Friday, 23 September 2016

Hammocking Ria di Pulau Tangkil

Niat untuk eksplore Lampung yang sedari malam yang saya dan Renky pupuk pupus begitu kami bangun di Palapa Guest House. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas pagi watu Lampung. Sudah sangat kesiangan jika mau menjelajahi provinsi paling selatan Sumatera ini hingga ke pelosoknya. Misinya sih kami ingin menemukan pantai dengan pemandangan yang outstanding tapi masih sepi. Bisa berenang dengan di air bening dan hammockan, sudah lebih dari cukup buat kami.

Kesiangan hari itu tidak bisa dipisahkan karena kami kelelahan setelah hari sebelumnya bercanda seharian dengan gajah di Way Kambas. Sudah begitu kami harus menempuh perjalanan menuju Bandar Lampung selama 4 jam dengan keadaan jalan minim penerangan dan rusak parah. Keberanian kami menerobos jalan lintas Sumatera malam patut mendapat penghargaan setingkat Kalpataru. Beruntung kami menemukan penginapan sekelas Palapa Guest House. Ya walaupun tidak sesejuk hotel-hotel di Lembang, tapi mampu menyerap lelah kami tanpa batas. Begitulah alasan permisif yang membuat kami kesiangan.

Tapi karena saat itu hari terakhir dari libur panjang lebaran, Renky masih mengusahakan supaya kita bisa piknik ke pantai. Lampung kan terkenal dengan pesisir pantainya yang punya padanan sempurna antara pasir putihnya, lembut ombaknya, dan langit birunya. Setelah check out, kami bertanya ke resepsionis daftar tempat wisata (terutama pantai) yang berjarak tidak terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dan kami di sarankan untuk ke Pantai Mutun. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Bandar Lampung dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan berkendara. Tepatnya berada di daerah Pesawaran, agak sedikit keluar dari Bandar Lampung.

Setibanya di Pantai Mutun, di sana sudah ramai dengan pengunjung. Kami maklum, namanya juga pantai dekat dengan kota, dan akhir liburan pula, pasti ramai. Saya dan Renky nyaris kehilangan minat dengan ramainya situasi. Sebelum ada seorang bapak yang menawari kami perahu untuk menyebrang ke Pulau Tangkil. Kami kembali antusias karena kabarnya di Pulau Tangkil suasananya lebih enak. Seperti apa enaknya? Nah itu yang bikin saya penasaran. Tapi harga perahu yang ditawarkan lumayan mahal. Kami mencari tukang perahu yang lain dan akhirnya deal dengan angka enam puluh ribu Rupiah bolak-balik. Jauh lebih murah dibanding bapak pertama yang offering di angka seratus ribu. THR sudah kering, bos!

Pantai Mutun-Pulau Tangkil tidak terlalu jauh. Kurang dari sepuluh menit ditempuh dengan perahu motor biasa. Saya cukup pede kalau dimodalin fin dan snorkel, saya bisa menyebrang dengan berenang. Dan setelah sampai di Pulau Tangkil, kami mendapati suasana yang tidak jauh berbeda dengan di Pantai Mutun. Ramai. Puluhan perahu berjejer, dan ratusan orang berenang bermain ombak kecil di bibir pantai. 
Masha Allah otot bisepnya....

Untungnya kami tidak menyerah. Kami berjalan menyusuri tepian pulau. Kadang kami harus berjalan melipir di antara tebing karang. Kami melihat sesuatu di sisi yang lain Pulau Tangkil. Ternyata ada sebuah benda mirip tiang gawang sepak bola kecil di tempat yang agak ke tengah dari tepi pantai. Kami ingat, ini seperti tiang ayunan yang ada di Gili Trawangan, Lombok. Tempat wajib berfoto semua wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan. Bedanya tiang ayunan ini tidak ada ayunannya. Lah? Iya, ayunannya putus dan entah kemana. Tapi spot tersebut cukup sepi. 
Easy man!

Renky pun mendapat ide. Mumpung bawa hammock dan kami tidak menemukan dua pohon sejajar untuk membuka hammock, dia berinisiatif mengikat hammocknya di antara dua tiang ayunan tersebut. Kami pun dengan sedikit nekat berjalan agak ke tengah untuk mewujudkan cita-cita di akhir libur lebaran itu. Dan berhasil! Tak ayal dua orang anak Pulau Jawa norak ini kalap berfoto-foto. Tidak lagi memedulikan pandangan aneh orang-orang yang kebetulan lewat.
Cuma kurang dinina boboin doang nih sama kamu

Lagi ngisi TTS

Baaaa....

Ah, tidak perlu jauh-jauh ke Gili Trawangan untuk berfoto dengan tema ayunan. Kami telah memodifikasinya menjadi hammock-an. Karena ayunan sudah terlalu mainstream. Karena hammockan di pohon sudah tidak lagi ekstrem. D

Duh, kalimat penutup di atas gagal. Itu biar rhyming saja sih sebetulnya. Yuk lah kita hammock-an saja.
Tiada yang mustahil. Yuk ke Pulau Tangkil! *cakep!*

Share:

Wednesday, 14 September 2016

Gagah Gajah di Way Kambas

Pertama kali ‘bertemu’ gajah adalah ketika saya kecil. Saat ayah saya secara rutin membelikan majalah Bobo. Rubrik yang pertama saya buka adalah cerita fabel bergambar dengan tokoh utama Bona, gajah kecil berwarna pink dengan belalai panjang. Ayah saya mungkin tahu saya memiliki ketertarikan dengan binatang ini, nah pas ulang tahun saya (lupa yang keberapa) beliau memberi hadiah berupa perayaan di Kebun Binatang Ragunan. Bayangan gajah imut berwarna cinta hilang begitu saya diajak naik ke punggung hewan besar itu. Saya nangis, minta turun. Saya berharap itu adalah kontak terakhir saya dengan gajah.

Beberapa puluh tahun kemudian hari itu tiba. Saya ingat saat itu adalah minggu terakhir libur lebaran di tahun 2016. Teman SMA saya, Renky, mengajak saya untuk eksplor Lampung. Naik motor. Dan tujuan pertama adalah ke Way Kambas.

“Liat gajah, dong?”

“Ya iya lah, masa liat siluman garpu siomay.”

Saya berpikir sebentar, mengingat waktu libur yang hampir habis dan gajah yang dulu sempat membuat saya nangis heboh. Ya walaupun sebetulnya saya sih yang penakut. Tapi tujuannya adalah Way Kambas, sebuah daerah yang waktu jaman saya SD saya kira adalah tempat fiktif. Karena Way Kambas ini sering jadi bahan bercandaan teman saya, “Gue tendang lo sampe Way Kambas!”. Begitu. Jadi dulu, saya kira Way Kambas hanya sebuah istilah untuk menggambarkan betapa jauhnya suatu tempat. Jadi ketika ada tawaran untunk mengunjunginya, baiklah saya terima.

Menuju Way Kambas gampang-gampang susah. Gampang karena taman nasional ini terekam jelas jejaknya oleh Google Maps. Susah karena jauh. Ralat. Susah sekali karena jauh dan tidak ada angkutan umum yang secara langsung menuju ke Way Kambas. Jadi setelah dua jam menyebrang dari Merak ke Bakaheuni, saya dan Renky harus menyusuri jalan pantai timur Sumatera selama kurang lebih empat jam. Jalannya banyak berlubang, minim fasilitas publik (kecuali pom bensin dan beberapa minimarket, dan sebisa mungkin menghindari jalan malam hari.

Sampai di Taman Nasional Way Kambas, sudah lewat tengah hari. Saya dan Renky tidak langsung istirahat, karena antusias ingin melihat gajah. Padahal baru beberapa saat yang lalu kami lolos dari trek jalan berkelok-kelok dan hutan rimba. Kami pun membeli tiket seharga lima ribu Rupiah per orang. 

First Check Point


Ternyata di dalam sudah ramai sekali. Mungkin karena hari itu adalah weekend terakhir di libur lebaran. Jadi banyak para pemudik dari Sumatera yang hendak menyebrang ke Jawa singgah dulu untuk berwisata ke Way Kambas. Dan, eh, ternyata ada wahana naik gajah seperti yang saya lakukan waktu ulang tahun dulu degan harga dua puluh ribu Rupiah sekali putaran. Bedanya, yang ini tidak ada pembatas sama sekali antara gajah dan penontonnya. Jadi kadang ada gajah yang keluar jalur dan menuju para pejalan kaki. Saya yang punya pengalaman pernah nangis di punggung gajah secara refleks menghindar dengan panik.

“Nggak usah lebay, itu ada pawangnya!” Renky mengingatkan.

Oke. Fine. Nyali saya baru sebatas ngobok-ngobok ikan mas koki.

Kami kemudian melihat atraksi gajah main bola. Siapa bilang gajah larinya pelan? Di sini saya sempat sok berani pegang-pegang gajah yang ukurannya paling kecil. Belum sempat pegang, itu gajah langsung mengejar. Larinya lumayan buat ukuran badan gajah. Itu gajah pasti sering nonton Messi. 
Messi membawa bola, dioper ke kanan, dioper ke kiri, tembak! Dannn....sayang sekali terbentur restu dan keadaan!


Kami ditawarkan bersafari masuk hutan dengan naik gajah selama setengah jam dengan harga seratus lima puluh ribu Rupiah per orang. Sayang uang THR saya saat itu sudah menguap tak bersisa, jadi kami urungkan niat bersafari tersebut. Padahal sangat menggoda. Sebagai gantinya, kami diizinkan untuk melihat gajah di kandangnya langsung. Hhhh…apa menariknya lihat gajah di kandangnya? 
Butuh waktu lama mengumpulkan nyali untuk foto seperti ini. Aku lemah.
Dan…ternyata yang dimaksud kandang itu adalah sebuah tanah yang sangat luas. Sebuah padang rumput tanpa batas sejauh kemampuan mata memandang. Di atas hamparan hijau itu ada puluhan gajah yang sedang memamah biak, dan mencari makan. Woa! Mirip di Afrika! Gajah yang masih menyusui sampai yang paling besar dan bergading paling bagus ada di sini. Tapi gading gajah di sini semuanya dipotong di bagian yang tajamnya, menghindari mereka saling bunuh karena berebut lahan atau betina. 
Gajah aja kubelai, gimana kamu.
Di sinilah sekolah gajah berpusat. Gajah-gajah yang ada di kandang ini adalah sisa-sisa dari sedikitnya gajah sumatera yang tersisa. Di alam bebas, gajah sumatera hanya tinggal sekitar dua ratus ekor. Sedih. Memang, jika melihat kemegahan gadingnya, tidak ada seorang pun yang bisa menolak keinginan untuk memilikinya. Selain tingkat nilai ekslusifitas dan ekonomisnya yang tinggi, nilai magis dan mistisnya pun sudah tersohor ke seluruh dunia. 
This in (not) Africa!
Gajah adalah hewan yang cerdas dan memiliki ingatan kuat. Misalnya saja jika seekor gajah selama bertahun-tahun diikat dengan rantai, lalu suatu hari rantai itu diganti dengan tali rapia, maka si gajah tidak akan berontak dan melarikan diri. Karena dalam ingatannya dia diikat oleh rantai yang kuat, buka tali. 
Karena ngangon kambing sudah teramat mainstream.
Ironisnya, setelah gajah-gajah dewasa, mereka tidak dilepas ke alam bebas. Sepertinya kejam. Tapi jika dilepas ke alam bebas, populasi mereka justru terancam. Hutan Sumatera semakin menipis, dan perburuan semakin gencar. Jadi tinggal di Way Kambas adalah pilihan terbaik bagi hewan ini. 
Sang gajah bakal pilih siapa?
Saya kembali ke ingatan saya ketika saya kecil dulu. Ayah saya memberikan hadiah saya berupa wahana naik gajah. Pertanyaan muncul, apakah nanti saya masih bisa mengajak anak saya untuk menaiki gajah? Bagaimana jika hewan luar biasa ini hanya bisa saya gambarkan melalui mitos dan dongeng kepada anak saya.

Di Ethipia Kuno gajah pernah jadi kendaraan pasukan tempur Raja Abrahah. Di Vietnam gajah dipercaya sebagai hewan yang membendung air terjun untuk mengairi kebun penduduk. Di mitologi Hindu gajah adalah manifestasi ilmu pengetahuan berwujud Ganesha. Sultan Iskandar Muda dari Aceh menghias gajah sumatera dengan emas dan berlian untuk menjamu tamu kerajaannya. Dari ukuran badan dan legenda, gajah begitu besar.

Semoga anak cucu saya masih bisa menyaksikan kebesarannya. 
"Abang ke warung bentar ya, Neng."



Share: