Entah apa perasaan driver sekaligus guide saya ketika sedang traveling ke Da Lat, Vietnam, jika tahu bahwa Indonesia memiliki ribuan suku bangsa, dengan budaya dan dialek bahasa yang jauh lebih banyak lagi. Dia dengan bangga menceritakan bahwa negara Yellow Star itu memiliki 12 suku bangsa utama dengan 512 dialek bahasa. Saya hanya mesem-mesem mendengar ceritanya, menceritakan tentang banyaknya suku bangsa Indonesia akan menghabiskan waktu kami yang hanya seharian itu. Tidak usah menceritakan seluruhnya, mungkin hanya suku-suku di Jawa saja saya memerlukan satu semester penuh untuk menguliahi guide saya itu.
Bicara soal budaya, saya memang agak terobsesi untuk traveling dengan tema tersebut. Jikapun harus naik gunung, atau snorkeling di laut, sebisa mungkin saya berbincang dengan penduduk setempat. Dieng Culture Festival yang saya kunjungi di awal bulan Agustus memiliki cerita tersendiri. Saya sudah lama mendengar tentang kemashyuran acara ini, dan beruntung tahun ini saya berkesempatan untuk melihatnya langsung.
Ada perasaan ragu pada awalnya karena saya memutuskan untuk ke Dieng Culture Festival tidak dengan travel agent, alias menyusun sendiri itinenary dan segala tetek bengeknya. Padahal sebagian besar pengunjung festival tersebut menggunakan jasa trip organizer. Jadilah saya menuju Dieng dengan cara mengeteng.
Pertama saya naik kereta jurusan Purwokerto. Sampai di Purwokerto, masih harus cari bus menuju Wonosobo. Selesai? Sedikit lagi. Masih harus sekali naik micro bus jurusan Wonosobo-Dieng. Voila, sampailah saya di Dieng, sebuah negeri di awan. Daerah yang diyakini menjadi tempat medan pertempuran antara Pandawa melawan Kurawa dalam cerita epos Baratayudha. Tidak heran banyak candi yang dinamakan dengan para tokoh Pandawa yang menjadi protagonis dalam cerita epik tersebut. Candi yang terlihat masih utuh adalah Candi Bima, Candi Gatotkaca, dan pusat dari Dieng Culture Festival, Candi Arjuna.
|
Candi Gatotkaca |
Perjalanan yang melelahkan tersebut terbayar oleh serangkaian acara di
Dieng Culture Festival. Ada Jazz Atas Awan. Banyak musisi daerah tampil di panggung acara ini. Saya sangat menikmati alunan irama jazz sambil makan kentang rebus
plus dibelai angin malam bersuhu 4 derajat celcius. Biar kedinginan, ketukan dan nada solmisasi dari atas panggung menyihir para penonton untuk ikut bernyanyi bahkan bergoyang.
|
Jazz Berselimut Sarung |
Malam berikutnya saya lalui dengan sangat romantis. Bukan, saya tidak ke acara ini bersama pacar atau pasangan. Namun suasana penerbangan ribuan lampion malam itu sungguh menghanyutkan. Apalagi ditimpali oleh suara merdu Anji eks-vokalis Drive yang bernyanyi penuh penghayatan. Menyaksikan ribuan lampion terbang, sambil duduk di rerumputan komplek Candi Arjuna, bersama para sahabat, dan hangatnya purwaceng kopi. Udara dingin menjadi sahabat saya.
|
Lampion Siap Diterbangkan |
Puncak acara yang paling saya tunggu adalah Upacara Pemotongan Rambut Gimbal. Dalam budaya Dieng, setiap anak pasti memiliki rambut gimbal yang harus dipotong ketika mereka menginjak umur tertentu. Jika tidak dipotong, maka anak itu diyakini akan selalu dihinggapi penyakit dan hal-hal buruk lainnya. Agar anak tersebut dengan sukarela mau dipotong rambutnya, keinginan sang anak tersebut harus dikabulkan. Tidak heran kalau sebelas anak yang rambut gimbalnya akan dicukur hari itu terlebih dahulu harus diseleksi dan di survey. Supaya tepat sasaran, anak yang dipilih adalah dari keluarga yang kurang mampu.
Ribuan orang baik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara menyaksikan acara tersebut. Ada juga bupati Banjarnegara dan Gubernur Jawa Tengah. Penonton sempat tergelak dengan keinginan-keinginan yang dilontarkan anak-anak berambut gimbal ini. Ada yang meminta sapi, sepeda motor kecil, kucing, boneka, sampai dua bidadari!
|
Ini Adalah Anak Yang Meminta Kucing |
Acara yang dilakukan di Candi Arjuna itu berjalan lancar, dengan adat dan tradisi Jawa yang kental. Semua yang menyaksikan acara itu pasti sepakat, bahwa budaya yang dimiliki Indonesia sangat unik, namun memiliki makna yang universal. Terbukti dengan banyaknya pengunjung yang bukan hanya dari Indonesia. Dieng Culture Festival adalah, budaya Jawa yang dipersembahkan untuk dunia. Budaya lokal dengan reputasi global.
|
Komplek Candi Arjuna |
Setelah Dieng, saya ingin melihat budaya di timur Indonesia. Kabarnya ada desa indah bernama Wae Rebo di tanah Flores. Desa dengan tujuh rumah unik berbentuk kerucut dengan ada istiadat yang sangat dijunjung tinggi. Saya harus sudah berburu
tiket pesawat menuju Labuan Bajo dari sekarang karena rencananya perjalanan akan saya lakukan di awal tahun. Setelah saya searching di Airpaz, yang paling realistis memilih flight paling pagi milik
Sriwijaya Air. Karena saya pernah terbang dengan
Sriwijaya Air dan sangat memuaskan.
Tidak sabar rasanya memulai perjalanan ke sana. Seperti kata Soe Hok Gie ketika menjawab pertanyaan tentang seringnya beliau naik gunung, “Mencintai tanah air Indonesia bisa dilakukan dengan cara melihat kekayaan alam beserta rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung.”
|
Matahari Terbit Dari Desa Sikunir, Dieng. Ini Indonesia!
|
|
|