Friday, 22 July 2016

Lawang Sewu, dan Sesuatu di Balik Pintu

Selepas maghrib sore menjelang malam itu kawasan Simpang Lima, Semarang, diterjang hujan deras. Beruntung saya dan kesembilan teman sudah berada di sebuah lapak warung tenda. Kami makan dengan sesekali diberi bonus berupa tampias air hujan. Becak-becak sewaan dengan kerlip lampu warna warni yang beroperasi di lapangan pusat Simpang Lima terlihat temaram, memberi kesan melow.

Setelah hujan reda, kami yang tadinya berniat keliling-keliling kawasan Simpang Lima, terjangkit virus bernama mager. Simpang Lima yang sebelum maghrib tadi begitu mengilap dan glamour mendadak kehilangan pesona di mata kami setelah dibasahi hujan.

“Ke Lawang Sewu aja, yuk!” Celetuk salah satu teman. Demi supaya malam minggu kami tidak ikutan anyep terbawa bau tanah setelah hujan, tidak perlu melakukan voting untuk meraih dua pertiga suara agar sepakat. Kami semua satu suara.

“Ayok!”

Karena menurut Google Maps dari Simpang Lima menuju Lawang Sewu tidak jauh, kami memutuskan jalan kaki. Sekitar setengah jam kami menyusuri Jalan Pandaran yang malam itu sedang gencar-gencarnya menawarkan bandeng juwana, bakso tahu, lunpia, dan wingko. Sampai di sebuah perempatan, kami menyebrang dan sampai di sebuah bangunan dengan fasade klasik ditimpali oleh sinar lampu berwarna kuning lemah. Kami sampai di Lawang Sewu. 
Fasade Depan Lawang Sewu

Kami membeli tiket masuk seharga Rp. 10.000/orang. Saya cukup ragu ketika melihat jam tutup Lawang Sewu adalah jam sembilan. Sedangkan saat itu saya masuk jam setengah sembilan. Ini sih palingan cuman sempet foto-foto dan check in location di sosmed aja. Begitu saya memprediksi. Namun kami ditawari untuk memakai gude atau tidak. Jika mau, maka kami harus mebayar lagi sebesar Rp. 50.000. Okelah, kami menyanggupi. Lumayan ada yang bisa ditanya-tanya, setidaknya kami tidak perlu khawatir diburu-buru waktu jam tutup karena ada guide.

Guide kami bernama Pak Aris. Orangnya sangat ramah, dan murah senyum. Tarikan wajahnya ketika senyum memancarkan aura kecerdasan. Beliau memulai penjelasan tentang sebuah sumur sumber air sedalam 930 meter. Sangat dalam, nyaris satu kilometer. Jika rindu bisa diukur dalamnya, mungkin sumur ini sudah dalam tahap rindu akut. Digali sedalam itu supaya air benar-benar tawar karena lokasinya dekat dengan laut.

Setelah itu baru lah kami tahu bahwa Lawang Sewu ini dulunya berfungsi sebagai kantor pusat perkeretaapian di Jawa. Gubernur Jendral Van Den Bosch menggunakan kereta sebagai transportasi utama di Jawa. Lawang Sewu ini di bangun sebagai tempat beristirahat para teknisi, konsultan, dan mandor-mandor Belanda yang membangun fasilitas kereta api lainnya. Lawang Sewu dibangun tahun 1904-1907, dan pintunya tidak benar-benar ada seribu. Daun pintu seluruhnya di sini ada 928 buah. Jadi sebetulnya Lawang Sewu itu hanya istilah saja. 
 
Pintu Salah Satu Ruang Istirahat Lawang Sewu
Pak Aris mulai menjelaskan bagian-bagian ruangan yang tidak boleh dimasuki. Karena beberapakali orang yang masuk ke ruangan tersebut kesurupan. Kami yang tadinya sedikit berpencar karena ada yang sibuk foto-foto secara refleks saling merapat. Di hadapan kami ada sebuah ruang bawah tanah tanpa pintu. Saya melongok ke bawah, tingginya sekitar dua meter lebih. Tadinya ada tangga, tapi sekarang sudah dicabut untuk mencegah pengunjung masuk. Bulu kuduk saya berdiri ketika Pak Aris bercerita bahwa pernah ada orang yang melihat kelelawar sebesar manusia. Pernah juga ada seorang ustadzah yang kembali lagi ke Lawang Sewu setelah seminggu pulang ke rumah karena dalam mimpinya dia selalu didatangi arwah yang meminta kerudungnya. 
Salah satu sudut Lawang Sewu

Kemudian kami di ajak ke loteng gedung utama. Sewaktu masih digunakan Belanda, ruangan dengan langit-langit berupa rangka kayu jati itu digunakan sebagai gudang penyimpanan persediaan logistik. Dan setelah perang di Pasifik pecah , 2000 tentara Jepang membantai 400 orang Belanda yang bekerja di Lawang Sewu. Loteng ini adalah salah satu lokasi pemancungan dan penyikasaan yang dilakukan oleh Jepang. Di tiap sisinya, loteng ini terdapat jendela persegi kecil, berfungsi sebagai lubang intai dan sniper. Angin yang masuk semakin menambah mencekam suasana. 
Oleh tentara Jepang, ruangan ini dipakai untung membantai pekerja sipil Belanda


“Ndak usah takut, Mas. Kalau lagi iseng, saya dan teman-teman suka main badminton kok di sini.” Pak Aris nyengir. Main bulutangkis di tempat bekas orang disembelih? Okay, saya mending adu panco lawan atlet sumo.

Setelah itu kami turun dan tur akan segera berakhir. “Pak Aris pernah nggak mengalami kejadian-kejadian mistis?” saya memotong obrolan Pak Aris dan salah satu teman saya.

Pak Aris berhenti dari kegiatannya. Pandangannya menyapu kami satu per satu, seolah memastikan apakah kami siap mendengar apa yang akan dikatakannya kemudian.

“Sering, Mas. Tapi cuma satu kejadian yang bikin saya takjub.” Katanya. Kami bersepuluh tidak ada yang bersuara. Antara enggan mendengar, tapi penasaran.

“Emang ada kejadian apa, Pak?”

Pak Aris bersiap cerita. Kemudian tiba-tiba hujan turun lagi. Tidak terlalu deras, tapi anginnya terasa dingin bertiup di antara tiang-tiang Lawang Sewu. Pintu-pintu yang tertiup angina bergoyang dan menimbulkan suara berderit. Waktu sudah hampir jam setengah sepuluh malam.

Kira-kira, begini cerita Pak Aris yang terkorespondensi:

Waktu itu jam dua dini hari. Saya baru saja mengecek semua pagar Lawang Sewu. Semuanya sudah terkunci rapi. Ketika saya kembali k epos jaga untuk menaruh kunci, saya melihat ada seorang nenek yang berjalan menenteng sebuah tas besar. Saya bingung, dari mana nenek ini masuk sementara semua pintu akses masuk dan keluar Lawang Sewu sudah terkunci. Saya pun menghampiri dan bertanya,

“Permisi, Nek. Nenek masuk dari mana?”

“Lha kok bingung, ini Lawang Sewu tho? Pintunya banyak, saya masuk lewat mana saja bisa.”

Saya mulai merinding. Tapi saya lawan rasa takut saya, saya mencoba tetap tenang.

“Nenek ada perlu apa ke sini?”

“Saya cuma mau istrahat.”

“Ohhh…Nenek dari mana, tho?”

“Demak.”

“Ohhh…lumayan jauh ya, Nek. Naik apa ke sini?”

“Ndak jauh. Dari Demak ke sini cuma dua menit, kok.”

Saya tertegun. Siapa gerangan nenek ini. Perawakan tuanya membuat saya sangat sulit percaya bahwa dia dari Demak dan cuma makan waktu dua menit. Jangankan nenek-nenek, atlet lari paling cepat sekalipun rasanya mustahil.

“Boleh ndak, saya istirahat di sini?”

“Boleh, boleh. Silahkan nenek mau istirahat di mana. Mau saya bawakan tasnya, Nek?”

“Memangnya kamu kuat?”

Awalnya saya merasa diremehkan oleh nenek ini. Tapi begitu saya mengangkat tasnya, astaga, berat luar biasa. Saya tidak bisa mengangkatnya. Bergerak sedikitpun tidak. Aneh. Taruh lah nenek ini manjat pagar, tapi dengan bawaan seberat ini sangat tidak mungkin.

“Hehehe, tidak kuat, tho?” Si nenek tertawa dan mengangkat sendiri tasnya dengan mudah.

Nenek itu mengambil tempat di salah satu pelataran ruangan Lawang Sewu. Pelataran itu ya di sini. Tempat persis kita berdiri ini. Dia bilang tujuannya adalah ke Pelabuhan Merak, dan akan sampai di sana sebelum subuh. Saya tidak percaya, memangnya dia mau naik apa.

“Kamu Ndak usah mikirin, nanti juga kamu tidur, dan pas bangun saya sudah ada di Merak.”

Benar saja. Tidak berapa lama saya dihinggapi kantuk yang amat sangat. Saya tertidur sambil berdiri karena memang harus menjaga dan mengawasi nenek ini. Rasanya tidur saya cuma sebentar. Tapi ketika bangun ternyata sudah hampir subuh. Dan si nenek sudah tidak ada di depan saya. Saya segera mencari ke seluruh bangunan, pagar, dan sudut-sudut Lawang Sewu. Tetap saya tidak temukan nenek itu. Entah ke mana. Entah siapa, atau tepatnya, apa sebenarnya nenek itu. Mungkin ketika itu dia sudah sedang menunggu kapal di Merak. Atau mungkin…ada di balik pintu itu. Di belakang kalian. 
Pelataran tempat Pak Aris bercerita. Kalau tau sebelumnya ada cerita serem di sini, foto ini tidak akan ada.
 

Hujan reda. Kami meninggalkan Lawang Sewu dengan wajah pias.


Share:

Thursday, 14 July 2016

Guest House Palapa, Murah Tidak Berarti Susah


Pukul delapan malam di sebuah weekend di akhir libur lebaran 2016 saat itu saya dan travelmate saya, Rengky, masih berada di atas sepeda motor. Perasaan capek, cemas, dan takut campur aduk jadi satu. Motor matic yang saya pacu maksimal tidak mampu meutup perasaan khawatir kami dalam menyusuri jalan memotong da Way Kambas menuju Bandar Lampung.

Salah kami juga yang terlalu sore keluar dati Taman Nasional Way Kambas, di saat matahari sudah terlalu condong ke arah barat. Sudah begitu, rupanya jalan pintas itu membawa kami jauh masuk ke dalam hutan Lampung dengan jalan yang luar biasa rusak, gelap, dan sepi. Teringat cerita-cerita orang tentang reputasi jalanan Sumatera, terutama Lampung.

Kami baru benar-benar lega setelah melihat kerlip lampu kota Bandar Lampung dari atas bukit. Rasanya segala kehawatiran akan bertemu dengan kejadian yang tidak diinginkan hilang begitu saja. Kami sepakat untuk segera mencari penginapan, karena sudah malam dan badan yang minta untuk segera di shutdown.

Setelah berdiskusi sebentar, kami memutuskan untuk menuju sebuah penginapan bernama Guest House Palapa. Letaknya ada di Jalan Diponegoro, dekat dengan bunderan dan retoran Padang Begadang 2. Pertama kali sampai di depannya, saya hanya melihat plang namanya saja, itu pun digabung oleh sebuah neon sign ummm...tempat pijat dan reflexy. Pintunya tertutup. Kami mengira penginapan ini tutup. Tapi ternyata pintu penginapan ini ada di sebuah gang kecil yang menuju halaman belakang ruko-ruko di depan saya. 


Kami masuk. Pantas saja harus lewat samping, jadi Guest House Palapa ini adanya di lantai dua. Di atas pijat reflexy tadi. “Sayang tempat pijetnya tutup, kalo buka sabi, nih.” Kata Rengky, dan saya mengiyakan. Rasanya tidak ada nikmat bisa mengalahkan sebuah pijatan di saat persendian badan serasa copot semua.

Oke, kembali ke Guest House Palapa. Room rate yang ditawarkan hanya dua. Yaitu untuk dua orang dengan harga 200.000 IDR, dan untuk satu orang dengan harga 150.000 IDR. Fasilitasnya sama, kamar mandi di luar, breakfast service (berupa mie goreng dan kopi panas), AC, TV, laundry (kena charge tambahan) dan tentu saja penunjang kehidupan bernama wifi. Tanpa pikir panjang saya dan Rengky langsung membayar ruangan untuk dua orang. Murah, cuy! 




Dari lobbynya saja Guest House Palapa ini sangat elegan, rapi, dan bersih. Saya mengira peninapan ini paling murah harganya 300.000 IDR per malam. Ternyata saya salah. Kamarnya pun nyaman dengan design sederhana. Hanya ada dua kasur, meja dengan TV, dan tempat menjemur baju. Buat kami, itu sudah lebih dari cukup. Ada juga fasilitas penyewaan sepeda motor jika ada tamu yang ingin muter-muter keliling Bandar Lampung. 



Oh iya, saya tidak menyarankan untuk ngobrol membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia seperti kombinasi angka peluncur roket di kamar Guest House Palapa ini. Karena dindingnya terbuat dari triplek solid, bukan tembok. Jadi kalau bicara, masih mungkin terdengar oleh kamar sebelah. Bahkan ngorok dengan tingkat desibel suara yang tinggi bisa tersadap kamar tetangga. Jadi, Guest House Palapa ini tidak cocok buat pasangan yang sedang berbulan madu. Lagian, masa iya sih tega bulan madu di penginapan dua ratus ribuan. 



Guest House Palapa ini di design untuk yang ingin singgah semalam-dua malam di Bandar Lampung. Atau untuk backpacker berbudget tipis tapi masih mengutamakan kenyamanan. Ini bisa jadi sinyal positif buat bisnis perhotelan di Lampung, mengingat potensi wisatanya yang bagus. Apalai lokasinya di tengah kota, Guest House Palapa adalah pilihan sempurna buat saya. Penginapan muurah identik dengan ketidaknyamanan. Guest House Palapa membuktikan bahwa itu tidak selalu benar. Di sini, murah tidak melulu berarti susah.
Share: