Wednesday, 15 November 2017

Pentingnya Suku Cadang Berkualitas Pada Moda Transportasi Saat Travelling

Jika sedang travelling, berbeda tujuan dan tempat akan berbeda pula moda, pola, dan kombinasi transportasi yang saya gunakan. Waktu ke Malaysia, saya dimanjakan dengan nyamannya sistem tranportasi yang terintegerasi melalui MRT, LRT, dan bus GO KL yang gratis. Berbeda cerita dengan di Vietnam. Waktu ke sana saya dan travelmate sepakat akan menyewa mobil, biar enak dan fleksibel pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Namun, hal tersebut kami urungkan karena ternyata di Vietnam semua mobilnya menggunakan setir sebelah kiri seperti di Amerika. Demi keamanan kami dan warga masyarakat sekitar dari huru hara tidak diinginkan dengan menjadi buronan polantas setempat, kami memutuskan pakai jasa travel lokal saja atau naik kendaraan umum hop on hop bus.

Pengalaman unik bertransportasi lainnya saya alami masih di Vietnam, yaitu waktu mengunjungi Mui Ne. Sebuah daerah pesisir yang terkenal akan padang pasir Sand Dunne-nya. Di sana paling make sense memang menyewa sepeda motor. Saya baru tahu kalau di Vietnam, penggunaan helm cetok masih diperbolehkan asal kecepatan maksimal 40 km/jam. Deg degan juga berkendara dengan safety tools minim seperti itu, ditambah lagi jalur yang terbalik di mana jalur cepat ada di kiri dan lambat ada di kanan. Tapi untungnya kendaraan yang saya dan teman-teman pakai cukup sehat, baik komponen suku cadang utama maupun accessories-nya. Jadi aman. 
Siap touring

Lain lubuk lain ikannya, lain hati lain mantannya. Eh gimana, gimana? Maksud saya berbeda cerita dengan travelling saya di dalam negeri. Indonesia yang cantik ini kan alamnya adalah yang terkomplit di dunia, jadi kebanyakan trip saya adalah mengunjungi alam di Indonesia. Masalahnya adalah, banyak tempat yang sulit aksesnya. Waktu ke Dieng misalnya, saya naik minibus yang nampaknya kampas remnya sudah tidak layak sedangkan medan jalan begitu menanjak dan berliku. Hingga di satu titik ketika berhenti kendaraan tersebut mundur tanpa bisa dikendalikan. Untungnya nasib penumpang terselamatkan dengan masih berfungsinya rem tangan. Kalau tidak, mungkin saat itu saya dan beberapa penumpang lain sudah tidak karuan mendarat di kebun sayur yang terletak beberapa meter di bawah jurang. Duh, ini si pengelola kendaraannya kurang memperhatikan suku cadang yang berkualitas buat mobilnya.

Waktu ke Curug Ciampea di Bogor pun begitu. Kali ini saya naik motor. Untuk menuju lokasi curug harus lewat jalan menanjak yang ekstrem. Pas di depan sebuah sekolah SD, motor saya tergelincir karena rem yang tidak kuat menahan gaya tarik gravitasi terhadap motor. Saya jatuhkan deh itu motor daripada saya ikut mundur dan nyemplung ke jurang yang entah ada apa di bawahnya. Selain shock, malu juga karena saya jadi tontonan anak-anak SD yang justru pada bertepuk tangan.

Jadi saran saya, kalau ingin travelling, khususnya dengan moda yang kita kendarai sendiri, wajib untuk cek terlebih dahulu apakah suku cadangnya masih berfungsi atau sudah harus diganti. Bisa bahaya jika tidak proper, karena ini berhubungan safety. Apalagi jika bepergiannya dengan kendaraan pribadi milik sendiri, perawatan wajib menjadi perhatian utama. Kadang memang malas berurusan dengan ‘printilan-printilan’ kendaraan karena tidak mengerti. Maka dari itu, pilih saja suku cadang yang menjamin. Seperti Bosch suku cadang berkualitas.

Kekhawatiran rem yang bermasalah tidak perlu terjadi karena Bosch menyediakan satu paket produk brake equipment. Seperti brake disc dengan kualitas yang memastikan keamanan dan tentu saja tahan lama, jadi tidak perlu sering-sering ganti. Disc ini juga membuat sistem pengereman yang smooth, dan halus seperti PDKT ke gebetan yang perlahan-lahan tapi bikin nyaman. Lalu ada juga brake pad, ini nih yang ngetop dengan sebutan ‘kampas rem’. Saya biasanya sebulan sekali ganti untuk bagian ini di motor saya. Dengan Bosch Brake Pad, kemungkinan durasi ganti kampas ini bisa diperpanjang. Brake pad ini menggunakan formula bebas asbes, jadi ramah lingkungan. Saya biar begini-begini suka naik gunung, loh. Jadi wajib mencintai alam sekitar.

Sampai mana tadi? Oh iya, kampas rem. Brake pad produksi Bosch ini juga memiliki teknologi yang mampu meredam dan menstabilkan friksi yang terjadi antara rem dan disc. Jadi kalau memang harus berhenti mendadak, guncangan bisa diminimalisir. Terakhir, dalam paket brake ini ada brake shoes. Dengan shoes dari Bosch ini, pengendara tidak perlu dalam-dalam menginjak rem. Desainnya membuat pemasangan jadi mudah, dan mampu meredam panas akibat gesekan karena tahan hingga suhu 350 derajat Celsius. Yang sering antar-jemput pacar Jakarta-Tambun tidak perlu khawatir rem menjadi overheating. Paket suku cadang produk rem dari Bosch yang berkualitas membuat kaki-kaki kendaraan menjadi solid.
Seperangkat rem dari Bosch


Banyak lagi loh suku cadang berkualitas yang ditawarkan Bosch untuk kendaraan di Indonesia. Walaupun Bosch adalah produk Eropa, kita yang di Indonesia tidak perlu khawatir. Karena Bosch merupakan teknologi Jerman untuk kendaraan Asia. Kita bisa memilih sesuai kebutuhan, ada accu (battery), busi, lampu, klakson, dan pelumas. Oh iya, apalagi sekarang masuk musim penghujan, biasanya banyak keluhan soal busi yang dingin, atau wiper yang kurang optimal. Di Bosch, semua ada. Karena Bosch solusi berkendara aman, merawat kendaraan dengan suku cadang berkualitas. Masih ragu? Bisa lihat katalognya di corporate website Bosch Automotive Aftermarket.

So, jangan sampai kegiatan travelling yang sejatinya menyenangkan malah menjadi beban pikiran karena salah dalam memilih suku cadang. Bosch sebagai penyedia suku cadang yang berkualitas, siap menjadi partner jalan-jalan.
Share:

Wednesday, 8 November 2017

Jembatan Galau di Pulau Tunda



Tenang, cetek kok bawahnya

Ada beberapa reaksi yang muncul dari orang yang bebeda ketika saya mengumumkan membuka trip ke Pulau Tunda. Di mana kalau saya kelompokkan menjadi populasi besar reaksi tersebut akan terbagi menjadi:

1. “Pulau Tunda? Di mana, tuh?”

“Serang.”

“Serang? Di mana, tuh?” 


2. “Pulau Tunda? Becanda aje lu, jodoh kali, ah, ditunda.” 


3. “Baru denger, gue. Lucu nama pulaunya. Pending Island.”

“Nah, makanya yuk ikut. Biar tau.”

“Jauh, ngggak?”

“2-3 jam lah dari Jakarta.”

“Jakarta mana, nih? Pusat? Barat? Timur?”

“BODO! NGADU PANCO AJA LU SONO AMA KANG BANGUNAN YANG BANGUN CANDI BOROBUDUR!”

Dari beberapa respon di atas, bisa ditarik kesimpulan kalau Pulau Tunda ini kurang terkenal. Kalau yang jarang liburan, pasti awama sama nama pulau yang asupan listriknya hanya dari maghrib sampai dini hari ini.

Padahal mudah loh menjangkaunya. Naik bus jurusan Merak, lalu turun setelah gerbang tol Serang Timur. Bilang saja “di patung” ke kondekturnya, dia pasti paham. Dari situ naik angkot ke Pelabuhan Karangantu. Enaknya sih carter, soalnya angkot jurusan Karangantu sangat jarang. Kalau pun ada, harus sambung menyambung. Repot.

Karangantu adalah pelabuhan tempat nelayan di Teluk Banten bersandar. Konon, sebelum Batavia di buka VOC sebagai pelabuhan, Karangantu adalah pelabuhan tersibuk di Indonesia. Bahkan mengalahkan Singapura. Di masa kini, Karangantu berfungsi jadi kampung nelayan, tempat pelelangan ikan, atau jalur masuk-keluar Kota Serang ke pulau-pulau di sekitarnya.

Adanya wisata Pulau Tunda ini menambah fungsi Karangantu sebagai pintu gerbang wisata bahari Kota Serang. Dari Pelabuhan Karangantu ke Pulau Tunda memerlukan waktu setidaknya dua jam. Buat yang sedikit-sedikit mabuk, wajib mendoping tubuh dengan antimo.

Di Pulau Tunda, infrastrukturnya hampir sama dengan pulau-pulau wisata lain di kawasan Kepulauan Seribu. Untuk menginap, kita akan ditempatkan di homestay penduduk setempat. Ketika kapal bersandar di dermaga Pulau Tunda, tidak akan ada kesan mendalam. Karena banyaknya puing bangunan dan sampah.

Walaupun begitu, spot snorkelingnya sangat menghibur. Terumbu karangnya cukup bervariasi baik dalam bentuk maupun warna. Dari hard coral berbentuk kipas, otak manusia, meja, hati yang tersakiti, hingga soft coral tempat bernaungnya si Nemo. Sedikit saran dari saya, jika cuaca sedang cerah, snorkeling lah di sore hari menjelang senja. Karena apa? Karena Pulau Tunda memiliki harta karun berupa kawanan lumba-lumba yang tampaknya baru pulang dari aktifitasnya dengan riang. Mereka lompat mengiringi perahu, atau kadang-kadang mengikuti di belakang. Dan mendengar mereka mengeluarkan nafas dari paru-parunya dengan menyemburkan air dari lubang di atas kepalanya, saya seperti melihat keajaiban yang selama ini saya kira hanya dongeng.

Snorkeling adalah satu hal dari Pulau Tunda. Ada hal lain yang bisa ditawarkan pulau ini. Yaitu Jembatan Galau. Kurang tahu juga mengapa namanya jembatan galau. Guide yang mengantar saya pun tidak punya referensi khusus mengenai asal usul nama jembatan itu. Dia tidak mau berspekulasi lebih jauh apakah dahulu ada seseorang yang ditinggal kekasih saat lagi sayang-sayangnya kemudian membangun jembatan tersebut.

Untuk mencapai jembatan tersebut harus trekking sekitar sepuluh menit ke salah satu sisi pulau. Jembatan itu tidak menghubungkan Pulau Tunda dengan pulau lain. Jembatan Galau ini lebih mirip dermaga kayu untuk perahu kecil besandar. Di ujungnya hanya ada pemandangan langsung ke arah cakrawala luas.

Biar namanya Jembatan Galau, dijamin kalau ke sini galau jadi hilang. Air yang jernih, ombak yang gemulai, dan langit berwarna vanilla menjelang senja bikin lupa berbagai macam bill cicilan yang menunggu diseberang sana.

Yang habis putus cinta karena ditinggalkan dan dikecewakan, coba lah ke sini. Tatap cakrawala di ujung sana. Luas. Si dia hanya titik kecil di seberang sana. Saking kecilnya hatimu akan bertanya, “sekecil itu, pantas kah kutangisi?”

Bagaimana? Sudah galau?


Share:

Thursday, 19 October 2017

Tips Snorkeling Ala Yos


Liburan ke laut itu paling asyik. Karena banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus ribet packing. Cukup bawa baju yang proper untuk berenang, dan beberapa baju ganti. Di sana bisa plesiran menyusuri pantai, memburu sunset atau sunrise, main pasir di pinggiran, sekedar leyeh-leyeh, dan berenang tentu saja.

Sekarang, berenang di laut bisa berbagai macam bentuknya. Bisa berupa hanya berenang di pinggiran pantai berpasir yang landai, atau berenang agak jauh ke tengah untuk melihat keindahan bawah air yang biasa disebut snorkeling. Biasanya kalau ada trip yang berbau laut, sudah sangat lumrah memasukkan kegiatan snorkeling ini di itinenary.

Masalahnya adalah, snorkeling harus dilakukan di perairan yang cukup dalam, 3-7 meter di bawah permukaan air. Cukup dalam. Banyak yang sebenarnya antusias, tapi takut karena tidak bisa berenang. Walaupun sebetulnya berenang bukan syarat utama supaya bisa menikmati aktifitas ini.

Saya akan sedikit memberi tips dan saran untuk bersnorkling ria. Ini bukan tips terbaik yang pernah ada, tapi ini yang terbaik menurut saya.

1. Pastikan Peralatan Lengkap

Gear standar untuk snorkeling adalah,

· Google: Ini bukan mesin pencari yang biasa kita gunakan di internet untuk mencari informasi tentang gebetan loh ya. Google ini maksudnya adalah kacamata sebagai alat bantu untuk memperjelas pandangan di dalam air. Alat ini melindungi mata dan hidung dari kemasukan air.

· Snorkle: Satu paket dengan google, terikat. Bentuk umumnya pipa memanjang yang memberikan akses udara dari luar ke dalam tubuh melalui mulut. Karena hidung nanti tercover oleh google, jadi kita harus bernafas lewat mulut yang ‘mengigit’ snorkel.

· Pelampung: Atau bahasa pramugarinya, life vest. Bentuknya seperti rompi berwarna mencolok. Ini membantu kita supaya tetap mengapung di permukaan tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.

· Fin: Gampangnya, kaki katak. Bentuknya itu seperti, ummm…kaki katak. Kalau pakai ini gerakan dan mobilitas di air jadi lebih cepat, dan juga berguna untuk melawan gelombang.

· Pakaian: Pakai pakaian yang ringan dan fit di badan untuk memudahkan gerak di dalam air.

Nah, biar nyaman dan aman, khusunya buat yang belum mahir berenang, peralatan tersebut wajib ada. Pastikan juga ukurannya pas dengan anatomi badan. Karena benda-benda di atas memiliki ukuran yang berbeda.

2. Jangan Panik
Ketika manusia berada di luar lingkungannya, reaksi pertama adalah panik takut tenggelam. Setelah menceburkan diri ke laut, tekan rasa panik itu ke tingkat minimum. Kalau life vest terpasang dengan semestinya, semua akan baik-baik saja. Jangan ragu untuk minta tolong tour guide atau orang yang sudah biasa snorkeling untuk membantu mengawasi. Ingat saja ini, bahwa untuk tenggelam di laut itu justru sulit karena kandungan garamnya.

3. Pelajari Teknik  
Seperti yang saya katakan di atas, sesungguhnya snorkeling tidak memerlukan kemampuan berenang secara mutlak. Cukup mengetahui teknik dasarnya. Kuncinya adalah pada kayuhan kaki. Ingat, fin harus terpasang. Dan untuk maju bergerak, gerakan kaki harus mengayuh seperti berjalan, bukan menendang atau gerakan seperti gaya katak. Tidak pakai fin? Bisa, namun membuat kita jadi cepat lelah karena kurang dorongan untuk melawan gelombang. 
Ada juga yang mau foto-foto di dalam air. Nah, ini harus lepas pelampung. Baru di sini kemampuan berenang diperlukan. Gunakan kepala sebagai navigator, bukan badan. Usahakan kepala duluan yang mengarah ke arah yang kita inginkan. Kebanyakan, yang ingin menyelam berusaha ‘menenggelamkan’ badannya dulu. Setelah kepala berada di bawah air, baru kaki mengayuh seperti gerakan yang dijelaskan di atas.

4. Just See, Do Not Touch  
Di bawah laut, akan kita temukan beraneka macam makhluk dan hal yang memanjakan mata. Ikan-ikan aneka warna, dan terumbu karang aneka bentuk adalah hal dominan yang akan kita jumpai. Semua itu hanya boleh kita lihat, jangan disentuh. Gemas dengan clown fish yang diberi nama oleh dunia sebagai Nemo boleh saja, tapi tidak usah dikejar-kejar. Ada terumbu karang yang bagus, juga cukup dilihat dan difoto. Menyentuhnya hanya akan menimbulkan kerugian pihak terumbu karang, dan juga manusia yang menyentuhnya. Terumbu karang bisa rusak, dan kita semua tahu bahwa mereka butuh waktu dalam satuan puluh tahun untuk pulih. Dan kita bisa saja beresiko tergores, atau teriritasi karena tidak tahu jenis terumbu karang apa yang kita sentuh.

Sekian tips snorkeling ala Yos yang didapat dari pengalaman langsung ribuan kali ditolak cewek (yakali, menurut lo?). Ada yang punya tips atau saran lain? Boleh loh diisi di kolom komentar baik di postingan ini atau di akun Instagram @kening_lebar . Lagi butuh followers yang rada banyakan dikit nih, biar diendorse jalan-jalan gratis. Canda, ding! Ditunggu =)
Share:

Friday, 13 October 2017

Curug Ciampea, Yang Bening Dekat Jakarta


Bingung rasanya kalau mau jalan-jalan tapi budget terbatas. Tanggal tua pula. Pilihannya adalah cari gratisan, atau piloh tujuan yang murah meriah. Kecuali saya adalah seorang seleb medsos yang punya pengikut militant dengan jumlah banyak, rasanya pilihan kedua adalah yang paling realistis.

Bogor adalah kota pertama dalam daftar tujuan saya. Di sana pilihannya beragam. Ada gunung, wisata alam, atau sekedar keliling kota menikmati kuliner. Setelah menimbang-nimbang dan browsing sana sini, akhirnya saya memutuskan untuk main air ke Curug Ciampea. Dari Kota Bogor letaknya tidak terlalu jauh, ke arah Tenjolaya dekat kaki Gunung Salak.

Walaupun dekat dengan Jakarta, rasanya sulit untuk mencapai curug ini dengan angkutan umum. Karena dari jalan utama menuju lokasi harus memasuki kawasan yang tidak di lalui angkutan umum dengan medan curam, dan kondisi jalan yang tidak seluruhnya terlapisi aspal. Untuk menuju Curug Ciampea, saran saya bawa kendaraan pribadi. Kalaupun tetap memaksakan naik angkutan umum, bersiap saja merogoh kocek lebih dalam untuk naik ojek atau carter angkot.

Saya ke sana menggunakan motor, ala ala touring gitu. Pegal-pegal sudah pasti karena saya, sebagai pihak yang dibonceng, harus beberapa kali turun dan membantu mendorong motor supaya kuat menanjak. Tanjakan terparah adalah sesaat sebelum sampai ke pintu gerbang Curug Ciampea. Saya sempat terperosok karena ban motor yang selip dan jalan yang menanjak dengan sudut kemiringan cukup tajam. Sempat shock dan malu. Shock karena sebelah kiri adalah jurang, dan malu karena jadi tontonan anak-anak SD yang baru pulang sekolah.

Harga tiket masuknya lumayan menurut saya, Rp. 20.000/orang. Itu belum termasuk parkir Rp. 5.000/motor. Tetapi melihat sedang banyak perbaikan sarana, terutama akses jalan di sini, saya jadi maklum.

Dibutuhkan trekking kurang lebih 30 menit menuju lokasi Curug Ciampea. Jalannya cukup bersahabat karena landai dan dinaungi hutan pinus. Berjalan lah sepagi mungkin, supaya belum terlalu ramai jika datang di akhir pekan. Selain kita bebas memilih spot mana saja, datang lebih pagi memungkinkan air curug masih jernih. Dari kejauhan, sudah terlihat sebuah cerukan berisi air. Begitu jernih hingga dasarnya yang berbatu koral bisa terlihat.

Tanpa pikir panjang banyak drama, saya langsung ganti setelan baju yang lebih minim untuk berenang. Incaran saya sudah tentu cerukan yang tadi saya lihat dari atas. Jadi ingat film Power Rangers The Movie terbaru, ketika para Rangers menemukan markas Zordon dengan cara loncat ke sebuah telaga. Saya pun melakukannya, loncat dari atas lagon tersebut dengan tinggi tiga meteran. Wuih, segar!

Sayangnya waktu itu Curug Ciampea sedang minim debit air karena ujung kemarau masih melanda. Walaupun begitu, semakin siang pengunjung yang datang semakin banyak. Bahkan ada wisatawan asing yang terlihat antusias dengan curug ini.

Malas basah-basahan? Tenang, bisa buka hammock karena banyak pepohonan yang cocok untuk leyeh-leyeh and forget about all problems! Saya malah hammocking di hutan pinus, gelar matras, seduh mie instan, sambil ngopi.

Jangan kesorena ya kalau mau ke Curug Ciampea, karena demi keamanan curug ini hanya dibuka hingga jam lima sore. Dan di seputar Curug Ciampea, banyak curug-curug lainnya sebagai alternatif. Ke depannya saya rasa kawasan ini semakin terkenal dengan wisata alam airnya.

Jadi kalau akhir pekan tapi kantong cekak buat liburan, sudah tahu kan mau ke mana? =)
Share:

Monday, 2 October 2017

Berkemah di Bukit Tunggul


Mari buka postingan ini dengan senyum
Kalau lagi malas naik gunung tetapi ingin menikmati hawa pegunungan, berkemah di sebuah tempat yang memiliki suhu sejuk adaah pilihan. Pilihan saya tepatnya. Sebagian orang mungkin memiliki opsi lebih dengan menginap di villa di sekitaran Puncak, tapi itu pasti mahal. Tidak masuk budget saya. Sampai sebegitunya memang miskinnya saya. Maka di suatu akhir pekan sebelum lebaran kurban, saya pergi berkemah ke Bukit Tunggul.

Bukit Tunggul adalah sebuah desa di kawasan Bandung Utara. Sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan kina yang dikelola oleh PTPN VIII. Maka dari itu, di sini ada wisata kebun dan produksi kina. Sekilas info soal kina, kina adalah hasil perkebunan tropis yang dahulu laris sebagai obat malaria. Namun, sekarang kina lebih laku sebagai bahan baku kosmetik.

Selain agrowisata kina, Bukit Tunggul juga memiliki wisata lain. Yaitu berupa bumi perkemahan, air terjun, dan beberapa wahana alam buatan. Untuk kawasan perkemahannya, Bukit Tunggul memang tidak semasyhur tempat bertetirah dengan tenda lain di Bandung seperti Ranca Upas di Ciwidey, misalnya.

Untuk berkemah di Bukit Tunggul, aksesnya lumayan memerlukan mobilitas berpindah dari satu moda ke moda angkutan umum lain. Itu belum termasuk terjaminnya ketersediaan dari masing-masing angkutan yang dibutuhkan. Dari Terminal Leuwi Panjang, saya menuju Terminal Ledeng untuk mengambil angkot yang menuju Pasar Lembang. Dari Pasar Lembang, harus naik angkot lagi dengan tujuan Terminal Patrol. Dari Terminal Patrol, baru naik ojek sampai Desa Bukit Tunggul.

Di atas adalah prosedur normal. Saya dan Centong, kawan seperjalanan, harus melanggar proses di atas. Karena dari Pasar Lembang menuju Patrol sulit sekali mencari angkot yang mampu menampung kami berdua plus tas gunung ukuran masing-masing 60 dan 70 liter penuh. Kebanyakan angkot sudah penuh dengan warga sehabis belanja di pasar. Belanjaannya tidak tanggung-tanggung, berkarung-karung, hingga berdus-dus. Akhirnya kami memesan taksi online.
Kebetulan taksi online yang kami pesan driver-nya sedikit gaptek sehingga tidak bisa membca tujuan kami di GPS. Karena kalau dia menegerti ke mana tujuan kami, dipastikan tidak akan mau mengambil pesanan kami. Kabar baiknya kami tidak perlu lagi ke Terminal Patrol, karena dengan fasilitas taksi online ini kami bisa diantar langsung ke lokasi perkemahan di Bukit Tunggul. Kabar buruknya, si sopir kelihatan tidak senang dengan jarak dan medan ke Bukit Tunggul. Jalan yang menanjak, dan rusak menjadi pemicu utama rusaknya hari indah sang sopir. Setelah sampai, kami berkali-kali minta maaf dan melebihkan sedikit dari ongkos yang seharusnya.

Biaya berkemah di Bukit Tunggul dikenakan biaya 35 ribu Rupiah per orang. Mahal sih menurut ukuran saya. Kita bebas memilih spot mana saja untuk mendirikan tenda. Lapor saja di pos yang ada di gerbang kawasan, nanti akan ada orang yang mengantar ke titik yang diinginkan. Kami memlih spot di pinggir danau dan, harus berjalan turun selama kurang lebih sepuluh menit. Walaupun namanya bumi perkemahan, berkemah di Bukit Tunggul jangan khawatir tidak dapat lapak untuk mendirikan tenda.

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, selain bumi perkemahan dan agrowisata, di Bukit Tunggul juga ada air terjun dan wisata alam buatan. Sayangnya air terjunnya saat itu sedang surut tidak mengalir, mungkin karena saat itu musim kemarau sedang berada pada puncak digdayanya. Ada juga sebuah kolam besar denga beberapa wahana dan spot foto. Seharusnya dikenakan biaya masuk ke sana, tapi entah kenapa ketika saya masuk tidak ada yang memungut. Rejeki. Di bagian tanah yang agak tinggi ada sebuah rumah pohon, sebuah sudut bagus untuk dokumentasi atau swafoto.

Secara keseluruhan, tidak ada yang istimewa di Bukit Tunggul. Memang tempat ini tetap memenuhi standar kalau yang kita cari adalah tempat berkemah dengan hawa pegunungan. Tapi kalau mencari lebih dari itu seperti pemandangan atau hal unik lain, lebih baik ke Ciwidey saja. Kecuali kita memiliki obsesi berlebih terhadap kina.

Walaupun begitu, berkemah di Bukit Tunggul ketika itu saya, dan Centong disuguhi langit penuh bintang. Jadilah kami mencoba-coba ‘menangkap’ Galaksi Bimasakti dalam frame kamera dengan kecepatan rana super rendah. Untuk foto-fotonya, silakan cek Instagram saya di @kening_lebar =)
Share:

Friday, 15 September 2017

Mendaki Gunung Sumbing Lewat Jalur Kaliangkrik

Sebetulnya pendakian ke Gunung Sumbing ini sudah lumayan lama. Awal tahun ini kalau tidak salah. Entah apa yang membuat saya malas untuk menuliskannya. Padahal pengalaman ke sana sangat jauh dari kata biasa saja.

Saya dan ketiga teman saya memutuskan mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik. Jalur ini memang belum seterkenal jalur lain, lewat Garung misalnya. Untuk ke Kaliangkrik, dari Jakarta saya harus naik bus malam jurusan Wonosobo seharga sembilan puluh ribu Rupiah. Kemudian menyambung dengan mikrobus jurusan Magelang, ongkosnya sekitar dua puluh ribu.

Ini serunya mendaki Gunung Sumbing lewat Kaliangkrik, di mana mobilitas dari satu angkutan ke angkutan lainnya lumayan banyak. Walaupun nampaknya ribet, tapi tidak sulit dicari armada yang mengangkut kita dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan sepanjang perjalanan Wonosobo-Magelang pun membuat saya rela untuk menahan kantuk, karena selalu ‘dikawal’ oleh siluet Gunung Sindoro dan lautan awan tipis. Jalurnya memang sudah berada di dataran yang lumayan tinggi.

Dari Terminal Magelang, perjalanan menuju basecamp masih sangat jauh. Karena lagi-lagi mesti ganti moda ke bus yang lebih kecil menuju pasar di bawah Dusun Butuh, biayanya lima belas ribu Rupiah. Kalau perbekalan belum lengkap, saran saya beli lah di pasar ini. Karena di sini tempat terakhir untuk membeli logistik. Lalu untuk menuju basecamp di Dusun Butuh, harus menggunakan ojek sebagai sarana transportasi satu-satunya. Harganya dua pulu lima ribu. Mahal. Saya nyaris saja mengeluh soal harga itu, tapi begitu merasakan sendiri bagaiama medan jalan yang dilalui, harga segitu sangat wajar dimahfumi.

Sepanjang jalur ojek, saya dan abang ojek dengan romantisnya melewati kebun-kebun kol, cabe, dan sayuran sejauh mata memandang. Kabut tipis terkadang membuat si abang melambatkan motornya karena jarak pandang yang menipis. Kami sudah semakin tinggi. Dan saya merasa jauh mundur dalam aliran waktu. Ibu-ibu petani memanggul sayur-sayuran dalam karung, berjalan bertelanjang kaki, tetapi dengan senyum yang tak pernah pudar sewaktu berpapasan dengan saya. Menyapa dengan Bahasa Jawa yang saya tidak mengerti.

Dusun Butuh adalah desa tercantik di Jawa yang pernah saya temui. Desa ini dibangun di atas bukit, degan gang-gang sempit sebagai akses jalan. Dari bawah desa ini terlihat warna-warni dengan tembok-tembok kotak yang tersusun. Mirip dengan desa-desa di Tibet yang saya lihat di majaah natgeo. Sayang abang ojeknya tidak mau berhenti sebentar untuk foto-foto karena dia tidak mau kehilangan momentum tenaga motornya. Dari basecamp Dusun Butuh ini pendakian ke Gunung Sumbing dimulai. Simaksi dan perijinan diurus di sini. Penjaganya ramah sekali, jadi feel free saja kalau memerlukan pertolongan. 
Dusun Butuh yang seperti Larung Gar di Tibet. Saya belum pernah ke Tibet, by the way

Dari Dusun Butuh ini jalur pendakiannya ‘tidak kenal ampun’. Tidak saya temui jalur mendatar, apalagi menurun. Untamanya dari pos 1 sampai pos 3. Menurut penjaga basecamp, jika melakukan pendakian lewat jalur ini, spot yang pas untuk mendirikan tenda adalah di pos 3. Di sana ada tanah datar, dan sungai kecil. Beruntung waktu itu saya dan teman-teman jalan sore hari menjelang malam, jadi medan yang mendaki itu tidak terlihat mata. Kami hanya tahu naik, maju, naik, maju, naik, maju. Itu saja.

Butuh waktu 6 jam lebih untuk kami sampai di pos 3. Harus hati-hati dari pos 2 karena jalur pendakian Gunung Sumbing ini penuh dengan semak dan melewati beberapa anak sungai dengan batu-batu besar licin. Di kanannya langsung jurang. Lagi lewat sini lalu kepikiran hutang bakwan di warung, wassalam. Konsentrasi mutlak dibutuhkan. 
Campsite di pos 3 Gunung Sumbing via Kaliangkrik
Bagian terbaik mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik dan mendirikan tenda di pos 3 adalah ketika matahari terbit. Kegelapan sempurna tadi malam ketika kami mendirikan tenda perlahan lenyap. Berganti fajar jingga di timur. Bulat sempurna di antara agungnya Merapi, dan pesona abadi Merbabu. Suara aliran sungai kecil tepat di samping tenda kami menjadi musik latar kami pagi itu. Teh menjadi lebih nikmat, dan kopi menjadi lebih beraroma. 
Sunrise di pos 3. Sudah boleh berpuisi menenun rindu, memanen cinta, belum?
Pagi harinya, perjalanan menuju puncak. Sesungguhnya perjalanan baru dimulai dari sini. Saya kira berjalan dari pos 1 sampai pos 3 itu sudah mencakup sebagian besar perjalanan, dan ke puncak tinggal sisa perjalanan saja. Tapia pa daya medan pendakian berkata lain. Anak-anak sungai masih sedikit menemani pendakian, namun elevasi tanah semakin curam. Titik 3.371 meter yang menaji puncak Gunung Sumbing sudah terlihat. Meski begitu kami harus mengitari beberapa bukit dengan pemandangan savanna berundak-undak dan awan yang sesekali timbul tenggelam. 
Hati-hati

Konsentrasi
Pos 4 berupa tanah datar dengan sebatang pohon rindang yang meneduhkan. Kalau tenaga kuat dan memungkinkan, atau ingin lebih santai saat summit, lebih baik medirikan tenda di sini. Berjalan dari pagi, pendakian Gunung Sumbing kami sampai puncak tepat jam lima sore. Ditemani gerimis tipis.

Di sekitar puncak, tumbuh koloni bunga edelweiss. Jika sudah terlihat Sangsaka Merah Putih, maka itu lah titik 3.371 mdpl. Puncak tertinggi di Gunung Sumbing. Dari puncak terlihat Gunung Sindoro, kembaran dari Gunung Sumbing. Di salah satu sisi puncaknya, terdapat jurang yang langsung mengarah ke padang rumput dan kawah aktif. Jika langit sedang bersih dan cuaca tidak mendung, akan terlihat siluet Gunung Slamet. 
Kabut yang turun pelan-pelan di puncak Sumbing

Puncak adalah bonus, yang penting senang, bahagia, dan rekening baik-baik saja
Sangat disayangkan karena kami kesorean sampai di puncak. Tidak banyak waktu untuk sekedar menikmati kopi. Kami pun turun. Dan sepakat melaui jalur yang berbeda. Yaitu jalur Banaran. Pendakian turun dari Gunung Sumbing ini pun tidak kalah seru. Akan saya ceritakan di blogpost selanjutnya. Tunggulah jika berkenan.
Share:

Friday, 8 September 2017

Sosial Media, Buzzer, dan Waktu Minum teh

Belakangan saya menemukan pola unik di linimasa media sosial, terutama Twitter. Saya sangat suka platform medsos satu ini, jadi kalau dipresentasikan perharinya, 80% aktifitas smartphone saya adalah memantau aplikasi berlambang burung biru tersebut. Kembali ke pola tadi, bagaimana polanya? Begini:

- Pagi-pagi akan dipenuhi keluhan jalanan macet, ucapan selamat pagi, dan RT-an motivasi dari beberapa akun.

- Pagi menjelang siang hingga sore menjelang malam , tweet iklan dengan tagar.

- Malam, tweet santai, lucu, galau, dan kalau akhir pekan banyak becandaan soal sepak bola.

Nah, poin nomor dua itu memiliki durasi paling lama. Saya memiliki 24 jam untuk memantau linimasa, maka 16 jamnya saya saya ‘dipaksa’ untuk melihat tagar dan iklan yang sama. Dari buzzer yang sama. Dengan pola kalimat yang kelihatan sudah tertemplate. Berbeda akun, tapi muatan kontennya sama. Jenuh? Pasti. Tindakan preventif pertama saya adalah menggunakan fitur mute. Namun, selalu saja ada tagar baru. Hingga saya ada berada di satu titik, “Udah ah biarin aja. Buka Twitter entar aja maleman dikit.”

Apakah salah tagar-tagar yang ‘memaksa’ untuk jadi trending tersebut? Tentu tidak. Jelas tidak ada yang ‘salah’ jika alasannya adalah ekonomi. Biar bagaimanapun terciptanya media sosial adalah bagian dari sebab akibat perilaku pasar, brand, produk, atau bahkan personal (biasanya digunakan untuk pencitraan). Kita sebut saja mereka pemilik modal. Nah pemilik modal perlu media promosi yang efektif, dan tentu saja low cost. Efektif? Jelas. Ekonom sekelas Adam Smith pun mungkin tidak akan menyangka impact motif ekonomi yang beliau gaungkan akan berdampak begitu besar ketika internet ada untuk marketing. Pendeknya, pemilik modal butuh promosi murah dengan jangkauan luas dengan tools yang juga mudah didapat tanpa harus ada ikatan secara legal yang ribet dan jangka panjang. Tools itu lah yang sekarang saya kenal dengan buzzer (konteks di twitter). Pemilik modal punya uang, buzzer butuh uang. Klop. Tidak ada yang salah. Ada gula ada semut. Ada demand ada supply.
Saya tidak bisa menggambarkan secara persis masalahnya di mana. Tapi saya punya analogi. Anggap saja Twitter (atau apa pun sosial medianya) adalah sebuah komplek perumahan. Kita sebagai penggunanya memiliki rumah. Di dalam perumahan itu sudah dibangun juga tempat untuk warganya membuka usaha. Ternyata laku. Warganya berbondong-bondong buka usaha sampai tempat usaha itu tidak bisa lagi menampung. Maka mereka menggunakan trotoar, taman bermain, lapangan sepak bola, sampai tempat ibadah untuk berjualan. Akibatnya mengganggu warga yang memang tidak punya usaha. Membuat risih mereka yang memang hanya ingin tiap sore duduk tenang sambil minum teh dan baca Koran sementara istrinya duduk di sebelahnya sambil merajut syal bertuliskan kalimat cinta. Begitu.

Lalu apa solusinya? Untuk media sosialnya sendiri saya tidak punya saran apa-apa. Tapi sedigdaya-digdayanya pasar, suatu saat akan jenuh juga. Bisa dilihat secara kasat mata kok. Sebuah produk menghire buzzer untuk mengiklankan. Followers buzzer juga buzzer, begitu seterusnya. Kecuali buzzer-buzzer ini punya followers yang bukan buzzer, cepat atau lambat mengiklan lewat buzzer akan kehilangan efektifitasnya. Yang mosok jualan ke penjual? Pemilik modal akan sadar. Ini belum faktor lain seperti pengguna yang beralih ke sosmed lain.

Kalau solusi untuk saya sendiri , saya punya. Saya tidak bisa marah jika linimasa saya penuh dengan jualan, atau kegiatan komersil. Sebel mungin. Tapi ya sudahlah, masing-masing kita punya tempat minumnya sendiri. Untuk meminimalisir kesebelan itu, saya mencoba untuk mencari ‘tongkrongan’ baru yang awam soal sosial media, blog, atau bahkan buzzering. Dan its works! Menyenangkan rasanya melihat kembali twit receh jaman dulu, yang pacaran di timeline, galau-galauan, bahkan saya senang jika ada yang hanya ngetwit, “otw kantor…”, damn, so old school but I’m glad! pokoknya apa pun yang tidak menggangu waktu minum teh saya di sosial media tanpa harus unfollow akun-akun buzzer.

Dan terakhir. Saya menulis ini dari sudut pandang seorang pengguna sosmed dengan pengikut tidak seberapa. Pengalaman komersil saya juga hanya dari beberapa content placement saya di blog. Fenomena buzzer sekarang saya anggap konsekuensi saya masuk ke dunia blogging, dan aktif di sosial media. Saya cinta blogging, saya senang menulis. Semuanya kembali ke sebuah kalimat dari Sudjiwo Tedjo. Jalani apa yang kamu suka sepenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Dengan begitu, kamu akan jadi yang terbaik di bidangmu. Ingat, uang hanya akan mencari mereka yang terbaik di bidangnya.


Share:

Monday, 28 August 2017

Mau Tahu Nama Kereta Api yang Berangkat ke Kota Tujuanmu? Ini Daftarnya!





Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_api_Argo_Bromo_Anggrek

Berbeda kota tujuan, tentu berbeda pula kereta api yang harus dinaiki. Saya kadang masih bingung kaluau dalam memilih jadwal, dan kereta apa waktu mau travelling. Biasanya karena bingung dan kurang informasi tentang nama kereta dan tujuannya, saya kerap kehabisan tiket. Kereta kan sekarang jadi transportasi primadona karena keekonomisan dan ketepatan waktnya. Maka dari itu saya buat daftar nama kereta sekaligus stasiun keberangkatan dan tujuannya. Silahkan disimak, siapa tahu ada kota yang mau dikunjugi untuk jalan-jalan, pulang ke kampung halaman, atau mau mengajak saya untuk mengunjungi Kota Solo, mungkin. Ah, saya kangen solo.


Berikut daftarnya:

1. Argo Bromo Anggrek
  • Jurusan                        : Gambir – Surabaya Pasar Turi
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Cirebon, Pekalongan, Semarang Tawang, Surabaya Pasar Turi
2. Argo Dwipangga dan Argo Lawu  
  • Jurusan                          : Gambir – Solo Balapan
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Cirebon, Purwokerto, Kutoarjo, Yogyakarta, Klaten, Solo Balapan

3. Argo Muria dan Argo Sindoro  
  • Jurusan                        : Gambir – Semarang Tawang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Bekasi, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang Tawang

4. Argo Wilis  
  • Jurusan                         : Bandung – Surabaya Gubeng
  • Stasiun Pemberhentian : Bandung, Cipeundeuy, Tasikmalaya, Banjar, Kroya, Kutoarjo, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Jombang, Surabaya Gubeng
5. Bangunkarta
  • Jurusan : Gambir – Surabaya GubengStasiun 
  • Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang Tawang, Solo Jebres, Paron, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng
6. Bima
  • Jurusan : Gambir – Malang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatibarang, Cirebon, Purwokerto, Kemrajen, Sumpiuh, Ijo,Kebumen, Prembun, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng, Sidoarjo, Lawang, Malang
7. Gajayana
  • Jurusan : Gambir – Malang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Gombong, Kebumen, Kutoarjo,Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono, Kediri, Tulungagung, Blitar, Wilingi, Kepanjen, Malang Kota Lama, Malang

8. New Argo Jati
  • Jurusan : Gambir – Cirebon
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Bekasi, Jatibarang, Cirebon

9. Purwojaya
  • Jurusan : Gambir – Cilacap
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Kroya, Maos, Cilacap

10. Sembrani
  • Jurusan : Gambir – Surabaya Pasar Turi
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang Tawang, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Surabaya Pasar Turi


11. Taksaka

  • Jurusan : Gambir – Yogyakarta
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Kroya, Kebumen, Kutoarjo, Yogyakarta
12. Turangga
  • Jurusan : Bandung – Surabaya Gubeng
  • Stasiun Pemberhentian : Bandung Hall, Cipeundeuy, Tasikmalaya, Jeruk Legi, Kroya, Sruweng, Kutoarjo, Yogyakarta Tugu, Solo Balapan, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng
Daftar nama kereta api Indonesia sesuai tujuan sudah tahu, lalu bagaimana dengan cara memesan tiket kereta api yang diinginkan? Caranya ternyata mudah, kamu bisa booking tiket kereta di aplikasi Traveloka. Kamu hanya perlu mengisi kolom stasiun keberangkatan dan kolom stasiun kedatangan. Setelah itu kamu pilih jam keberangkatan yang diinginkan diikuti dengan posisi tempat duduk. Selesai, kamu tinggal lakukan pembayaran menggunakan kartu kredit atau transfer ATM.
Oh iya, Jangan lupa untuk menyesuaikan budget untuk beli tiket keretamu. Karena apa? Karena aku cinta dia. Titik.

Hehehe...becanda, kok, serius amat. Begini, karena kelas tiket yang dipesan itu ada dua jenis. Ekonomi dan eksekutif. Harganya jelas berbeda. Yang eksekutif lebih mahal dari yang ekonomi. Tapi tidak perlu khawatir, worth it kok harga yang kamu bayar dengan fasilitas yang didapatkan. Mulai deh dari sekarang kamu bisa susun biaya tiket dalam itinenary perjalananmu.

Kamu bisa turun di sejumlah stasiun yang dilewati oleh kereta api tersebut sebelum menuju stasiun akhir. Jadi perhatikan juga nama kereta api yang bisa berhenti di stasiun tujuanmu, karena tidak semua kereta yang dengan stasiun tujuan akhir sama memiliki stasiun pemberhentian yang sama juga. Misalnya kereta api Turangga dan Bangunkarta sama-sama menuju stasiun Surabaya Gubeng, tapi kereta api Bangunkarta berhenti di stasiun Paron sedangkan kereta api Turangga tidak berhenti di sana.

Jangan lupa untuk mengecek kembali stasiun mana yang memiliki jarak terdekat dengan area tujuanmu karena ada beberapa kota yang memiliki 2 atau 3 stasiun kereta api, seperti kota Malang yang memiliki 2 stasiun yaitu stasiun Malang dan stasiun Malang Kota Lama ataupun kota Jakarta yang memiliki stasiun Gambir dan stasiun Jatinegara. Dengan demikian, kamu bisa menghemat waktu perjalanan sesampainya di kota tujuan.

Sudah siap untuk naik kereta api ke kota tujuanmu? Yuk, jalan-jalan sama saya =)
Share:

Wednesday, 23 August 2017

Ribetnya Jadi Trip Organizer ke Gunung Anak Krakatau

Karena narik becak sudah amat sangat mainstream
Semua berwal dari obrolan di tanggal tua. Kalau lagi tanggal tua pasti pikiran macam-macam, dan tingkat surviving seseorang berada pada level tertingginya. Mau makan, pilihan terbatas. Mau nonton, tunggu ada yang ngajak dan syukur-syukur dibayarin. Mau jalan-jalan, sulit. Duh.

Untungnya di tanggal tua aliran darah yang mengalir ke otak lebih banyak daripada yang mengalir ke perut. Terbit ide. Kalau mau jalan-jalan, kenapa tidak menyusun trip sendiri, kerjasama dengan operator tur, dan minta free seat untuk saya karena sudah mengumpulkan massa yang lumayan banyak.

Lalu saya memilih membuka perjalanan ke Anak Gunung Krakatau. Alasannya, tidak terlalu jauh dengan Jakarta, dan memberikan experience naik gunung, hopping island, dan snorkeling secara bersamaan. Kebetulan saya juga kenal dengan teman di Serang yang suka arrange trip ke Gunung Anak Krakatau. Namanya Mbak Noe, begitu dia akrab disapa. Coba cek akun sosmednya di @noetraveler, ibu tiga anak ini aktif sebagai blogger. Dan terima kasih tak terperi untuknya karena waktu bekerja sama menyusun perjalanan ini, dia sedang hamil dan bawa satu anaknya yang lucu. *salim*

Ada beberapa hal yang membuat buka trip sendiri itu tidak semudah kelihatannya, dan cenderung repot:

1. Jualan Cari Massa

Saya dihadapkan oleh kenyataan ternyata ‘jualan’ trip tidak semudah kelihatannya. Kalau lihat Instagram akun jalan-jalan publish sebuah ajakan jalan-jalan, atau lazim dikenal dengan open trip, kok rasanya yang ikut antriannya panjang. Di saya, itu tidak terjadi. Saya harus mati-matian bujuk teman kantor, teman tongkrongan, temannya teman tongkrongan, mutual friends di sosmed, dan banyak lagi. Hasilnya ada, tapi tidak banyak. Sedangkan untuk sebuah trip yang di dalamnya terdapat unsur biaya sewa perahu, harus ada syarat minimal kuota supaya harganya tidak mahal. Di detik-detik akhir, saya sempat pesimistis kuotanya tidak akan terpenuhi. Paling tidak 25 orang. Eh begitu sudah satu minggu mau berangkat, justru banyak yang daftar. Dan ada pula yang mengundurkan diri. Ini menyebabkan saya meminta maaf berkali-kali ke Mbak Noe karena harus menyusun ulang lagi data untuk snorkel gear dan jumlah homestay yang diperlukan. Huft.

2. Bikin Peserta Nyaman *sodorin bahu* Dalam sebuah grup perjalanan, ada begitu banyak orang. Mereka memiliki ekspektasi yang berbeda-beda.

“Nanti naik kapal ke Lampungnya ber-AC, nggak?”

“Diperjalanan bisa liat lumba-lumba, nggak?”

“Makanannya kalo bisa jangan pedes, ya…”

“Homestaynya ada TV? Liga Inggris, keleus, MU, MU!”

“Kok di Anak Krakataunya nggak ada lava yang kayak gunung meletus gitu? Gimana sih panitia….”

----_____----

Semua mesti saya jawab satu-satu. Tapi saya menyadari satu hal, wawasan itu sangat perlu untuk siapa saja yang mau buat travel organizer. Selain supaya untuk peserta percaya, ya itu tadi, peserta jadi nyaman. Setidaknya timbul sense di antara parapeserta bahwa yang membawa mereka tahu mau ke mana dan ada apa di sana.

Selain ekspektasi, para peserta juga punya ulah masing-masing yang unik. Contohnya sewaktu perahu bersandar sebentar di pulau Sebuku Kecil untuk berfoto-foto di pasirnya yang putih, dan airnya yang jernih. Ketika waktu sudah habis dan peserta diminta naik kembali ke perahu, ada dua orang yang belum kelihatan. Saya melempar pandang ke arah sekeliling pulau, sudah sepi. Dua orang itu tidak nampak. Masa sih ke tengah laut? Di ujung cakrawala mana pun pandangan saya tidak menangkap adanya kehidupan. Kemungkinannya mereka berjalan mengitari sisi lain pulau, atau masuk ke hutan. Saya sepakat dengan nahkoda perahu untuk mencari ke sisi yang berbeda. Saya berjalan tertatih-tatih melewati batu karang, pasir, dan beberapa cekungan cukup dalam. Perahu mengitari dari sisi yang berlawanan. Puji syukur, mereka ketemu.

“Sori, Yos. Namanya kan Sebuku Kecil, gue liat di peta juga kecil, makanya gue coba kelilingin. Eh ternyata gede, ya?”
GEDE PALA LU! NEGARA RUSIA JUGA DI PETA MAH MASIH GEDEAN JIDAT GUE!
Saya diperingatkan nahkoda kapal, supaya lebih mengawasi peserta. Dengan nada tinggi belaiu berkata bahwa belum ada sejarahnya wisata ke Krakatau terus ada orang hilang. Alhamdulillah hari itu sejarah tidak terukir.

Puncaknya adalah ketika trekking ke puncak Anak Gunung Krakatau. Dua jam perjalanan dini hari hingga pagi dari Pulau Sebesi ke Pulau Anak Gunung Krakatau dengan gelombang lumayan tinggi membuat banyak peserta KO. Wajah-wajah gembira berubah menjadi ungu, dan tidak sedikit yang muntah sambil memanjatkan doa. Saya berulang kali menenagkan mereka, bahwa nahkodanya sudah berpengalaman, lautan luas ini bagai halaman belakang rumah baginya. Repot sih, tapi asyik. Jadi paham cara men-treat orang-orang yang berbeda. Pokoknya cuma harus telaten dan sabar. Cerita ribet di atas belum termasuk permintaan mengajari berenang, dan request peserta untuk foto underwater berlatar belakang terumbu karang Lagon Cabe tapi ogah lepas pelampung. Sabar.

Setelah trip tersebut, ada pemikiran yang terus membuat saya brainstorming dengan diri sendiri. Asyik juga ya, bikin trip sendiri. Selain bisa minta jatah free seat, ya pengalamannya itu yang priceless. Yang terpenting sih tujuan utama saya jalan-jalan, yaitu buka wawasan dan link seluas-luasnya.

Dan oleh sebab itu (mendadak kayak UUD), saya mencoba untuk buka trip lagi. Masih seputaran Banten-Lampung. Yaitu ke Pulau Tunda. Pulau yang secara administratif masuk ke Kota Serang, Banten. Kalau dikalkulasi biaya untuk:

- Transport dari Serang ke Pelabuhan Karangantu (Pelabuhan menuju Pulau Tunda)

- Sewa kapal untuk hopping island

- Makan 4 kali

- Snorkle gear

- Guide lokal

- Dokumentasi

- Dan kegiatan optional seperti menanam bakau

Maka semua biayanya adalah 450.000 IDR/Pax. Terjangkau, kan? Mau ikut? Boleh. Saya Yos, can reached on Whatsapp 081288351044 (curhat available) untuk detail itinenary. Ajak kawan biar rame! Kuy =)
Share:

Monday, 7 August 2017

Mendaki Gunung Burangrang, dan Misterinya

Dua kali mencoba, dua kali pula saya gagal mendaki Gunung Burangrang. Entah kenapa kegagalan itu selalu diikuti oleh kejadian-kejadian aneh, ajaib, dan percaya atau tidak, dramatis. Percobaan pertama mendaki Gunung Burangrang kegagalannya cukup menyayat-nyayat hati dengan berakhir pada berakhirnya hubungan saya dan seseorang. Sedih.

Yang kedua rasanya tidak begitu sakit. Tapi bisa dibilang gondok bukan main. Rencana mendaki Burangrang ini sudah saya susun bersama teman saya kurang lebih sejak satu bulan sebelumnya. Kami sepakat berangkat Jumat malam tanggal 4 Agustus 2017. Hari Jumat pagi saya sudah packing tenda, matras, sleeping bag, kolor secukupnya, dan beberapa potong baju. Sengaja tidak bawa kompor dan nesting karena rencananya alat masak teman saya yang bawa. Karena meeting point-nya di sebuah pul bus di Cililitan, saya langsung bawa peralatan ke kantor. Jadi pas jam pulang kantor bisa langsung cus ke titik pertemuan tanpa perlu balik ke kontrakan saya di Ciledug.

Terkadang, kata ‘tetapi’ adalah frase paling ditakutkan umat manusia. Seperti Jumat sore itu. Saya sudah menyusun rencana, TETAPI langit berkata lain. Teman saya mengabari bahwa dengan berat hati pendakian batal karena satu dan lain hal. Sempat hati ini goyah, dan sedikit marah. Seksinya tas keril saya mendadak jadi tak menarik lagi.

Ego saya mengatakan, sudah berangkat saja. Gunung Burangrang ndak terlalu tinggi, kok. 2.050mdpl, bisa! Oke. Saya membulatkan tekad untuk mendaki sendiri saja.

TETAPI

KAN NGGAK BAWA KOMPOR SAMA NESTING! Ah, mau masak bagaimana nanti? Bawa ransum kering saja seperti roti, biskuit, atau gadoin mie instan. Demikian akal saya memberi solusi. Tapi, masa nggak ngopi? Di gunung, nggak ngopi? Duh, mendingan kelahi sama monster kaiju, deh. Baiklah, saya memikirkan untuk sewa kompor di Bandung. Googling. Tapi di tengah pencarian sisi malas saya mulai menggerogoti jiwa petualang di dalam diri. Kalau sewa, harus kembali ke tempat penyewaan setelah turun nanti. Pasti sudah capek.

Saya masih memikirkan kemungkinan lain, berharap packingan saya tidak sia-sia. Hingga pada suatu titik perenungan kalau mendaki sendiri:

1. Saya belum pernah mendaki gunung sendiri. Kemping sendiri saja belum pernah.

2. Burangrang bukan gunung populer dan tujuan pendaki. Bagaimana kalau hanya benar-benar saya sendiri yang mendaki ke sana hari itu? Terbayang tengah malam saya kedinginan, tidak ada teman berbincang, tanpa kopi, dan selentingan kisah mistis yang lewat di pikiran. Saya belum siap.

3. Malam minggu sendirian di kota saja rasanya sepi. Di atas gunung? Situ mau bertapa biar bisa mendapat   72 jurus perubahan wujud?

Sudah lah, saya menyerah. Ego saya padam. Jumat malam menjelang akhir pekan itu saya memutuskan untuk seru-seruan saja bersama teman. Setidaknya weekend saya nggak jelek-jelek amat lah. Di sini lah misteri gagalnya mendaki Gunung Burangrang terjadi lagi. Peristiwa aneh yang datang berurutan.

Oke. Untuk menenangkan hati dan mengembalikan mood, ngopi adalah jalan terbaik. Teringat seorang kawan yang kerja di Pasar Minggu. Ajak dia ngopi, ah. Saya kirim pesan.

“Yah, gue lagi nggak gawe, Bro.”

Gagal. Cari rencana lain. Ah, nonton bisa, nih. Ada teman yang update status mau nonton film Banda. Boljug nih nimbrung.

“Yah, ini gue udah beli tiket ini. Si nyusul di Metropole, ntar abis nonton ini kita marathonan nonton film lain.”

Uler kadut! Selain film Banda, saya sudah nonton semua film yang ada di studio tersebut. Hangout sudah saya coret. Saya memutuskan pulang saja ke kontrakan. Lapar. Barangkali Nasi Bebek Cak Nakir yang bumbunya berasal dari surga itu bisa sedikit menjadi penyelamat mood saya.

Mampirlah saya makan nasi bebek. Lumayan enakan perasaan saya. Begitu mau bayar, saya buka dompet, dan hening.

Si Abang bebek menatap saya,

Saya menatap dompet.

Kosong. Saya lupa ambil uang di ATM. Sambil minta maaf dan sambil berusaha membereskan harga diri saya yang sudah tercecer, saya minta izin untuk ke ATM terdekat. Sebagai jaminan, saya tinggalkan keril seksi saya. ATM terdekat ada di sebuah minimarket tidak jauh dari tenda nasi bebek. Tapi error. Sabar. Akhirnya mesin uang itu ketemu mendekati daerah Joglo. Balik lagi ke tenda nasi bebek harus berputar jauh di Bagdad lewat Lebanon. Macet. Banyak metromini ngetem. Menjelang weekend pula, volume kendaraan gila-gilaan. Rasanya kepengen itu motor saya panggul aja. Ya Tuhan, mau bayar nasi bebek enam belas ribu perak aja susahnya kayak mau bayar transfer Neymar dari Barcelona ke PSG.

Rasanya saat itu semuanya salah di mata saya, semua ingin saya maki-maki. Mobil di depan salah, motor di sebelah salah, ibu-ibu yang menyebrang jalan juga salah. Padahal nyebrangnya di Bekasi. Pokoknya semua salah! Tapi saya tidak tahu ke mana mau menyalahkan. Mestinya negara hadir untuk memudahkan warga negara yang mau bayar nasi bebek. Minimal Kementrian Perdagangan dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian duduk bersama untuk bikin peraturan standar setiap warung nasi bebek harus punya mesin EDC yang memungkinkan konsumen bayar dengan kartu debit atau kredit.

Kelar bayar. Saya pun melanjutkan perjalanan pulang. Susai makan tetapi rasanya saya tidak punya tenaga. Diajak panco cicak juga mungkin saya kalah. Sampe kontrakan saya mencari-cari kunci pintu. Loh, loh, loh…

Ingatan saya kembali ke masa beberapa jam lalu ketika masih di kantor


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4 atau 5 jam yang lalu,

Saya menaruh kunci kontrakan bersama laptop di loker kerja. Saya khawatir hilang jika kunci tersebut saya bawa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

JADI KUNCI KONTRAKAN KETINGGALAN DI KANTOR!

Demi supaya saya tidak tidur di emperan warung depan kontrakan, saya pun mengetuk pintu rumah yang punya kontrakan. Barangkali ada kunci cadangan. Syukurnya, ada. Saya jadi tidak enak karena sudah lumayan larut malam. Untung si bapak orangnya ramah,

“Loh Mas, nggak jadi ke gunung? Kayaknya capek banget?”

Saya hanya jawab dengan senyum letih. Senyum yang sangat saya paksakan karena pada dasarnya saya dalam mood seperti Bezita sedang marah dan teriak, “BANGSAT KAU KAKAROTOOOOOO!!!!”

Hingga kini, mendaki Burangrang masih menjadi misteri buat saya =(
Share:

Friday, 21 July 2017

Nasi Kebuli Bang Moch, Kuliner di Tangerang Selatan

Terkadang menemukan tempat makan enak tuh bisa secara tidak sengaja. Minggu lalu saya sebetulnya cuma niat menengok teman kantor yang sakit di Ciledug bersama beberapa rekan dan bos kantor. Selepas bersua dan menghibur si kawan yang sakit, bos saya mengajak untuk makan siang. Ya sebagai anak buah yang baik, dan ehm, oportunis, mana mungkin saya tolak ajakan beliau.

Pak Bos megajak kami makan di sebuah tempat dengan nama Nasi Kebuli Bang Moch. Lumayan menambah khasanah kuliner di Tangerang Selatan dan sekitarnya. Cukup melelahkan juga untuk sampai sini kalau menggunakan mobil. Bukan karena jauh, tapi karena macet. Rumah makan ini terletak di antara Ciledug dan Bintaro. Di jalan utama menuju Jombang. Kalau dari tol JORR, keluar saja di Bintaro, kemudian cari jalan raya Jombang-Ciledug, ambil yang ke arah Ciledug atau Pondok Aren. Nanti rumah makannya ada di sebelah kiri. Sudah saya spoilerkan di atas, sabar-sabar aja akan macetnya.

Nasi Kebuli BangMoch ini tampilannya standar rumah makan pada umumnya. Tidak instagramable, jadi bisa fokus makan tanpa harus repot memikirkan spot foto yang bagus untuk upload sosmed. Bercat merah, ada space untuk makan lesehan, dan jejeran foto artis yang pernah makan di situ. Ada Marissa Haque dan Ikang Fawzi, loh. Unch, my love!
 
Cocok nggak buat dua keluarga besar ketemu?
 
Artis cuy...
 Ada tiga menu utama nasi di sini nasi kebuli tentu saja, nasi biryani, dan nasi mandhi. Saya memesan nasi biryani kambing bakar madu. Dan teman saya sepakat untuk memesan nasi kebuli ayam bakar. Biar bisa saling icip. Mumpung ditraktir bos, feel free lah, ya.

Ketika nasi biryani saya datang, yang terbayang adalah pengalaman dulu saya pernah makan nasi sejenis di kantor waktu masih bekerja di perusahaan India. Nasinya betul-betul India asli, untuk lidah orang India. Rempahnya bikin hidung dan otak kehilangan chemistry. Dan langit-langit mulut terasa panas, seperti tidak sengaja menelan parfum. Tapi setelah saya mencoba beberapa suap, kekhawatiran saya sirna bersama daging kambing bakar madu empuk, lembut, yang mulus meluncur ke perut saya. Aroma jahe dan pala begitu kental, tapi tetap dalam batas toleransi lidah Indonesia saya. 
Biryani kambing, nih gaes....
 
Seingat saya, aroma dan rasanya mirip seperti nasi biryani ayam yang pernah saya nikmati di kedai milik keluarga India-Vietnam di tepi pantai Mui Ne, Vietnam. Walaupun chef-nya indiahe acha acha, tapi cita rasanya sudah disesuaikan dengan lidah orang Asia Tenggara. Nah, di Nasi Kebuli Bang Moch ini hampir sama. Yang membedakan, biryani di Bang Moch ada topingnya berupa kismis. Jadi ada rasa asam manis plus mint meleleh yang segar ketika bercampur dengan pulennya beras basmati yang sudah tertanak. Oh iya, ada juga ‘acarnya’, lebih ke salad sih menurut saya. Mentimun, wortel, kol, dan potongan bawang Bombay berbentuk cincin. Rasanya jadi meriah! Kalau waktu di Mui Ne, nasi biryaninya polos. Hanya nasi dan ayam, tok.

Kalaulah ada yang saya sesali adalah, es teh manis di sini. Baiknya setiap rumah makan jangan meremehkan es teh manis. Kalau ada riset resminya, mungkin es teh manis ini adalah minuman paling banyak dipesan di semua rumah makan. Jadi bisa jadi representasi sebuah tempat makan. Di Nasi Kebuli Bang Moch ini es teh manisnya, amboi manisnya. Mungkin peraciknya sedang melihat list lagu-lagu Slank dan berhenti di judul Terlalu Manis. Rasanya tuh bikin gusi ngilu. Giung bahasa awamnya, mah.

Bos saya bilang, dia punya teman yang tinggalnya di depok dan suka bela-belain makan di sini. Tiga jam lah dari Depok untuk menikmati Kuliner di Tangerang Selatan ini. Tapi energi yang terbuang pasti kembali dengan porsi nasi biryani ini. Pesan saya, jangan dipesan nasi biryani di sini jika:

1. Perut tidak kosong-kosong amat

2. Diet

3. Nyari martabak

Porsinya bikin kenyang awet. Saya waktu makan ini di jam makan siang, dan sampai malam nafsu makan saya belum juga terbit karena perut masi terasa penuh. Akibatnya saya tidak sempat mencicipi nasi kebuli teman saya. 
Nasi kebuli yang pergi tanpa sempat aku cicipi =(
Jahat tidak sih, makan di Nasi Kebuli Bang Moch tapi tidak makan nasi kebuli? Jika itu disebut sebuah pengkhianatan, saya mohon maaf ya Bang Moch. Pokoknya terima kasih saya sebesar dan sedalam-dalamnya karena sudah menambah pilihan kuliner di daerah Tangerang Selatan. Range harga 40.000-70.000 Rupiah amat pantas. Di Tebet ada loh yang seporsi nasi kebuli sampai 125 ribuan.

Oh iya, saran, tempat parkirnya diperluas dong =)


Share:

Tuesday, 18 July 2017

Perizinan Online di BPTJ, Reformasi Birokrasi di Bidang Transportasi

Salah satu syarat mutlak untuk menjadi sebuah kota besar adalah sistem sarana transportasinya yang memadai. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah tidak diragukan lagi sebagai kota besar, bahkan bisa dibilang kawasan metropolitan di Pulau Jawa. Wilayah tersebut meliputi tiga provinsi, dan salah satunya merupakan ibukota negara.

Semua operator dan pengusaha angkutan umum pasti menginginkan mengoperasikan usahanya di Jabodetabek karena potensi trayeknya yang menggurita dan konsumen sudah jaminan banyaknya. Namun, semakin besar peluang maka hambatannya juga semakin besar. Halangan utama dari para pengusaha yang ingin membuka usaha di Indonesia adalah masalah perizinan. Dalam acara Peresmian Penggunaan Perizinan Sistem Online yang diadakan BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) di tanggal 16 Juli 2017, Menteri Perhubungan Republik Indonesia, Bapak Budi Karya, tak menyagkal bahwa mengurus perizinan itu menyebalkan.

Pernyataan tersebut tentu beralasan. Mengingat sudah bukan rahasia umum bahwa mengurus izin secara manual harus melewati beberapa tahapan. Dari pintu ke pintu, loket ke loket, dan meja ke meja. Memakan waktu dan tentu saja ongkos. Solusinya hanya satu, reformasi birokrasi yang massif. Sebuah hal yang selalu digaungkan pemimpin daerah atau pusat, dan departemen mana pun.

Kementerian Perhubungan melalui BPTJ melakukan inovasi dengan meluncurkan sistem perizinan online. Tentu saja dengan sistem ini para pengusaha angkutan Jabdetabek yang ingin mendapatkan izin operasional bagi setiap armadanya tidak perlu repot-repot datang ke kantor BPTJ dengan membawa setumpuk dokumen.

Sistem online ini meminimalisasi pengusaha dan pegawai BPTJ terkait untuk bertatap muka. Jadi lebih cepat, dan tentu saja fraud bisa ditekan ke tingkat terkecil. Bapak Menteri Budi Karya sempat mendemontrasikan bagaimana simpelnya sistem ini. 
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Pak Budi Karya (Kemeja Putih), sedang meninjau simulasi perizinan online. Pak, hubungkan hatiku dan hatinya dong... =(

Pengusaha masuk ke situs Kementrian Perhubungan. Lalu isi data armada yang ingin dioperasikan. Data ini meliputi jenis, merek, tahun, hingga plat nomor. Lalu upload scan dokumen pendukung. Submit. Terus pengusaha akan mendapat kode billing yang harus dibayarkan ke bank persepsi sesuai dengan biaya yang seharusnya, jadi tidak perlu khawatir biaya-biaya lain di luar ketentuan. Selesai. Tinggal menunggu surat izin keluar dengan barcode resmi. Cukup satu hari, dan bisa dipantau secara realtime.

Saya membayangkan, jika sistem ini berjalan lancar, seharusnya semua moda transportasi umum di Jabodetabek layak jalan semua. Karena jika salah satu saja syarat tidak terpenuhi, ya tidak akan keluar izinnya. Dan tidak akan ada pungli karena pengusaha dan pegawai tidak bertemu. Bonusnya, sistem ini secara tidak langsung ramah lingkungan karena paperless. Semuanya tercatat dalam jejak digital yang lebih tidak lekang di makan waktu.

Sistem ini juga berlaku untuk penambahan armada, dan perpanjangan izin. Kontrol pun akan menjadi lebih mudah. Akan ada pemberitahuan jika ada armada yang izinnya habis, atau sudah waktunya uji KIR secara berkala.

Semoga sistem yang sudah dibangun untuk Jabodetabek ini bisa diterapkan di daerah lainnya. Supaya saya yang suka jalan-jalan ini nyaman pakai transportasi apa pun yang cepat, aman, nyaman, dan tentu saja terjangkau. Semoga. 
Blogger plat merah. Keren-keren, ya?

Share:

Tuesday, 4 July 2017

Mencoba Mudik ke Pandeglang Biar Kesannya Travelling

Sejak pindah ke Pandeglang, pulang ke rumah menjadi sedikit rumit bagi saya. Dulu waktu rumah orang tua masih di Cilegon, masih mudah mobilisasinya. Tinggal naik bus Arimbi jurusan Kalideres-Merak sekali dengan biaya 25 ribuan. Nah, ke Pandeglang beda cerita. Ada sih bus yang langsung dari Kalideres menuju daerah tujuan, tapi entah kenapa saya kurang cocok naik operator bus tersebut. Jarang ada yang AC, ngetemnya seabad, penumpangnya suka ngerokok seenaknya, sopirnya merasa James Bond sehingga menganggap bus berukuran besar adalah pesawat tempur yang bisa bermanuver, dan yang paling menyebalkan adalah tidak adanya sistem ongkos yang baku. Beberapa kali naik bus ini selalu ongkosnya berbeda. Main tembak. Saya malas berdebat dengan kondekturnya.

Jadi biasanya saya ambil cara yang lebih ‘manusiawi’. Naik Arimbi yang nyaman dari Kalideres sampai Serang, lalu naik microbus jurusan Pandeglang, kemudian menggunakan ojek sebagai tranportasi pamungkas ke rumah. Lebih lama, dan bisa jadi lebih mahal karena jika microbusnya tidak ada, saya harus mensubstitusinya dengan dua kali naik angkot. Sebagai perbandingan, kalau naik bus yang, katakanlah, ‘brutal’ tadi hanya memakan waktu 3 jam, maka dengan cara saya bisa sampai 4 jam.

Kemudian tiba-tiba teringat kalau kereta Commuterline kan sudah terhubung sampai Stasiun Rangkasbitung. “Rangkas kan deketan sama Pandeglang. Bisa nih dicoba”, demikian pikir saya, biar ala-ala travelling juga. Kebetulan bulan puasa ini saya tidak jalan-jalan sama sekali. Dan di suatu pagi yang cerah saat menjelang akhir Ramadhan, saya pun mencoba cara baru ini untuk ‘mudik’ ke Pandeglang. Pukul 07.00 saat itu.

Begini tahapannya

1. Naik Commuterline Kalideres-Rangkasbitung

Please, jangan berpikir ini akan berjalan dengan mudah. Apalagi saat itu sedang puasa, mesti sabar. Karena dari Kalideres saya harus transit di Stasiun Duri. Dan saya harus mengambil kereta yang menuju Tanah Abang.Wich is, itu berbarengan dengan banyaknya populasi ibu-ibu dengan niat mendapat pahala puasa karena membelanjakan nafkah dari suami secara sebagaimana mestinya dengan memborong beraneka sandang. Dari Tanah Abang, saya langsung ambil jalur tujuan Rangkasbitung. Di Stasiun Tanah Abang ini ada jembatan penyebrangan serupa skywalk di mal-mal. Dari atas pemandangan ke bawah lumayan keren. Pola rel kereta yang seperti lidi saling berpotongan dan tumpang tindih tak teratur sungguh menarik hati. Belum lagi langit biru yang cerah dengan selingan awan putih tipis-tipis. Saya foto-foto sebentar, mengacuhkan kereta di jalur tujuan saya yang sejak tadi berhenti. “Ntar juga ada lagi”, gumam saya. Puas foto-foto saya pun turun menuju peron, kurang dari dua anak tangga kereta tersebut, yang seharusnya saya naiki, berangkat. Oke, masih santai. Lima menit. Sepuluh menit. Es di kutub mencair beberapa juta kubik. Kok lama, ya? Saya bertanya ke petugasnya dan mendapat jawaban yang lagi-lagi sangat menguji kesabaran, “Lah keretanya barusan berangkat tadi. Paling nunggu satu jam lagi untuk kereta berikutnya”. Saya mulai kehabisan alasan untuk santai. Lalu ada kereta datang, jurusan Maja tapinya. Masih kurang dua stasiun lagi untuk ke Rangkasbitung. Tak apalah naik saja, daripada menunggu lama. Sekitar jam setengah sepuluh pagi ketika saya naik. Sampai di Maja jam setengah dua belas. Menunggu lumayan lama, dan sampai di Rangkas sudah setengah dua siang. Cairan tubuh rasanya berkurang lebih dari setengah. 


2. Naik Angkot Dari Stasiun Rangkasbitung ke Depan Terminal Mandala

Harus saya akui, kinerja PT KAI dalam membuat jalur commuterline sampai Rangkasbitung itu patut mendapat apresiasi besar. Kalau dilihat dari sisi komersil, jalur ini kurang menarik karena melewati Banten bagian selatan yang sebagian besar wilayahnya ‘belum kota’. Tapi harus dikritik juga tentang ketertiban di stasiun dan tata letaknya. Keluar dari Stasiun Rangkasbitung saya langsung disambut pasar. Stasiun dan pasar tidak berjarak. Banyak angkot dan becak ngetem. Pasarnya pun tergolong tradisional sehingga menyebabkan aroma sayuran dan ikan yang sudah tidak segar menyeruak kemana-mana. Saya bertanya kepada petugas jika ingin ke arah Serang, karena rumah saya adalah Pandeglang yang dekat Serang, angkot apa yang harus saya naiki. Petugas berambut cepak Guile Street Fighter itu mengarahkan saya untuk naik angkot warna merah di ujung jalan pertigaan pasar. Okelah, akhirnya saya jalan menantang panas dan bau pasar di hari yang demikian terik.

Di ujung jalan saya menemukan angkot yang dimaksud. Ada angkot yang sudah tua, dan ada yang masih bagus. Secara naluri, saya naik yang masih bagus dong. Tapi,

“A, jangan naik yang itu, A, yang belakang aja!” Sopir angkot tua meneriaki saya. Ya sudah, saya menurut. Saya naik yang angkot yang jelek. Penumpangnya baru ada saya seorang. Semenit, dua menit, sepuluh menit, Ayu Tingting liburan ke Swiss, satu jam…angkot tak kunjung jalan. Sampai akhirnya,

“A, pindah angkot yang depan aja, A. Akiknya soak kayaknya, nih!”

“BANGS…” Astagfirullah. Puasa.

Saya pindah ke angkot yang depan. Yang mana angkot pertama yang ingin saya naiki sejam lalu. Angkot pun berangkat. Mulai meninggalkan jalan besar dan jadi kecil karena banyaknya PKL yang jual ikat pinggang, action figure Sponge Bob berupa balon, sampai nomor perdana buat ponsel. Tidak berapa lama, saya dan beberapa penumpang lain disuruh turun.

“Abis..abis…abis..”

Lah? Sampe?

Ternyata tidak begitu jauh. Saya pun membayar dengan uang sepuluh ribu. Lalu berdiri dengan jaga wibawa menunggu kembalian.

“A, kurang atuh segini, mah”

“Hah?”

“Kurang dua ribu.”

“Deket kok, dari pasar tadi.”

“Iya kurang, tambah lah. Kan buat lebaran.”

Anjir! Siapa ini sarjana yang pertama nulis bahwa hari raya mempengaruhi tarif organda? Untung di angkot, coba kalo di ring tinju, itu sopir udah kena suplex ala Chris Jericho. 


3. Naik Angkot dari Mandala ke Pasar Pandeglang Angkotnya warna biru. Demografi penumpangnya kebanyakan seperti saya, mereka yang dari Jakarta mau pulang ke Rangkas, Lebak, atau Pandeglang. Sejengkal pun ini angkot tidak bergerak sebelum tiap inchi bangkunya penuh oleh penumpang. Ya Tuhan, sudah hampir jam setengah tiga. Ongkosnya sepuluh ribu, padahal jaraknya lebih jauh. Mendadak ilmu ekonomi mikro saya tidak berguna.


4. Naik Angkot dari Pasar Pandeglang ke Cadasari Rumah sudah semakin dekat. Dari Pasar Pandeglang angkotnya sudah mulai familiar bagi saya. Warna hitam. Saya naik sebuah angkot hasil karoseri merek Daihatsu yang masih baru. Asik. Tenaga saya sudah sisa-sisa hasil dari berdesakkan dan terpanggang panasnya hari. Ada ibu-ibu sama anak kecilnya yang nangis karena tidak kuat puasa. Akhirnya si ibu turun sebentar, beli teh botol dingin dan memberi anaknya minum. GLEK, GLEK, GLEK. Asli, suara lewatnya air di tenggorokan sampai terdengar. Dan si ibu juga ikut-ikutan minum. GLEK, GLEK, GLEK. Kalau tidak ingat akan adanya siksa yang pedih di hari akhir, mungkin saya sudah beli mijon.

“Kamu sih batal puasanya, ibu jadi ikut-ikutan batal nih.” Kata si ibu.

“APA HUBUNGANNYA, ANJIR!!!” Umpat saya dalam hati. Astagfirullah, puasa ih. 
Angkot pun jalan. Lumayan, ada udara masuk. Dan setelah beberapa menit perjalanan, angkot tiba-tiba berhenti dan mematikan mesin. Loh? Mogok? Ada godzilla lewat? Si sopir melongokkan kepalanya dan berkata,

“Punten yeuh, saya bayar listrik dulu. Takut besok tutup, kan mau lebaran.”

COBAAN APA LAGI NI!!!

Sebrutal-brutalnya angkot di Jakarta, belum pernah saya temui yang berhenti di tengah trayek karena sopirnya harus bayar listrik.

Saya sudah pasrah kalau harus pingsan saat itu.

5. Naik Ojek dari Pasar Cadasari ke Rumah Bahu abang ojek adalah yang ternyaman hari itu. Aku damai bersamanya.


Kesimpulannya.

Saya kapok pulang ke Pandeglang naik commuterline jurusan Rangkasbitung. Tidak efektif dan efisien. Dari segi waktu, biaya, atau kenyamanan. Sudah lah, naik Arimbi terus nyambung microbus sudah paling hakiki. Rangkasbitung-Pandeglang tidak sedekat dugaan atau skala minor di peta.

Hari itu saya menjadi pelaku perjalanan panjang yang dimulai jam 07.00 sampai rumah jam 16.00. Tujuh jam dong. Kalau pakai mobil pribadi, asumsi kondisi jalan normal, dengan waktu yang sama saya sudah sampai di Jawa Tengah. Sedih =(


Share:

Wednesday, 21 June 2017

'Travelling' ke Mal Naik JA Connexion

Dalam travelling, akomodasi adalah unsur terpenting. Ketepatan waktu, dan besarnya budget biasanya sangat bergantung dari cara kita menyiasati masalah akomodasi ini. Kalau pilihannya tepat, kegiatan jalan-jalan akan sesuai dengan itinenary dan anggaran jauh dari kata jebol. Tapi kalau sampai salah menghitung, bisa jadi acara travelling justru akan menjadi menjengkelkan. Tempat tujuan batal terjangkau, dan yang paling menyebalkan adalah adanya kemungkinan keluar biaya tambahan.

Selain penginapana yang mumpuni, transportasi adalah bagian paling vital dari akomodasi. Karena dengan transportasi mobilisasi dalam travelling bisa ditunjang. Dalam berpelesir ke suatu tempat, saya sangat mengandalkan transportasi umum. Dan transportasi umum yang baik adalah yang menjangkau setiap tempat strategis dalam satu rute, dan yang tidak kalah penting, murah. Masalahnya transportasi yang efektif dan murah itu tidak selalu tersedia. Jika pun tersedia, kemungkinan jumlahnya sangat sedikit. Contoh sistem transportasi yang baik itu seperti waktu saya travelling ke Solo. Adanya Batik Trans Solo dengan rutenya yang menjangkau hampir seluruh kota hingga ke daerah pinggiran sangat membantu saya dalam mengeksplor kota budaya ini. Harganya murah, hanya tiga ribu lima ratus Rupiah. Sudah begitu terintegerasi oleh Damri pula yang menuju dari dan ke Bandara Adi Soemarmo. Waktu menunggu antarbus pun tidak terlalu lama.

Terkadang saya suka bingung pas lagi travelling. Ketika keluar bandara dan mau langsung enuju hotel. Naik apa nih enaknya? Naik taksi?Ah, mahal. Naik travel juga malas karena harus menunggu penumpang yang lain.  Untungnya per tanggal 31 Mei 2017 Pengelola Transportasi Jabodetabek bekerjasama dengan Departemen Perhubungan meluncurkan sebuah produk yang sangat membantu dalam hal transport dari bandara kekawasan perhotelan, dan pusat perbelanjaan bernama  JA Connexion (Jakarta Airport Connexion).

JA Connexion ini berupa mickrobus dengan kapasitas 20 orang. Soal kenyamanan tidak perlu khawatir, sarana yang disediakan tidak akan mengecewakan. Tempat duduknya bikin betah, luas juga sampai ada bagasi untuk koper atau ransel. Cocok karena penumpang dari bandara identik dengan bepergian dan barang bawaan yang tidak sedikit.

Apalagi setelah dibukanya Terminal 3 Ultimate, pengguna moda transportasi pesawat meningkat. Konsekuensinya adalah permintaan akan sarana transportasi pendukung juga melonjak. Taksi bandara yang ada harganya masih lumayan tinggi. JA Connexion hadir untuk memenuhi kebutuhan angkutan umum yang lebih massal dan terjangkau. Karena ongkosnya hanya lima puluh ribu Rupiah jika berangkat dari kawasan perhotelan, dan dua puluh lima ribu Rupiah kalau dari mal.

Ini sangat membantu bagi mereka yang ingin langsung menuju hotel tanpa harus khawatir biaya mahal atau sistem transit yang rumit. Bahkan bisa juga digunakan bagi mereka yang sedang transit berjam-jam di bandara. Daripada menunggu lama, jauh lebih berfaedah jalan-jalan sebentar di mal-mal bergengsi di Jakarta.  Mau ke mana? Taman Anggrek, Plaza Senayan, ITC Cempaka Mas, Mal Kelapa Gading, sampai ITC Tanah Abang bisa dilayani oleh JA Connexion ini. Boleh dong ya sekali-sekali travelling ke mal.

Sewaktu event ITC Shopping Festival, para pengunjung cukup terbantu dengan layanan baru ini. Sesuai harapan mereka untuk belanja untung. Makin untung, malah.  Yang menghadairi Closing Ceremony di ITC Shopping Festival tidak perlu repot-repot memikirkan mau naik apa ke bandara dari ITC Cempaka Mas. Just in case kalau ada yang mau langsung long trip ke luar Jakarta. Berikut jadwal keberangkatannya:

ITC Cempaka Mas-Bandara Soetta.
-Pukul 06:00 WIB
-Pukul 08:00 WIB
-Pukul 10:00 WIB
-Pukul 12:00 WIB
-Pukul 14:00 WIB
-Pukul 16:00 WIB
-Pukul 18:00 WIB
Lokasi keberangkatan : halaman depan parkir ITC Cempaka Mas : Pintu Masuk bus Pariwisata.

Jadi tidak perlu bingung lagi kan kalau mau ke hotel atau ‘travelling’ ke mal? Untung ada JA Connexion.

Share: