Beberapa tahun lalu, mungkin panganan berbahan dasar daging bebek masih jarang. Cenderung tidak lazim bahkan. Dulu hewan dengan kemampuan baris berbaris luar biasa ini lebih diberdayakan telurnya saja.
Hingga mulai banyaknya rumah makan yang menyajikan menu daging bebek, entah apa nama dan bentuknya, saya masih belum tertarik. Karena bagi saya daging unggas paling enak itu ya, ayam. Di samping itu masih terbayang oleh saya bagaimana lingkungan bebek ketika mereka hidup. Basah, berlumpur, berkelompok, dan bau.
Pada akhirnya saya mulai makan bebek ketika ibu saya memasak daging unggas tersebut dengan cara digulai. Awalnya saya tidak tahu kalau itu daging bebek.
“Gulainya enak nih, nggak kayak biasa. Ayam beli di seupermarket nih pasti.”
“Itu bukan ayam. Itu bebek.”
Dan saya pun mendeklarsikan diri sebagai pecinta bebek.
Semakin luas dan berkembangnya dunia kuliner, semakin banyak pula yang menggunakan bebek sebagai daya tarik usaha restoran, atau sekedar jajanan pinggir jalan. Biasanya nih, daging bebek goreng dengan nasi plus sambal superpedas.
Di sini masalahnya, saya tidak terlalu suka pedas. Ya saya lemah, sama saos di KFC saja saya bercucuran keringat. Tapi suatu hari saya menemukan citarasa pedas yang lain. Ketika itu saya sedang dalam perjalanan pulang Kerja dari Mampang menuju kontrakan saya di Ciledug. Saya memutuskan untuk mengambil jalur lewat Senayan, Arteri Permata Hijau, lalu belok kiri di Pos Pengumben menuju Joglo.
Nah di Lampu merah ke dua, di perempatan ke Meruya dan ke Ulujami, saya melihat ada sebuah warung tenda yang ramai. Banyak motor terparkir di pelataran tanah berlapis semen yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Di spanduknya tertulis ‘Nasi Bebek Meteor Cak Nakir’. Karena sedang lapar dan aroma minyak panasnya begitu menggoda, saya pun mampir untuk makan.
Hingga mulai banyaknya rumah makan yang menyajikan menu daging bebek, entah apa nama dan bentuknya, saya masih belum tertarik. Karena bagi saya daging unggas paling enak itu ya, ayam. Di samping itu masih terbayang oleh saya bagaimana lingkungan bebek ketika mereka hidup. Basah, berlumpur, berkelompok, dan bau.
Pada akhirnya saya mulai makan bebek ketika ibu saya memasak daging unggas tersebut dengan cara digulai. Awalnya saya tidak tahu kalau itu daging bebek.
“Gulainya enak nih, nggak kayak biasa. Ayam beli di seupermarket nih pasti.”
“Itu bukan ayam. Itu bebek.”
Dan saya pun mendeklarsikan diri sebagai pecinta bebek.
Semakin luas dan berkembangnya dunia kuliner, semakin banyak pula yang menggunakan bebek sebagai daya tarik usaha restoran, atau sekedar jajanan pinggir jalan. Biasanya nih, daging bebek goreng dengan nasi plus sambal superpedas.
Di sini masalahnya, saya tidak terlalu suka pedas. Ya saya lemah, sama saos di KFC saja saya bercucuran keringat. Tapi suatu hari saya menemukan citarasa pedas yang lain. Ketika itu saya sedang dalam perjalanan pulang Kerja dari Mampang menuju kontrakan saya di Ciledug. Saya memutuskan untuk mengambil jalur lewat Senayan, Arteri Permata Hijau, lalu belok kiri di Pos Pengumben menuju Joglo.
Nah di Lampu merah ke dua, di perempatan ke Meruya dan ke Ulujami, saya melihat ada sebuah warung tenda yang ramai. Banyak motor terparkir di pelataran tanah berlapis semen yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Di spanduknya tertulis ‘Nasi Bebek Meteor Cak Nakir’. Karena sedang lapar dan aroma minyak panasnya begitu menggoda, saya pun mampir untuk makan.
Hijab antara meja makan dan jalan raya. Abaikan penampakan motor belum lunas. |
Nasi bebeknya disajikan di atas piring rotan. Wangi rempah plus lalapan daun kemangi begitu akur tercium. Bumbu yang dibaluri ke potongan daging bebek sudah berfungsi sebagai sambalnya. Bumbu itu lah yang mebedakan masakan bebek di sini dengan di tempat lain. Dari aromanya bisa saya rasakan campuran cabai hijau, adonan bawang, lada, ketumbar, dan mungkin sedikit kunyit. Semuanya menjadi satu dengan serundeng kelapa. Ngeblend . Saya tetap berkeringat ketika makan karena memang pedas. Tapi ini dalah tipe pedas yang saya suka. Pedas yang tidak menggigit di lidah dan bibir, juga tidak menusuk di perut. Yang bukan pecinta pedas pasti suka, apalagi yang pecinta pedas.
Nasi bebek siap disajikan. Ini dada. Bedanya dengan dadaku, tiada hadirmu di situ. |
Daging bebeknya pun empuk dan juicy, dengan potongan yang proporsional. Teknik menggorengnya yang pas sehingga gradasi kematangan dari kulit, daging, sampai tulang begitu harmonis. Semuanya membuat saya tidak ikhlas menyisakannya walau hanya sedikit. Oh iya, selain bebek di sini juga menyediakan daging ayam loh. Saya kadang kalau sedang ingat bahwa penyakit jantung yang disebabkan oleh kolesterol adalah pembunuh nomor satu di dunia, lebih memilih makan ayam. Side dish-nya ada tempe dan tahu goreng yang biasa kita jumpai di abang-abang pecel lele.
Ini daging ayam. Paha. Ummm... |
Pesen nasi bebek/ayam plus teh panas tawar akan membuat kita lupa dengan suasana di pinggir jalan dekat lampu merah itu. Lalu lalang metromini jurusan Meruya-Tanah Abang bakalan lewat begitu saja dengan citarasa yang kita dapatkan hanya dengan Rp. 16.000 saja.
Untuk daerah Jakarta Barat, Nasi Bebek Cak Nakir ini juaranya. Karena jarang ada tempat makan atau resto bebek yang membuat saya kembali lagi. Murah dan enak, selain nikmat dan karunia Tuhan, kombinasi mana lagi yang bisa membuat orang kelaparan jadi bahagia?