Monday, 27 February 2017

Pedas Yang Pas di Nasi Bebek Cak Nakir

Beberapa tahun lalu, mungkin panganan berbahan dasar daging bebek masih jarang. Cenderung tidak lazim bahkan. Dulu hewan dengan kemampuan baris berbaris luar biasa ini lebih diberdayakan telurnya saja.

Hingga mulai banyaknya rumah makan yang menyajikan menu daging bebek, entah apa nama dan bentuknya, saya masih belum tertarik. Karena bagi saya daging unggas paling enak itu ya, ayam. Di samping itu masih terbayang oleh saya bagaimana lingkungan bebek ketika mereka hidup. Basah, berlumpur, berkelompok, dan bau.

Pada akhirnya saya mulai makan bebek ketika ibu saya memasak daging unggas tersebut dengan cara digulai. Awalnya saya tidak tahu kalau itu daging bebek.

“Gulainya enak nih, nggak kayak biasa. Ayam beli di seupermarket nih pasti.”

“Itu bukan ayam. Itu bebek.”

Dan saya pun mendeklarsikan diri sebagai pecinta bebek.

Semakin luas dan berkembangnya dunia kuliner, semakin banyak pula yang menggunakan bebek sebagai daya tarik usaha restoran, atau sekedar jajanan pinggir jalan. Biasanya nih, daging bebek goreng dengan nasi plus sambal superpedas.

Di sini masalahnya, saya tidak terlalu suka pedas. Ya saya lemah, sama saos di KFC saja saya bercucuran keringat. Tapi suatu hari saya menemukan citarasa pedas yang lain. Ketika itu saya sedang dalam perjalanan pulang Kerja dari Mampang menuju kontrakan saya di Ciledug. Saya memutuskan untuk mengambil jalur lewat Senayan, Arteri Permata Hijau, lalu belok kiri di Pos Pengumben menuju Joglo.

Nah di Lampu merah ke dua, di perempatan ke Meruya dan ke Ulujami, saya melihat ada sebuah warung tenda yang ramai. Banyak motor terparkir di pelataran tanah berlapis semen yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Di spanduknya tertulis ‘Nasi Bebek Meteor Cak Nakir’. Karena sedang lapar dan aroma minyak panasnya begitu menggoda, saya pun mampir untuk makan. 
Hijab antara meja makan dan jalan raya. Abaikan penampakan motor belum lunas.

Nasi bebeknya disajikan di atas piring rotan. Wangi rempah plus lalapan daun kemangi begitu akur tercium. Bumbu yang dibaluri ke potongan daging bebek sudah berfungsi sebagai sambalnya. Bumbu itu lah yang mebedakan masakan bebek di sini dengan di tempat lain. Dari aromanya bisa saya rasakan campuran cabai hijau, adonan bawang, lada, ketumbar, dan mungkin sedikit kunyit. Semuanya menjadi satu dengan serundeng kelapa. Ngeblend . Saya tetap berkeringat ketika makan karena memang pedas. Tapi ini dalah tipe pedas yang saya suka. Pedas yang tidak menggigit di lidah dan bibir, juga tidak menusuk di perut. Yang bukan pecinta pedas pasti suka, apalagi yang pecinta pedas. 
Nasi bebek siap disajikan. Ini dada. Bedanya dengan dadaku, tiada hadirmu di situ.

Daging bebeknya pun empuk dan juicy, dengan potongan yang proporsional. Teknik menggorengnya yang pas sehingga gradasi kematangan dari kulit, daging, sampai tulang begitu harmonis. Semuanya membuat saya tidak ikhlas menyisakannya walau hanya sedikit. Oh iya, selain bebek di sini juga menyediakan daging ayam loh. Saya kadang kalau sedang ingat bahwa penyakit jantung yang disebabkan oleh kolesterol adalah pembunuh nomor satu di dunia, lebih memilih makan ayam. Side dish-nya ada tempe dan tahu goreng yang biasa kita jumpai di abang-abang pecel lele. 

Ini daging ayam. Paha. Ummm...


Pesen nasi bebek/ayam plus teh panas tawar akan membuat kita lupa dengan suasana di pinggir jalan dekat lampu merah itu. Lalu lalang metromini jurusan Meruya-Tanah Abang bakalan lewat begitu saja dengan citarasa yang kita dapatkan hanya dengan Rp. 16.000 saja.

Untuk daerah Jakarta Barat, Nasi Bebek Cak Nakir ini juaranya. Karena jarang ada tempat makan atau resto bebek yang membuat saya kembali lagi. Murah dan enak, selain nikmat dan karunia Tuhan, kombinasi mana lagi yang bisa membuat orang kelaparan jadi bahagia?
Share:

Monday, 20 February 2017

Musiknya Hidup Kamu, Kamunya Hidup Aku

Untukmu Irene,

Bagaimana kabarmu? Masihkah kamu suka menggumamkan pelan lagu kesukaanmu saat dibonceng naik sepeda motor seperti yang biasa kamu lakukan dulu di belakangku sepanjang Salemba hingga Setiabudi? Apakah earphone-mu masih yang sama, yang pernah kita bagi dua di perlajalanan Stasiun Senen-Poncol Semarang? Sebelah kanan milik telinga kirimu, dan sebelah kiri punya kuping kananku. Tahukah kamu bagian tebaiknya bukan earphone yang kita bagi, tapi ketika pipi tebalmu bersandar di bahu lancipku?

Untukmu Irene,

Aku membayangkan sekarang kamu sedang berada di depan komputer jinjingmu itu, memandangi dengan khidmat draft tesis magistermu sambil memangku dua kucing anggora kesayanganmu. Eh, atau tiga? Empat? Entahlah, karena mungkin saja mereka sudah berkembang biak dan aku tidak tahu karena sudah lama aku tidak mengunjungi rumahmu yang nyaman itu. Sejuknya kota hujan tidak membuaikan semangatmu. Dan speaker komputer jinjingmu konsisten memutar lagu-lagunya Megan Trainor. Lagu-lagu penjaga mood, demikian kamu bilang pada suatu Selasa yang cerah. Atau sekarang kamu lebih suka mendengar kegalauan elegan macam Adele? Playlist favoritmu yang pernah kau ceritakan dulu di perjalanan menuju puncak Merbabu, masih sama?

Beritahu aku kabarmu, Irene,

Mungkin kamu tidak mau tahu, tapi biarkan aku cerita sedikit tentang kisah musikku. Dahulu kita sering bertukar referensi lagu. Kamu selalu punya lagu baru yang kamu rekomendasikan untuk aku. Kamu mengatakan supaya aku mengunduh lagu-lagunya Maroon 5 dan diputar saat aku sibuk dengan tumpukan dokumen di kantor. Kamu yang mengajarkanku bahwa setelah sunnah dua rakaat dan doa yang khusyuk, lagu-lagu jazzy semacam milik Tulus sangat membantu untuk tidur nyenyak. Aku tidak pernah mengiyakan bahwa selera musik kita sama. Tapi kamu tidak tahu bahwa semua lagu yang kamu sebutkan sudah kuunduh dan kudengarkan di waktu yang kamu sarankan.

Teruntuk Irene, yang paling mengerti rotasi moodku,

Kamu tahu Irene, sekarang aku tidak perlu khawatir ruang penyimpanan di smartphoneku akan habis oleh lagu-lagu unduhanku? Kamu pasti tau bahwa memori ponsel, berjuta-juta terra pun ukurannya, tidak bisa dibandingkan dengan ruang penyimpanan dan milyaran neuron di otakku yang hanya berisi kamu dengan pipi kemerahan dan pashmina abu-abu? Iya Irene, sekarang aku punya Langit Musik. Aplikasi streaming musik yang sangat solutif bagi orang-orang yang menjadikan musik sebagai instrumen pemecah masalah paling efektif secara psikis. Seperti aku. Seperti kamu. Namun, belum tentu menjadi seperti kita. 
Untukmu Irene,

Aku pastikan Langit Musik cocok untuk kamu, yang suka susah payah melafalkan lagu-lagu Big Bang, boyband Korea Favoritmu, karena ketika kamu memilih play sebuah lagu maka akan ada lirik yang mengiringinya. Langit Musik menjadikan selera musikmu semakin melangit, Irene. Kabar paling baiknya, kamu tidak perlu kuota untuk streaming lagu-lagu kesayanganmu karena ada fitur mendengarkan offline. Aku tahu persis nomor ponselmu masih dengan provider Telkomsel, dengan provider itu kamu tinggal sign up. Kamu pasti penasaran dari mana aku tahu kalau nomormu masih yang sama. Karena jika ada orang yang sebelum tidur selalu mengecek last seen mu di Whatsap, maka aku lah orangnya.

Untuk Irene,

Coldplay boleh jadi mengecewakan kita dengan tidak mampir ke Indonesia. Tapi kamu bisa menemukan mereka lewat TagStation di Langit Musik. Semacam hastag di sosial media. Di TagStation ini kamu bisa menemukan kejutan karena lagu di tiap hastag akan berbeda. Atau kamu bisa menikmati suara Mas Chris Martin lewat Trending kalau memang Coldplay sedang hits di beberapa kota. Dengan fitur ini kamu tidak perlu khawatir khawatir kehabisan bahan obrolan tentang perkembangan dunia musik termutakhir, jangankan Coldplay, artis ndangdut nyentrik pun bisa kamu ketahui karya terbarunya. Atau kalau kamu kesulitan, cari saja di fitur pencarian berdasarkan Mood atau Genre. Kamu jadi tahu lagu dengan suasan hati atau jenis musik apa yang harus kamu putar saat rindu masa-masa kita sering diskusi tentang langit dan laut. Itu pun kalau kamu masih rindu. Semoga masih. 



Kamu bisa bertualang di semesta musik lewat fasilitas Jelajah, Irene. Kamu akan menemukan yang lebih dari sekedar pop alternative-nya Hoobastank atau punk rock-nya Blink 182. Siapa tau kamu menemukan kembali aku, kamu, dan kita yang dulu. Jikapun kamu mau menyimpan sebuah lagu di drive smartphonemu, kamu bisa upgrade ke versi premium. Kamu bisa unduh lagu sepuasnya dengan range harga 6.600-22.000 Rupiah saja tegantung paket yang kamu beli. Kamu juga bisa menciptakan playlistmu sendiri dan bisa dilihat banyak orang di luar sana. Untuk seorang wanita berkarir cemerlang sepertimu, rasanya harga segitu hanya setetes air di Teluk Pahawang tempat kita pernah snorkeling bersama. Aku tak bisa menjanjikan apa pun, Irene, yang bisa kukatakan adalah dengan Langit Musik, hingar bingar musik dunia ada diujung lentik jemarimu yang dulu suka kamu gunakan untuk menyeka noda cokelat panas di sudut bibirku. 


Kamu tinggal mengaktifkannya dengan mengirim pesan singkat ke 96161 dengan format ‘REG NEWLM’. Kalau kamu masih bingung, kirim saja pesan singkatmu itu kepadaku, di manapun kamu, aku akan datang lebih cepat dari mimpi terindahmu. Sayangnya, Irene, kalau kamu rindu musik syahdu Banda Neira atau Payung Teduh, di aplikasi ini belum tersedia. Sisi baiknya, kamu tidak akan bertemu lagu yang pernah kita dengarkan bersama di bawah langit luas dan awan yang yang mendung.

Dan mungkin kamu akan sedikit bingung, Irene, dalam fasilitas Search yang disediakan, kadang kamu tidak bisa menemukan sebuah lagu dari artis tertentu hanya dengan mengetik namanya. Namun, begitu kamu mencari berdasarkan judul lagunya, lagu tersebut ternyata ada. Entahlah, Irene, aku pun tak bisa menjawabnya. Sama seperti ketika kamu bertanya mengapa helai-helai rinduku ini selalu untuk kamu.
Untuk Irene,

Jika aku bisa kembali ke suatu senja sehabis Maghrib di sebuah kedai kopi kota hujan, aku ingin sekali tahu bagaimana caramu menyusun daftar lagu kesukaanmu. Aku iri dengan lagu-lagu itu, yang selalu menemani kamu dalam sepi, gembira, terpuruk, dan mungkin saja, ummm…ketika kamu sudah menemukan pengendara motor selain aku, yang lebih bisa mendengar ketika kamu menggumamkan lagu kesukaanmu di belakang telinganya yang terbungkus helm di sepanjang Salemba-Setiabudi. Aku harap itu tidak terjadi. Tapi siapa tahu saja, kan? Namanya juga hidup yang terus berputar, seperti animasi compact disc yang berputar dalam display Langit Musik ketika kamu mendengarkan sebuah lagu tentang kegetiran hidup. 


Aku ingin menjadi lagu-lagu dalam ponselmu, Irene. Kuingin menjadi data-data biner berwujud nada yang lewat dari earphone berkabel putih kesanyanganmu. Karena mereka adalah musiknya hidup kamu, dan kamunya hidup aku. 


Demikian surat ini kutulis. Dari aku yang sejak kamu pergi, lagu favoritnya adalah The Man Who Can’t Be Moved-nya The Script.

Sekian~~ 


www.langitmusik.co.id/promo_detail/314

Share:

Tuesday, 14 February 2017

14 Februari di Mata Saya

14 Februari. Taruhlah saya nggak begitu paham bagaimana sejarahnya kenapa tiap tanggal segitu disebut hari Valentine. Tapi yang jelas perlu kita syukuri tanggal itu identik dengan cokelat. Coba bayangin kalo tiap tanggal 14 Februari image hadiah yang populer adaha rantai kapal. Akan menjadi betapa tidak simpelnya bisnis forwarder seperti JNE .

“Mau kirim apa, Mas?”

“Paket buat pacar saya, hadiah valentine.”

“Oh, apa isinya?”

“Rantai kapal dua ikat.”

“Oh, silahkan langsung ke kontainer nomor sembilan aja. Mau sewa forklift-nya sekalian?”

Atau coba kalau misalnya Valentine ini terasosiasinya bukan dengan cokelat, tapi akua galon. Betapa sehatnya raga-raga pasangan di dunia ini.

“Yank, aku udah sampe depan kosan. Aku bawa hadiah Valentine nih dua galon.”

“Ya udah langsung naik aja.”

Kemudian otot bisep si pacar langsung tumbuh gotong galon berpita ke lantai tiga.

Tapi bagaimana pandangan saya terhadap tanggal 14 Februari ini? Kira-kira begini:

Dulu saya pernah punya pacar (sekarang udah mantan), yang ulang tahunnya tanggal 25 Februari. Seneng sih, soalnya tanggal 25 itu tanggalnya gajian. Masalahnya saya waktu itu masih SMA, jadi belom pernah gajian. Kesel nggak?

Anak SMA dulu kan pacarannya ngikutin arus banget, dan perdebatan halal-haram tentang isu Valentine belum semasif sekarang. Jadi saya kena kewajiban dua kali, ya ngasih cokelat ya beli kado. Dan dulu cokelat masih dikuasai dua merek Silver Queen dan Toblerone, jadi harganya berkarakter pasar monopolistik yang ngajak miskin banget. Saya turut prihatin kalau ada di jaman sekarang anak SMA yang bernasib sama seperti saya di jaman 'Pak dadang pak dadang. pak dadang pak dadang!' nya Radja merajai top hits radio-radio di Cilegon. I know how it feels.

Untuk sekarang, tanggal 14 Februari sangat berarti bagi saya. Karena itu berarti 11 hari lagi gajian. Untuk seorang karyawan bergaji lewat dikit batas UMR, tanggal 14 itu udah mesti sering-sering lupa makan. Alhamdulillah nggak punya pacar, jadi nggak ada yang ngingetin makan atau ngajak dinner dadakan. Tapi kalo ada yang ngajak pacaran, ya ndak nolak. Eh, ada sapi terbang!

Jadi intinya ya mau tanggal 14, 15, 30, bulan Februari, Oktober, atau bulan terbelah di langit Amerika, nggak ada bedanya. Kasih sayang yang saya terima tidak pernah putus, apalagi kurang. Tapi kalo ada yang ngasih cokelat ya ndak nolak. Memang menurut agama yang saya anut tidak boleh merayakan Valentine termasuk menerima cokelat di dalamnya, tappi coba lihat dari sisi agama juga mengajarkan bahwasanya tabu untuk menolak rejeki.


Share:

Friday, 10 February 2017

Inkonsistensi

“Cari yang solehah, Yos, biasanya nggak memberatkan kalo soal mas kawin atau syarat-syarat keduaniawian lainnya.” Kata Pak Mul. Di sebuah sore di last minute berakhirnya jam kantor. Di kahir-akhir jam kantor memang waktu yang pas untuk diskusi sesama rekan sejawat. Tentu saja diskusi ringan. Dan entah bagaimana ujung pangkalnya topik terpilih sore itu adalah ‘mencari jodoh’. Sigh, begini lah nasib being single di penghujung 20-an, selalu jadi sasaran tembak kalau topik tentang jodoh ini mengemuka. Anyway, jodoh ini temasuk diskusi ringan bukan? Bukan? Oke, kita ganti topik.

“Menjadi soleh itu gampang, Pak. Istiqomahnya yang susah.” Jawab saya. I know, abis jawaban ini kita ganti topik. Pak Mul dan teman-teman yang lain hanya tersenyum mendengar jawaban saya. Entah getir, atau kagum dengan cara saya ngeles. Jodoh kan nggak bisa dijawab dengan diskusi ringan di penghujung hari.

Hmmm…

Jodoh.

Katanya mau ganti topik?

Eh iya.

Kan, istiqomah itu sulit. Konsisten itu tidak mudah. Konsisten dengan tujuan awal menulis artikel ini saja saya goyah. Apalagi konsisten terus ngeblog dengan satu tema yang sama.

Konsisten memang hanya milik Arsenal dan Wenger-nya.

Eh gimana?

Nah. Tulisan ini terlahir karena saya mulai merasakan ada yang tidak beres dengan konsistensi saya ngeblog. Niatnya kepengen lurus terus ngeblog tentang jalan-jalan. Nah jalan-jalannya sih banyak, tapi nulisnya yang jarang. Banyak detail yang hilang dari beberapa perjalanan saya. Ada yang bilang saya orangnya bosenan. Mungkin seorang Nicholas Saputra ini hanya sedang jenuh dengan dunia tulis, publish, dan komen-komen manis. Nah, dari kalimat sebelum ini saja saya tidak konsisten. Karena saya lebih ke Ongky Alexander daripada Nicholas Saputra.

Baiklah. Please “Apaan sih lo” me.

Akhirnya terpikir oleh saya untuk tetap menghidupkan gairah menulis saya, saya mencoba keluar dari pakem. Nulis fiksi. Oke nulis fiksi. Terjadi brainstorming antara saya dan saya di kaca spion motor. Akhirnya diputuskan bahwa saya akan memfiksikan perjalanan naik gunung saya. Sudah ada 7 BAB. Tapi saya tidak langsung lempar di blog. Istilahnya, masih cek ombak. Biar tetap ada yang baca, saya mempublishnya di platform Wattpad. Dengan ID @kening_lebar. Baca gih, jangan lupa vote.

Lagi asik-asiknya nulis fiksi, eh tiba-tiba kangen nulis blog. Lagi horny-hornynya ngeblog, nggak ada bahannya. Karena dua bulan ini hampir nggak jalan-jalan. Apa yang mau ditulis? Cerpen pakai bahasa Sansekerta? Ya sudah lah, saya tulis tentang inkonsistensi saya saja. Yang penting dunia blog yang saya cintai ini tidak kehilangan Nicholas Saputranya.

Baiklah. Please “Najong banget sih lo” me.

Ketika ingin melihat pelangi tapi takut hujan. Ketika sel dalam tubuh tidak akan menua jika tidak ada oksigen, tapi tanpa oksigen paru-paru akan mengering. Ketika PSSI ingin mencetak pemain muda anak bangsa namun di satu sisi menyuburkan naturalisasi pemain dari luar negeri. Ketika Arjuna yang ksatria terbesar membunuh Adipati Karna dengan cara yang sangat tidak ksatria.

Ketika aku bilang rindu, kau juga rindu. Tapi tidak kepadaku.

Sesimpel, dan sepelik itu lah inkonsistensi.






Share: