Yang saya khawatirkan setelah traveling jadi bagian dari gaya hidup sekarang adalah adanya pengkotak-kotakkan golongan manusia menjadi, setidaknya, dua golongan. Yang pertama adalah yang sering sekali bepergian, berpelesir, berekreasi, bertetirah, atau apa pun namanya dan demi apa pun tujuannya ke suatu tempat. Umumnya mereka terlihat bahagia, penyuka tantangan, penuh sukacita, (merasa) berwawasan luas, mudah bergaul, dan pada intinya dunia adalah sahabat mereka. Yang kedua adalah mereka yang hidupnya berada di garis lurus pada alur rutinitas. Menggantungkan waktu istirahat saat akhir pecan, sambil menghitung hari menunggu tanggal gajian. Hidup golongan kedua ini dipandang membosankan bagi mereka yang berada di golongan pertama.
Karena umumnya mereka di kelompok kedua ini kaku, terlihat selalu serius, dan seolah dalam hidupnya sudah disediakan template standar untuk menjalani hari-harinya. Atau setelah jalan-jalan dengan biaya mahal ‘naik kelas’ menjadi kebutuhan primer (dan bukan tersier), golongan kedua ini sering diperolok dengan istilah, “kurang piknik”.
Dulu sih iya, saya termasuk yang geli kalau melihat ada teman yang belum pernah kemana-mana. Naik angkutan umum tidak bisa, diajak jalan-jalan susah, tapi giliran pekerjaan banyak mengeluh butuh refreshing. Adakalanya pula saya merasa bangga kalau ada orang yang bertanya, “wuih, next-nya jalan ke mana lagi, nih?”.
Lalu tibalah saya di titik ini. Antara periode September-Oktober saya tidak ngetrip atau naik gunung sama sekali. Kehabisan uang? Tidak juga, walaupun memang budget saya terbatas. Mungkin saya bukan traveler yang baik, atau saya sama sekali bukan traveler, ah you named it! Tapi suatu pagi di hari Sabtu, saya terbangun dengan segar sekali. Enteng. Plong. Tidak perlu berpikir untuk packing, memburu jadwal kereta, atau pinjam mountain gear ke sana ke mari. Saya menyeduh teh tanpa gula dan menonton koleksi film download-an dengan fasilitas internet kantor. Terus begitu seharian di kamar kontrakan saya yang kecil. Saya tidak kemana-mana, saya tidak piknik, tapi saya senang.
Beberapa trip di bulan-bulan sebelumnya dengan jarak yang dekat, membuat arti liburan dan rutinitas menjadi kabur. Saya menjadi kurang merindukan dinginnya udara gunung, atau tidak lagi merasakan degup jantung berdetak cepat karena antusias packing. Mendadak ngopi-ngopi di gunung dan bekerja mengolah jutaan angka di depan laptop terasa sama saja. Capek. Kelebihan piknik? Atau sesungguhnya saya saja yang memang tidak siap punya jiwa traveler? Bisa jadi keduanya benar.
Lalu setelah sebulan tidak kemana-mana, akhir pekan yang lalu saya akhirnya piknik juga. Kali ini sedikit mewah karena menginap di hotel. Ya namanya juga employee gathering yang difasilitasi kantor. Di situ saya pergi bersama-sama karyawan yang sebagian besar sudah berkeluarga. Mereka-mereka ini pasti hanya memiliki waktu yang amat sedikit untuk jalan-jalan. Hari itu saya senang. Bukan karena fasilitas jalan-jalan gratisnya, tapi karena saya merasakan antusias liburan sesungguhnya dari mereka.
Rasanya perasaan rindu akan jalan-jalan kembali bergairah ketika saya melihat keriangan dan binar mereka yang begitu bahagia melihat Kawah Putih atau hamparan kebun teh Ciwidey. Padahal, yang kemarin itu, adalah ketiga kalinya saya ke Kawah Putih dalam rentang waktu dua bulan. Diam-diam saya berharap semoga jika saya jalan-jalan lagi ‘hawa nafsu’ seperti itu tetap terjaga.
Bagi saya, masa-masa tertawa ke orang yang kurang piknik sudah berakhir. Saya memerlukan semangat seperti milik mereka. Dan saya tidak perlu khawatir menjadi manusia kurang piknik. Toh mereka yang mengklaim berkecukupan piknik itu pernah melahirkan generasi yang bikin gunung jadi kotor, dan terumbu karang rusak.
Ternyata, menurut saya loh ya, kurang piknik itu baik. Jadi, ke mana kita? =)
Karena umumnya mereka di kelompok kedua ini kaku, terlihat selalu serius, dan seolah dalam hidupnya sudah disediakan template standar untuk menjalani hari-harinya. Atau setelah jalan-jalan dengan biaya mahal ‘naik kelas’ menjadi kebutuhan primer (dan bukan tersier), golongan kedua ini sering diperolok dengan istilah, “kurang piknik”.
Dulu sih iya, saya termasuk yang geli kalau melihat ada teman yang belum pernah kemana-mana. Naik angkutan umum tidak bisa, diajak jalan-jalan susah, tapi giliran pekerjaan banyak mengeluh butuh refreshing. Adakalanya pula saya merasa bangga kalau ada orang yang bertanya, “wuih, next-nya jalan ke mana lagi, nih?”.
Lalu tibalah saya di titik ini. Antara periode September-Oktober saya tidak ngetrip atau naik gunung sama sekali. Kehabisan uang? Tidak juga, walaupun memang budget saya terbatas. Mungkin saya bukan traveler yang baik, atau saya sama sekali bukan traveler, ah you named it! Tapi suatu pagi di hari Sabtu, saya terbangun dengan segar sekali. Enteng. Plong. Tidak perlu berpikir untuk packing, memburu jadwal kereta, atau pinjam mountain gear ke sana ke mari. Saya menyeduh teh tanpa gula dan menonton koleksi film download-an dengan fasilitas internet kantor. Terus begitu seharian di kamar kontrakan saya yang kecil. Saya tidak kemana-mana, saya tidak piknik, tapi saya senang.
Beberapa trip di bulan-bulan sebelumnya dengan jarak yang dekat, membuat arti liburan dan rutinitas menjadi kabur. Saya menjadi kurang merindukan dinginnya udara gunung, atau tidak lagi merasakan degup jantung berdetak cepat karena antusias packing. Mendadak ngopi-ngopi di gunung dan bekerja mengolah jutaan angka di depan laptop terasa sama saja. Capek. Kelebihan piknik? Atau sesungguhnya saya saja yang memang tidak siap punya jiwa traveler? Bisa jadi keduanya benar.
Lalu setelah sebulan tidak kemana-mana, akhir pekan yang lalu saya akhirnya piknik juga. Kali ini sedikit mewah karena menginap di hotel. Ya namanya juga employee gathering yang difasilitasi kantor. Di situ saya pergi bersama-sama karyawan yang sebagian besar sudah berkeluarga. Mereka-mereka ini pasti hanya memiliki waktu yang amat sedikit untuk jalan-jalan. Hari itu saya senang. Bukan karena fasilitas jalan-jalan gratisnya, tapi karena saya merasakan antusias liburan sesungguhnya dari mereka.
Rasanya perasaan rindu akan jalan-jalan kembali bergairah ketika saya melihat keriangan dan binar mereka yang begitu bahagia melihat Kawah Putih atau hamparan kebun teh Ciwidey. Padahal, yang kemarin itu, adalah ketiga kalinya saya ke Kawah Putih dalam rentang waktu dua bulan. Diam-diam saya berharap semoga jika saya jalan-jalan lagi ‘hawa nafsu’ seperti itu tetap terjaga.
Bagi saya, masa-masa tertawa ke orang yang kurang piknik sudah berakhir. Saya memerlukan semangat seperti milik mereka. Dan saya tidak perlu khawatir menjadi manusia kurang piknik. Toh mereka yang mengklaim berkecukupan piknik itu pernah melahirkan generasi yang bikin gunung jadi kotor, dan terumbu karang rusak.
Ternyata, menurut saya loh ya, kurang piknik itu baik. Jadi, ke mana kita? =)