Roti buaya. Sebuah kearifan lokal tersisa. Sebuah kekayaan kuliner yang lahir lewat pemikiran filosofis yang mendalam. Lebih jauh, dia menjadi identitas budaya bagi suku Betawi. Unik, dan enak.
Enak? Ya, itu yang gue kira pada awalnya. Tapi ternyata roti buaya itu nggak seenak yang gue kira. Setidaknya sebelum gue mendengar cerita bokap di suatu sore. Waktu itu adik gue akan menikah, melangkahi gue. Pedih. Tapi seneng. Waktu itu gue bertanya apakah nanti akan ada roti buaya di acara adik gue itu. Bokap bilang nggak usah. Selain bikinnya yang susah, bokap tidak yakin adik gue mau menyimpan roti itu sampai busuk.
Gue meyakinkan bokap bahwa gue siap melahap roti itu sampe abis, itung-itung pelampiasan gue yang dilangkah ini. Nah di sini lah kekeliruannya. Bokap mulai bercerita sedikit panjang lebar.
Roti buaya itu adalah sebuah simbol kesetiaan. Masyarakat Betawi percaya bahwa buaya adalah hewan yang hanya memiliki satu pasangan seumur hidupnya. Oleh sebab itu calon mempelai pria mempersembahkan roti buaya kepada calom mempelai wanitanya. Kenapa dalam bentuk roti? Sebab kalau dalam bentuk buaya betulan bakalan repot, mengingat lulusan sekolah pawang buaya masih sangat terbatas.
Dulu, jamannya bokap ngelamar nyokap, beliau juga bawain roti buaya. Tapi roti buaya jaman dulu berbeda dengan roti buaya jaman sekarang. Tahun 80-an, ketika bokap secara gentle ngajak nyokap ke pelaminan, roti buaya bentuknya tidak mirip-mirip amat dengan buaya. Hanya berbentuk balok panjang dan ada tambahan dua balok kecil di masing-masing sisinya sebagai kaki. Adonan rotinya pun keras, walaupun tidak sekeras semen putih. Tidak ada rasanya sama sekali.
Gue bilang ke bokap pasti roti itu nggak ada yang mau makan. Dan jawaban bokap cukup bikin gue terkejut. Ya sebetulnya roti buaya itu memang bukan untuk dimakan. Jadi roti buaya itu sengaja dibuat bantet, dan tampilannya kurang menarik. Setelah kedua mempelai sah sebagai suami-isteri, roti itu harus disimpan di atas lemari kamar pengantin. Di simpan sampai jamuran, berbelatung, dan hilang dengan sendirinya.
Awalnya gue jijik. Apa rasanya tidur bersama roti busuk berbelatung? Tapi akhirnya gue sadar, di situlah makna filosofisnya. Itu lah esensi dari simbol sebentuk roti buaya. Setia sampai mati. Hingga raga tak berbentuk.
Gue mnegingat-ingat lagi ke belakang. Gue pernah makan roti buaya di acara lamaran teman gue. Roti buayanya enak, adonannya pulen. Tampilannya pun menarik, mirip dengan buaya asli dengan duri-duri di kulitnya berwarna-warni. Para pengusaha roti buaya berlomba-lomba menemukan varian rasa baru. Mulai dari cokelat, hingga green tea yang kekinian. Siapa yang bisa menolak? Orang-orang memperebutkannya.
Masih adakah kesetiaan dalam roti buaya jaman sekarang?
Enak? Ya, itu yang gue kira pada awalnya. Tapi ternyata roti buaya itu nggak seenak yang gue kira. Setidaknya sebelum gue mendengar cerita bokap di suatu sore. Waktu itu adik gue akan menikah, melangkahi gue. Pedih. Tapi seneng. Waktu itu gue bertanya apakah nanti akan ada roti buaya di acara adik gue itu. Bokap bilang nggak usah. Selain bikinnya yang susah, bokap tidak yakin adik gue mau menyimpan roti itu sampai busuk.
Gue meyakinkan bokap bahwa gue siap melahap roti itu sampe abis, itung-itung pelampiasan gue yang dilangkah ini. Nah di sini lah kekeliruannya. Bokap mulai bercerita sedikit panjang lebar.
Roti buaya itu adalah sebuah simbol kesetiaan. Masyarakat Betawi percaya bahwa buaya adalah hewan yang hanya memiliki satu pasangan seumur hidupnya. Oleh sebab itu calon mempelai pria mempersembahkan roti buaya kepada calom mempelai wanitanya. Kenapa dalam bentuk roti? Sebab kalau dalam bentuk buaya betulan bakalan repot, mengingat lulusan sekolah pawang buaya masih sangat terbatas.
Dulu, jamannya bokap ngelamar nyokap, beliau juga bawain roti buaya. Tapi roti buaya jaman dulu berbeda dengan roti buaya jaman sekarang. Tahun 80-an, ketika bokap secara gentle ngajak nyokap ke pelaminan, roti buaya bentuknya tidak mirip-mirip amat dengan buaya. Hanya berbentuk balok panjang dan ada tambahan dua balok kecil di masing-masing sisinya sebagai kaki. Adonan rotinya pun keras, walaupun tidak sekeras semen putih. Tidak ada rasanya sama sekali.
Gue bilang ke bokap pasti roti itu nggak ada yang mau makan. Dan jawaban bokap cukup bikin gue terkejut. Ya sebetulnya roti buaya itu memang bukan untuk dimakan. Jadi roti buaya itu sengaja dibuat bantet, dan tampilannya kurang menarik. Setelah kedua mempelai sah sebagai suami-isteri, roti itu harus disimpan di atas lemari kamar pengantin. Di simpan sampai jamuran, berbelatung, dan hilang dengan sendirinya.
Awalnya gue jijik. Apa rasanya tidur bersama roti busuk berbelatung? Tapi akhirnya gue sadar, di situlah makna filosofisnya. Itu lah esensi dari simbol sebentuk roti buaya. Setia sampai mati. Hingga raga tak berbentuk.
Gue mnegingat-ingat lagi ke belakang. Gue pernah makan roti buaya di acara lamaran teman gue. Roti buayanya enak, adonannya pulen. Tampilannya pun menarik, mirip dengan buaya asli dengan duri-duri di kulitnya berwarna-warni. Para pengusaha roti buaya berlomba-lomba menemukan varian rasa baru. Mulai dari cokelat, hingga green tea yang kekinian. Siapa yang bisa menolak? Orang-orang memperebutkannya.
Masih adakah kesetiaan dalam roti buaya jaman sekarang?