Pasar di Jakarta mempunyai sejarah yang lumayan panjang dan unik. Tempat jual beli ini di Jakarta terkenal dengan nama-nama hari. Pasar Minggu, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jum’at adalah nama-nama yang paling terkenal.
Walaupun sekarang di daerah tersebut sudah tidak ada pasar lagi, tapi dulunya benar-benar ada pasar tradisional di sana. Jadi dulu VOC membolehkan para tuan tanah di Batavia untuk membuka pasar, tapi hanya di hari-hari tertentu saja. Tempatnya pun berjauhan. Ini sebagai implementasi politik devide at impera untuk menghindari berkumpulnya massa pada suatu titik di waktu yang bersamaan.
Dan sekarang, setelah ratusan tahun VOC minggat, pasar tradisional di Jakarta tidak lantas punah. Malah mungkin semakin banyak. Cek deh tiap pagi berangkat ke kantor atau sekolah apa yang bikin macet, salah satunya ya pasar tradisional ini.
Segmentasi pasarnya pun semakin banyak. Di Jakarta, untuk mencari barang tertentu ada pasar-pasar khusus. Untuk cari mainan anak, bisa ke Pasar Gembrong. Mau beli perlengkapan sekolah, ada Pasar Asemka. Butuh bunga untuk dekorasi hajatan, bisa ke Pasar Kembang Rawabelong. Beli bahan beratus-ratus meter? Banyak di Pasar Tanah Abang. Semuanya menawarkan barang dan jasa dengan konsep utama pasar tradisional, yaitu tersedianya fasilitas tawar menawar.
Kalo gue perkecil ruang lingkupnya di daerah gue, di Kalideres, nama-nama pasar tradisional lebih aneh lagi. Ada satu pasar yang dinamakan Pasar Nyamuk. Letaknya tepat di belakang Stasiun Kalideres. Katanya (karena gue memang belum menemukan sumber resmi) dinamakan demikian karena pasar ini berisik banget, kayak nyamuk. Entah apa konsep berisik menurut yang ngasih nama karena kalo sepi itu bukan pasar, tapi ruang ujian SPMB.
Ada juga pasar yang dinamakan menurut siapa yang punya tanah tempat pasar itu berdiri. Orang Betawi terkenal dengan kegemarannya menyimpan properti berupa tanah. Nah sebagian tanah tersebut ada yang mereka buka untuk dijadikan pasar. Jadi ada beberpa pasar yang bernama Pasar Haji Saleh, Pasar Haji Mas, Pasar Haji Niman, atau Pasar Haji Munap.
Pasar-pasar tersebut ada yang udah tergusur. Berganti jadi ruko, kontrakan, atau minimarket. Harga tanah yang terus naik membuat para tuan tanah Betawi tidak kuasa melawan godaan cek, giro, atau uang tunai dengan nilai fantastis para developer.
Ada juga pasar tradisional yang direvitalisasi. Dibikin bagus kayak pasar swalayan. Jadi lebih bersih, lebih tertata, namun tetap tidak kehilangan ciri tradisonalnya. Sekarang kalo ke tukang ikan di pasar bau amisnya sudah hampir hilang, karena sistem drainase dan pembuangannya bagus. Keren.
Jadi kangen masa-masa kecil gue dulu. Di mana nyokap selalu ngajak gue kalo ke pasar. Ngeliat nyokap dengan militan nawar daging, milih-milih seledri, menyeleksi tomat dan kentang, beli kue pancong, lalu pulangnya dengan berat hati beliin gue perahu-perahuan kaleng yang bahan bakarnya pakai lilin.
Semoga anak-anak gue nanti masih ngerasain belanja di pasar tradisional. Tidak ada tempat berniaga dengan jenis pasar persaingan sempurna sebaik pasar tradisional. Interaksi yang real antara penjual dan pembeli begitu intens. Pembeli senang, yang dagang pun senang. Tidak ada komunikasi kaku yang terbentuk karena harga tetap. Rumus Demand=Supply untuk mencari harga keseimbangan bisa diterapkan langsung di pasar tradisional.
Jadi gimana, cewek jomblo, ada yang masih mau belanja ke pasar sementara gue ke kantor untuk cari nafkah buat kalian? Eh, gimana….*ada Godzilla lewat*
Hahahaha.. Cewek jomblonya pada kabur, bang Yos.. Takut ada Godzilla lewat soalnya.
ReplyDeleteBtw, kenapa ya emak-emak kalo nawar itu udah kayak ngeluarin jurus hipnotis, penjualnya kadang iya aja kalau ditawar.
Pasar deketku juga udah jadi pasar tradisional rasa modern. Rapi. Dan belanja di pasar itu harus 'tau harga' soalnya kadang dikasih harga yang tinggi. Makanya kalau belanja di pasar harus ke beberapa tempat biar bisa tau kisarannya tapi aku mah apa atuh, ga bisa nawar.. Hahaha.
ReplyDeletePasar Nyamuk buset, kirain karena banyak nyamuknya
ReplyDelete@umimarfa
Baru sadar, Pasar Di Jakarta namanya pakai Hari semua, ya.. di daerah pasarnya pakai hari pasaran, Pasar Wage, Legi, Pon :D
ReplyDeletesemangat kerjanya bang..aku ke pasar dulu... manatau kan..manatauuu hehehe
ReplyDeleteklo Di Pekanbaru rasnaya ga ada pasar dgn nama orang..masih dgn pasar nama wilayah dan hari aja ehehe
@mutmuthea
Keren kang..
ReplyDeleteSalam BW
Mas Wah / www.semesta-berbicara.com
ke kantornya lewat pasar kan bang?! kita berangkat bareng ya, aku nyingga ke pasar, kamunya ke kantor, cari uang buat bekal aku belanja ke pasar besok besok ahahhahaaa...
ReplyDeletedari namanya aja udah keliatan banget ciri khas pasar tradisional itu ya. kalau di Medan biasa nama pasarnya sesuai nama daerah pasar tersebut berlokasi :)
Semoga dan saya berharap pasar tradisional akan terus ada dengan perbaikan-perbaikan seperti menghilangkan kesan becek, kotor dan semrawut di pasar tradisional.
ReplyDelete@rin_mizsipoel
Semoga revitalisasi pasar atau pembaharuan pasar tradisional membuahkan hasil yg konkret, sebuah pasar dengan konsep tradisional tapi nyaman, bersih, tertib
ReplyDelete@ririekayan
huaaa awalnya sayang anak ujungnya bukan :D bener kata mba Elisa, cewek jomblonya pada kabur. takut godzila lewat :D pasar nyamuk? kirain banyak nyamuknya karena deket kali hihi #eeh
ReplyDelete@gemaulani
pasar adalah salah satu elemen pembentuk (sejarah) suatu kota. setiap ada kota, di sana hampir pasti ada pasar. dan karena itulah, nama-nama pasar yang ada di kala itu tetap ada hingga sekarang, semisal pasar rebo, pasar minggu, dll.
ReplyDelete@f_nugroho
2013 - 2014 saya pernah tinggal di Jakarta, dah kebiasaan penjual saat menawarkan dagangannya adalah "boleh mas, boleh mbak, silahkan.."
ReplyDeletedalam hati "ya harus boleh lah, masak nggak boleh" he he
@rizalarz
Kok kepikiran ya bikin pasar jadi postingan. Haha... keren.
ReplyDeleteKue pancong... kalo ke pasar hampir selalu beli itu. Haha