Dulu gue suka nonton film X-Men. Sekarang juga masih suka sih, tapi cuma versi serial kartun aja. Karena film live actionnya udah terlalu berbelit-belit alur ceritanya. Terlepas dari itu, gue suka sama pesan tersirat di X-Men. Yaitu tentang bagaimana hidup menjadi minoritas. Sebuah populasi yang kadang dipandang ‘aneh’ karena berbeda sendiri.
Di dunia nyata, ada beberapa variable kaum minoritas. Bisa berdasarkan suku, agama, ras, dan fisiologis/psikologis. Khusus mereka yang minoritas karena punya bentuk fisik atau perkembangan mental yang berbeda, masyarakat kita biasa menyebutnya dengan ‘disabilitas’. Gue kurang setuju sebetulnya, kenapa? Ga cocok aja.
Disabilitas itu berarti kan ‘dis’ dan ‘ability’. Yang berarti tidak memiliki kemampuan. Jadi ketika kita ngeliat orang berjalan dengan kursi roda, kita menyebutnya penyandang disabilitas. Dia tidak memiliki kemampuan. Padahal nggak demikian. Siapa tau dari atas kursi roda itu lah dia bisa menghasilkan sebuah karya atau prestasi luar biasa dengan caranya sendiri. Makanya gue lebih setuju mereka disebut difabilitas, sebuah kata serapan dari ‘different’ dan ‘ability’, atau kemampuan yang berbeda. Mereka mungkin nggak bisa berjalan, tapi bisa menang olimpiade paragames dalam cabang olah raga adu cepat kursi roda. Mereka berprestasi dengan cara mereka sendiri.
Mereka hanya butuh difasilitasi untuk memnunjang kemampuan mereka yang berbeda. Misalnya dengan membuat trotoar-trotoar yang ramah bagi pengguna kursi roda, memberikan space lebih ketika diangkutan umum, dan sama sekali menghilagkan diskriminasi disegala bidang. Ingat, hanya kemampuan mereka yang berbeda, hak tetap sama.
Gue salut sama mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menemukan kitab suci berhuruf braile. Atau seorang bapak di Bali yang menciptakan lengan mekanik dari barang dan gear tidak terpakai, seperti Iron Man.
Tapi tentu saja fasilitas paling berarti bagi mereka adalah sikap lingkungan yang nggak diskriminatif. Lingkungan yang bisa menerima mereka. Seperti dalam cerita X-Men. Para mutant menuntut persamaan hak dengan manusia normal. Wolverine dan kawan-kawan hanya menuntut fasilitas yang sama sebagai warga negara.
Gitu aja sih. Nggak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang warga negara kecuali kehilangan haknya hanya karena ‘berbeda’.
Di dunia nyata, ada beberapa variable kaum minoritas. Bisa berdasarkan suku, agama, ras, dan fisiologis/psikologis. Khusus mereka yang minoritas karena punya bentuk fisik atau perkembangan mental yang berbeda, masyarakat kita biasa menyebutnya dengan ‘disabilitas’. Gue kurang setuju sebetulnya, kenapa? Ga cocok aja.
Disabilitas itu berarti kan ‘dis’ dan ‘ability’. Yang berarti tidak memiliki kemampuan. Jadi ketika kita ngeliat orang berjalan dengan kursi roda, kita menyebutnya penyandang disabilitas. Dia tidak memiliki kemampuan. Padahal nggak demikian. Siapa tau dari atas kursi roda itu lah dia bisa menghasilkan sebuah karya atau prestasi luar biasa dengan caranya sendiri. Makanya gue lebih setuju mereka disebut difabilitas, sebuah kata serapan dari ‘different’ dan ‘ability’, atau kemampuan yang berbeda. Mereka mungkin nggak bisa berjalan, tapi bisa menang olimpiade paragames dalam cabang olah raga adu cepat kursi roda. Mereka berprestasi dengan cara mereka sendiri.
Mereka hanya butuh difasilitasi untuk memnunjang kemampuan mereka yang berbeda. Misalnya dengan membuat trotoar-trotoar yang ramah bagi pengguna kursi roda, memberikan space lebih ketika diangkutan umum, dan sama sekali menghilagkan diskriminasi disegala bidang. Ingat, hanya kemampuan mereka yang berbeda, hak tetap sama.
Gue salut sama mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menemukan kitab suci berhuruf braile. Atau seorang bapak di Bali yang menciptakan lengan mekanik dari barang dan gear tidak terpakai, seperti Iron Man.
Tapi tentu saja fasilitas paling berarti bagi mereka adalah sikap lingkungan yang nggak diskriminatif. Lingkungan yang bisa menerima mereka. Seperti dalam cerita X-Men. Para mutant menuntut persamaan hak dengan manusia normal. Wolverine dan kawan-kawan hanya menuntut fasilitas yang sama sebagai warga negara.
Gitu aja sih. Nggak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang warga negara kecuali kehilangan haknya hanya karena ‘berbeda’.
oh xmen yang gunain kursi roda dan bisa baca pikiran itu ya? ya persamaan.
ReplyDelete@guru5seni8
http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com
Menurut saya masalah penyebutan entah itu "tuna" atau "disabilitas" bukanlah permasalahan yang paling berpengaruh, akan tetapi lebih ke esensi perilaku masyarakat dalam menghadapi dan mensikapi perbedaan itu.
ReplyDeleteKurangnya awareness, itu sih yang jadi point of interest-nya. Setuju sama Mas Adib.
ReplyDeletebanyak juga dari mereka yang memiliki kekurangan fisik justru sukses dan berprestasi. jadi sudah seharusnya setiap manusia saling menghargai dan peduli bukan memandang sebelah mata atau membeda-bedakan
ReplyDelete@gemaulani
Justru terkadang mereka lebih mampu ketimbang kita yang normal
ReplyDelete@amma_chemist
Buanyaaaak penyandang difabel yang justru lebih canggih ketimbang akoooh
ReplyDeleteada yang jago jahit
ada yang hafal quran 30 juz
KEREN!
@nurulrahma
bukanbocahbiasa(dot)com
kadang mereka yang disabilitas lebih kencang semangatnya dibanding kita yang normal-normal ini..ehehe
ReplyDeletememang sih pendidikan tuh yang utama. sebagian dari kita ada yang menganggap difabel itu apalagi yang mental sebagai warga kelas kesekian. penting banget bagi orang tua dan guru mengajarkan dan mendidik generasi berikutnya untuk menganggap sejajar difabel dengan nondifabel.
ReplyDelete@diahdwiarti