Tuesday, 29 November 2016

Da Lat, Kota Kembang Dari Vietnam

Selamat Datang di Da Lat
Ketika Mbak Tika, travelmate saya yang menggagas perjalanan ini, menyisipkan Da Lat sebagai salah satu kota tujuan, saya sedikit heran. Bagi saya kota itu tidak begitu familiar. Saya hanya mengenal Da Lat justru lewat pelajaran sejarah. Dahulu menjelang kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta diundang oleh Jepang ke kota ini untuk berunding. Dalam benak saya, kunjungan saya ke Da Lat akan banyak diwarnai oleh wisata throwback time yang penuh dengan museum atau narasi sejarah. Sepertinya Da Lat adalah kota yang pernah terlibat serius dalam kecamuk Perang Dunia II di wilayah Asia Pasifik.

Mbak Tika memberi sedikit gambaran yang justru bertentangan dengan bayangan saya. “Da Lat itu sejuk, dataran tinggi. Banyak bunga-bunga, ya Bandungnya Vietnam lah.” Begitu katanya. Saya dan kelima teman saya berangkat ke Da Lat dari Mui Ne. Jam 8 pagi kami sudah dijemput bus tiga per delapan kapasitas 20-30 orang. Kabarnya perjalanan ke Da Lat butuh 5 jam, dan kami cukup kecewa karena busnya buka sleeper bus seperti yang mengangkut kami dari Ho Chi Minh ke Mui Ne. 
Bunga di tepi jalan. Di tepi Danau Da Lat
Setelah melewati pemandangan padang pasir Red Sand Dunne dan White Sand Dunne, bus mulai memasuki jalan kecil dan rusak. Di kanan kiri hanya ada tanah lapang yang tandus dan sesekali direcoki oleh kebun buah naga. Jalan rusaknya bukan main. Lubangnya besar-besar. Permukaan aspalnya bumpy. Ditambah cara mengemudi supir yang sama sekali tidak membantu menenangkan penumpang . Turis Inggris cewek pengagum Wayne Rooney yang duduk di depan saya berkali-kali mengumpat. Beberapa penumpang lokal terlihat tertawa, nampaknya sudah biasa dengan kegaduhan semacam itu. Saya jadi mengerti kenapa Mui Ne-Da Lat ditiadakan sleeper bus. Sangat beresiko bagi keamanan tempurung kepala.

Tanda sudah sampai di Da Lat adalah ketika bus memasuki jalan menanjak bukit dengan hutan pinus yang lebat. Mbak Tika benar, seperti Ciwidey di Bandung Selatan. Kami tiba di Da Lat. Bayangan puing-puing dan desing mesiu perang seketika terlupakan dari benak saya. Di tiap persimpangan jalan ditanami bunga dengan warna yang bhineka. Bangunan dan rumah-rumah penduduk bergaya Prancis dengan pot-pot berisi kembang menggantung. Saya seperti anak TK yang baru pergi study tour, duduk melongo di tepi jendela bus dan memandang keluar.

Saya turun tepat di depan Backpacker Hostel. Sebuah penginapan yang memang sudah kami spot sebelumnya. Bayangkan dua kata ini, “backpacker”, dan “hostel”, paduan kata yang membuat nyaman dompet para pejalan. Dua kata itu identik dengan murah. Well, memang begitu adanya. Di sini biaya per malamnya dalah USD 7/orang. Kebetulan kami mendapat kamar doom untuk 6 orang. Pemiliknya sebuah keluarga bermarga Vu. Sangat ramah, informatif, jago Bahasa Inggris, dan sangat sabar. Untuk USD 7 semalam, kami mendapat kamar yang nyaman di lantai 3, wifi, dan sarapan. Dan the best part-nya adalah, kami mendapat free dinner bersama keluarga mereka dan semua tamu yang menginap diundang. Jadi malam itu saya dan teman-teman makan bersama backpacker lain dari Inggris, Wales, Skotlandia, Belanda, dan beberapa dari Singapura. Semua masakannya dimasak oleh keluarga ini. Pemiliknya sangat pandai memasak. Sarapan kami yang berupa roti prancis dengan scrambled egg pun dibuat oleh tangannya. Jika bingung menemukan hostel ini, coba berpatokan pada hotel bintang lima bernama “Da Lat Palace”, letak hostel milik keluarga Vu ini tepat di belakangnya. Atau kalau memang penampilan kita seperti backpacker dengan tas ransel besar dan baju agak kumal, biasanya kondektur bus sudah aka otomatis menurunkan kita di depan hostel ini. Mereka sudah paham. Jadi jangan khawatir. 

Kalau butuh penginapan di Da Lat, cari saja fasade ini

Lobby Backpacker Hostel. Kami diberitahu, bahwa kami adalah turis Indonesia ke tiga yang menginap di sini

Mr. Vu sedang membuatkan scrambled egg untuk menu sarapan kami.
Da Lat adalah kota yang memang didesain untuk pariwisata. Ingin rasanya meminta maaf ke kota ini karena sempat suudzon bahwa kota ini berupa ‘sisa’ perang. Da Lat jauh lebih santai di banding Ho Chi Minh City. Saya tidak perlu khawatir terserempet pengendara motor ugal-ugalan. Danau Da Lat menjadi urat nadi rileksasi bagi siapa saja yang berkunjung ke kota kembang ini. Banyak pedagang pizza Da Lat, makanan yang secara teknis memang pizza. Hanya saja topingnya telor, bumbu, dan sayuran. Betul, lebih ke martabak telor sebenarnya. Ada juga delman yang siap mengantar berkeliling danau. Kami rencananya ingin mencoba, tapi begitu tawar menawar harga mentok di angka VND 600.000. Gak! Makasih! 
Di Museum Kereta Apinya Da Lat. Saya Ranger merah!

Da Lat traditional market. Bunderannya penuh bunga-bunga, kayak hati abang liat Neng bahagia dengannya.
Da Lat juga begitu relijius namun tetap penuh toleransi. Saya menjumpai banyak kuil dengan pagoda, namun di tengah kotanya berdiri megah sebuah katedral. Katedral dengan fasade beraksen bata itu buka hingga sore. Di sebelahnya ada altar khusus untuk memanjatkan doa di depan patung Bunda Maria. Nampaknya sosok suci dalam agama kristiani ini memiliki posisi khusus di Vietnam. Di Katedral Ho Chi Minh City juga ada katedral dengan patung Maria besar di depannya. 
Mother Marry comes to me speaking words of wisdom...let it be...let it be...
Soal alam dan landscape, Da Lat juga masuk dalam kategori paripurna. Selain memang memiliki view pegunungan dan hutan pinus, Da Lat memiliki dua air terjun termasyhur. Yang pertama adalah Pongour Waterfall, terletak di tengah perkebunan kopi. Air terjun ini berbentuk memanjang dengan beberapa tingkatan. Air terjun itu bermuara di sebuah telaga dengan air sangat bening. Sayangnya tidak boleh mandi karena pernah terjadi kecelakaan. Kepingin sih nekat nyemplung, tapi mengingat ini di negeri orang, bisa berabe kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 
Bawaannya pengen pake boxer trus nyemplung
Yang kedua adalah Elephant Waterfall. Konon katanya air terjun ini terbuat karena para gajah di hutan membendung sungai untuk membantu mengairi pertanian warga. Sayangnya airnya tidak sebening di Pongour Waterfall. Jalan menuju ke sini juga terjal dan licin. 

Jadi inget tempat latihannya Naruto di Gunung Myoboku
 Untuk yang hobi ngopi, jangan pernah takut kehabisan tongkrongan di Da Lat. CafĂ© dan kedai kopi ada di mana-mana. Da Lat punya perkebunan kopi yang cukup luas. Lumbung kopinya Vietnam. Kopi luwak cuma ada di Indonesia? Vietnam juga punya. Ada sebuah tempat ngopi (duh, saya lupa namanya) yang tempatnya tepat di atas kebun kopi.
Anak muda Vietnam kalo ngopi di atas kebonnya langsung
Tetapi tur saya di Da Lat yang paling berkesan adalah ketika mengunjungi Chicken Village. Sebuah kampung dengan monument ayam raksasa. Suku yang mendiami kampung itu bernama Pho. Suku Pho ini suku asli Vietnam satu-satunya yang tidak bisa berbahasa Vietnam. Akibatnya mereka memiliki sejarah kelam berupa pengasingan dan perang saudara. Mereka mencari uang lewat bertani dan menenun kain. Mostly, turis senang kalau ke sini karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bahasa Inggris mereka bahkan jauh lebih bagus dari saya dan teman-teman. Mereka pun sangat ramah, garis muka mereka tidak seperti penduduk Vietnam lain yang umumnya keras. 
Penjual kain tenun suku Pho dengan senyumnya yang manis
Dua hari rasanya kurang di Da Lat. Kamera rasanya selalu saja kekurangan memori untuk mengabadikan momen dan ruang di kota ini. Walaupun cukup menyebalkan juga karena Instagram tidak bisa diakses di sini. Jadi buat yang eksis lewat medsos berbasis foto ini, tahan ya hasratnya. =( 
Kaktus yang di jual di Da Lat. Bentuknya kayak meriam gitu, ya. Ngilu nggak?





Share:

Saturday, 19 November 2016

Tutur Tentang Guntur

Setelah makan tahu sumedang yang dijajakan dalam bus jurusan Jakarta-Garut selepas keluar tol Cileunyi, saya dan kawan mendaki, Bhakti, tertidur pulas. Kami duduk di paling belakang bus bertarif 55.000 Rupiah untuk sekali jalan itu. Ada baiknya untuk tidak tidur terlalu lelap. Atau akan bernasib lumayan apes seperti kami.

Kondektur sampai harus membangunkan kami ketika sampai di Terminal Guntur, Garut. Saya terbangun dengan setengah kesadaran, perlu beberapa detik untuk indera saya meraba di mana saya. Udara dingin yang sangat berbeda dengan Jakarta membuat saya terlonjak. Dan lebih terkejut lagi ketika menyadari mesin bus sudah mati, menandakan kami sudah sampai di terminal. Tempat yang seharusnya kami tidak singgahi.

Seharusnya saya dan Bhakti turun di pom bensin Tanjung. Tepat di sebelah gapura menuju basecamp gunung tujuan kami, Gunung Guntur. Dari situ seharusnya hanya tinggal naik ojek dengan ongkos 15.000 Rupiah. Dan kenyataannya kami malah lewat lumayan jauh. Wich is mau tidak mau kami harus naik ojek dari Terminal Guntur ke basecamp dengan biaya 50.000 Rupiah. Terasa sekali marginnya. Sebetulnya bisa naik angkot, tapi saat itu tengah malam menuju dini hari, hanya sopir angkot yang sedang dalam semangat mencicil rumah di Pondok Indah yang masih beroperasi.

Sampai di basecamp, kami repacking logistik dan beristirahat. Menjelang pagi saya baru sadar batere kamera hampir habis. Seharusnya kamera itu diisi dayanya di kosan. Tapi karena di malam sebelum keberangkatan pulsa listrik kosan saya habis dan semua konter yang menjual pulsa tutup, maka kamera itu urung di-charge. Bhakti tertawa geli dengan kebodohan saya. Dia mengingatkan karena sekarang sudah zamannya orang jual pulsa online. Bahkan sudah ada sistem bayar listrik PLN Online. Tidak perlu repot-repot ke konter atau mini market, karena bisa diakses melalui Tokopedia. 

Ramainya pendaki menuju Gunung Guntur. Kamu kapan menuju hatiku?

Jadi pagi itu kami memulai pendakian dengan batere kamera seadanya. Setelah mendaftar, kami membayar simaksi sebesar 20.000 Rupiah. Lumayan costly untuk ukuran perizinan sebuah gunung. Biarpun begitu, hari itu pendakian ramai sekali. Imbas mahalnya biaya masuk dan tetek bengek ke Gunung Papandayan membuat Gunung Guntur jadi primadona baru bagi pendaki yang ingin mendaki santai. Dengan ketinggian 2.249 meter di atas permukaan laut, sangat pas untuk yang ingin kemping di gunung dengan waktu trekking tidak begitu lama dan deviasi medan yang relatif bersahabat. 
Ini Bhakti. Cukup kamera saja yang kurang dicharge. Semangat narsis jangan.
Awal-awal jalur Gunung Guntur adalah daerah penambangan pasir dan batu. Jadi beberapa kali saya berpapasan dengan truk pengangkut pasir. Saya mengira jika sudah memasuki hutan, jalur berbatu juga akan habis. Ternyata tidak, Gunung Guntur hampir seratus persen terdiri dari bebatuan dan pasir. Jalurnya juga gersang, terutama sehabis pos satu menuju ke campsite.

Memutuskan untuk mendaki pagi-pagi adalah keputusan sedikit keliru. Karena saya sampai di pos 3, tempat yang dianjurkan untuk buka tenda, adalah menjelang tengah hari. Dan itu teriknya bukan main. Mendirikan tenda pun tidak semudah biasanya, karena konturnya bebatuan, saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menancapkan patok tenda. 

Maldini dan Pos 3 Gunung Guntur

Saran saya adalah, mendakilah menjelang sore. Supaya ketika buka tenda cuaca sedikit lebih teduh. Atau kalau memang ingin tetap mendaki pagi, jangan terlalu terburu-buru. Santai saja. Di sepanjang jalur ada beberapa bangunan gubuk tempat warga jual minuman, leyeh-leyeh cantik saja dulu di situ. Bisa minum kopi, masak mie, atau bahkan tidur siang. Namun, jika sudah terlanjur naik pagi seperti saya, usahakan untuk mendapat kavling tenda dekat dengan shelter pos 3. Di sana banyak tumbuh pepohonan dan dekat dengan aliran sungai. Konsekuensinya, tempat ini selalu penuh. Silahkan bagaimana mengatur strategi untuk sampai di pos ini. Memerluka waktu kurang lebih 3 jam berjalan santai dari basecamp. 
Ketika tongsis ketinggalan....

Setelah pos 1, saya melihat ada dua jalur. Kiri, dan kanan. Pilih lah yang kiri, karena jalurnya konstan menanjak. Jalur kiri yang bersisian dengan sungai sangat menguras tenaga karena sangat curam tanjakkannya. Walaupun jalurnya lebih gersang, tapi jalur kanan ini pemandangannya indah. Apalagi kalau sedang cerah, sepanjang perjalanan kita akan ‘ditemani’ Gunung Cikuray dari kejauhan. Cikuray ini adalah gunung tertinggi di Garut, sangat anggun terlihat dari Guntur dengan gumpalan awan yang Seperti berbentuk mahkota di puncaknya. Di jalur ini hanya ada beberapa batang pohon cemara untuk istirahat dan berteduh. 
Cikuray. Si Penyemangat dalam pendakian saya.
Sayangnya, pagi hari ketika saya summit attack, cuaca full berkabut. Jadi di puncak tidak terlihat apa-apa. Jalur menuju puncak di dominasi oleh pasir dan bebatuan dengan struktur labil. Sangat disarankan untuk memakai sepatu yang mumpuni atau kaki akan lecet. Dan berhati-hatilah ketika turun, karena dalam pendakian ke gunung mana pun jalan turun selalu lebih sulit. 
Kabut. Maldini lelah...

Mendaki berdua ke Gunung Guntur cukup aman. Bahkan untu pendaki pemula seperti saya. Logistik yang saya dan Bhakti bawa pun sisa banyak. Yang penting adalah persiapan matang. Fisik tentu saja.

Demikian tutur saya tentang Guntur. Jika ada yang membaca catatan ini semoga bisa menjawab bagaimana cara ke Gunung Guntur. Mendakilah ke sana, teriknya membakar rindu. =) 





Share: