Thursday, 28 January 2016

Roti Buaya Pun Punya Cerita

Roti buaya. Sebuah kearifan lokal tersisa. Sebuah kekayaan kuliner yang lahir lewat pemikiran filosofis yang mendalam. Lebih jauh, dia menjadi identitas budaya bagi suku Betawi. Unik, dan enak.

Enak? Ya, itu yang gue kira pada awalnya. Tapi ternyata roti buaya itu nggak seenak yang gue kira. Setidaknya sebelum gue mendengar cerita bokap di suatu sore. Waktu itu adik gue akan menikah, melangkahi gue. Pedih. Tapi seneng. Waktu itu gue bertanya apakah nanti akan ada roti buaya di acara adik gue itu. Bokap bilang nggak usah. Selain bikinnya yang susah, bokap tidak yakin adik gue mau menyimpan roti itu sampai busuk.

Gue meyakinkan bokap bahwa gue siap melahap roti itu sampe abis, itung-itung pelampiasan gue yang dilangkah ini. Nah di sini lah kekeliruannya. Bokap mulai bercerita sedikit panjang lebar.

Roti buaya itu adalah sebuah simbol kesetiaan. Masyarakat Betawi percaya bahwa buaya adalah hewan yang hanya memiliki satu pasangan seumur hidupnya. Oleh sebab itu calon mempelai pria mempersembahkan roti buaya kepada calom mempelai wanitanya. Kenapa dalam bentuk roti? Sebab kalau dalam bentuk buaya betulan bakalan repot, mengingat lulusan sekolah pawang buaya masih sangat terbatas.

Dulu, jamannya bokap ngelamar nyokap, beliau juga bawain roti buaya. Tapi roti buaya jaman dulu berbeda dengan roti buaya jaman sekarang. Tahun 80-an, ketika bokap secara gentle ngajak nyokap ke pelaminan, roti buaya bentuknya tidak mirip-mirip amat dengan buaya. Hanya berbentuk balok panjang dan ada tambahan dua balok kecil di masing-masing sisinya sebagai kaki. Adonan rotinya pun keras, walaupun tidak sekeras semen putih. Tidak ada rasanya sama sekali.

Gue bilang ke bokap pasti roti itu nggak ada yang mau makan. Dan jawaban bokap cukup bikin gue terkejut. Ya sebetulnya roti buaya itu memang bukan untuk dimakan. Jadi roti buaya itu sengaja dibuat bantet, dan tampilannya kurang menarik. Setelah kedua mempelai sah sebagai suami-isteri, roti itu harus disimpan di atas lemari kamar pengantin. Di simpan sampai jamuran, berbelatung, dan hilang dengan sendirinya.

Awalnya gue jijik. Apa rasanya tidur bersama roti busuk berbelatung? Tapi akhirnya gue sadar, di situlah makna filosofisnya. Itu lah esensi dari simbol sebentuk roti buaya. Setia sampai mati. Hingga raga tak berbentuk.

Gue mnegingat-ingat lagi ke belakang. Gue pernah makan roti buaya di acara lamaran teman gue. Roti buayanya enak, adonannya pulen. Tampilannya pun menarik, mirip dengan buaya asli dengan duri-duri di kulitnya berwarna-warni. Para pengusaha roti buaya berlomba-lomba menemukan varian rasa baru. Mulai dari cokelat, hingga green tea yang kekinian. Siapa yang bisa menolak? Orang-orang memperebutkannya.

Masih adakah kesetiaan dalam roti buaya jaman sekarang?
Share:

Tuesday, 26 January 2016

Pasar Punya Cerita



Pasar di Jakarta mempunyai sejarah yang lumayan panjang dan unik. Tempat jual beli ini di Jakarta terkenal dengan nama-nama hari. Pasar Minggu, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jum’at adalah nama-nama yang paling terkenal.

Walaupun sekarang di daerah tersebut sudah tidak ada pasar lagi, tapi dulunya benar-benar ada pasar tradisional di sana. Jadi dulu VOC membolehkan para tuan tanah di Batavia untuk membuka pasar, tapi hanya di hari-hari tertentu saja. Tempatnya pun berjauhan. Ini sebagai implementasi politik devide at impera untuk menghindari berkumpulnya massa pada suatu titik di waktu yang bersamaan.

Dan sekarang, setelah ratusan tahun VOC minggat, pasar tradisional di Jakarta tidak lantas punah. Malah mungkin semakin banyak. Cek deh tiap pagi berangkat ke kantor atau sekolah apa yang bikin macet, salah satunya ya pasar tradisional ini.

Segmentasi pasarnya pun semakin banyak. Di Jakarta, untuk mencari barang tertentu ada pasar-pasar khusus. Untuk cari mainan anak, bisa ke Pasar Gembrong. Mau beli perlengkapan sekolah, ada Pasar Asemka. Butuh bunga untuk dekorasi hajatan, bisa ke Pasar Kembang Rawabelong. Beli bahan beratus-ratus meter? Banyak di Pasar Tanah Abang. Semuanya menawarkan barang dan jasa dengan konsep utama pasar tradisional, yaitu tersedianya fasilitas tawar menawar.

Kalo gue perkecil ruang lingkupnya di daerah gue, di Kalideres, nama-nama pasar tradisional lebih aneh lagi. Ada satu pasar yang dinamakan Pasar Nyamuk. Letaknya tepat di belakang Stasiun Kalideres. Katanya (karena gue memang belum menemukan sumber resmi) dinamakan demikian karena pasar ini berisik banget, kayak nyamuk. Entah apa konsep berisik menurut yang ngasih nama karena kalo sepi itu bukan pasar, tapi ruang ujian SPMB.

Ada juga pasar yang dinamakan menurut siapa yang punya tanah tempat pasar itu berdiri. Orang Betawi terkenal dengan kegemarannya menyimpan properti berupa tanah. Nah sebagian tanah tersebut ada yang mereka buka untuk dijadikan pasar. Jadi ada beberpa pasar yang bernama Pasar Haji Saleh, Pasar Haji Mas, Pasar Haji Niman, atau Pasar Haji Munap.

Pasar-pasar tersebut ada yang udah tergusur. Berganti jadi ruko, kontrakan, atau minimarket. Harga tanah yang terus naik membuat para tuan tanah Betawi tidak kuasa melawan godaan cek, giro, atau uang tunai dengan nilai fantastis para developer.

Ada juga pasar tradisional yang direvitalisasi. Dibikin bagus kayak pasar swalayan. Jadi lebih bersih, lebih tertata, namun tetap tidak kehilangan ciri tradisonalnya. Sekarang kalo ke tukang ikan di pasar bau amisnya sudah hampir hilang, karena sistem drainase dan pembuangannya bagus. Keren.

Jadi kangen masa-masa kecil gue dulu. Di mana nyokap selalu ngajak gue kalo ke pasar. Ngeliat nyokap dengan militan nawar daging, milih-milih seledri, menyeleksi tomat dan kentang, beli kue pancong, lalu pulangnya dengan berat hati beliin gue perahu-perahuan kaleng yang bahan bakarnya pakai lilin.

Semoga anak-anak gue nanti masih ngerasain belanja di pasar tradisional. Tidak ada tempat berniaga dengan jenis pasar persaingan sempurna sebaik pasar tradisional. Interaksi yang real antara penjual dan pembeli begitu intens. Pembeli senang, yang dagang pun senang. Tidak ada komunikasi kaku yang terbentuk karena harga tetap. Rumus Demand=Supply untuk mencari harga keseimbangan bisa diterapkan langsung di pasar tradisional.

Jadi gimana, cewek jomblo, ada yang masih mau belanja ke pasar sementara gue ke kantor untuk cari nafkah buat kalian? Eh, gimana….*ada Godzilla lewat*

Share:

Thursday, 21 January 2016

Ada Hewan di Sekitar Kita

Tempo hari sepupu gue yang masih SMP di suruh gurunya bikin karya tulis tentang binatang. Karena bingung, dia nanya ke gue. Gue jadi inget pernah punya karya tulis dengan tema serupa, udah dulu banget. Gue kasih aja karya gue ini ke si sepupu. For your information aja, gue kuliah di UFO (Universitas Fauna Owowowow). Jadi gue dapet tugas untuk mengulas tentang hewan berdasarkan fungsinya di berbagai bidang. Langsung aja baca BAB IV karya tulis gue tentang hewan ini. Buruan cari tempat remang-remang buat ngebacanya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Di bab ini penulis akan menjabarkan hasil penelitian tentang hewan setelah melakukan berbagai penelitian di berbagai tempat mulai dari sungai hingga kandang macan. Diperkuat juga dengan beberapa wawancara bersama kang ojek pangkalan, dan ibu-ibu Dharmawanita. Secara sadar, penulis membagi-bagi hewan berdasarkan fungsinya di berbagai bidang. Penjabarannya sebagai berikut:

1. Bidang Kuliner
Hewan di bidang ini didominasi oleh kelas unggas (Aves), dan memamahbiak (mamalia). Ayam, dan bebek adalah favorit untuk unggas. Sesekali nongkrong lah di daerah Tebet, di sana banyak restoran bebek, dan ayam yang enak. Sambel ijo, atau dipenyet, rasanya crispy campur spicy gitu. Belom makan, iler udah netes dua liter.

Kalo mau hewan memamahbiak, nggak jauh-jauh dari kambing dan sapi. Di depan Kampus UI Salemba ada sate padang enak banget. Lidah sapinya empuk, nggak bikin dagu keseleo pas ngunyah. Kalo kambing ya paling enak ditongseng. Tongseng ini biasanya dimana aja enak, apalagi kalo kolnya banyak dan bumbunya pekat.

Sebetulnya masih banyak hewan yang bisa berpartispasi untuk meramaikan khasanah bidang kuliner ini. Tapi karena jumlah sampel yang diwawancari penulis terbatas, jadi haya hewan-hewan di atas yang berkontribusi. Terima kasih ayam, terima kasih bebek, terima kasih kambing, dan sapi. Tanpa kalian, nafsu makan kami tak akan tersalurkan.

2. Bidang Hiburan Banyak juga hewan yang berperan dalam membuat dunia hiburan begitu berwarna. Band-band legenda semacam White Lion, dan Owl City namanya terinspirasi dari hewan. Dari dalam negeri ada Trio Macan, Duo Srigala, dan Tiga Kucing. Harimau, dan Serigala yang multitalent pun tidak mau kalah. Mereka punya kontribusi besar dalam sinetron Tujuh Manusia Harimau, dan Ganteng-Ganteng Serigala. Sementara itu semut, laba-laba, dan burung sudah go international lewat film Ant Man, Spider Man, dan Bird Man. Kita patut bersyukur Tuhan menciptakan hewan-hewan seperti di atas. Tanpanya, dunia akan menjadi hambar tanpa hiburan yang berarti.

3. Sebagai Logo, atau Lambang Hewan-hewan yang digunakan sebagai logo biasanya adalah hewan mitologi, atau fantasi. Misalnya aja garuda, sebagai kendaraan Dewa Wisnu yang gagah, dia menjadi lambang Negara Indonesia. Naga yang katanya membawa hoki bagi kepercayaan masyarakat Tiongkok menjadi simbol-simbol bisnis dan perdagangan. Klub bola Chelsea memakai lambang singa yang bisa berdiri berwarna biru. Penulis sadar hewan-hewan tersebut tidak ada. Tapi makna filosofis yang terkandung di dalamnya bisa dijadikan pelajaran.

4. Di Dunia Percintaan
Kegunaan hewan di dunia percitaan ini sangat kontekstual. Tergantung konteksnya. Kalo hubungan sedang mesra, hewan-hewan imut dan lucu macam kelinci, angsa, burung merpati, bisa menjadi bahan rayuan. Tapi kalo hubungan sudah tidak kondusif dan berujung pada permusuhan antarmantan, hewan seperti –sensor-, -sensor-, dan buaya bisa jadi langganan. Khusus untuk buaya, penulis belum bisa menemukan korelasi kenapa laki-laki yang suka selingkuh itu disebut buaya? Padahal buaya hanya memiliki satu pasangan sampai dia mati. Kenapa juga air mata palsu disebut air mata buaya? Padahal buaya mengeluarkan air mata setelah memangsa korbannya hanya untuk mengeluarkan kandungan garam dalam tubuhnya. Kalau ini tidak dilakukan, mungkin buaya akan kena darah tinggi karena kebanyakan garam.

5. Di Dunia Tongkrongan
Penulis biasa nongkrong kumpul-kumpul bersama teman. Biasanya kalau di tongkrongan anggotanya suka main ceng-cengan atau punya nama panggilan dengan kandungan hewani. Misalnya Mamat tupai, Jukih kuyuk, Pe’ih undur-undur, dan Gopar encu. Atau kalau lagi main ledek-ledekan bisa seperti ini,

“Bisa aje lu, ketek monyet!”

“Daripada elu, lobang idung kadal!”

“Au amat lah, buntut cicek.”

Begitulah. Walaupun jadinya absurd, tapi hewan-hewan tersebut yang bikin kita betah gaul di tongkrongan. Bisa jadi bahan pembuat tawa.

Sekian pembahasan dan ulasan dari sekup penelitian penulis. Jadi sesempurna apa pun manusia, tetap butuh hewan sebagai penyeimbang kehidupan. Untuk kesimpulannya akan penulis paparkan di BAB selanjutnya. Itu pun tergantung dosen penulis, jantungan apa nggak baca tulisan ini. Sekian.


Share:

Berbeda, Bukan Nggak Mampu

Dulu gue suka nonton film X-Men. Sekarang juga masih suka sih, tapi cuma versi serial kartun aja. Karena film live actionnya udah terlalu berbelit-belit alur ceritanya. Terlepas dari itu, gue suka sama pesan tersirat di X-Men. Yaitu tentang bagaimana hidup menjadi minoritas. Sebuah populasi yang kadang dipandang ‘aneh’ karena berbeda sendiri.

Di dunia nyata, ada beberapa variable kaum minoritas. Bisa berdasarkan suku, agama, ras, dan fisiologis/psikologis. Khusus mereka yang minoritas karena punya bentuk fisik atau perkembangan mental yang berbeda, masyarakat kita biasa menyebutnya dengan ‘disabilitas’. Gue kurang setuju sebetulnya, kenapa? Ga cocok aja.

Disabilitas itu berarti kan ‘dis’ dan ‘ability’. Yang berarti tidak memiliki kemampuan. Jadi ketika kita ngeliat orang berjalan dengan kursi roda, kita menyebutnya penyandang disabilitas. Dia tidak memiliki kemampuan. Padahal nggak demikian. Siapa tau dari atas kursi roda itu lah dia bisa menghasilkan sebuah karya atau prestasi luar biasa dengan caranya sendiri. Makanya gue lebih setuju mereka disebut difabilitas, sebuah kata serapan dari ‘different’ dan ‘ability’, atau kemampuan yang berbeda. Mereka mungkin nggak bisa berjalan, tapi bisa menang olimpiade paragames dalam cabang olah raga adu cepat kursi roda. Mereka berprestasi dengan cara mereka sendiri.

Mereka hanya butuh difasilitasi untuk memnunjang kemampuan mereka yang berbeda. Misalnya dengan membuat trotoar-trotoar yang ramah bagi pengguna kursi roda, memberikan space lebih ketika diangkutan umum, dan sama sekali menghilagkan diskriminasi disegala bidang. Ingat, hanya kemampuan mereka yang berbeda, hak tetap sama.

Gue salut sama mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menemukan kitab suci berhuruf braile. Atau seorang bapak di Bali yang menciptakan lengan mekanik dari barang dan gear tidak terpakai, seperti Iron Man.

Tapi tentu saja fasilitas paling berarti bagi mereka adalah sikap lingkungan yang nggak diskriminatif. Lingkungan yang bisa menerima mereka. Seperti dalam cerita X-Men. Para mutant menuntut persamaan hak dengan manusia normal. Wolverine dan kawan-kawan hanya menuntut fasilitas yang sama sebagai warga negara.

Gitu aja sih. Nggak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang warga negara kecuali kehilangan haknya hanya karena ‘berbeda’.


Share:

Friday, 15 January 2016

Yang Nyebelin di Bioskop...

Sebagai penggemar film, yang namanya bioskop pasti sering banget jadi tempat tujuan. Begitu juga dengan gue. Bioskop ini tempat paling sering kedua yang gue kunjungi setelah masjid (postingan riya).

Tau nggak sih, satu hal dari bioskop yang paling gue sesali? Yaitu bahwa gue hidup di zaman di mana bioskop udah modern, udah keren, udah nyaman, udah adem kayak tatapan mata kamu yang menatap aku lalu mengelap pinggiran bibir aku yang belepotan saus tomat. Gue selalu penasaran dengan kehidupan bioskop di mana 21, Cinemax, atau Blitz belom nongol. Dari cerita-cerita orang tua terdahulu, bioskop jadul itu kacau abis. Kursinya kayak kursi metromini, di dalemnya ada kang tahu atau kacang rebus, boleh ngerokok, terus kalo yang diputer film India dan lagi adegan joget semua penontonnya ikutan. Pasti nyebelin dan seru!

Tapi kalo bicara soal nyebelin, di zaman bioskop modern juga ada aja kejadian nyebelin. Ada beberapa kejadian yang bikin gue gregetan pas nonton di bioskop.

1. Ngaret
Bukan filmnya. Tapi orang yang diajak nonton. Biasanya nih kalo nontonnya rame-rame. Entah kenapa dalam suatu populasi ada aja satu individu yang kemampuan ngaretnya di atas rata-rata. Udah gitu minta ditungguin, nggak mau ditinggal masuk duluan. Begitu dia dateng dan masuk studio, filmnya udah mulai hampir sepertiganya. Kalo di film Captain America, itu udah masuk adegan di mana Captain America pindah kewarganegaraan jadi warga Jepang terus ganti nama jadi Captain Tsubasa.


2. Spoiler
Nggak ada bencana yang lebih besar dari penggemar film selain spoiler atau bocoran jalan cerita. Kadang nih gue nonton di sebelah orang yang udah nonton lebih dari sekali film yang gue tonton saat itu. Tuh orang nonton bareng temennya. Temennya ini kepo abis. Dikit-dikit nanya. Jadinya spoiler on the spot.

“Itu siapa?”

“Han Solo.”

“Ohhh…keren banget dia.”

“Ah, ntar juga mati dia di tusuk anaknya sendiri.”

“WOY BISA DIEM, NGGA? BELOM PERNAH DIKHITAN PAKE LIGHT SABER YA?!?!?!?”


3. Nggak Sesuai Umur
Ini ganggu banget, beneran. Terutama orang tua yang ngajak anak kecilnya. Gue nggak ngerti dulu ada aja orang tua yang ngajak anak kecil nonton Les Misserable. Mungkin pertama masuk bioskop tuh anak girang, dapet pop corn ama es orson. Begitu makanannya abis, baru deh tuh anak bosen. Nangis kejer, nanya kapan jagoannya muncul. Atau pas gue nonton Star Wars VII kemaren, ada anak kecil yang nggak ngerti ceritanya. Akibatnya itu anak maen loncat-loncatan di lantai. Kadang guling-gulingan. Tereak-tereak pula. Gue bawaannya pengen manggil guru TK terus bangun perosotan, ayunan, ama jungkat-jungkit di dalem bioskop.

4. Bolak-balik ke Toilet
Plis lah sebelom nonton tuntaskan dulu hajat yang tersimpan. Atau jangan kebanyakan minum biar kandung kemih nggak penuh. Ganggu banget penonton lain tau, kalo kelewat sering bolak-balik toilet. Apalagi kalo yang sering bolak-balik ini duduknya di paling pojok. Kesel kan kalo lagi seru-serunya nonton tiba-tiba gelap dan ada siluet kepala orang? Saran aja ini mah, kalo bisa jalan menuju toilet itu dibuat halang rintang, pake kawat berduri atau kolem lumpur. Jadi orang mikir-mikir dulu kalo di tengah film mau ke toilet.

5. Bawa Bekel
Seketat-ketatnya peraturan bioskop untuk nggak bawa makanan/minuman dari luar, tetep aja ada yang berhasil meloloskan diri bawa makanan/minuman sendiri. Kalo sekedar cemilan sih oke lah. Gue juga sering melakukannya. Tapi pernah ada yang bawa nasi berikut lauknya. Lagi khidmat memandang wajah Scarlett Johanson, tiba-tiba dibuyarkan oleh bau sayur lodeh. Udah gitu dessertnya kerupuk, suara krauk-krauknya ganggu banget. Kegiatan absurd itu ditutup oleh suara sendawa kekenyangan. Masa-masa nasi padang gantiin pop corn sudah sangat dekat, bersiap lah.

Banyak sih kejadian nyebelin lainnya di bioskop. Tapi segitu aja dulu, lain waktu gue tulis lagi. Follow aja blog gue atau twiter biar nggak ketinggalan ceritanya. Akhirul kalam, duduk lah yang tenang dan nikmati pertunjukkan filmnya. Hormati orang yang duduk di sebelah, depan, dan belakang. Karena kita tidak akan pernah tau adegan mana dalam film yang menginspirasi, dan mumgkin saja, mengubah hidup kita.
Share:

Wednesday, 13 January 2016

Welcome to MEA, Bloggers!

Entah gue harus senang atau gelisah ketika blogwalking, khususnya yang bersumber dari share di medsos, gue lebih sering mendapati blogger yang mereview suatu produk atau ikutan lomba tertentu yang diadakan oleh suatu produk baik barang atau jasa. Perilaku blogging ini menegaskan bahwa ngeblog, kalo diseriusin, bisa jadi sumber penghasilan tambahan. Atau bahkan penghasilan utama.

Di whatsap, gue tergabung di sebuah grup blogger yang sebagian besar punya minat besar pada produk elektronik, khususnya gadget. Mereka ini sering banget dapet job review, bahkan ada yang menang lomba dengan hadiah gadget. Di suatu obrolan, gue iseng-iseng nanya. “Seberapa besar sih porsi postingan review berbayar/lomba, disbanding dengan postingan yang memang murni dari pribadi?”. Jawabannya adalah, fifty-fifty. Dengan kata lain setengah postingan mereka adalah artikel yang menghasilkan uang atau hadiah. Grup whatsap itu cuma sampel, cuma fenomena gunung es. Di luar sana, mungkin ada yang presentasenya lebih signifikan lagi.

Gue nggak bakal bahas kecenderungan tersebut baik atau nggak dalam dunia perblogan. Gue cuma akan mencoba memprediksi soal job review atau lomba blog ini ke depannya.

Menurut gue, di tahun 2016 ini bakal makin banyak blogger-blogger yang menggunakan kemampuannya untuk job review atau ikutan lomba. Brand-brand bisnis sudah mulai menyadari bagaimana berpengaruhnya sebuah opini yang ditulis seorang blogger. Karena bisanya, blogger-blogger ini punya umat di media sosial (gue mah belom termasuk kategori ini). Cara ini dipandang efektif dan efisien. Kicauan Twitter dari seorang blogger yang berisi link konten review sebuah produk adalah strategi mouth to mouth dalam bentuk digital. Impactnya besar, dan yang terpenting, lower cost dibanding harus beriklan di TV atau pasang baligo segede-gede Godzilla.

Nah, para pemilik brand yang sebagai driver ini membutuhkan blogger sebagai tools dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Kenapa demikian? Ambil satu sampel. Smartphone misalnya. Dalam beberapa bulan, ada puluhan tipe dan varian baru. Tiap jenisnya membutuhkan ulasan, pembangunan opini, brand imaging, bahkan kalo cukup nekat butuh kritik dari para blogger. Itu baru dari satu lini. Belum dari otomotif, pariwisata, online shop, dan masih banyak lagi. Tahun 2016 ini bisa jadi adalah titik di mana kita menuju suatu masa ketika blogger menggantikan marketer di sebuah perusahaan. Berbahagia dan bersyukurlah bagi kalian yang sejak dulu sudah dapet kepercayaan dari beberapa brand.

Gue memprediksi bukan tanpa alasan loh. 2016 ini kan dicanangkan sebagai dimulainya era Masayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Maksudnya adalah secara garis besar, sesama negara anggota ASEAN bebas berinvestasi, berdagang, ekspor-impor barang, modal, dan sumber daya manusia.

Bakalan makin banyak produk yang masuk ke Indonesia tanpa khawatir terbentur kebijakan. Kang duren medan di sepanjang Jalan Pasar Mingggu siap-siap aja bersaing dengan duren Bangkok yang lebih gede dengan harga sama, bahkan lebih murah karena akibat MEA akan bebas bea masuk. Gitu kira-kira ilustrasi sederhananya.

Jadi kalo selama ini yang kita baca hanya review atau lomba tentang gadget, otomotif, makanan, buku, dan film, di 2016 ini jangan heran kalo ada yang review beras Thailand atau kaos bola made in Vietnam. Bahkan nantinya Pertamina merasa perlu promosi lewat blogger supaya bisa bersaing dengan pom-pom bensin milik Malaysia. Karena bisa jadi bensin yang dijual negara tetangga lebih murah. Bank-bank Singapura yang mudah buka cabang di Indonesia bakal jadi berkah tersendiri bagi financial blogger.

Kira-kira begitulah prediksi gue soal trend blog di 2016 ini. Blogger harus bersiap-siap. Selain harus meningkatkan kualitas tulisan, kemampuan berbahasa Inggris yang mumpuni akan sangat membantu. Selamat datang di 2016. Welcome to MEA, Bloggers!
Share: