Friday, 22 April 2016

The Jungle Book, Memberi Lebih.








Kejutan hanya milik orang-orang yang berekspektasi biasa-biasa saja.

Entah bagaimana kalimat tersebut begitu tertanam dalam benak setelah saya menonton film The Jungle Book. Awalnya sore itu saya terserang syndrom males kerja. Rasanya kepengen nyiram tumpukan dokumen di meja pakai avtur pesawat British Airways terus dibakar, minum abunya, terus sendawa di depan bos. Penat. Kalau sudah begitu biasanya saya memiliki dua opsi. Pulang ke kosan lalu tidur, atau ke bioskop untuk nonton film. Kebetulan opsi kedua yang saya pilih. Pulang ke kosan di jam tepat bubaran kantor adalah perbuatan nekat yang hanya setingkat lebih rendah dari dari bunuh diri.

Pilihan film jatuh ke The Jungle Book. Sebab, dilihat dari beberapa film yang mejeng di Cinemaxx Semanggi Jungle Book yang paling ringan. Lagi males mikir ceritanya. Ada sih film Bobo Boi, tapi nonton itu hanya akan membuat saya terlihat seperti anak SD yang menghabiskan delapan tahun di kelas lima. Kebayang nggak delapan tahun di kelas lima? Bewok udah sedada tapi ngitung duit cebanan receh masih pakai sempoa.

Samapai mana tadi? Oh iya, The Jungle Book. Jujur saya tidak mengikuti review atau opini para movie freaks tentang film ini. Jadi kirain ini film animasi full semacam The Little Prince, atau Finding Nemo. Ternyata untuk karakter Mowgli, sang pemeran utama, diperankan oleh manusia asli. Saya lupa siapa nama cast-nya. Yang jelas tampangnya khas Asia Barat. Sisanya adalah karakter yang dibangun oleh kecanggihan teknologi CGI tingkat dewa. Ada yang lebih tinggi dari tingkat dewa? Okay, you name it lah! Karakter binatang dan setting hutannya begitu detail. Potongan-potongan landscape-nya bikin mata ogah melirik ke titik lain. Saya angkat topi sama pemeran Mowgli ini, kebayang sulitnya berakting penuh emosional dengan para ‘pemeran’ CGI.

Menganggap film ini bermuatan ringan adalah tepat. Saya begitu enjoy mengikuti alurnya tanpa harus banyak berdebat dengan pikiran sendiri. Dialog antarkarakter kuat, universal, dan menggemaskan. Makanya film ini begitu aman ditonton anak-anak. Jokesnya pun pecah dengan porsi yang pas.

Yang terpenting, walaupun ini film ringan, tetap ada bobot padat berisi dalam pesan. Isu lingkungan hidup sangat ngeblend dengan cerita dan premis yang dibangun. Setiap karakter dan adegan dalam The Jungle Book adalah simbol-simbol apa yang terjadi pada dunia nyata. Kedermawanan, kesetiakawanan, keserakahan, dan semua sifat manusiawi ada di dalamnya.

Setelah lampu bioskop menyala, sya menghela nafas. Antara puas dengan pertunjukkan dan menemukan satu lagi perenungan mendalam. Teringat tumpukkan dokumen yang saya tinggal begitu saja di kantor. Rasanya lelah. Mnjadi officer pajak sendirian di sebuah perusahaan bukan hal mudah. Tapi Mowgli di hutan juga sendirian. Dia bisa berteman dengan hewan buas, sampai binatang lucu. Semuanya berakhir pada kesimpulan bahwa bukanlah yang paling kuat yang akan bertahan, tapi yang paling bisa menyesuaikan diri. Selalu begitu. Dan akan selalu begitu. =)
Share:

Wednesday, 20 April 2016

Review Super Didi





Apa yang paling spesial dari film Super Didi? Yak betul, kenyataan bahwa ini adalah film pertama yang saya tonton gala premiernya di bioskop. Ternyata asik juga nonton sebuah film duluan sebelum film itu resmi rilis di bioskop-bioskop, baik bioskop kesayangan maupun bioskop temenan aja. Di gala premiere saya bisa ketemu (ngeliat doang sih sebenernya) cast-nya langsung. Liat Vino G Bastian yang ternyata sama sekali nggak mirip saya. Dan dia ngajak istrinya Marsha Timothy, ya salam, cantiknya kalopun bisa dibagi-bagi ke karyawati pas bubaran pabrik pasti masih sisa banyak.

Begitu masuk studio dan menyaksikan film Super Didi ini dari awal, kesan pertama adalah tone warna filmnya yang FTV banget. Berasa nonton SCTV yang dipindahin ke layar lebar. Tapi cukup permisif lah, nggak begitu ganggu.

Premis Super Didi ini sebenernya nggak baru-baru banget untuk tema keluarga, sangat umum malah. Berangkat dari pertanyaan “Gimana kalo seorang ayah ngurus anak ketika ibu pergi?”. Imbasnya konfliknya pun seputar suami ke istri, dan orang tua ke anak. Ada sih sempalan konflik-konflik kecil sebagai subplot. Sayangnya subplotnya kurang kuat untuk menyokong plot utama.

Kalo soal aktingnya Vino udah nggak usah diraguin lagi lah ya. Sebagai tokoh sentral di cerita, doi menjiwai banget karakter seorang ayah metropop muda. Yang saya sayangkan adalah akting dua anak kecil sebagai anak dari Vino. Keliatan banget aktingnya bener-bener ‘didirect’, jadi nggak natural. Padahal kalo dua anak ini aktingya optimal, adegan-adegan menyentuhnya bakal ngena banget dan punchline komedinya bisa lebih pecah.

Ini adalah genre drama komedi keluarga. Untuk orang tua muda yang memiliki anak pasti ngerelate banget sama kehidupan mereka. Untuk yang belum punya anak, abis nonton ini pasti kepengen punya anak. Silahkan bawa anak untuk nonton Super Didi, karena film ini jelas ditujukan untuk anak-anak juga.

Pesan moralnya sungguh mulia, bahwa kemana pun kita mencari penjelasan atas sebuah pertanyaan, semua jawabannya ada di keluarga =)
Share: