Naik pesawat belum pernah pakai Garuda,
Naik kereta belum pernah dari Gambir,
Nyebrang ke pulau belum pernah naik speedboat.
Kalau dipikir-pikir, begitulah keadaan saya yang suka jalan-jalan ini. Urusan transportasi ini kan salah satu yang paling vital kalau lagi jalan-jalan. Banyak yang bilang saya kelewat pelit, masa iya naik kereta aja harus yang benar-benar paling murah. Pelit? Iya, saya memang pelit. Untuk ukuran orang yang suka bepergian, saya masih dalam tahap “yang penting sampai”. Tapi biar pelit begini saya punya alasannya loh.
Urusan ‘pelit’ dalam traveling ini bukan cuma untuk soal transportasi. Bisa penginapan, atau barang-barang yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat untuk dibeli. Sikap superhemat ini perlu, karena menyangkut uang. Uang itu perlu, dan rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi kenapa benda ini begitu penting. Menyoal transportasi yang selalu saya pilih adalah kelas paling bawah, karena saya menganggap margin biaya, jika saya memilih kelas transportasi yang rada di atas, bisa dialihkan ke pos anggaran yang lebih penting. Maklum, saya masih dalam kelas menengah yang banyak mau tapi kemampuan minim. Masih terperangkap dogma, “daripada naik kereta eksekutif, mending uangnya buat makan enak di tempat tujuan.” Ya, masih seperti itu kelas saya, belum bisa naik. Selama transportasinya tepat waktu, saya sih santai-santai saja.
Pun dengan soal penginapan. Saya teringat ketika traveling ke Mui Ne, Vietnam, Mei lalu. Jadi saya bersama enam travelmate patungan USD untuk biaya selama di sana. Ketika terkumpul dan terkonversi ke mata uang VND, kami mendapat lebih dari 40.000.000 VND! Jumlah yang fantastis menurut saya. Drama kecil muncul ketika kami memilih penginapan. Ada yang menginginkan penginapan seharga 280 ribuan VND per malam per orang. Penginapan itu berada di pinggir pantai Mui Ne. Ada jacuzzinya, kolam renang, breakfast, dan balkon yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan. Dengan bonus, resepsionisnya cantik.
Pilihan kedua adalah sebuah hostel tepat diseberangnya seharga 112 ribu VND per orang per malam. Fasilitasnya hanya AC, dan hammock di depan kamar sebagai pemanis. Resepsionisnya bapak-bapak yang mirip tentara penyiksa Rambo di film First Blood II.
“Di kita ada 40 juta VND loh. Nggak mau nyoba yang kelas hotel nih? Jangankan hotel, ini kita DP motor juga udah bisa!” Kata salah satu teman.
“Jangan lah, masa backpacker tinggal di hotel. Mending uangnya buat keperluan lain.” Kawan yang lain menolak. Akhirnya atas nama backpacker, kami memilih penginapan minimalis di seberang itu. Mui Ne tetap kami nikmati, Vietnam tetap memesona. Tapi di sepanjang perjalanan ada sedikit penyesalan di antara kami. “Duuh, kenapa nggak nyoba hotel pinggir laut itu, ya? Kapan lagi coba!”
Tapi penyesalan itu hilang di hari terakhir saya di Vietnam. Waktu itu kami ingin ke Chuchi Tunnel di pagi hari, dan keluar Vietnam di sore harinya. Kalau dengan mengikuti tur biasa, kami akan kembali ke Ho Chi Minh kelewat malam. Itu pun kalau tidak macet. Sebagai solusi terbaik jika kami ingin ngotot ke Chuchi Tunnel tapi tepat waktu ke bandara, kami harus mengambil private tour yang lumayan costly. Beruntungnya kami karena punya spare cost dari penginapan murah di Mui Ne. Coba kalau waktu itu ambil yang hotel, mungkin kami harus nombok lagi untuk private tour ini. Lumayan, kan?
Pun ketika saya di Way Kambas. Saya ditawari safari naik gajah seharga Rp. 150.000. Bagi saya ini mahal. Saya menolaknya dan cuma foto-foto saja di kandang gajah yang gratis. Penghematan itu berujung dengan puasnya saya berkulineran di Bandar Lampung dan punya uang lebih untuk sewa perahu di Pulau Tangkil. Di Singapura juga begitu. Saya membatasi budget makan. Pokoknya tidak boleh lebih dari 5 SGD sekali makan. Hasilnya saya bisa bawa lebih banyak oleh-oleh, dan di akhir perjalanan punya uang lebih untuk dihabiskan dengan kalap di sebuah restoran fast food di Changi.
Pelit atau hemat ini soal memindahkan anggaran saja sebetulnya. Karena buat saya, punya sisa uang di penghujung trip karena pengeluaran lebih sedikit dari perkiraan adalah sebuah prestasi besar. Dan yang terpenting, memegang uang itu membuat kita lebih banyak pilihan ketika jalan-jalan daripada uang yang pas-pasan, apalagi, amit-amit kekurangan. So, hemat atau skakmat! =)
Naik kereta belum pernah dari Gambir,
Nyebrang ke pulau belum pernah naik speedboat.
Kalau dipikir-pikir, begitulah keadaan saya yang suka jalan-jalan ini. Urusan transportasi ini kan salah satu yang paling vital kalau lagi jalan-jalan. Banyak yang bilang saya kelewat pelit, masa iya naik kereta aja harus yang benar-benar paling murah. Pelit? Iya, saya memang pelit. Untuk ukuran orang yang suka bepergian, saya masih dalam tahap “yang penting sampai”. Tapi biar pelit begini saya punya alasannya loh.
Urusan ‘pelit’ dalam traveling ini bukan cuma untuk soal transportasi. Bisa penginapan, atau barang-barang yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat untuk dibeli. Sikap superhemat ini perlu, karena menyangkut uang. Uang itu perlu, dan rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi kenapa benda ini begitu penting. Menyoal transportasi yang selalu saya pilih adalah kelas paling bawah, karena saya menganggap margin biaya, jika saya memilih kelas transportasi yang rada di atas, bisa dialihkan ke pos anggaran yang lebih penting. Maklum, saya masih dalam kelas menengah yang banyak mau tapi kemampuan minim. Masih terperangkap dogma, “daripada naik kereta eksekutif, mending uangnya buat makan enak di tempat tujuan.” Ya, masih seperti itu kelas saya, belum bisa naik. Selama transportasinya tepat waktu, saya sih santai-santai saja.
Pun dengan soal penginapan. Saya teringat ketika traveling ke Mui Ne, Vietnam, Mei lalu. Jadi saya bersama enam travelmate patungan USD untuk biaya selama di sana. Ketika terkumpul dan terkonversi ke mata uang VND, kami mendapat lebih dari 40.000.000 VND! Jumlah yang fantastis menurut saya. Drama kecil muncul ketika kami memilih penginapan. Ada yang menginginkan penginapan seharga 280 ribuan VND per malam per orang. Penginapan itu berada di pinggir pantai Mui Ne. Ada jacuzzinya, kolam renang, breakfast, dan balkon yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan. Dengan bonus, resepsionisnya cantik.
Pilihan kedua adalah sebuah hostel tepat diseberangnya seharga 112 ribu VND per orang per malam. Fasilitasnya hanya AC, dan hammock di depan kamar sebagai pemanis. Resepsionisnya bapak-bapak yang mirip tentara penyiksa Rambo di film First Blood II.
“Di kita ada 40 juta VND loh. Nggak mau nyoba yang kelas hotel nih? Jangankan hotel, ini kita DP motor juga udah bisa!” Kata salah satu teman.
“Jangan lah, masa backpacker tinggal di hotel. Mending uangnya buat keperluan lain.” Kawan yang lain menolak. Akhirnya atas nama backpacker, kami memilih penginapan minimalis di seberang itu. Mui Ne tetap kami nikmati, Vietnam tetap memesona. Tapi di sepanjang perjalanan ada sedikit penyesalan di antara kami. “Duuh, kenapa nggak nyoba hotel pinggir laut itu, ya? Kapan lagi coba!”
Tapi penyesalan itu hilang di hari terakhir saya di Vietnam. Waktu itu kami ingin ke Chuchi Tunnel di pagi hari, dan keluar Vietnam di sore harinya. Kalau dengan mengikuti tur biasa, kami akan kembali ke Ho Chi Minh kelewat malam. Itu pun kalau tidak macet. Sebagai solusi terbaik jika kami ingin ngotot ke Chuchi Tunnel tapi tepat waktu ke bandara, kami harus mengambil private tour yang lumayan costly. Beruntungnya kami karena punya spare cost dari penginapan murah di Mui Ne. Coba kalau waktu itu ambil yang hotel, mungkin kami harus nombok lagi untuk private tour ini. Lumayan, kan?
Pun ketika saya di Way Kambas. Saya ditawari safari naik gajah seharga Rp. 150.000. Bagi saya ini mahal. Saya menolaknya dan cuma foto-foto saja di kandang gajah yang gratis. Penghematan itu berujung dengan puasnya saya berkulineran di Bandar Lampung dan punya uang lebih untuk sewa perahu di Pulau Tangkil. Di Singapura juga begitu. Saya membatasi budget makan. Pokoknya tidak boleh lebih dari 5 SGD sekali makan. Hasilnya saya bisa bawa lebih banyak oleh-oleh, dan di akhir perjalanan punya uang lebih untuk dihabiskan dengan kalap di sebuah restoran fast food di Changi.
Pelit atau hemat ini soal memindahkan anggaran saja sebetulnya. Karena buat saya, punya sisa uang di penghujung trip karena pengeluaran lebih sedikit dari perkiraan adalah sebuah prestasi besar. Dan yang terpenting, memegang uang itu membuat kita lebih banyak pilihan ketika jalan-jalan daripada uang yang pas-pasan, apalagi, amit-amit kekurangan. So, hemat atau skakmat! =)
bang, tulisannya kekecilan. adek kesulitan membaca.
ReplyDeletetambahlah poto abang yg ciamik itu.
ini cerita yg waktu diceritain di reading room. wq wq wq
yang benar sih hemat ya, hemat itu bukan berarti pelit..
ReplyDelete