Niat untuk eksplore Lampung yang sedari malam yang saya dan Renky pupuk pupus begitu kami bangun di Palapa Guest House. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas pagi watu Lampung. Sudah sangat kesiangan jika mau menjelajahi provinsi paling selatan Sumatera ini hingga ke pelosoknya. Misinya sih kami ingin menemukan pantai dengan pemandangan yang outstanding tapi masih sepi. Bisa berenang dengan di air bening dan hammockan, sudah lebih dari cukup buat kami.
Kesiangan hari itu tidak bisa dipisahkan karena kami kelelahan setelah hari sebelumnya bercanda seharian dengan gajah di Way Kambas. Sudah begitu kami harus menempuh perjalanan menuju Bandar Lampung selama 4 jam dengan keadaan jalan minim penerangan dan rusak parah. Keberanian kami menerobos jalan lintas Sumatera malam patut mendapat penghargaan setingkat Kalpataru. Beruntung kami menemukan penginapan sekelas Palapa Guest House. Ya walaupun tidak sesejuk hotel-hotel di Lembang, tapi mampu menyerap lelah kami tanpa batas. Begitulah alasan permisif yang membuat kami kesiangan.
Tapi karena saat itu hari terakhir dari libur panjang lebaran, Renky masih mengusahakan supaya kita bisa piknik ke pantai. Lampung kan terkenal dengan pesisir pantainya yang punya padanan sempurna antara pasir putihnya, lembut ombaknya, dan langit birunya. Setelah check out, kami bertanya ke resepsionis daftar tempat wisata (terutama pantai) yang berjarak tidak terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dan kami di sarankan untuk ke Pantai Mutun. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Bandar Lampung dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan berkendara. Tepatnya berada di daerah Pesawaran, agak sedikit keluar dari Bandar Lampung.
Setibanya di Pantai Mutun, di sana sudah ramai dengan pengunjung. Kami maklum, namanya juga pantai dekat dengan kota, dan akhir liburan pula, pasti ramai. Saya dan Renky nyaris kehilangan minat dengan ramainya situasi. Sebelum ada seorang bapak yang menawari kami perahu untuk menyebrang ke Pulau Tangkil. Kami kembali antusias karena kabarnya di Pulau Tangkil suasananya lebih enak. Seperti apa enaknya? Nah itu yang bikin saya penasaran. Tapi harga perahu yang ditawarkan lumayan mahal. Kami mencari tukang perahu yang lain dan akhirnya deal dengan angka enam puluh ribu Rupiah bolak-balik. Jauh lebih murah dibanding bapak pertama yang offering di angka seratus ribu. THR sudah kering, bos!
Pantai Mutun-Pulau Tangkil tidak terlalu jauh. Kurang dari sepuluh menit ditempuh dengan perahu motor biasa. Saya cukup pede kalau dimodalin fin dan snorkel, saya bisa menyebrang dengan berenang. Dan setelah sampai di Pulau Tangkil, kami mendapati suasana yang tidak jauh berbeda dengan di Pantai Mutun. Ramai. Puluhan perahu berjejer, dan ratusan orang berenang bermain ombak kecil di bibir pantai.
Kesiangan hari itu tidak bisa dipisahkan karena kami kelelahan setelah hari sebelumnya bercanda seharian dengan gajah di Way Kambas. Sudah begitu kami harus menempuh perjalanan menuju Bandar Lampung selama 4 jam dengan keadaan jalan minim penerangan dan rusak parah. Keberanian kami menerobos jalan lintas Sumatera malam patut mendapat penghargaan setingkat Kalpataru. Beruntung kami menemukan penginapan sekelas Palapa Guest House. Ya walaupun tidak sesejuk hotel-hotel di Lembang, tapi mampu menyerap lelah kami tanpa batas. Begitulah alasan permisif yang membuat kami kesiangan.
Tapi karena saat itu hari terakhir dari libur panjang lebaran, Renky masih mengusahakan supaya kita bisa piknik ke pantai. Lampung kan terkenal dengan pesisir pantainya yang punya padanan sempurna antara pasir putihnya, lembut ombaknya, dan langit birunya. Setelah check out, kami bertanya ke resepsionis daftar tempat wisata (terutama pantai) yang berjarak tidak terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dan kami di sarankan untuk ke Pantai Mutun. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Bandar Lampung dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan berkendara. Tepatnya berada di daerah Pesawaran, agak sedikit keluar dari Bandar Lampung.
Setibanya di Pantai Mutun, di sana sudah ramai dengan pengunjung. Kami maklum, namanya juga pantai dekat dengan kota, dan akhir liburan pula, pasti ramai. Saya dan Renky nyaris kehilangan minat dengan ramainya situasi. Sebelum ada seorang bapak yang menawari kami perahu untuk menyebrang ke Pulau Tangkil. Kami kembali antusias karena kabarnya di Pulau Tangkil suasananya lebih enak. Seperti apa enaknya? Nah itu yang bikin saya penasaran. Tapi harga perahu yang ditawarkan lumayan mahal. Kami mencari tukang perahu yang lain dan akhirnya deal dengan angka enam puluh ribu Rupiah bolak-balik. Jauh lebih murah dibanding bapak pertama yang offering di angka seratus ribu. THR sudah kering, bos!
Pantai Mutun-Pulau Tangkil tidak terlalu jauh. Kurang dari sepuluh menit ditempuh dengan perahu motor biasa. Saya cukup pede kalau dimodalin fin dan snorkel, saya bisa menyebrang dengan berenang. Dan setelah sampai di Pulau Tangkil, kami mendapati suasana yang tidak jauh berbeda dengan di Pantai Mutun. Ramai. Puluhan perahu berjejer, dan ratusan orang berenang bermain ombak kecil di bibir pantai.
Masha Allah otot bisepnya.... |
Untungnya kami tidak menyerah. Kami berjalan menyusuri tepian pulau. Kadang kami harus berjalan melipir di antara tebing karang. Kami melihat sesuatu di sisi yang lain Pulau Tangkil. Ternyata ada sebuah benda mirip tiang gawang sepak bola kecil di tempat yang agak ke tengah dari tepi pantai. Kami ingat, ini seperti tiang ayunan yang ada di Gili Trawangan, Lombok. Tempat wajib berfoto semua wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan. Bedanya tiang ayunan ini tidak ada ayunannya. Lah? Iya, ayunannya putus dan entah kemana. Tapi spot tersebut cukup sepi.
Easy man! |
Renky pun mendapat ide. Mumpung bawa hammock dan kami tidak menemukan dua pohon sejajar untuk membuka hammock, dia berinisiatif mengikat hammocknya di antara dua tiang ayunan tersebut. Kami pun dengan sedikit nekat berjalan agak ke tengah untuk mewujudkan cita-cita di akhir libur lebaran itu. Dan berhasil! Tak ayal dua orang anak Pulau Jawa norak ini kalap berfoto-foto. Tidak lagi memedulikan pandangan aneh orang-orang yang kebetulan lewat.
Cuma kurang dinina boboin doang nih sama kamu |
Lagi ngisi TTS |
Baaaa.... |
Ah, tidak perlu jauh-jauh ke Gili Trawangan untuk berfoto dengan tema ayunan. Kami telah memodifikasinya menjadi hammock-an. Karena ayunan sudah terlalu mainstream. Karena hammockan di pohon sudah tidak lagi ekstrem. D
Duh, kalimat penutup di atas gagal. Itu biar rhyming saja sih sebetulnya. Yuk lah kita hammock-an saja.
Tiada yang mustahil. Yuk ke Pulau Tangkil! *cakep!* |