Friday, 6 January 2017

Cerita 5 Gunung POS 1: Kaki Merapi

Di kaki Gunung Merapi, suatu saat yang lampau sekali.

Sang bangsawan dari Tanah Mataram itu lari berdua bersama pelayan laki-lakinya. Sesungguhnya mereka tidak benar-benar berdua. Karena sang pelayan menggendong bayi, anak dari majikannya yang tersisa. Ya, yang tersisa. Kelima anak lain yang lebih tua sudah tewas di ujung peluru pasukan Belanda. Tahun-tahun belakangan memang terasa sulit bagi penjajah Belanda. Sumber daya manusia dan kas mereka mulai menipis untuk terus menjalankan misi Gold, Gospel, dan Glory di bumi nusantara. Jadi mereka membabibuta merampas harta-harta pribumi. Sasaran utamanya adalah para bangsawan yang memiliki tanah, emas, dan istri cantik. Tak terkecuali bangsawan bernama Aryo. Istrinya diculik, anak-anaknya dibunuh, dan pembantu-pembantunya dibantai. Tanah kekuasaan dan semua properti yang didirikan diklaim sudah oleh belanda. Tinggal tersisa anak paling kecilnya yang masih bayi dan pelayan paling setianya bernama Loso.

"Kita sudah terdesak. Hendak ke mana lagi kita?" Loso bertanya pada tuannya. Mereka bersandar di sebatang pohon pinus. Bayi dalam dekapannya, entah bagaimana, tertidur. Cukup membantu mengingat posisi mereka yang sedang berusaha menghilang dari pandangan musuh.

"Kamu bawa anakku. Naik ke gunung! Biar aku yang menahan londo-londo itu!

"Raden Aryo punya ajian pukulan memecah gelombang? Mereka badannya sebesar-besar kerbau keraton, loh. Menggunakan dor-doran pula. Bisa pecah kepala."

"Aku hanya punya keyakinan, Loso. Belanda itu hanya mengincarku. Kalau kalian lolos, mereka tidak akan sadar."

"Saya saja yang mengorbankan nyawa, Raden dan anak ini lari ke gunung."

"Aku tidak memiliki pengetahuan tentang gunung. Aku tidak bisa hidup di gunung. Loso, kamu adalah keturunan pertapa yang sudah turun temurun menjaga garis keturunanku. Gunung bukanlah hal asing bagi pertapa. Pergilah, jaga anakku!"

"Bagaimana..."

"Tidak ada diskusi lagi, Loso. Cepat pergi!"

Loso berpikir sebentar. Ada benarnya jalan pikiran majikannya ini. Gunung Merapi tidak asing baginya. Sang ayah mendidiknya di kaki gunung ini. Lereng Merapi seperti halaman bermain bagi Loso. Loso meneguhkan hati, bersiap menguatkan langkah, meninggalkan sang majikan yang sudah hampir kehabisan tenaga.

"Baik. Saya pamit. Maafkan saya, Raden. Tuhan bersama, anda." Loso berbalik dengan berat. Bayi dipelukannya mulai bangun dan menangis. Jika tidak cepat, Belanda akan mendengar tangisan sang bayi dan itu amat berbahaya. Loso melangkah.

"Tunggu, Loso..." Aryo menahan lirih.

"Iya?"

"Berjanjilah untuk menjaga anakku."

"Baik. Akan saya jaga. Sampai keturunan-keturunannya. Saya pamit." Loso hendak pergi.

"Tunggu, Loso..."

"Iya?"

"Bersumpahlah."

"Ya. Saya bersumpah akan menjaga anak ini beserta anak keturunannya. Saya pamit." Adegan yang sama. Loso hendak pergi.

"Tunggu, Loso..." Nada lirih yang sama pula.

"Yassalaaammm...ini kita keburu dibedil Belanda. Opo tho?"

"Kamu masih menyimpan cerutu? Lumayan sambil nunggu Belanda sebatang dulu."

"Ooohh...ini." Loso menyerahkan sebatang cerutu khas alun-alun Mataram. "Sekarang saya boleh pergi?"

"Pergilah. Semoga kita berjumpa lagi."

Loso melangkah secepat angin ke arah hutan. Tanpa alas kaki. Tidak memedulikan duri dan semak. Di punggung bukit pertama, Loso mendengar suara letusan senjata dan teriakan seseorang yang menyayat hati. Dia tahu persis suara teriakan itu milik siapa. Burung-burung beterbangan. Tangis bayi di dekapannya betambah keras. Sinar obor yang beriringan di bawah sana mulai terlihat samar karena kabut yang turun, seolah membantu Loso untuk menghilangkan jejak.

Sang bayi akan memulai hidup baru bersama mitos dan cerita-cerita rakyat.

Tangisnya hilang bersama kabut. 
 
 
 
Bersambung...
 
 
Ini adalah cerita bersambung yang entah akan jadi berapa episode. Fiksi tentang naik gunug. Bisa juga dibaca di wattpad. ID saya tetap @kening_lebar.

Share: