Selalu ada antusias yang berbeda pada semua kesempatan pertama. Entah itu menakutkan, bikin grogi, sampai menumbuhkan rasa penasaran.
Trip eksplore Vietnam memberikan saya kesempatan untuk memulai, dan mencicip sesuatu untuk yang pertama kalinya.
Antusiasme pertama saya adalah ketika saya dan teman-teman membeli tiket bus seharga 100.000 VND di salah satu travel agent dekat dengan Galaxy Hotel & Capsule. Rencana kami adalah melakukan perjalanan darat kurang lebih 5 jam dari Ho Chi Minh ke sebuah kota pesisir di selatan Vietnam, Mui Ne. Untuk bis menuju Mui Ne, kita memang harus booking tiket lebih dulu. Jadwal keberangkatannya jam 7 pagi dan 11 siang. Karena kami tidak mau menyia-nyiakan waktu mengingat ketidaktahuan kami akan medan Mui Ne, kami memilih keberangkatan yang jam 7. Kalau sampai kesorean, kami tidak bisa menyusuri lekuk-lekuk sudut Mui Ne lebih dalam, walaupun dengan begitu saya dan yang lain harus memotong jatah tidur dan bangun lebih pagi.
Lalu apa yang menjadi pertama kali ini? Ini dia. Ketika Mbak Tika membooking tiket untuk enam orang, mbak-mbak penjaga counternya bilang, “Okay, for six people at seven o’clock by sleeper bus.”
Sleeper bus. Ya ini lah yang pertama bagi saya. Cukup penasaran dengan bagaimana bentuknya. Oke, mungkin bentuknya lazim seperti bus kebanyakan. Mungkin penasaran saya lebih ke bagaimana interior dan kabin di dalamnya ya. Naik bus malam di Indonesia, ya seperti bus biasa saja. Hanya saja seat-nya lebih lega dan dapat selimut. Nah sleeper bus ini yang seperti apa? Keingintahuan saya terjawab tepat keesokan paginya.
Pagi-pagi, dengan agak terburu-buru karena kami sedikit kesiangan, sebuah mobil travel mengantar kami ke sebuah pool bus. Di sana sudah banyak berbaris bus dengan tampilan jangkung seperti bus tingkat. Ini lah sleeper bus yang akan kami tumpangi. Untuk memasukinya penumpang diwajibkan membuka alas kaki. Seat-nya berbahan jok kulit tersusun dua tingkat seperti ranjang anak pesantren dan dalam posisi horizontal. Jadi sangat nyaman untuk selonjoran dalam perjalanan selama 5 jam. Fasilitas lainnya adalah air mineral dan unsur utama penunjang kehidupan bernama wifi gratis. Ahey!
Trip eksplore Vietnam memberikan saya kesempatan untuk memulai, dan mencicip sesuatu untuk yang pertama kalinya.
Antusiasme pertama saya adalah ketika saya dan teman-teman membeli tiket bus seharga 100.000 VND di salah satu travel agent dekat dengan Galaxy Hotel & Capsule. Rencana kami adalah melakukan perjalanan darat kurang lebih 5 jam dari Ho Chi Minh ke sebuah kota pesisir di selatan Vietnam, Mui Ne. Untuk bis menuju Mui Ne, kita memang harus booking tiket lebih dulu. Jadwal keberangkatannya jam 7 pagi dan 11 siang. Karena kami tidak mau menyia-nyiakan waktu mengingat ketidaktahuan kami akan medan Mui Ne, kami memilih keberangkatan yang jam 7. Kalau sampai kesorean, kami tidak bisa menyusuri lekuk-lekuk sudut Mui Ne lebih dalam, walaupun dengan begitu saya dan yang lain harus memotong jatah tidur dan bangun lebih pagi.
Lalu apa yang menjadi pertama kali ini? Ini dia. Ketika Mbak Tika membooking tiket untuk enam orang, mbak-mbak penjaga counternya bilang, “Okay, for six people at seven o’clock by sleeper bus.”
Sleeper bus. Ya ini lah yang pertama bagi saya. Cukup penasaran dengan bagaimana bentuknya. Oke, mungkin bentuknya lazim seperti bus kebanyakan. Mungkin penasaran saya lebih ke bagaimana interior dan kabin di dalamnya ya. Naik bus malam di Indonesia, ya seperti bus biasa saja. Hanya saja seat-nya lebih lega dan dapat selimut. Nah sleeper bus ini yang seperti apa? Keingintahuan saya terjawab tepat keesokan paginya.
Pagi-pagi, dengan agak terburu-buru karena kami sedikit kesiangan, sebuah mobil travel mengantar kami ke sebuah pool bus. Di sana sudah banyak berbaris bus dengan tampilan jangkung seperti bus tingkat. Ini lah sleeper bus yang akan kami tumpangi. Untuk memasukinya penumpang diwajibkan membuka alas kaki. Seat-nya berbahan jok kulit tersusun dua tingkat seperti ranjang anak pesantren dan dalam posisi horizontal. Jadi sangat nyaman untuk selonjoran dalam perjalanan selama 5 jam. Fasilitas lainnya adalah air mineral dan unsur utama penunjang kehidupan bernama wifi gratis. Ahey!
Penampakan Seat |
Ditaro paling belakang, cos kami penumpang yang bau kakinya paling membunuh |
Ini diteriakin "Kebakaran!!!" juga nggak bakal pada bangun |
Lalu hal pertama berikutnya adalah soal berkendara. Sesampainya di Mui Ne, kami dikecewakan oleh kejadian full booked sebuah hostel incaran kami. Di Mui Ne ada sebuah penginapan terkenal bernama Backpacker Village. Wajar saja tempat ini menjadi favorit, selain harganya murah, fasilitas kolam renang, dan pesta kebun menjadi daya tarik tersendiri walaupun hostel ini tidak terletak di sisi pantai. Apa boleh buat, kami memutuskan berpencar untuk mencari penginapan. Hingga akhirnya ada dua kandidat penginapan. Yang pertama sebuah resort seharga 12,5 USD/pax/night. Letaknya tepat di seberang Backpacker Village, dan ada di sisi pantai. Pemandangan dari balkon halaman belakangnya, hmmm…bikin ogah ngapa-ngapain kecuali memandang cakrawala luas yang bersatu dengan laut biru Mui Ne. Yang kedua, sebuah penginapan bernama Sea Winds dengan konsep bungalow tepat di sebelah Bacpacker Village. Hanya 7 USD/pax/night dengan fasilitas standar.
“Guys, kita pegang sekitar 20 jutaan Dong, nggak mau coba yang mewah-mewah, nih?” Chentong bendahara kami memberi usul. Saya, dia, Ian, dan Danys ketika di Kuala Lumpur setengah mati menahan diri untuk tidak mengeluarkan uang untuk hal yang tidak perlu. Benar-benar jadi rakyat jelata, jadi sekarang ketika berada di negara yang kurs mata uangnya lemah, menjadi permisif jika kami ingin menjadi sosialita.
Tapi atas dasar konsep backpackeran dan memang sudah ‘dari sononya’ punya mental melarat, kami sepakat memilih penginapan yang kedua. Not bad lah, bagus malah. Air conditioner, toilet bersih, dan hammock di depan kamar yang akhirnya beralih fungsi jadi jemuran, sudah lebih dari cukup dan sepadan untuk harga 7 Dollar Amerika.
Abis difoto hammocknya jadi jemuran kolor |
Frontmant penginapan itu menawarkan kami sewa sepeda motor jika ingin eksplor Mui Ne dengan harga 80.000VND/hari exclude bahan bakar. Tentu saja kami menerimanya, karena kami memang tidak menggunakan jasa travel untuk tour di Mui Ne ini. Nah, cerita berkendara untuk yang pertamakalinya di luar negeri dimulai di sini.
Vietnam adalah salah satu negara Asia yang mewarisi sistem kontrol navigasi di sebelah kiri, seperti di Eropa. Yang mana, jalur kanan di Indonesia adalah jalur kiri di Vietnam atau sebaliknya. Saya dan teman-teman tentu saja kagok dengan perubahan jalur ini. Di sepanjang jalan menuju Sand Dunnes dan pinggiran pantai, kami berkali-kali kena klakson kendaraan lain karena berjalan di sisi kiri jalan, padahal seharusnya adalah di kanan. Uniknya lagi, di Vietnam semua pengendara motor berhelm cetok. Jadi bakalan aneh kalau di sana kita pakai helm full face. Jangan heran lihat pengendara motor sport tapi pakai helm sepeda. Lucu. Dan penjaga penginapan kami bilang, selama kita bermotor dengan kecepatan 40km/jam, maka aman dari tilangan polisi. Saya yang sudah biasa salip menyalip melawan kopaja atau metromini, jelas gemas dengan kendaraan yang jalannya kayak lagi karnaval tujuh belasan.
Siap balapan ama Mas Boy anak jalanan... |
"Bang jemput ya, eneng di perahu yang paling pojok" |
Dan di Mui Ne pula saya untuk pertamakalinya melihat padang pasir seperti yang ada di timur tengah. Yes, literally dessert. Memang cuacanya tidak seganas di timur tengah, tapi tampilan pasirnya mirip loh. Letak Sand Dunnes ini cukup dekat dari penginapan dan pemandangan kampung nelayan di tengah perjalanannya juga keren melintir, tapi karena kami terlalu mengandalkan peta digital dengan sinyal pas-pasan, ya jadinya nyasar. Untungnya sebelum matahari terbenam kami tiba di tujuan. Saya yang biasanya paling banter main pasir bangunan belum diayak langsung guling-guling di lembutnya pasir Sand Dunnes.
Six Stars |
Kalo ke sini lagi harus pakai sorban ama gamis |
Semua yang pertama, baik sedikit atau banyak, bisa menimbulkan antusias yang berbeda. Katrok =(