Wednesday, 31 August 2016

Sajak Gunung Patuha

Patuha.

Kukira hanya mitos setinggi 2.300 meter di atas garis batas samudera. Demikian adanya dengan rasa halus yang tertuju padamu. Kukira hanya khayal, dan bual yang membuat mual.

Menikmati udara dinginnya kisah dari selatan Bandung. Menyusuri pelan-pelan keindahan Kawah Putih. Lalu menjadi saksi kabut-kabut tipis datang dan pergi. Kurapatkan Jaketku. Dan kabut itu dengan dinginnya tetap menusuk indera. Patuha ternyata ada. Rindu padamu adalah nyata. Walaupun tipis, namun enggan terkikis. 


Kujemput Patuha setapak demi setapak. Batu, akar, duri, dan terjal kujadikan lawan. Kau tahu rasanya? Seperti ingin menjadi bagian dari setiap tawamu, di mana batu, akar, duri, dan terjal kujadikan kawan. Indahnya Kawah Putih kutinggalkan. Abainya dirimu kuabaikan. 


Patuha itu nyata. Ke sana aku menuju. Di Kawah Saat aku akan bernaung di dalam tenda. Kawah Saat adalah cekungan teramat dalam. Teramat dalam. Tiada padanan imbang selain rindu. Harus kupegang erat dasar logika agar tak hancur jadi debu. Namun harus kuyakinkan pula hati ini agar tak ragu menghadapi kabut tipis penghalang matahari yang kujadikan pandu. Kawah Saat menunggu. Terkirim sudah rindu dalam satuan ribu pasir di pantai. 



Langit biru, awan putih dan ranting kering menyambutku di Puncak Patuha. Patuha itu nyata. Yang ku lihat di sana menjadi candu. Dan kau masih diam dalam sendu. Lalu kuputuskan untuk tak lagi menunggu. Karena tidak seperti Patuha yang kasat waktu kusentuh, rinduku padamu utuh, namun balas rindumu tidak pernah jatuh. 


Kutinggalkan Patuha. Jauh. Dan berjanji suatu hari akan kembali. 



Kutinggalkan rinduku. Rapuh. Dan hilang nyali untuk kembali. 


Mungkin kau hanya berkenan kulihat senyummu dari bawah. 2.300 meter yang sepertinya sia-sia. Tapi bagiku lebih mulia cinta yang gugur karena bertepuk sebelah tangan. Daripada cinta yang tumbuh karena bergandengan dengan tangan yang salah. 


Aku sadar, aku tak mungkin mendapatkanmu, merengkuhmu…

Wahai…Chelsea Islan. 



Share:

Monday, 22 August 2016

Dieng Culture Festival, Budaya Lokal Reputasi Global

Entah apa perasaan driver sekaligus guide saya ketika sedang traveling ke Da Lat, Vietnam, jika tahu bahwa Indonesia memiliki ribuan suku bangsa, dengan budaya dan dialek bahasa yang jauh lebih banyak lagi. Dia dengan bangga menceritakan bahwa negara Yellow Star itu memiliki 12 suku bangsa utama dengan 512 dialek bahasa. Saya hanya mesem-mesem mendengar ceritanya, menceritakan tentang banyaknya suku bangsa Indonesia akan menghabiskan waktu kami yang hanya seharian itu. Tidak usah menceritakan seluruhnya, mungkin hanya suku-suku di Jawa saja saya memerlukan satu semester penuh untuk menguliahi guide saya itu.

Bicara soal budaya, saya memang agak terobsesi untuk traveling dengan tema tersebut. Jikapun harus naik gunung, atau snorkeling di laut, sebisa mungkin saya berbincang dengan penduduk setempat. Dieng Culture Festival yang saya kunjungi di awal bulan Agustus memiliki cerita tersendiri. Saya sudah lama mendengar tentang kemashyuran acara ini, dan beruntung tahun ini saya berkesempatan untuk melihatnya langsung.

Ada perasaan ragu pada awalnya karena saya memutuskan untuk ke Dieng Culture Festival tidak dengan travel agent, alias menyusun sendiri itinenary dan segala tetek bengeknya. Padahal sebagian besar pengunjung festival tersebut menggunakan jasa trip organizer. Jadilah saya menuju Dieng dengan cara mengeteng.

Pertama saya naik kereta jurusan Purwokerto. Sampai di Purwokerto, masih harus cari bus menuju Wonosobo. Selesai? Sedikit lagi. Masih harus sekali naik micro bus jurusan Wonosobo-Dieng. Voila, sampailah saya di Dieng, sebuah negeri di awan. Daerah yang diyakini menjadi tempat medan pertempuran antara Pandawa melawan Kurawa dalam cerita epos Baratayudha. Tidak heran banyak candi yang dinamakan dengan para tokoh Pandawa yang menjadi protagonis dalam cerita epik tersebut. Candi yang terlihat masih utuh adalah Candi Bima, Candi Gatotkaca, dan pusat dari Dieng Culture Festival, Candi Arjuna. 
Candi Gatotkaca


Perjalanan yang melelahkan tersebut terbayar oleh serangkaian acara di Dieng Culture Festival. Ada Jazz Atas Awan. Banyak musisi daerah tampil di panggung acara ini. Saya sangat menikmati alunan irama jazz sambil makan kentang rebus plus dibelai angin malam bersuhu 4 derajat celcius. Biar kedinginan, ketukan dan nada solmisasi dari atas panggung menyihir para penonton untuk ikut bernyanyi bahkan bergoyang. 
Jazz Berselimut Sarung
Malam berikutnya saya lalui dengan sangat romantis. Bukan, saya tidak ke acara ini bersama pacar atau pasangan. Namun suasana penerbangan ribuan lampion malam itu sungguh menghanyutkan. Apalagi ditimpali oleh suara merdu Anji eks-vokalis Drive yang bernyanyi penuh penghayatan. Menyaksikan ribuan lampion terbang, sambil duduk di rerumputan komplek Candi Arjuna, bersama para sahabat, dan hangatnya purwaceng kopi. Udara dingin menjadi sahabat saya. 
Lampion Siap Diterbangkan

Puncak acara yang paling saya tunggu adalah Upacara Pemotongan Rambut Gimbal. Dalam budaya Dieng, setiap anak pasti memiliki rambut gimbal yang harus dipotong ketika mereka menginjak umur tertentu. Jika tidak dipotong, maka anak itu diyakini akan selalu dihinggapi penyakit dan hal-hal buruk lainnya. Agar anak tersebut dengan sukarela mau dipotong rambutnya, keinginan sang anak tersebut harus dikabulkan. Tidak heran kalau sebelas anak yang rambut gimbalnya akan dicukur hari itu terlebih dahulu harus diseleksi dan di survey. Supaya tepat sasaran, anak yang dipilih adalah dari keluarga yang kurang mampu.

Ribuan orang baik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara menyaksikan acara tersebut. Ada juga bupati Banjarnegara dan Gubernur Jawa Tengah. Penonton sempat tergelak dengan keinginan-keinginan yang dilontarkan anak-anak berambut gimbal ini. Ada yang meminta sapi, sepeda motor kecil, kucing, boneka, sampai dua bidadari!
Ini Adalah Anak Yang Meminta Kucing


Acara yang dilakukan di Candi Arjuna itu berjalan lancar, dengan adat dan tradisi Jawa yang kental. Semua yang menyaksikan acara itu pasti sepakat, bahwa budaya yang dimiliki Indonesia sangat unik, namun memiliki makna yang universal. Terbukti dengan banyaknya pengunjung yang bukan hanya dari Indonesia. Dieng Culture Festival adalah, budaya Jawa yang dipersembahkan untuk dunia. Budaya lokal dengan reputasi global.
Komplek Candi Arjuna

Setelah Dieng, saya ingin melihat budaya di timur Indonesia. Kabarnya ada desa indah bernama Wae Rebo di tanah Flores. Desa dengan tujuh rumah unik berbentuk kerucut dengan ada istiadat yang sangat dijunjung tinggi. Saya harus sudah berburu tiket pesawat menuju Labuan Bajo dari sekarang karena rencananya perjalanan akan saya lakukan di awal tahun. Setelah saya searching di Airpaz, yang paling realistis memilih flight paling pagi milik Sriwijaya Air. Karena saya pernah terbang dengan Sriwijaya Air dan sangat memuaskan.


Tidak sabar rasanya memulai perjalanan ke sana. Seperti kata Soe Hok Gie ketika menjawab pertanyaan tentang seringnya beliau naik gunung, “Mencintai tanah air Indonesia bisa dilakukan dengan cara melihat kekayaan alam beserta rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung.” 
Matahari Terbit Dari Desa Sikunir, Dieng. Ini Indonesia!





http://blog.airpaz.com/id/


Share:

Jalur Selatan

Waktu itu saya terlalu bernafsu. Biasa, penyakit orang yang hobi jalan-jalan dengan modal minim: Nggak boleh liat yang murah dikit!

Tanpa cek dan ricek lebih dulu, saya langsung mengklik dan booking Kereta Serayu Malam dan Serayu Pagi pulang pergi dengan tujuan Purwokerto dari Pasar Senen. Mata saya terlanjur hijau dengan harga yang hanya Rp. 67.000 saja. Dengan ajaibnya, keempat teman saya setuju saja dengan pilihan saya. Selain cinta, harga yang murah juga bisa bikin buta.

Bukanlah sebuah kesalahan saya memilih kereta Serayu. Bukan pula sebuah kesalahan jika saya memilihnya karena harganya murah. Yang salah adalah saya tidak menyadari bahwa dengan Serayu, rute kami ke Purwokerto akan dibawa memutar ke selatan sehingga memakan waktu sepuluh jam. Glek! Sepuluh jam di kereta. Ini mengakibatkan saya harus mengkalkulasi ulang itinenary perjalanan yang sesungguhnya adalah ke acara Dieng Culture Festival. 

Wajah-wajah tabah



Setelah tiket bertukar dengan boarding pass, baruah kami sadar bahwa kami baru akan sampai di Purwokerto sekitar jam delapan pagi. Saya berkali-kali memastikan siapa tahu saya salah lihat. Tapi tetap saja, saya bolak-balik bagaimanapun waktu yang tertera dalam tiket tidak berubah. Ya sudahlah, saya harus percaya bahwa segala sesuatu pasti ada konsekuensinya. Termasuk tiket murah dengan akibat mulurnya waktu tiba.

Ternyata malam itu banyak kok yang naik Serayu Malam dengan tujuan sama seperti saya, ke Dieng. Jadi tidak mengherankan kalau malam Jumat di awal bulan Agustus itu kompartemen barang di atas tempat duduk penumpang didominasi oleh tas keril dan ransel besar milik para backpacer dan mungkin beberapa pendaki dengan tujuan Gunung Prau, Sindoro, atau Sumbing.

Sepanjang perjalanan saya habiskan hanya untuk ngobrol dan tidur. Apalagi yang bisa dilakukan dalam sepuluh jam di kereta malam dengan pemandangan serba hitam? Perjalanan pergi itu cukup menjemukan buat saya. 

Puertorico!


Tapi tidak untuk perjalanan pulang. Karena perjalanan pulang ini start pagi dari Purwokerto, jadi saya bisa melihat pemandangan di luar jendela. Luar biasa. Jalur selatan di dominasi oleh desa-desa dengan persawahan membentang sangat luas. Indonesia sebagai negara agraris sangat terwakili oleh pemandangan dari jendela Serayu Pagi hari itu. Saya sempat bercanda dengan teman saya,

“Gila, sepanjang jalan sawah melulu. Nggak abis pikir kenapa kita masih aja impor beras. Impornya dari Vietnam pula, yang sawahnya cuman dipinggiran suangai Mekong.”

Ketika mulai memasuki Jawa Barat, mata kantuk saya dipaksa terbuka oleh gradasi pemandangan menakjubkan. Sawah jauh di bawah sana, dibelah oleh bebatuan sungai, dan para petani yang tampak sangat kecil. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Pemandangan yang sangat Indonesia. Pemandangan yang dulu sering saya jumpai melalui karangan anak SD berjudul ‘Berlibur ke Rumah Nenek’. Kalau bisa, saya ingin meminta masinis untuk berhenti dan mengambil beberapa foto barang sebentar. 
 
 
Ada yang tau siluet itu gunung apa?
 


Saya teringat penjelasan seorang pemandu di Lawang Sewu yang mengatakan bahwa jalur rel terekstrem di dunia ada di jalur selatan Jawa. Pasti yang saya lewati itu lah maksudnya. Jalur keretanya menanjak, berbelok, dan lewat jembatan dengan tulang-tulang besi. Di bawahnya adalah persawahan, sungai, dan jurang. Sebelumnya saya hanya melihat jalur ini dari jalan Tol Cipularang dalam perjalanan ke Bandung. Puji syukur saya bisa merasakan naik kereta dan lewat jalur yang dulu selalu saya tanyakan dalam hati bagaiamana rasanya naik kereta dengan jalan bikin ngilu seperti itu. 
 
Kayak di iklan RCTI zaman dulu
 

Ada hikmahnya juga naik kereta Serayu Pagi. Murah, dan dapat pemandangan bagus. Ditambah dengan canda tawa teman-teman, perjalanan jadi tidak terasa. Sore itu saya disambut hujan lebat ketika masuk Jakarta.

Lain kali saya mesti berhati-hati lagi dalam memesan dan beli tiket kereta api online agar rencana dan itinenary perjalanan tidak terganggu. Teman saya meningatkan bahwa beli tiket kerta di Tokopedia sekarang sudah memungkinkan. Setelah saya cek dan coba, ternyata memang bertransaksi tiket kereta di Tokopedia ini tampilannya lebih simpel. Dengan tambahan situsnya jarang down, berbeda dengan milik pengelola perkeretaapian yang sering hang di peak season.

Next trip, boleh lah saya coba beli tiket kereta di Tokopedia. =)
Share:

Saturday, 13 August 2016

Yang Dirindukan Ketika Traveling

Yang Dirindukan Ketika Traveling

Rindu. Adalah sebuah konsekuensi standar ketika berada jauh dari sesuatu yang memiliki ikatan khusus dengan kita. Hobi traveling membuat saya sering kali berada jauh. Jauh dari rumah, sahabat, dan suasana yang biasa ada di sekitar namun hilang ketika saya traveling. Ada beberapa hal yang sangat saya rindukan ketika jalan-jalan, apalagi kalau jalan-jalannya lumayan jauh dan lama.

1. Keluarga
Perjalanan jauh dimulai dari keluarga. Populasi terdekat dari seorang individu. Jauh dari keluarga membuat saya mengerti pentingnya mereka ketika dekat. Biasanya ketika saya berada di pesawat dan memandang ke luar jendela, saya teringat wajah-wajah ibu, ayah, dan ketiga adik saya. Kangen. Keluarga adalah alasan kenapa saya jalan-jalan. Memupuk rindu, agar saya tahu arti kata ‘pulang’.


2. Masakan Ibu
Ketika berada di suatu tempat tujuan wisata, saya sering mencoba berbagai masakan yang khas di daerah tersebut. Kadang kalau lagi apes dan salah beli menu makanan yang kurang enak, masakan ibu adalah yang pertama kali saya sesalkan ketidakberadaannya. Apalagi kalau lagi naik gunung yang serba terbatas, ah, rasanya mimpi makan sambel terasi, ikan asin, plus sayur asem buatan ibu adalah sebuah anugerah. 


3. Sahabat
Ini dia yang bikin jalan-jalan saya bersemangat. Sering saya tiba-tiba kangen suasana riang bersama teman-teman. Apalagi kalau lagi bersolo traveling, rasanya sepi tanpa mereka yang gokil, gila, antimainstream tingkat ke mall pakai jas hujan, dan curcolan-curcolan kurang penting. Ucapan simpel “Hati-hati di jalan, have a nice trip ya…” dari mereka sangat berarti buat saya. 


4. Sepak Bola
Saya adalah seorang pecandu sepak bola. Terutama Liga Inggris. Liga paling bergengsi di dunia. Tapi sekarang jarang ada TV lokal yang lengkap menanyangkan Liga Inggris. Jadi ketika traveling saya kerap memantau Liga Inggris hanya dari sosial media. Padahal musim ini pasti berjalan seru. Apalagi musim ini Liga Inggris barus saja merealisasikan transfer yang menjadi rekor termahal di dunia atas nama Paul Pogba. Belum lagi para manajer dan juru taktik nomor satu bakal bersaing membuktikan racikan siapa yang bakal menghasilkan tim juara. Guardiola, Pep, Mou, Conte, Ranieri, hingga Wenger adalah nama-nama yang jadi jaminan Liga Inggris akan berjalan seru. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Ketika saya memilih menginap saya senang sekali jika mendapat penginapan yang ada service TV Kabelnya. Apalagi jika itu adalah Orange TV. Karena Premier League di Orange TV ini disiarkan secara langsung dan lengkap full satu musim. Mau klub besar, menengah, atau kecil, semuanya ada. Saya tidak perlu khawatir terlewat menyaksikan big match dan pertandingan penting lainnya. Tinggal cari penginapan atau hotel dengan layanan Orange TV, kelar semua masalah.

Share:

Friday, 12 August 2016

Traveling Hemat, atau Skakmat!

Naik pesawat belum pernah pakai Garuda,

Naik kereta belum pernah dari Gambir,

Nyebrang ke pulau belum pernah naik speedboat.



Kalau dipikir-pikir, begitulah keadaan saya yang suka jalan-jalan ini. Urusan transportasi ini kan salah satu yang paling vital kalau lagi jalan-jalan. Banyak yang bilang saya kelewat pelit, masa iya naik kereta aja harus yang benar-benar paling murah. Pelit? Iya, saya memang pelit. Untuk ukuran orang yang suka bepergian, saya masih dalam tahap “yang penting sampai”. Tapi biar pelit begini saya punya alasannya loh.

Urusan ‘pelit’ dalam traveling ini bukan cuma untuk soal transportasi. Bisa penginapan, atau barang-barang yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat untuk dibeli. Sikap superhemat ini perlu, karena menyangkut uang. Uang itu perlu, dan rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi kenapa benda ini begitu penting. Menyoal transportasi yang selalu saya pilih adalah kelas paling bawah, karena saya menganggap margin biaya, jika saya memilih kelas transportasi yang rada di atas, bisa dialihkan ke pos anggaran yang lebih penting. Maklum, saya masih dalam kelas menengah yang banyak mau tapi kemampuan minim. Masih terperangkap dogma, “daripada naik kereta eksekutif, mending uangnya buat makan enak di tempat tujuan.” Ya, masih seperti itu kelas saya, belum bisa naik. Selama transportasinya tepat waktu, saya sih santai-santai saja.

Pun dengan soal penginapan. Saya teringat ketika traveling ke Mui Ne, Vietnam, Mei lalu. Jadi saya bersama enam travelmate patungan USD untuk biaya selama di sana. Ketika terkumpul dan terkonversi ke mata uang VND, kami mendapat lebih dari 40.000.000 VND! Jumlah yang fantastis menurut saya. Drama kecil muncul ketika kami memilih penginapan. Ada yang menginginkan penginapan seharga 280 ribuan VND per malam per orang. Penginapan itu berada di pinggir pantai Mui Ne. Ada jacuzzinya, kolam renang, breakfast, dan balkon yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan. Dengan bonus, resepsionisnya cantik.

Pilihan kedua adalah sebuah hostel tepat diseberangnya seharga 112 ribu VND per orang per malam. Fasilitasnya hanya AC, dan hammock di depan kamar sebagai pemanis. Resepsionisnya bapak-bapak yang mirip tentara penyiksa Rambo di film First Blood II.

“Di kita ada 40 juta VND loh. Nggak mau nyoba yang kelas hotel nih? Jangankan hotel, ini kita DP motor juga udah bisa!” Kata salah satu teman.

“Jangan lah, masa backpacker tinggal di hotel. Mending uangnya buat keperluan lain.” Kawan yang lain menolak. Akhirnya atas nama backpacker, kami memilih penginapan minimalis di seberang itu. Mui Ne tetap kami nikmati, Vietnam tetap memesona. Tapi di sepanjang perjalanan ada sedikit penyesalan di antara kami. “Duuh, kenapa nggak nyoba hotel pinggir laut itu, ya? Kapan lagi coba!”

Tapi penyesalan itu hilang di hari terakhir saya di Vietnam. Waktu itu kami ingin ke Chuchi Tunnel di pagi hari, dan keluar Vietnam di sore harinya. Kalau dengan mengikuti tur biasa, kami akan kembali ke Ho Chi Minh kelewat malam. Itu pun kalau tidak macet. Sebagai solusi terbaik jika kami ingin ngotot ke Chuchi Tunnel tapi tepat waktu ke bandara, kami harus mengambil private tour yang lumayan costly. Beruntungnya kami karena punya spare cost dari penginapan murah di Mui Ne. Coba kalau waktu itu ambil yang hotel, mungkin kami harus nombok lagi untuk private tour ini. Lumayan, kan?

Pun ketika saya di Way Kambas. Saya ditawari safari naik gajah seharga Rp. 150.000. Bagi saya ini mahal. Saya menolaknya dan cuma foto-foto saja di kandang gajah yang gratis. Penghematan itu berujung dengan puasnya saya berkulineran di Bandar Lampung dan punya uang lebih untuk sewa perahu di Pulau Tangkil. Di Singapura juga begitu. Saya membatasi budget makan. Pokoknya tidak boleh lebih dari 5 SGD sekali makan. Hasilnya saya bisa bawa lebih banyak oleh-oleh, dan di akhir perjalanan punya uang lebih untuk dihabiskan dengan kalap di sebuah restoran fast food di Changi.

Pelit atau hemat ini soal memindahkan anggaran saja sebetulnya. Karena buat saya, punya sisa uang di penghujung trip karena pengeluaran lebih sedikit dari perkiraan adalah sebuah prestasi besar. Dan yang terpenting, memegang uang itu membuat kita lebih banyak pilihan ketika jalan-jalan daripada uang yang pas-pasan, apalagi, amit-amit kekurangan. So, hemat atau skakmat! =)



Share: