Friday, 27 May 2016

Jadi Kepompong di Galaxy Hotel and Capsule, Ho Chi Minh

Lekukan body Sungai Mekong tidak bisa tidak membangunkan saya dari tidur di seat paling belakang kelas ekonomi sebuah maskapai. Cahaya matahari keemasan memantul dari permukaan airnya. Terlihat seperti manik-manik emas dari kaca jendela pesawat. Perahu-perahu tongkang yang bertebaran semakin membuat pandangan saya tidak bisa beralih dari sungai yang memberi kesuburan luar biasa bagi Vietnam.

Ini lah kali pertama saya menginjakkan kaki di negerinya Uncle Ho. Di bandara internasional Ho Chi Minh saya bertemu dengan kelima travelmate saya secara lengkap. Terima kasih dan hormat yang sebesar-besarnya untuk mereka yang mau repot-repot mengajak saya dalam trip, katakanlah, eksplore Vietnam kali ini.

Mbak Tika, si perancang itinenary, langsung berinisiatif menggiring kami mencari penginapan. Ini adalah bagian paling krusial dari sebuah trip low budget. Kami berenam adalah korban dari pas-pasannya gaji sehingga tidak ada satu pun provider kartu kredit yang mau issue produknya untuk kami, sedangkan kebanyakan penginapan bisa dibooking hanya dengan kartu kredit. Konsekuensinya, ya kami harus mengeluarkan effort ekstra untuk cari tempat bermalam dengan cara on the spot.

Untungnya Mbak Tika udah menspot penginapan-penginapan mana saja yang sekiranya cocok untuk kami. Kualifikasi kami tidak banyak, yang penting nyaman, aman, bersih, dan supaya kehidupan tetap berjalan, tentu saja wifi gratis. Kami sepakat mencari penginapan di sekitaran Ben Thanh Market karena terletak di pusat Ho Chi Minh City.

Beberapa kali kami memasuki penginapan dengan rate hotel bintang tiga, yang tentu saja, bikin kami menggeleng kompak. Fasilitasnya sih oke, tapi harganya bisa bikin kami puasa mutih selama di Vietnam.

Kami melihat di list penginapan paling bawah yang kami punya, tertera nama Galaxy Hostel. Ian si pembawa peta memimpin pencarian hostel ini. Dari bundaran Ben Thanh, kami melewati Mc Donalds dan menyusuri taman kota. Sesekali kami merapal doa karena pengendara motor di Ho Chi Minh menganggap para pejalan kaki adalah Hercules yang kalau ketabrak motor paling banter cuma meriang doang.

Sekitar lima ratus meteran berjalan lurus, ada sebuah cafĂ© berfasade kayu dan bambu, dihiasi dengan lampion dan atribut khas Tiongkok di depannya. Kami berbelok ke kiri, dan tidak jauh dari pangkal belokan ada papan nama Galaxy Hotel and Capsule. Kami berenam langsung sumringah, wajah-wajah kami sudah seperti seseorang yang mengejar cinta tapi tak berbalas. Lelah. 
Bukan tukang tahu bulet

Ternyata penginapan ini terletak masuk ke dalam gang kecil. Saya sempat cemas, masu ke dalam gang identik dengan tempat yang tidak nyaman dan kotor. Kami disambut oleh resepsionisnya. Cowok. Sangat ramah. Kami menanyakan room yang available dan rate harga. Si resepsionis murah senyum ini menyarankan kita untuk menggunakan capsule room. Dia tahu kami adalah turis dengan budget amat sangat terbatas. Terlihat dari reaksi kami setiap dia menawarkan sebuah kamar dengan harganya, 
Kalau sudah ketemu sign ini, berarti kita tidak lagi ada di Jakarta


“Is there cheaper room available?”

Dan dengan harga USD 7 per orang, kami deal menginap di capsule room. Ruangannya memanjang dengan beberapa kompartemen kotak-kotak tempat tamu menginap. Ada sekitar 15-20 space. Ukurannya hanya cukup untuk satu orang dewasa per kotaknya dan mepet dengan space sebelah. Saya bertekad tidak boleh mengigau, karena pasti terdengar siapa pun yang tidur di sebelah. Ummm…buang angin juga sangat tidak disarankan. Bayangkan, di kotak yang hanya muat untuk kita rebahan di mana ruang gerak sangat terbatas, buang angin bisa dikatakan tindakan setengah bunuh diri.

Kecemasan saya tentang tempat yang kurang nyaman hilang. Karena hostel ini sangat bersih, nyaman, dan aman. Tersedia juga loker untuk menaruh tas kami yang segede gajah hamil muda. Kamar mandi untuk capsule room ini letaknya di luar dengan dinding kaca buram.

“Eh, kamar mandinya pake kaca burem. Kita mandinya jangan sebelah-sebelahan. Ntar lu pada bisa ngeliat siluet tubuh bugil gue.” Kata Ian. Sisanya sepakat bilang,

“Najis.”

Harga yang kami bayarkan sudah termasuk sarapan dengan roti telur ceplok, kopi, teh, dan pisang. Yummy. Kalau menginap di sini jangan takut tidak ada fasilitas lain yang berhubungan dengan trip dan tour. Pengelola hotel ini bisa mengatur tour sesuai dengan keinginan. Saya dan teman-teman memilih untuk tidak mengambil tour karena sudah sepakat untuk arrange semuanya secara swadaya. 
Timur ke barat, selatan ke utara, tak jua aku temukan.....*you sing you lose*

Ketepatan memilih Galaxy Hotel and Capsule ini terasa sekali ketika kami menikmati Ho Chi Minh di malam hari. Hotel ini dekat dengan restoran makanan halal, kedai kopi, money changer, bahkan dekat dengan gedung Parlemen. Jadi kami bisa ngalay kelayaban tanpa khawatir kemaleman dan kesulitan transportasi. 
Ben Thanh Market. Beringharjonya Ho Chi Minh City
Nontonin orang pacaran di depan gedung DPR-nya Ho Chi Minh. Kurang kang kerak telor doang, nih.

Tapi antusiasme saya pribadi bukanlah Ho Chi Minh malam hari yang gemerlap. Saya justru semangat ketika waktu tidur tiba. Karena ini untuk pertama kalinya saya tidur seperti kepompong di sebuah kotak. Lelah jalan kaki mengitari Ho Chi Minh ikut larut ketika saya mulai menarik selimut dan masuk ke dalam kapsul. Charge semua gadget, berdoa, dan kemudian mematikan lampu tidur. 
Chentong. Travelmate saya. Gaya capeknya setelah narik bajaj
 di Indonesia terbawa sampai Vietnam


Mbak Tika, Mbak Sri, dan Danys. Lagi diskusi betapa sulitnya nyari tukang bubur yang udah naik haji di Vietnam.



Dan ternyata rasanya memang nyaman. Hangat. Seperti sebuah pelukan yang sudah lama hilang dan tiba-tiba datang lagi =)
Tempat tidur dan ransel. Cuma kamu yang bisa menyaingi kenyamanan yang diberikan keduanya.


Share:

Monday, 23 May 2016

We Ya Ga? (Bahasa Vietnam)

Kesannya traveling ke luar negeri itu keren. Padahal mesti dilihat dan disepeakati dulu takaran ‘keren’ itu seperti apa. Apakah mereka yang menyeret koper dan bermalam di hotel bintang tiga ke atas? Atau mereka yang gamblok ransel dan tidur di penginapan alakadarnya, yang penting pulas? Tidak ada standar pasti. 



Bagi saya, traveling ke luar negeri yang keren itu kalau kita bisa berkomunikasi dengan penduduk negara tujuan kita. Ke Malaysia okelah, mereka masih satu rumpun dengan kita. No big deal. Untuk ngobrol-ngobrol perbandingan harga cabe kriting antara Jakarta-Kuala Lumpur kita masih nyambung. Singapura lebih gampang lagi. Melayunya sudah banyak kata serapan yang mirip-mirip Bahasa Indonesia. Kalaupun mau sok-sokan pakai Bahasa Inggris mereka jago banget.

Nah masalahnya ketika saya traveling ke Vietnam. Ini negara pernah dijajah Prancis dan diinvasi Amerika Serikat. Tapi mayoritas mereka tidak berbicara dengan Bahasa Prancis atau Inggris. Saya dan kelima travelmate sempat dibuat agak kesulitan masalah bahasa ketika di Vietnam.

Pertamakali mendarat di Bandara Internasional Than Son Nhat, Ho Chi Minh, saya dan teman-teman masih belum menemukan masalah terkait bahasa. Petugas-petugas di bandara hingga kru shuttle bus masih fasih berbahasa Inggris. Cukup bisa dimengerti karena mereka adalah representatif orang Vietnam di mata dunia, jadi harus ‘nyambung’ kalau berkomunikasi dengan orang dari berbagai bangsa.

Mulai agak kacau ketika kami sedang keluyuran menikmati suasana malam Kota Ho Chi Minh. Yang paling krusial masalah bahasa ini adalah ketika kami memesan makanan. Biarpun tampang kami tidak cakep-cakep amat bahkan cenderung kriminil, tapi kalo soal makanan kami sadar bahwa Vietnam tidak mengenal sistem identifikasi makanan atas dasar halal dan nonhalal. Dan kami sepakat untuk memegang nilai-nilai yang kami yakini dengan tidak sembarangan makan. Pokoknya kalo halal sikat, kalo nonhalal cukup dipandang saja.

Dengan wajah berbinar karena USD yang kami convert ke VND menang selisih kurs dengan budget, saya dan yang lain nongkrong untuk ngopi di café dekat Benthanh market yang bernuansa Tiongkok.

“Eh, masa ngopi doang, makanannya kagak?”

“Oh iya, pesen lah. Pizza enak, nih.” Chentong, travelmate saya, dengan gaya bendahara mafia Pasar Bengkok menyetujui, karena secara aklamasi dia yang terpilih untuk pegang uang kita selama di Vietnam.

“Excusme, can we order this pizza?” Chentong menunjuk buku menu. Salah satu pelayan menghampiri kami.

“Pizza with meat?”

“Yes, please.”

Tapi sebelum si pelayan pergi untuk membuatkan pesanan kami, saya dan yang lain bertanya-tanya. Meat itu kan daging, nah ini daging apa yang dipakai? Biasanya kan kalo daging sapi ditulis ‘beef’ dan kalau babi ‘beacon’.

“Sori, what kind of meat?” Chentong memastikan lagi. Si Pelayan terlihat agak panik.

“&@^#&#(#(#*^!^##” Katanya dengan Bahasa Vietnam.

“We don’t eat pork.”

“#$%^^(Q)*&*%&())$**@@” Si pelayan malah menunjuk-nunjuk buku menu.

“Pig. You know Pig. We don’t eat it!” Chentong mulai garuk-garuk aspal.

“######))(*%&@()($(@@”

Chentong mulai frustasi. Saya dan yang lain cuma cengengesan menyaksikan dua orang dari dua belahan bumi yang berbeda ini bercakap-cakap.

“Do you have pizza with beef? I mean, cow meat. You know cow? Sounds like, ‘MOOOOOO’...”

Spontan saya terbahak. Malam itu kami gagal makan pizza daging sapi. Diganti dengan pizza ayam. Karena ternyata mereka mengerti kata ‘chicken’.

Berbeda pula masalah ini ketika kami di terminal. Orang-orang di terminal Ho Chi Minh hanya bisa mengucapkan “Where you go?”, itu pun terdengar seperti “We ya ga?” dengan artikulasi yang cepat. Untungnya kami mengerti dan kemudian menjawab,

“We want to go to Benthanh Market, what bus should we take?”

“@##%^(#*@^*@^@)!!###.”

“ARRRGGGHHHH!!!”

Di Pasar di Da Lat, kami beli manisa buah peach dan anggur dengan komunikasi full dengan kalkulator ponsel. Di tepi danau Da Lat, para pedagang jajanan mengeluarkan pecahan uang yang mereka punya untuk memberitahukan harga dagangannya. Di Hostel Mui Ne, saya harus menarik ke atas hidung saya dan menyipitkan mata sebagai isyarat bahwa kami tidak makan daging babi.

Eh tapi ada juga penduduk Vietnam yang jago Bahasa Inggris. Hari terakhir di Da Lat, saya mengikuti tur yang membawa kami ke sebuah kampung. Terkenal dengan nama Chicken Village. Suku yang mendiami kampung ini bernama suku Kho’. Mereka tidak berbahasa Vietnam, mereka punya bahasa ibu sendiri. Kabarnya mereka ini adalah Bangsa Melayu kuno yang terpisah dengan Bangsa Melayu yang sekarang jadi sebagian besar Indonesia, dan Malaysia. Mereka ini tersisih karena perang saudara yang terjadi di Vietnam. Matapencaharian mereka bertani dan menjual kain hand made.
 
 
 
Enaknya, kami tidak perlu susah-susah menirukan suara sapi atau mimik babi sakit perut untuk berkomunikasi. Ada penduduk Kho’ yang jago Bahasa Inggris, super ramah pula. Tampang mereka yang lebih melayu dari Vietnamese kebanyakan dan lebih mirip kami, membuat kedekatan yang terjadi jadi lebih menyala. 
 


Jadi saran saya ketika bepergian ke Vietnam, perbanyaklah kosakata bahasa tubuh. Terlihat lucu sih, tapi percayalah, itu sangat menolong.

Tinggal memahami bahasa kalbu kamu aja nih yang belom =(
Share:

Saturday, 7 May 2016

Paradoks Kebun Teh

Terkadang yang paling aneh dalam hidup adalah pada unsur paradoksnya. Kenyataan yang berlawanan dengan ekspektasi atau kenyataan.

Mari mulai dengan dengan berita televisi tentang kemacetan di luar Jakarta saat dua tanggal merah bertumpuk jadi satu lalu disambung hari sabtu-minggu. Entah karena saya yang meman enggak kemana-mana pas long weekend ini, atau karena memang saya geli sendiri melihat polah orang-orang kota itu. Hampir tiap hari dalam aktifitasnya terselip keluh kesah, amarah, dan enggak jarang caci maki secara terang-terangan tentang betapa macetnya Jakarta. Betapa enggak becusnya pemerintah menyusun konsep transportasi massal yang benar. Dan betapa kurangnya waktu istirahat yang cukup. Tapi begitu kesempatan berlibur datang, mereka malah berbondong-bondong secara masif keluar rumah dengan kendaraan bermotornya. Kemudian macet. Dan akhirnya saya hanya menemukan orang-orang yang berpindah dari satu keriuhan ke keriuhan lain. Mengeluh karena kurang istirahat, tapi justru meninggalkan rumah, tempat yang seharusnya menjadi kawasan pelepas penat paling mujarab. Paradoks.

Saya jadi teringat ketika seorang kawan mengajak saya camping ke Tegal Panjang. Sebuah lembah pegunungan yang mejadi bagian dari Gunung Papandayan. Jalur trekkingnya dimulai dari sebuah desa terpencil bernama Cibutarua, dekat Pengalengan, Bandung. Enggak ada alasan khusus kenapa saya menerima ajakan si kawan ini. Seperti kebanyakan alasan ratusan, bahkan mungkin jutaan, karyawan dengan jadwal harian tetap yang sebagian besar 24 jam-nya terenggut habis di depan monitor PC, adalah butuh refreshing. Atau bahasa medsos kekininannya, kurang piknik.

Saya mulai memasuki kawasan kebun teh selepas Pengalengan menjelang subuh. Siluet perbukitan dan hamparan luas berwarna hitam yang sejak tadi tertutup gelap mulai menampakkan sosok aslinya dalam bentuk dimensi utuh terpapar sinar matahari yang mulai menggeliat. Bukan lagi siluet yang saya lihat. Perlahan hamparan hitam tadi berubah menjadi gradasi dominan hijau. Ternyata sejak subuh tadi mobil kami melewati kebun teh yang sangat luas. Untuk ukuran orang yang referensi kebun tehnya hanya sebatas Puncak Bogor, kebun teh di sepanjang jalan menuju Cibutarua jauh lebih Indah. Jalur-jalur yang dibuat petani untuk memanen teh membentuk sebuah pola teratur. Sangat memanjakan mata. Sepanjang mata memandang, hanya ada hamparan kebun teh. Mobil sedan kami terseok-seok menaiki bukit di antara kebun itu. Dari titik yang lumayan tinggi, kami bisa melihat pemandangan di bawah sana. Dan ya, pemandangan berupa kebun teh juga. Pola-pola yang dibentuk oleh jalur petani seperti crop circle raksasa. Kami bahkan memaksa untuk menyempatkan diri berfoto kalau ada spot bagus. Mumpung cuaca cerah dan langit fajar sedang gemes-gemesinnya. 
 



Semakin dekat kami ke tujuan, semakin kami jauh dari ‘peradaban’. Jalan aspal sudah menyerah mengiringi perjalanan kami. Berganti jadi jalanan terjal berbatu. City car kami yang berbentuk sedan itu mesti susah payah merangakak. Enggak jarang saya harus turun dan menuntun Centong, salah satu teman seperjalanan, yang menyetir supaya enggak salah pilih jalur. 


“Yak, terus. Ambil kanan…awas lobang. Kiri, kiri, kiri…hati-hati ada batu kal. Tengah, tengah, ambil tengah…awas ada mantan ama pacar barunya!” Begitu saya memberi aba-aba. 


Rasa frustasi perlahan menghampiri kami. Karena tujuan tak juga sampai. Berkali-kali tanya ke penduduk lokal yang kebetulan lewat, jawabannya selalu sama, “Ikutin aja jalannya, sampai kebun teh habis.” Begitu. Mendadak kebun teh yang beberapa jam lalu begitu indah jadi enggak ada artinya lagi. Dibantu dengan kemurahatian takdir dan ketepatan nasib, kami sampai juga di Cibutarua. 


Lalu apakah urusan kami dan kebun teh sudah selesai? Sudah. Setidaknya untuk sementara. Sepanjang perjalanan kami trekking dari Cibutarua menuju Tegal Panjang, setengah perjalanan kami adalah kembali menyusuri kebun teh. Lebih melelahkan lagi karena kami harus berjalan kaki. Kalau bukan karena keramahtamahan petani teh yang kami jumpai, mungkin rasa lelah bisa saja memerintahkan logika untuk buka tenda di tengah kebun teh, dan melupakan Tegal Panjang.

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bersyukur ketika hamparan indah kebun teh itu berganti jadi hutan penuh belukar. Perasaan dan kenangan masa kecil ketika ayah saya membuka kaca jendela mobil dan menceritakan beraneka kisah tentang kebun teh di Puncak dan saya mendengarkan dengan kagum, hari itu seperti enggak berbekas.

Tapi penat karena kebun teh seketika hilang ketika saya berhasil sampai di Tegal Panjang. Padang savana yang luas. Hijau. Hijau yang berbeda dengan kebun teh. Ini adalah pemandangan landscape luas nonkebun teh pertama yang kami jumpai selama hampir dua hari. Pemandangan yang mungkin akan biasa saja kalau jejeran kebun teh tidak sejauh dan sebanyak yang mengikuti perjalanan kami.

Betapa jarak bisa mengubah persepsi. 
 





Share: