Elu jadi paham di mana kesalahan elu. Dalam kesendirian ada tantangan untuk sebuah pengauan kekurangan diri. Tempat dan orang baru bisa membantu lu memaafkan diri lu sendiri tanpa harus menyesal.”

“…”

“Weekend besok ke Monas, gih. Gue modalin tambang buat gantung diri.”

“Kampret!”

2. Pergi Bersama-sama
“Mpok, saya pesen kopi deh satu. Rada kentelan dikit!” Gofar memesan kopi untuk melawan kantuknya. “Terus yang kedua?”

“Pergi bareng. Rombongan. Sama siapa kek, kecuali sama mantan lu dan keluarga besarnya ya. Jangan. Bunuh diri itu mah. Kan sekarang banyak tuh yang buka open trip-open trip gitu. Ikut aja. Lu tau karena apa?”

“Karena harga cabe mahal?”

“Anying! Karena setelah melewati fase penyangkalan, elu bakal masuk ke fase kekosongan. Di mana semuanya nggak menarik bagi lu. Lu bakal banyak bengong kayak ayam kena tetelo. Nah di sini perlunya elu open minded. Most important, open your heart. Patah hati boleh. Sedih silahkan. Tapi melewatkan kesempatan jangan.”

“Melewatkan kesempatan?”

“Nih ya, dengerin gue Abdul Gofar bin Haji Sanusi. Waktu elu jalan-jalan nanti, bakal banyak cewek-cewek keren, cakep, lucu, walopun rada-rada dekil. Model pacar lu yang tempo hari mah di luaran sono aur-auran!” 


3. Face Your Ghost

“Fur, kira-kira berapa biji lagi nih tips dari lo. Kalo masih banyak gue bawa kasur ke mari ama obat nyamuk bakar.”

“Banyak sih. Tapi ini yang terakhir deh. Kesian yang ngarang ama yang nulis ini cerita kalo kepanjangan.”

“Oke. Apa yang terakhir?”

“Kalo lu udah dapet wawasan baru, kenalan baru, sukur-sukur gebetan baru, lu bakal masuk ke fase…apa ya? Pokoknya di mana lu ngerasa bahwa kisah cinta lu sama mantan lu adalah hal konyol. Bikin lu ketawa kalo inget-inget lagi. Coba tempat dan momen apa yang berkesan selama lu pacaran?”

“Di bioskop, cipokan.”

“Ah terlalu general. Jutaan pasangan di Uganda juga pernah melakukan itu. Yang lain. Piknik bareng ke mana gitu?”

“Oh, Pulau Tidung. Jadi waktu itu gue dan dia ke sana, kita lompat bareng dari jembatan cinta. Berpegangan tangan setelah sebelumnya berikrar. Begini bunyinya…”

“Stop. Jangan diterusin atau seseorang bakalan muntah darah. Intinya gue udah nangkep. Nah, setelah putus coba lu kunjungin lagi tempat itu.”

“Atuh makin susah dong move on.”


“Makanya jalanin dulu step 1 sama 2. Step terakhir ini untuk menguji seteguh apa dan sepenting apa dia di hati lu. Di situ bakal berasa, lu harus berjuang lagi dapetin dia atau udah lepas sama sekali. Face your ghost. Rasanya mungkin menakutkan. Tapi lu inget konsep Bob Kane, si pengarang Batman. Kenapa si Bruce Wayne memilih kelelawar daripada ikan julung-julung buat jadi simbol alter egonya? Karena dia takut sama kelelawar. Dia nggak mau kalah sama rasa takutnya. Face his own ghost, it healing. Berlaku juga buat kenangan. Takdir kenangan indah cuma dua. Diperjuangkan kalo mau terulang, dan dibunuh kalo mau dihilangkan. Face it. Don’t quit.”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gofar membuka matanya. Matahari sabtu pagi bersinar lembut. Tidak ada lagi ringtone khusus ponsel tanda pesan masuk yang mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan untuk segera mandi lalu sarapan. Gofar membangunkan Gofur di kasur atas.

“Nyet, bangun. Aterin gue, yok!”

“Keparat banget sih lu, pagi-pagi. Anterin ke mana?”

“Toko outdoor. Gue mau beli ransel, gue mau naik gunung.”

Gofur tersenyum. Dia tau maksud sahabatnya.

“Yuk, gue bedakan ama bentuk alis dulu, ya.”

“Bangsat…” 
==========================================================================
Tulisan ini adalah proyek menulis bersama @benbenavita, @andhikaMPPP dan @wandasyafii. Jadi temanya adalah "cara". Berikut tulisan kece karya mereka yang lain:

Selamat membaca. Ohiya, Mas Andhika harusnya ada tulisannya. Mengingat beliau sibuk jadi timses cagub nomor 16, jadi tulisannya akan dipublish kemudian. Tunggu saja. Waspadalah! Happy Reading! Jangan lupa teloletnya ya... =)
Share:

Tuesday, 29 November 2016

Da Lat, Kota Kembang Dari Vietnam

Selamat Datang di Da Lat
Ketika Mbak Tika, travelmate saya yang menggagas perjalanan ini, menyisipkan Da Lat sebagai salah satu kota tujuan, saya sedikit heran. Bagi saya kota itu tidak begitu familiar. Saya hanya mengenal Da Lat justru lewat pelajaran sejarah. Dahulu menjelang kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta diundang oleh Jepang ke kota ini untuk berunding. Dalam benak saya, kunjungan saya ke Da Lat akan banyak diwarnai oleh wisata throwback time yang penuh dengan museum atau narasi sejarah. Sepertinya Da Lat adalah kota yang pernah terlibat serius dalam kecamuk Perang Dunia II di wilayah Asia Pasifik.

Mbak Tika memberi sedikit gambaran yang justru bertentangan dengan bayangan saya. “Da Lat itu sejuk, dataran tinggi. Banyak bunga-bunga, ya Bandungnya Vietnam lah.” Begitu katanya. Saya dan kelima teman saya berangkat ke Da Lat dari Mui Ne. Jam 8 pagi kami sudah dijemput bus tiga per delapan kapasitas 20-30 orang. Kabarnya perjalanan ke Da Lat butuh 5 jam, dan kami cukup kecewa karena busnya buka sleeper bus seperti yang mengangkut kami dari Ho Chi Minh ke Mui Ne. 
Bunga di tepi jalan. Di tepi Danau Da Lat
Setelah melewati pemandangan padang pasir Red Sand Dunne dan White Sand Dunne, bus mulai memasuki jalan kecil dan rusak. Di kanan kiri hanya ada tanah lapang yang tandus dan sesekali direcoki oleh kebun buah naga. Jalan rusaknya bukan main. Lubangnya besar-besar. Permukaan aspalnya bumpy. Ditambah cara mengemudi supir yang sama sekali tidak membantu menenangkan penumpang . Turis Inggris cewek pengagum Wayne Rooney yang duduk di depan saya berkali-kali mengumpat. Beberapa penumpang lokal terlihat tertawa, nampaknya sudah biasa dengan kegaduhan semacam itu. Saya jadi mengerti kenapa Mui Ne-Da Lat ditiadakan sleeper bus. Sangat beresiko bagi keamanan tempurung kepala.

Tanda sudah sampai di Da Lat adalah ketika bus memasuki jalan menanjak bukit dengan hutan pinus yang lebat. Mbak Tika benar, seperti Ciwidey di Bandung Selatan. Kami tiba di Da Lat. Bayangan puing-puing dan desing mesiu perang seketika terlupakan dari benak saya. Di tiap persimpangan jalan ditanami bunga dengan warna yang bhineka. Bangunan dan rumah-rumah penduduk bergaya Prancis dengan pot-pot berisi kembang menggantung. Saya seperti anak TK yang baru pergi study tour, duduk melongo di tepi jendela bus dan memandang keluar.

Saya turun tepat di depan Backpacker Hostel. Sebuah penginapan yang memang sudah kami spot sebelumnya. Bayangkan dua kata ini, “backpacker”, dan “hostel”, paduan kata yang membuat nyaman dompet para pejalan. Dua kata itu identik dengan murah. Well, memang begitu adanya. Di sini biaya per malamnya dalah USD 7/orang. Kebetulan kami mendapat kamar doom untuk 6 orang. Pemiliknya sebuah keluarga bermarga Vu. Sangat ramah, informatif, jago Bahasa Inggris, dan sangat sabar. Untuk USD 7 semalam, kami mendapat kamar yang nyaman di lantai 3, wifi, dan sarapan. Dan the best part-nya adalah, kami mendapat free dinner bersama keluarga mereka dan semua tamu yang menginap diundang. Jadi malam itu saya dan teman-teman makan bersama backpacker lain dari Inggris, Wales, Skotlandia, Belanda, dan beberapa dari Singapura. Semua masakannya dimasak oleh keluarga ini. Pemiliknya sangat pandai memasak. Sarapan kami yang berupa roti prancis dengan scrambled egg pun dibuat oleh tangannya. Jika bingung menemukan hostel ini, coba berpatokan pada hotel bintang lima bernama “Da Lat Palace”, letak hostel milik keluarga Vu ini tepat di belakangnya. Atau kalau memang penampilan kita seperti backpacker dengan tas ransel besar dan baju agak kumal, biasanya kondektur bus sudah aka otomatis menurunkan kita di depan hostel ini. Mereka sudah paham. Jadi jangan khawatir. 

Kalau butuh penginapan di Da Lat, cari saja fasade ini

Lobby Backpacker Hostel. Kami diberitahu, bahwa kami adalah turis Indonesia ke tiga yang menginap di sini

Mr. Vu sedang membuatkan scrambled egg untuk menu sarapan kami.
Da Lat adalah kota yang memang didesain untuk pariwisata. Ingin rasanya meminta maaf ke kota ini karena sempat suudzon bahwa kota ini berupa ‘sisa’ perang. Da Lat jauh lebih santai di banding Ho Chi Minh City. Saya tidak perlu khawatir terserempet pengendara motor ugal-ugalan. Danau Da Lat menjadi urat nadi rileksasi bagi siapa saja yang berkunjung ke kota kembang ini. Banyak pedagang pizza Da Lat, makanan yang secara teknis memang pizza. Hanya saja topingnya telor, bumbu, dan sayuran. Betul, lebih ke martabak telor sebenarnya. Ada juga delman yang siap mengantar berkeliling danau. Kami rencananya ingin mencoba, tapi begitu tawar menawar harga mentok di angka VND 600.000. Gak! Makasih! 
Di Museum Kereta Apinya Da Lat. Saya Ranger merah!

Da Lat traditional market. Bunderannya penuh bunga-bunga, kayak hati abang liat Neng bahagia dengannya.
Da Lat juga begitu relijius namun tetap penuh toleransi. Saya menjumpai banyak kuil dengan pagoda, namun di tengah kotanya berdiri megah sebuah katedral. Katedral dengan fasade beraksen bata itu buka hingga sore. Di sebelahnya ada altar khusus untuk memanjatkan doa di depan patung Bunda Maria. Nampaknya sosok suci dalam agama kristiani ini memiliki posisi khusus di Vietnam. Di Katedral Ho Chi Minh City juga ada katedral dengan patung Maria besar di depannya. 
Mother Marry comes to me speaking words of wisdom...let it be...let it be...
Soal alam dan landscape, Da Lat juga masuk dalam kategori paripurna. Selain memang memiliki view pegunungan dan hutan pinus, Da Lat memiliki dua air terjun termasyhur. Yang pertama adalah Pongour Waterfall, terletak di tengah perkebunan kopi. Air terjun ini berbentuk memanjang dengan beberapa tingkatan. Air terjun itu bermuara di sebuah telaga dengan air sangat bening. Sayangnya tidak boleh mandi karena pernah terjadi kecelakaan. Kepingin sih nekat nyemplung, tapi mengingat ini di negeri orang, bisa berabe kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 
Bawaannya pengen pake boxer trus nyemplung
Yang kedua adalah Elephant Waterfall. Konon katanya air terjun ini terbuat karena para gajah di hutan membendung sungai untuk membantu mengairi pertanian warga. Sayangnya airnya tidak sebening di Pongour Waterfall. Jalan menuju ke sini juga terjal dan licin. 

Jadi inget tempat latihannya Naruto di Gunung Myoboku
 Untuk yang hobi ngopi, jangan pernah takut kehabisan tongkrongan di Da Lat. Café dan kedai kopi ada di mana-mana. Da Lat punya perkebunan kopi yang cukup luas. Lumbung kopinya Vietnam. Kopi luwak cuma ada di Indonesia? Vietnam juga punya. Ada sebuah tempat ngopi (duh, saya lupa namanya) yang tempatnya tepat di atas kebun kopi.
Anak muda Vietnam kalo ngopi di atas kebonnya langsung
Tetapi tur saya di Da Lat yang paling berkesan adalah ketika mengunjungi Chicken Village. Sebuah kampung dengan monument ayam raksasa. Suku yang mendiami kampung itu bernama Pho. Suku Pho ini suku asli Vietnam satu-satunya yang tidak bisa berbahasa Vietnam. Akibatnya mereka memiliki sejarah kelam berupa pengasingan dan perang saudara. Mereka mencari uang lewat bertani dan menenun kain. Mostly, turis senang kalau ke sini karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bahasa Inggris mereka bahkan jauh lebih bagus dari saya dan teman-teman. Mereka pun sangat ramah, garis muka mereka tidak seperti penduduk Vietnam lain yang umumnya keras. 
Penjual kain tenun suku Pho dengan senyumnya yang manis
Dua hari rasanya kurang di Da Lat. Kamera rasanya selalu saja kekurangan memori untuk mengabadikan momen dan ruang di kota ini. Walaupun cukup menyebalkan juga karena Instagram tidak bisa diakses di sini. Jadi buat yang eksis lewat medsos berbasis foto ini, tahan ya hasratnya. =( 
Kaktus yang di jual di Da Lat. Bentuknya kayak meriam gitu, ya. Ngilu nggak?





Share:

Saturday, 19 November 2016

Tutur Tentang Guntur

Setelah makan tahu sumedang yang dijajakan dalam bus jurusan Jakarta-Garut selepas keluar tol Cileunyi, saya dan kawan mendaki, Bhakti, tertidur pulas. Kami duduk di paling belakang bus bertarif 55.000 Rupiah untuk sekali jalan itu. Ada baiknya untuk tidak tidur terlalu lelap. Atau akan bernasib lumayan apes seperti kami.

Kondektur sampai harus membangunkan kami ketika sampai di Terminal Guntur, Garut. Saya terbangun dengan setengah kesadaran, perlu beberapa detik untuk indera saya meraba di mana saya. Udara dingin yang sangat berbeda dengan Jakarta membuat saya terlonjak. Dan lebih terkejut lagi ketika menyadari mesin bus sudah mati, menandakan kami sudah sampai di terminal. Tempat yang seharusnya kami tidak singgahi.

Seharusnya saya dan Bhakti turun di pom bensin Tanjung. Tepat di sebelah gapura menuju basecamp gunung tujuan kami, Gunung Guntur. Dari situ seharusnya hanya tinggal naik ojek dengan ongkos 15.000 Rupiah. Dan kenyataannya kami malah lewat lumayan jauh. Wich is mau tidak mau kami harus naik ojek dari Terminal Guntur ke basecamp dengan biaya 50.000 Rupiah. Terasa sekali marginnya. Sebetulnya bisa naik angkot, tapi saat itu tengah malam menuju dini hari, hanya sopir angkot yang sedang dalam semangat mencicil rumah di Pondok Indah yang masih beroperasi.

Sampai di basecamp, kami repacking logistik dan beristirahat. Menjelang pagi saya baru sadar batere kamera hampir habis. Seharusnya kamera itu diisi dayanya di kosan. Tapi karena di malam sebelum keberangkatan pulsa listrik kosan saya habis dan semua konter yang menjual pulsa tutup, maka kamera itu urung di-charge. Bhakti tertawa geli dengan kebodohan saya. Dia mengingatkan karena sekarang sudah zamannya orang jual pulsa online. Bahkan sudah ada sistem bayar listrik PLN Online. Tidak perlu repot-repot ke konter atau mini market, karena bisa diakses melalui Tokopedia. 

Ramainya pendaki menuju Gunung Guntur. Kamu kapan menuju hatiku?

Jadi pagi itu kami memulai pendakian dengan batere kamera seadanya. Setelah mendaftar, kami membayar simaksi sebesar 20.000 Rupiah. Lumayan costly untuk ukuran perizinan sebuah gunung. Biarpun begitu, hari itu pendakian ramai sekali. Imbas mahalnya biaya masuk dan tetek bengek ke Gunung Papandayan membuat Gunung Guntur jadi primadona baru bagi pendaki yang ingin mendaki santai. Dengan ketinggian 2.249 meter di atas permukaan laut, sangat pas untuk yang ingin kemping di gunung dengan waktu trekking tidak begitu lama dan deviasi medan yang relatif bersahabat. 
Ini Bhakti. Cukup kamera saja yang kurang dicharge. Semangat narsis jangan.
Awal-awal jalur Gunung Guntur adalah daerah penambangan pasir dan batu. Jadi beberapa kali saya berpapasan dengan truk pengangkut pasir. Saya mengira jika sudah memasuki hutan, jalur berbatu juga akan habis. Ternyata tidak, Gunung Guntur hampir seratus persen terdiri dari bebatuan dan pasir. Jalurnya juga gersang, terutama sehabis pos satu menuju ke campsite.

Memutuskan untuk mendaki pagi-pagi adalah keputusan sedikit keliru. Karena saya sampai di pos 3, tempat yang dianjurkan untuk buka tenda, adalah menjelang tengah hari. Dan itu teriknya bukan main. Mendirikan tenda pun tidak semudah biasanya, karena konturnya bebatuan, saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menancapkan patok tenda. 

Maldini dan Pos 3 Gunung Guntur

Saran saya adalah, mendakilah menjelang sore. Supaya ketika buka tenda cuaca sedikit lebih teduh. Atau kalau memang ingin tetap mendaki pagi, jangan terlalu terburu-buru. Santai saja. Di sepanjang jalur ada beberapa bangunan gubuk tempat warga jual minuman, leyeh-leyeh cantik saja dulu di situ. Bisa minum kopi, masak mie, atau bahkan tidur siang. Namun, jika sudah terlanjur naik pagi seperti saya, usahakan untuk mendapat kavling tenda dekat dengan shelter pos 3. Di sana banyak tumbuh pepohonan dan dekat dengan aliran sungai. Konsekuensinya, tempat ini selalu penuh. Silahkan bagaimana mengatur strategi untuk sampai di pos ini. Memerluka waktu kurang lebih 3 jam berjalan santai dari basecamp. 
Ketika tongsis ketinggalan....

Setelah pos 1, saya melihat ada dua jalur. Kiri, dan kanan. Pilih lah yang kiri, karena jalurnya konstan menanjak. Jalur kiri yang bersisian dengan sungai sangat menguras tenaga karena sangat curam tanjakkannya. Walaupun jalurnya lebih gersang, tapi jalur kanan ini pemandangannya indah. Apalagi kalau sedang cerah, sepanjang perjalanan kita akan ‘ditemani’ Gunung Cikuray dari kejauhan. Cikuray ini adalah gunung tertinggi di Garut, sangat anggun terlihat dari Guntur dengan gumpalan awan yang Seperti berbentuk mahkota di puncaknya. Di jalur ini hanya ada beberapa batang pohon cemara untuk istirahat dan berteduh. 
Cikuray. Si Penyemangat dalam pendakian saya.
Sayangnya, pagi hari ketika saya summit attack, cuaca full berkabut. Jadi di puncak tidak terlihat apa-apa. Jalur menuju puncak di dominasi oleh pasir dan bebatuan dengan struktur labil. Sangat disarankan untuk memakai sepatu yang mumpuni atau kaki akan lecet. Dan berhati-hatilah ketika turun, karena dalam pendakian ke gunung mana pun jalan turun selalu lebih sulit. 
Kabut. Maldini lelah...

Mendaki berdua ke Gunung Guntur cukup aman. Bahkan untu pendaki pemula seperti saya. Logistik yang saya dan Bhakti bawa pun sisa banyak. Yang penting adalah persiapan matang. Fisik tentu saja.

Demikian tutur saya tentang Guntur. Jika ada yang membaca catatan ini semoga bisa menjawab bagaimana cara ke Gunung Guntur. Mendakilah ke sana, teriknya membakar rindu. =) 





Share:

Tuesday, 18 October 2016

Kurang Piknik Itu Baik

Yang saya khawatirkan setelah traveling jadi bagian dari gaya hidup sekarang adalah adanya pengkotak-kotakkan golongan manusia menjadi, setidaknya, dua golongan. Yang pertama adalah yang sering sekali bepergian, berpelesir, berekreasi, bertetirah, atau apa pun namanya dan demi apa pun tujuannya ke suatu tempat. Umumnya mereka terlihat bahagia, penyuka tantangan, penuh sukacita, (merasa) berwawasan luas, mudah bergaul, dan pada intinya dunia adalah sahabat mereka. Yang kedua adalah mereka yang hidupnya berada di garis lurus pada alur rutinitas. Menggantungkan waktu istirahat saat akhir pecan, sambil menghitung hari menunggu tanggal gajian. Hidup golongan kedua ini dipandang membosankan bagi mereka yang berada di golongan pertama.

Karena umumnya mereka di kelompok kedua ini kaku, terlihat selalu serius, dan seolah dalam hidupnya sudah disediakan template standar untuk menjalani hari-harinya. Atau setelah jalan-jalan dengan biaya mahal ‘naik kelas’ menjadi kebutuhan primer (dan bukan tersier), golongan kedua ini sering diperolok dengan istilah, “kurang piknik”.

Dulu sih iya, saya termasuk yang geli kalau melihat ada teman yang belum pernah kemana-mana. Naik angkutan umum tidak bisa, diajak jalan-jalan susah, tapi giliran pekerjaan banyak mengeluh butuh refreshing. Adakalanya pula saya merasa bangga kalau ada orang yang bertanya, “wuih, next-nya jalan ke mana lagi, nih?”.

Lalu tibalah saya di titik ini. Antara periode September-Oktober saya tidak ngetrip atau naik gunung sama sekali. Kehabisan uang? Tidak juga, walaupun memang budget saya terbatas. Mungkin saya bukan traveler yang baik, atau saya sama sekali bukan traveler, ah you named it! Tapi suatu pagi di hari Sabtu, saya terbangun dengan segar sekali. Enteng. Plong. Tidak perlu berpikir untuk packing, memburu jadwal kereta, atau pinjam mountain gear ke sana ke mari. Saya menyeduh teh tanpa gula dan menonton koleksi film download-an dengan fasilitas internet kantor. Terus begitu seharian di kamar kontrakan saya yang kecil. Saya tidak kemana-mana, saya tidak piknik, tapi saya senang.

Beberapa trip di bulan-bulan sebelumnya dengan jarak yang dekat, membuat arti liburan dan rutinitas menjadi kabur. Saya menjadi kurang merindukan dinginnya udara gunung, atau tidak lagi merasakan degup jantung berdetak cepat karena antusias packing. Mendadak ngopi-ngopi di gunung dan bekerja mengolah jutaan angka di depan laptop terasa sama saja. Capek. Kelebihan piknik? Atau sesungguhnya saya saja yang memang tidak siap punya jiwa traveler? Bisa jadi keduanya benar.

Lalu setelah sebulan tidak kemana-mana, akhir pekan yang lalu saya akhirnya piknik juga. Kali ini sedikit mewah karena menginap di hotel. Ya namanya juga employee gathering yang difasilitasi kantor. Di situ saya pergi bersama-sama karyawan yang sebagian besar sudah berkeluarga. Mereka-mereka ini pasti hanya memiliki waktu yang amat sedikit untuk jalan-jalan. Hari itu saya senang. Bukan karena fasilitas jalan-jalan gratisnya, tapi karena saya merasakan antusias liburan sesungguhnya dari mereka.

Rasanya perasaan rindu akan jalan-jalan kembali bergairah ketika saya melihat keriangan dan binar mereka yang begitu bahagia melihat Kawah Putih atau hamparan kebun teh Ciwidey. Padahal, yang kemarin itu, adalah ketiga kalinya saya ke Kawah Putih dalam rentang waktu dua bulan. Diam-diam saya berharap semoga jika saya jalan-jalan lagi ‘hawa nafsu’ seperti itu tetap terjaga.

Bagi saya, masa-masa tertawa ke orang yang kurang piknik sudah berakhir. Saya memerlukan semangat seperti milik mereka. Dan saya tidak perlu khawatir menjadi manusia kurang piknik. Toh mereka yang mengklaim berkecukupan piknik itu pernah melahirkan generasi yang bikin gunung jadi kotor, dan terumbu karang rusak.

Ternyata, menurut saya loh ya, kurang piknik itu baik. Jadi, ke mana kita? =)
Share:

Wednesday, 12 October 2016

Video Treking di Gunung Guntur

Alhamdulillah, akhirnya bisa juga bikin video waktu naik gunung. Walaupun hasilnya belum semaksimal yang diharapkan karena saya pun masih belajar pakai aplikasi edit video dan tata cara pengambilan video yang sesuai kaidah para Youtuber termasyhur.
 

Catatan perjalanannya menyusul =)




Share:

Friday, 23 September 2016

Hammocking Ria di Pulau Tangkil

Niat untuk eksplore Lampung yang sedari malam yang saya dan Renky pupuk pupus begitu kami bangun di Palapa Guest House. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas pagi watu Lampung. Sudah sangat kesiangan jika mau menjelajahi provinsi paling selatan Sumatera ini hingga ke pelosoknya. Misinya sih kami ingin menemukan pantai dengan pemandangan yang outstanding tapi masih sepi. Bisa berenang dengan di air bening dan hammockan, sudah lebih dari cukup buat kami.

Kesiangan hari itu tidak bisa dipisahkan karena kami kelelahan setelah hari sebelumnya bercanda seharian dengan gajah di Way Kambas. Sudah begitu kami harus menempuh perjalanan menuju Bandar Lampung selama 4 jam dengan keadaan jalan minim penerangan dan rusak parah. Keberanian kami menerobos jalan lintas Sumatera malam patut mendapat penghargaan setingkat Kalpataru. Beruntung kami menemukan penginapan sekelas Palapa Guest House. Ya walaupun tidak sesejuk hotel-hotel di Lembang, tapi mampu menyerap lelah kami tanpa batas. Begitulah alasan permisif yang membuat kami kesiangan.

Tapi karena saat itu hari terakhir dari libur panjang lebaran, Renky masih mengusahakan supaya kita bisa piknik ke pantai. Lampung kan terkenal dengan pesisir pantainya yang punya padanan sempurna antara pasir putihnya, lembut ombaknya, dan langit birunya. Setelah check out, kami bertanya ke resepsionis daftar tempat wisata (terutama pantai) yang berjarak tidak terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dan kami di sarankan untuk ke Pantai Mutun. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Bandar Lampung dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan berkendara. Tepatnya berada di daerah Pesawaran, agak sedikit keluar dari Bandar Lampung.

Setibanya di Pantai Mutun, di sana sudah ramai dengan pengunjung. Kami maklum, namanya juga pantai dekat dengan kota, dan akhir liburan pula, pasti ramai. Saya dan Renky nyaris kehilangan minat dengan ramainya situasi. Sebelum ada seorang bapak yang menawari kami perahu untuk menyebrang ke Pulau Tangkil. Kami kembali antusias karena kabarnya di Pulau Tangkil suasananya lebih enak. Seperti apa enaknya? Nah itu yang bikin saya penasaran. Tapi harga perahu yang ditawarkan lumayan mahal. Kami mencari tukang perahu yang lain dan akhirnya deal dengan angka enam puluh ribu Rupiah bolak-balik. Jauh lebih murah dibanding bapak pertama yang offering di angka seratus ribu. THR sudah kering, bos!

Pantai Mutun-Pulau Tangkil tidak terlalu jauh. Kurang dari sepuluh menit ditempuh dengan perahu motor biasa. Saya cukup pede kalau dimodalin fin dan snorkel, saya bisa menyebrang dengan berenang. Dan setelah sampai di Pulau Tangkil, kami mendapati suasana yang tidak jauh berbeda dengan di Pantai Mutun. Ramai. Puluhan perahu berjejer, dan ratusan orang berenang bermain ombak kecil di bibir pantai. 
Masha Allah otot bisepnya....

Untungnya kami tidak menyerah. Kami berjalan menyusuri tepian pulau. Kadang kami harus berjalan melipir di antara tebing karang. Kami melihat sesuatu di sisi yang lain Pulau Tangkil. Ternyata ada sebuah benda mirip tiang gawang sepak bola kecil di tempat yang agak ke tengah dari tepi pantai. Kami ingat, ini seperti tiang ayunan yang ada di Gili Trawangan, Lombok. Tempat wajib berfoto semua wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan. Bedanya tiang ayunan ini tidak ada ayunannya. Lah? Iya, ayunannya putus dan entah kemana. Tapi spot tersebut cukup sepi. 
Easy man!

Renky pun mendapat ide. Mumpung bawa hammock dan kami tidak menemukan dua pohon sejajar untuk membuka hammock, dia berinisiatif mengikat hammocknya di antara dua tiang ayunan tersebut. Kami pun dengan sedikit nekat berjalan agak ke tengah untuk mewujudkan cita-cita di akhir libur lebaran itu. Dan berhasil! Tak ayal dua orang anak Pulau Jawa norak ini kalap berfoto-foto. Tidak lagi memedulikan pandangan aneh orang-orang yang kebetulan lewat.
Cuma kurang dinina boboin doang nih sama kamu

Lagi ngisi TTS

Baaaa....

Ah, tidak perlu jauh-jauh ke Gili Trawangan untuk berfoto dengan tema ayunan. Kami telah memodifikasinya menjadi hammock-an. Karena ayunan sudah terlalu mainstream. Karena hammockan di pohon sudah tidak lagi ekstrem. D

Duh, kalimat penutup di atas gagal. Itu biar rhyming saja sih sebetulnya. Yuk lah kita hammock-an saja.
Tiada yang mustahil. Yuk ke Pulau Tangkil! *cakep!*

Share:

Wednesday, 14 September 2016

Gagah Gajah di Way Kambas

Pertama kali ‘bertemu’ gajah adalah ketika saya kecil. Saat ayah saya secara rutin membelikan majalah Bobo. Rubrik yang pertama saya buka adalah cerita fabel bergambar dengan tokoh utama Bona, gajah kecil berwarna pink dengan belalai panjang. Ayah saya mungkin tahu saya memiliki ketertarikan dengan binatang ini, nah pas ulang tahun saya (lupa yang keberapa) beliau memberi hadiah berupa perayaan di Kebun Binatang Ragunan. Bayangan gajah imut berwarna cinta hilang begitu saya diajak naik ke punggung hewan besar itu. Saya nangis, minta turun. Saya berharap itu adalah kontak terakhir saya dengan gajah.

Beberapa puluh tahun kemudian hari itu tiba. Saya ingat saat itu adalah minggu terakhir libur lebaran di tahun 2016. Teman SMA saya, Renky, mengajak saya untuk eksplor Lampung. Naik motor. Dan tujuan pertama adalah ke Way Kambas.

“Liat gajah, dong?”

“Ya iya lah, masa liat siluman garpu siomay.”

Saya berpikir sebentar, mengingat waktu libur yang hampir habis dan gajah yang dulu sempat membuat saya nangis heboh. Ya walaupun sebetulnya saya sih yang penakut. Tapi tujuannya adalah Way Kambas, sebuah daerah yang waktu jaman saya SD saya kira adalah tempat fiktif. Karena Way Kambas ini sering jadi bahan bercandaan teman saya, “Gue tendang lo sampe Way Kambas!”. Begitu. Jadi dulu, saya kira Way Kambas hanya sebuah istilah untuk menggambarkan betapa jauhnya suatu tempat. Jadi ketika ada tawaran untunk mengunjunginya, baiklah saya terima.

Menuju Way Kambas gampang-gampang susah. Gampang karena taman nasional ini terekam jelas jejaknya oleh Google Maps. Susah karena jauh. Ralat. Susah sekali karena jauh dan tidak ada angkutan umum yang secara langsung menuju ke Way Kambas. Jadi setelah dua jam menyebrang dari Merak ke Bakaheuni, saya dan Renky harus menyusuri jalan pantai timur Sumatera selama kurang lebih empat jam. Jalannya banyak berlubang, minim fasilitas publik (kecuali pom bensin dan beberapa minimarket, dan sebisa mungkin menghindari jalan malam hari.

Sampai di Taman Nasional Way Kambas, sudah lewat tengah hari. Saya dan Renky tidak langsung istirahat, karena antusias ingin melihat gajah. Padahal baru beberapa saat yang lalu kami lolos dari trek jalan berkelok-kelok dan hutan rimba. Kami pun membeli tiket seharga lima ribu Rupiah per orang. 

First Check Point


Ternyata di dalam sudah ramai sekali. Mungkin karena hari itu adalah weekend terakhir di libur lebaran. Jadi banyak para pemudik dari Sumatera yang hendak menyebrang ke Jawa singgah dulu untuk berwisata ke Way Kambas. Dan, eh, ternyata ada wahana naik gajah seperti yang saya lakukan waktu ulang tahun dulu degan harga dua puluh ribu Rupiah sekali putaran. Bedanya, yang ini tidak ada pembatas sama sekali antara gajah dan penontonnya. Jadi kadang ada gajah yang keluar jalur dan menuju para pejalan kaki. Saya yang punya pengalaman pernah nangis di punggung gajah secara refleks menghindar dengan panik.

“Nggak usah lebay, itu ada pawangnya!” Renky mengingatkan.

Oke. Fine. Nyali saya baru sebatas ngobok-ngobok ikan mas koki.

Kami kemudian melihat atraksi gajah main bola. Siapa bilang gajah larinya pelan? Di sini saya sempat sok berani pegang-pegang gajah yang ukurannya paling kecil. Belum sempat pegang, itu gajah langsung mengejar. Larinya lumayan buat ukuran badan gajah. Itu gajah pasti sering nonton Messi. 
Messi membawa bola, dioper ke kanan, dioper ke kiri, tembak! Dannn....sayang sekali terbentur restu dan keadaan!


Kami ditawarkan bersafari masuk hutan dengan naik gajah selama setengah jam dengan harga seratus lima puluh ribu Rupiah per orang. Sayang uang THR saya saat itu sudah menguap tak bersisa, jadi kami urungkan niat bersafari tersebut. Padahal sangat menggoda. Sebagai gantinya, kami diizinkan untuk melihat gajah di kandangnya langsung. Hhhh…apa menariknya lihat gajah di kandangnya? 
Butuh waktu lama mengumpulkan nyali untuk foto seperti ini. Aku lemah.
Dan…ternyata yang dimaksud kandang itu adalah sebuah tanah yang sangat luas. Sebuah padang rumput tanpa batas sejauh kemampuan mata memandang. Di atas hamparan hijau itu ada puluhan gajah yang sedang memamah biak, dan mencari makan. Woa! Mirip di Afrika! Gajah yang masih menyusui sampai yang paling besar dan bergading paling bagus ada di sini. Tapi gading gajah di sini semuanya dipotong di bagian yang tajamnya, menghindari mereka saling bunuh karena berebut lahan atau betina. 
Gajah aja kubelai, gimana kamu.
Di sinilah sekolah gajah berpusat. Gajah-gajah yang ada di kandang ini adalah sisa-sisa dari sedikitnya gajah sumatera yang tersisa. Di alam bebas, gajah sumatera hanya tinggal sekitar dua ratus ekor. Sedih. Memang, jika melihat kemegahan gadingnya, tidak ada seorang pun yang bisa menolak keinginan untuk memilikinya. Selain tingkat nilai ekslusifitas dan ekonomisnya yang tinggi, nilai magis dan mistisnya pun sudah tersohor ke seluruh dunia. 
This in (not) Africa!
Gajah adalah hewan yang cerdas dan memiliki ingatan kuat. Misalnya saja jika seekor gajah selama bertahun-tahun diikat dengan rantai, lalu suatu hari rantai itu diganti dengan tali rapia, maka si gajah tidak akan berontak dan melarikan diri. Karena dalam ingatannya dia diikat oleh rantai yang kuat, buka tali. 
Karena ngangon kambing sudah teramat mainstream.
Ironisnya, setelah gajah-gajah dewasa, mereka tidak dilepas ke alam bebas. Sepertinya kejam. Tapi jika dilepas ke alam bebas, populasi mereka justru terancam. Hutan Sumatera semakin menipis, dan perburuan semakin gencar. Jadi tinggal di Way Kambas adalah pilihan terbaik bagi hewan ini. 
Sang gajah bakal pilih siapa?
Saya kembali ke ingatan saya ketika saya kecil dulu. Ayah saya memberikan hadiah saya berupa wahana naik gajah. Pertanyaan muncul, apakah nanti saya masih bisa mengajak anak saya untuk menaiki gajah? Bagaimana jika hewan luar biasa ini hanya bisa saya gambarkan melalui mitos dan dongeng kepada anak saya.

Di Ethipia Kuno gajah pernah jadi kendaraan pasukan tempur Raja Abrahah. Di Vietnam gajah dipercaya sebagai hewan yang membendung air terjun untuk mengairi kebun penduduk. Di mitologi Hindu gajah adalah manifestasi ilmu pengetahuan berwujud Ganesha. Sultan Iskandar Muda dari Aceh menghias gajah sumatera dengan emas dan berlian untuk menjamu tamu kerajaannya. Dari ukuran badan dan legenda, gajah begitu besar.

Semoga anak cucu saya masih bisa menyaksikan kebesarannya. 
"Abang ke warung bentar ya, Neng."



Share:

Wednesday, 31 August 2016

Sajak Gunung Patuha

Patuha.

Kukira hanya mitos setinggi 2.300 meter di atas garis batas samudera. Demikian adanya dengan rasa halus yang tertuju padamu. Kukira hanya khayal, dan bual yang membuat mual.

Menikmati udara dinginnya kisah dari selatan Bandung. Menyusuri pelan-pelan keindahan Kawah Putih. Lalu menjadi saksi kabut-kabut tipis datang dan pergi. Kurapatkan Jaketku. Dan kabut itu dengan dinginnya tetap menusuk indera. Patuha ternyata ada. Rindu padamu adalah nyata. Walaupun tipis, namun enggan terkikis. 


Kujemput Patuha setapak demi setapak. Batu, akar, duri, dan terjal kujadikan lawan. Kau tahu rasanya? Seperti ingin menjadi bagian dari setiap tawamu, di mana batu, akar, duri, dan terjal kujadikan kawan. Indahnya Kawah Putih kutinggalkan. Abainya dirimu kuabaikan. 


Patuha itu nyata. Ke sana aku menuju. Di Kawah Saat aku akan bernaung di dalam tenda. Kawah Saat adalah cekungan teramat dalam. Teramat dalam. Tiada padanan imbang selain rindu. Harus kupegang erat dasar logika agar tak hancur jadi debu. Namun harus kuyakinkan pula hati ini agar tak ragu menghadapi kabut tipis penghalang matahari yang kujadikan pandu. Kawah Saat menunggu. Terkirim sudah rindu dalam satuan ribu pasir di pantai. 



Langit biru, awan putih dan ranting kering menyambutku di Puncak Patuha. Patuha itu nyata. Yang ku lihat di sana menjadi candu. Dan kau masih diam dalam sendu. Lalu kuputuskan untuk tak lagi menunggu. Karena tidak seperti Patuha yang kasat waktu kusentuh, rinduku padamu utuh, namun balas rindumu tidak pernah jatuh. 


Kutinggalkan Patuha. Jauh. Dan berjanji suatu hari akan kembali. 



Kutinggalkan rinduku. Rapuh. Dan hilang nyali untuk kembali. 


Mungkin kau hanya berkenan kulihat senyummu dari bawah. 2.300 meter yang sepertinya sia-sia. Tapi bagiku lebih mulia cinta yang gugur karena bertepuk sebelah tangan. Daripada cinta yang tumbuh karena bergandengan dengan tangan yang salah. 


Aku sadar, aku tak mungkin mendapatkanmu, merengkuhmu…

Wahai…Chelsea Islan. 



Share:

Monday, 22 August 2016

Dieng Culture Festival, Budaya Lokal Reputasi Global

Entah apa perasaan driver sekaligus guide saya ketika sedang traveling ke Da Lat, Vietnam, jika tahu bahwa Indonesia memiliki ribuan suku bangsa, dengan budaya dan dialek bahasa yang jauh lebih banyak lagi. Dia dengan bangga menceritakan bahwa negara Yellow Star itu memiliki 12 suku bangsa utama dengan 512 dialek bahasa. Saya hanya mesem-mesem mendengar ceritanya, menceritakan tentang banyaknya suku bangsa Indonesia akan menghabiskan waktu kami yang hanya seharian itu. Tidak usah menceritakan seluruhnya, mungkin hanya suku-suku di Jawa saja saya memerlukan satu semester penuh untuk menguliahi guide saya itu.

Bicara soal budaya, saya memang agak terobsesi untuk traveling dengan tema tersebut. Jikapun harus naik gunung, atau snorkeling di laut, sebisa mungkin saya berbincang dengan penduduk setempat. Dieng Culture Festival yang saya kunjungi di awal bulan Agustus memiliki cerita tersendiri. Saya sudah lama mendengar tentang kemashyuran acara ini, dan beruntung tahun ini saya berkesempatan untuk melihatnya langsung.

Ada perasaan ragu pada awalnya karena saya memutuskan untuk ke Dieng Culture Festival tidak dengan travel agent, alias menyusun sendiri itinenary dan segala tetek bengeknya. Padahal sebagian besar pengunjung festival tersebut menggunakan jasa trip organizer. Jadilah saya menuju Dieng dengan cara mengeteng.

Pertama saya naik kereta jurusan Purwokerto. Sampai di Purwokerto, masih harus cari bus menuju Wonosobo. Selesai? Sedikit lagi. Masih harus sekali naik micro bus jurusan Wonosobo-Dieng. Voila, sampailah saya di Dieng, sebuah negeri di awan. Daerah yang diyakini menjadi tempat medan pertempuran antara Pandawa melawan Kurawa dalam cerita epos Baratayudha. Tidak heran banyak candi yang dinamakan dengan para tokoh Pandawa yang menjadi protagonis dalam cerita epik tersebut. Candi yang terlihat masih utuh adalah Candi Bima, Candi Gatotkaca, dan pusat dari Dieng Culture Festival, Candi Arjuna. 
Candi Gatotkaca


Perjalanan yang melelahkan tersebut terbayar oleh serangkaian acara di Dieng Culture Festival. Ada Jazz Atas Awan. Banyak musisi daerah tampil di panggung acara ini. Saya sangat menikmati alunan irama jazz sambil makan kentang rebus plus dibelai angin malam bersuhu 4 derajat celcius. Biar kedinginan, ketukan dan nada solmisasi dari atas panggung menyihir para penonton untuk ikut bernyanyi bahkan bergoyang. 
Jazz Berselimut Sarung
Malam berikutnya saya lalui dengan sangat romantis. Bukan, saya tidak ke acara ini bersama pacar atau pasangan. Namun suasana penerbangan ribuan lampion malam itu sungguh menghanyutkan. Apalagi ditimpali oleh suara merdu Anji eks-vokalis Drive yang bernyanyi penuh penghayatan. Menyaksikan ribuan lampion terbang, sambil duduk di rerumputan komplek Candi Arjuna, bersama para sahabat, dan hangatnya purwaceng kopi. Udara dingin menjadi sahabat saya. 
Lampion Siap Diterbangkan

Puncak acara yang paling saya tunggu adalah Upacara Pemotongan Rambut Gimbal. Dalam budaya Dieng, setiap anak pasti memiliki rambut gimbal yang harus dipotong ketika mereka menginjak umur tertentu. Jika tidak dipotong, maka anak itu diyakini akan selalu dihinggapi penyakit dan hal-hal buruk lainnya. Agar anak tersebut dengan sukarela mau dipotong rambutnya, keinginan sang anak tersebut harus dikabulkan. Tidak heran kalau sebelas anak yang rambut gimbalnya akan dicukur hari itu terlebih dahulu harus diseleksi dan di survey. Supaya tepat sasaran, anak yang dipilih adalah dari keluarga yang kurang mampu.

Ribuan orang baik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara menyaksikan acara tersebut. Ada juga bupati Banjarnegara dan Gubernur Jawa Tengah. Penonton sempat tergelak dengan keinginan-keinginan yang dilontarkan anak-anak berambut gimbal ini. Ada yang meminta sapi, sepeda motor kecil, kucing, boneka, sampai dua bidadari!
Ini Adalah Anak Yang Meminta Kucing


Acara yang dilakukan di Candi Arjuna itu berjalan lancar, dengan adat dan tradisi Jawa yang kental. Semua yang menyaksikan acara itu pasti sepakat, bahwa budaya yang dimiliki Indonesia sangat unik, namun memiliki makna yang universal. Terbukti dengan banyaknya pengunjung yang bukan hanya dari Indonesia. Dieng Culture Festival adalah, budaya Jawa yang dipersembahkan untuk dunia. Budaya lokal dengan reputasi global.
Komplek Candi Arjuna

Setelah Dieng, saya ingin melihat budaya di timur Indonesia. Kabarnya ada desa indah bernama Wae Rebo di tanah Flores. Desa dengan tujuh rumah unik berbentuk kerucut dengan ada istiadat yang sangat dijunjung tinggi. Saya harus sudah berburu tiket pesawat menuju Labuan Bajo dari sekarang karena rencananya perjalanan akan saya lakukan di awal tahun. Setelah saya searching di Airpaz, yang paling realistis memilih flight paling pagi milik Sriwijaya Air. Karena saya pernah terbang dengan Sriwijaya Air dan sangat memuaskan.


Tidak sabar rasanya memulai perjalanan ke sana. Seperti kata Soe Hok Gie ketika menjawab pertanyaan tentang seringnya beliau naik gunung, “Mencintai tanah air Indonesia bisa dilakukan dengan cara melihat kekayaan alam beserta rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung.” 
Matahari Terbit Dari Desa Sikunir, Dieng. Ini Indonesia!





http://blog.airpaz.com/id/


Share: