Kesannya traveling ke luar negeri itu keren. Padahal mesti dilihat dan disepeakati dulu takaran ‘keren’ itu seperti apa. Apakah mereka yang menyeret koper dan bermalam di hotel bintang tiga ke atas? Atau mereka yang gamblok ransel dan tidur di penginapan alakadarnya, yang penting pulas? Tidak ada standar pasti.
Bagi saya, traveling ke luar negeri yang keren itu kalau kita bisa berkomunikasi dengan penduduk negara tujuan kita. Ke Malaysia okelah, mereka masih satu rumpun dengan kita. No big deal. Untuk ngobrol-ngobrol perbandingan harga cabe kriting antara Jakarta-Kuala Lumpur kita masih nyambung. Singapura lebih gampang lagi. Melayunya sudah banyak kata serapan yang mirip-mirip Bahasa Indonesia. Kalaupun mau sok-sokan pakai Bahasa Inggris mereka jago banget.
Nah masalahnya ketika saya traveling ke Vietnam. Ini negara pernah dijajah Prancis dan diinvasi Amerika Serikat. Tapi mayoritas mereka tidak berbicara dengan Bahasa Prancis atau Inggris. Saya dan kelima travelmate sempat dibuat agak kesulitan masalah bahasa ketika di Vietnam.
Pertamakali mendarat di Bandara Internasional Than Son Nhat, Ho Chi Minh, saya dan teman-teman masih belum menemukan masalah terkait bahasa. Petugas-petugas di bandara hingga kru shuttle bus masih fasih berbahasa Inggris. Cukup bisa dimengerti karena mereka adalah representatif orang Vietnam di mata dunia, jadi harus ‘nyambung’ kalau berkomunikasi dengan orang dari berbagai bangsa.
Mulai agak kacau ketika kami sedang keluyuran menikmati suasana malam Kota Ho Chi Minh. Yang paling krusial masalah bahasa ini adalah ketika kami memesan makanan. Biarpun tampang kami tidak cakep-cakep amat bahkan cenderung kriminil, tapi kalo soal makanan kami sadar bahwa Vietnam tidak mengenal sistem identifikasi makanan atas dasar halal dan nonhalal. Dan kami sepakat untuk memegang nilai-nilai yang kami yakini dengan tidak sembarangan makan. Pokoknya kalo halal sikat, kalo nonhalal cukup dipandang saja.
Dengan wajah berbinar karena USD yang kami convert ke VND menang selisih kurs dengan budget, saya dan yang lain nongkrong untuk ngopi di café dekat Benthanh market yang bernuansa Tiongkok.
“Eh, masa ngopi doang, makanannya kagak?”
“Oh iya, pesen lah. Pizza enak, nih.” Chentong, travelmate saya, dengan gaya bendahara mafia Pasar Bengkok menyetujui, karena secara aklamasi dia yang terpilih untuk pegang uang kita selama di Vietnam.
“Excusme, can we order this pizza?” Chentong menunjuk buku menu. Salah satu pelayan menghampiri kami.
“Pizza with meat?”
“Yes, please.”
Tapi sebelum si pelayan pergi untuk membuatkan pesanan kami, saya dan yang lain bertanya-tanya. Meat itu kan daging, nah ini daging apa yang dipakai? Biasanya kan kalo daging sapi ditulis ‘beef’ dan kalau babi ‘beacon’.
“Sori, what kind of meat?” Chentong memastikan lagi. Si Pelayan terlihat agak panik.
“&@^#&#(#(#*^!^##” Katanya dengan Bahasa Vietnam.
“We don’t eat pork.”
“#$%^^(Q)*&*%&())$**@@” Si pelayan malah menunjuk-nunjuk buku menu.
“Pig. You know Pig. We don’t eat it!” Chentong mulai garuk-garuk aspal.
“######))(*%&@()($(@@”
Chentong mulai frustasi. Saya dan yang lain cuma cengengesan menyaksikan dua orang dari dua belahan bumi yang berbeda ini bercakap-cakap.
“Do you have pizza with beef? I mean, cow meat. You know cow? Sounds like, ‘MOOOOOO’...”
Spontan saya terbahak. Malam itu kami gagal makan pizza daging sapi. Diganti dengan pizza ayam. Karena ternyata mereka mengerti kata ‘chicken’.
Berbeda pula masalah ini ketika kami di terminal. Orang-orang di terminal Ho Chi Minh hanya bisa mengucapkan “Where you go?”, itu pun terdengar seperti “We ya ga?” dengan artikulasi yang cepat. Untungnya kami mengerti dan kemudian menjawab,
“We want to go to Benthanh Market, what bus should we take?”
“@##%^(#*@^*@^@)!!###.”
“ARRRGGGHHHH!!!”
Di Pasar di Da Lat, kami beli manisa buah peach dan anggur dengan komunikasi full dengan kalkulator ponsel. Di tepi danau Da Lat, para pedagang jajanan mengeluarkan pecahan uang yang mereka punya untuk memberitahukan harga dagangannya. Di Hostel Mui Ne, saya harus menarik ke atas hidung saya dan menyipitkan mata sebagai isyarat bahwa kami tidak makan daging babi.
Eh tapi ada juga penduduk Vietnam yang jago Bahasa Inggris. Hari terakhir di Da Lat, saya mengikuti tur yang membawa kami ke sebuah kampung. Terkenal dengan nama Chicken Village. Suku yang mendiami kampung ini bernama suku Kho’. Mereka tidak berbahasa Vietnam, mereka punya bahasa ibu sendiri. Kabarnya mereka ini adalah Bangsa Melayu kuno yang terpisah dengan Bangsa Melayu yang sekarang jadi sebagian besar Indonesia, dan Malaysia. Mereka ini tersisih karena perang saudara yang terjadi di Vietnam. Matapencaharian mereka bertani dan menjual kain hand made.
Enaknya, kami tidak perlu susah-susah menirukan suara sapi atau mimik babi sakit perut untuk berkomunikasi. Ada penduduk Kho’ yang jago Bahasa Inggris, super ramah pula. Tampang mereka yang lebih melayu dari Vietnamese kebanyakan dan lebih mirip kami, membuat kedekatan yang terjadi jadi lebih menyala.
Jadi saran saya ketika bepergian ke Vietnam, perbanyaklah kosakata bahasa tubuh. Terlihat lucu sih, tapi percayalah, itu sangat menolong.
Tinggal memahami bahasa kalbu kamu aja nih yang belom =(
salah satu yang bikin bahasa Vietnam itu rumit karena mereka punya tone untuk kata-katanya, teman-teman kampus saya banyak orang Vietnam dan sampai sekarang saya masih "aneh" setiap denger mereka ngobrol, hihi
ReplyDeleteSusah juga ya.. Tapi bacanya lucu! Ngebayangin orang ga saling ngerti bahasa tapi ngobrol, stress bangett!
ReplyDeleteHarus nyiapin print di kertas klo ke sana yg pake bahasa mereka. Temenku juga pernah jalan ke mana gitu terus ngeprint tulisan nama tempat dan pertanyaan2 yg kira2 bakalan ditanya.
berbeda bahasa memang susah sekali ya, tapi semua itu bisa kita jadikan sebagai pengalaman yang menarik..
ReplyDelete