Wednesday, 26 April 2017

Liburan Singkat di Cikini

Cara terbaik menikmati Jakarta adalah dengan meninggalkannya sejenak. Begitu anggapan banyak orang yang mungkin separuh waktu hidupnya, bahkan lebih, dalam sehari habis di Jakarta. Seolah-olah, Jakarta memang sebaiknya cukup untuk memenuhi motif ekonomi saja. Kerja, Kerja, Kerja, dan Kerja. Demikian orang-orang berduyun rela menghabiskan jatah umur di macetnya jalan, dan tingginya tensi hidup di Jakarta. Ketika liburan, mereka muak dan lalu pergi jauh meninggalkan Jakarta.

Long weekend yang lalu, saya berpikir sebaliknya. Tidak dipungkiri memang lelah bekerja nyaris seminggu tanpa jeda. Begitu libur tiga hari berturut-turut, keinginan untuk refreshing tidak bisa dikompromikan lagi. Tapi melihat objek wisata yang seperti menjadi tujuan bedol desa orang-orang Jakarta, rasanya kok ya jadi enggan. Sudah begitu tiket kereta yang sudah habis dari jauh-jauh hari. Naik bus pasti baru sampai Bekasi sudah keburu stress dicegat macet. Ke Puncak? Ah, mendingan nemenin Sun Go Kong bertapa di Gunung Lima Jari.

Jadi saya memutuskan untuk melakukan liburan singkat di Jakarta saja. Kayaknya asyik menikmati Jakarta dengan suasana sepi dan pressure yang kendor. Tipe liburan city tour memang menjadi favorit saya walaupun singkat. Akhirnya saya memilih untuk menikmati Jakarta bagian pusat. Tepatnya di Cikini. Ada beberapa alasan mengapa saya akhirnya memutuskan untuk melakukan liburan singkat di Cikini. Cikini ini merupakan kawasan yang baik di Jakarta untuk bermain dan belajar. Wilayahnya yang tidak terlalu luas dan ada di pusat Jakarta menjadikan Cikini tujuan yang pas untuk liburan singkat. Ini nih yang membuat Cikini asyik untuk liburan:

1. KULINER
  • Kita bisa memulai liburan singkat di Cikini dengan sarapan bubur ayam Burcik HR Suleman. Buburnya spesial. Bukan spesial karena makannya bersamamu semata. Yang tidak ditemukan di penjaja bubur sejenis lainnya adalah, ceplokan telur ayam kampung mentah yang ditimbun di dalam buburnya. Hmmm, ketika dimakan ada rasa dan tekstur telur setengah matang. Kawan saya memesan bubur ini tanpa telur karena khawatir berbau amis. Jangan khawatir, telurnya ada di bagian bawah bubur yang masih sangat panas, jadi telurnya tidak mentah sepenuhnya. Kuning telurnya yang lumer memberikan rasa gurih tanpa harus ada tambahan macam-macam bumbu atau toping. Seporsi harganya 20 ribu Rupiah. 
Nih display gerobak di depan tokonya

Gurih, gurih, enyoy...
  • Untuk makanan berat, jangan ragu untuk mampir ke Gado-gado Bonbin. Dinamakan begitu karena sejarahnya dulu tempat ini bermula di Kebon Binatang Ragunan. Dilihat dari pengunjung yang ramai dan sebagian besar bawa mobil, tidak usah diragukan lagi tingkat ke-legend-an tempat ini. Rasanya harga perporsi 37 ribu Rupiah sangat layak jika disandingkan dengan kualitas gado-gadonya. Bumbu kacangnya sangat halus, pasti pakai kacang khusus. Bumbu kacangnya mempunyai tekstur seperti bumbu sate padang. Jadi tidak akan ada kletus-kletus pecahan kasar kacang. Sayurannya direbus tidak terlalu matang, dan kangkung yang biasanya menguasai kumpulan genk sayur gado-gado diganti oleh bayam. Suka kesel sama batang kangkung keras dan pahit? Di sini lupakan saja. Kalau kamu merasa lawakanku adalah yang tergaring, coba pilihan garingnya kerupuk sebagai pelengkap gado-gado di sini. Bisa emping, kerupuk udang, kerupuk mie (yang biasa ada di asinan), atau kerupuk putih biasa. Coba bandingkan garingnya dengan jokes-ku atau renyahnya dengan senyumanmu. 
Tak lekang oleh waktu

Mama kamu sukanya gado-gado pedes apa sedang?
  • Kalau mau cemilan, bisa beli roti Tan Ek Tjoan. Iya saya mah gitu, mengklasifikasikan roti yang penuh karbohidrat sebagai cemilan. Dulu ada pabriknya yang bernuansa retro di Jl. Cikini Raya, tapi sekarang sudah tutup dan pindah ke daerah Tangerang. Tapia agen-agen atau tenaga salesnya masih ada di sekitar Cikini. Mereka biasanya mangkal di pinggir jalan atau berkeliling dengan gerobak sepeda. Roti ini cukup terkenal dan legend!

2. EDUKASI 
  • Liburan singkat di Cikini kurang lengkap kalau tidak ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Ini adalah landmark-nya Cikini. Ada Planetarium, tempat belajar tentang benda-benda langit dan tata Surya. Ada Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, duh, saya malu karena sudah lama di tinggal di Jakarta tetapi baru tahu kalau perpusatakaan daerah itu ada di TIM. Ada juga sangggar tari dan kalau beruntung, bisa saja kunjungan kita bertepatan dengan pertunjukan teater. 
Lokasi kencan favorit Rangga dan Cinta
  • Rasa nasionalisme dan sense of belonging saya mendadak berada pada level tertinggi ketika mengnjungi Gedung Joang. Gedung ini adalah museum yang merangkum perjalanan sebuah bangsa bernama Indonesia dari zaman pergerakan, kemerdekaan, hingga pascakemerdekaan. Di dalamnya saya ‘menjumpai ‘ para founding father dan perjuangannya sehingga saya bisa menikamati udara kemerdekaan ini. Asik. Di samping gedung ini ada mobil kepresidenan paling pertama yang dipakai Bung Karno dan Bung Hatta. MERDEKA ATAU MATI, KAMU AKU SUKA DENGAN CINTA SEJATI!!! 
Fasade Gedung Joang

3. HIBURAN 

Jangan takut kurang hiburan kalau melakukan liburan singkat di Cikini. Cikini punya dua gedung bioskop ikonik. Di TIM, dan dekat Gondangdia bernama Metropole. Kalau kehabisan ide mau ke mana, tidak ada salahnya nonton film terkini di bioskop ini. Oh iya, kalau mau usaha sedikit, Taman Menteng sudah sangata dekat loh dari Cikini. 

So, dengan liburan singkat di Cikini, saya jadi sadar bahwa sebenarnya di Jakarta pun kita bisa menemukan sesuatu yang kebanyakan orang cari di luar Jakarta untuk berlibur. Cikini ini baru Jakarta Pusat. Masih ada empat-lima kawasan lagi di Jakarta yang sangat ingin saya jelajahi untuk mengisi liburan singkat saya di akhir pekan. Mungkin berikutnya saya akan mengeksplor Jakarta Selatan. Rasanya seru wisata kuliner dan coffee shop di Selatan. Biar puas, saya ingin menginap saja di RedDoorz Setiabudi Eight. Lokasinya dekat dengan Kuningan, Tebet, dan sekitarnya, di mana kuliner dan hiburan Jakarta bagian selatan berpusat di sana. Sepengetahuan saya tempat menginap RedDoorz ini sudah ada di seluruh Jakarta, karena waktu di Cikini ada juga Hotel Cikini yang merupakan properti dari RedDoorz. Ya sudahlah, soal akomodasi saya tidak perlu khawatir. Liburan singkat pasti beres! 
Properti RedDoorz di Cikini


Jakarta, aku padamu. *peluk*
Share:

Tuesday, 11 April 2017

Travelling Murah ke Solo

Ternyata travelling sendirian ke Semarang dan Solo itu nggak sesusah yang saya bayangkan, lho. Setelah nekad miskin dengan gegayaan beli tiket pesawat pergi Jakarta-Semarang, dan Solo-Jakarta, yang terbayang oleh saya adalah bagaimana caranya menekan budget serendah mungkin untuk bekal saya survival di Semarang, dan Solo. Utamanya di Solo, karena di kota itu saya lumayan lama, tiga hari dua malam. Jadilah misi travelling murah ke Solo saya canangkan dari beberapa minggu sebelumnya.

Banyak yang bilang Solo itu kota yang murah. Biaya hidupnya tidak begitu tinggi. Dan rasanya memang benar. Setelah dapat penginapan murah di Semarang, saya semakin yakin akan harapan hidup di Solo bahwa saya nggak akan gembel-gembel amat.
Jadi saya membagi beberapa hal dalam travelling murah ke Solo. Hal-hal ini adalah yang terpenting dalam sebuah perjalanan.


Welcome to Solo

1. Penginapan Nah, peginapan ini berada di urutan pertama dalam must to do if you want to survive when you fall in love with someone you can’t have travelling to Solo. Iya lah, kalau ini tidak segera dipikirkan, mau tidur di mana coba? Di pangkuanmu? Beruntung ada seorang kawan yang merekomendasikan saya cari penginapan di sekitar RRI, sebuah kawasan tepat di depan Stasiun Balapan. Katanya saya bisa dapat yang 75 ribu semalam, dengan tambahan saya harus sedikit berjuang untuk menolak oknum-oknum yang menawarkan jasa wanita tunasusila. Sigh. Sayang waktu lagi tanggal tua, eh gimana?

Sampai mana tadi? Oh iya teman saya salah. Ternyata saya tidak mendapatkan yang 75 ribu. Tapi yang 40 ribu. Iya seriusan. Saya nyaris salto ala Jayjay Okocha begitu masuk ke sebuah losmen dan harga per kamarnya adalah 40 ribu Rupiah per malam. Tapi kegirangan saya segera kuncup begitu melihat kamarnya. Kenapa? Pertama karena sama sekali tidak ada colokan buat mengisi daya HP. Kedua kamar mandinya di dalam. Iya kamar mandi di dalam, sebuah fasilitas impian para tamu penginapan. Andai saja istilah kamar mandi di dalam ini tidak diterjemahkan setengah-setengah oleh pengelola losmen ini. Kamar mandinya tepat di samping tempat tidur, tanpa dinding. Gimana, ya? Walaupun bepergian sendiri, tapi mandi telanjang bulat dengan pemandangan langsung ke tempat tidur itu bikin saya berasa ditonton Cleopatra sama dayang-dayangnya. Akhirnya saya batal menginap di sana. Saya memilih hostel di depannya dengan harga 60 ribu per malam. Ada colokan, dan kamar mandi di dalam lengkap dengan dinding. Pas di kantong!

Jadi bagi yang mau travelling murah ke Solo, jangan khawatir dengan penginapan murah, di sana ada banyak.


2. Transportasi

Halte BTS. Selamat menunggu.
Nih ya, kebanyakan kekhawatiran orang Jakarta kalau mau travelling ke daerah itu takut susah transportasinya. Ke mana-mana sulit. Di Solo jangan khawatir. Ada BST, Batik Solo Trans. Moda transportasi massal berbentuk bus ini sangat bisa diandalkan. Konsepnya mungkin sama dengan Transjakarta. Rute yang menggurita dan halte yang banyak di tiap titik strategis Kota Solo. BTS juga jadi feeder bagi bus Damri menuju bandara. Harganya Rp. 4.500. Kondekturnya ramah-ramah, begitu sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya. Oh iya, mereka sebagian besar cewek manis, lho. Asiq.

Selain BTS, ada becak juga. Ini adalah transportasi dengan kearifan lokal yang juga sangat prima. Awalnya saya takut seperti di Jogja. Di mana kita akan dibawa muter-muter ke tempat yang bukan tujuan dan akhirnya harus bayar ongkos yang jauh lebih mahal dari kesepakatan awal. Di Solo semua itu tidak terjadi. Jadi sabtu sore itu saya ingin kembali ke hostel setelah jalan-jalan keliling Solo dengan Bus Wisata, ke Keraton, dan Pasar Klewer. Karena bingung mau naik apa, saya memutuskan untuk naik becak dari desa wisata batik Kauman. Saya mengatakan ingin ke Balapan. Si bapak mengiyakan. Setelah sampai, saya bertanya berapa ongkosnya. Eh si bapaknya menjawab,

“Sedikasihnya aja lah saya, mah.”

“Hah? Lha kalau saya kasih lima ribu, piye?” Canda saya.

“Iya. Rapopo kalo memang rejekinya segitu.”

Goks. Zaman sekarang gitu, masih ada yang mau dibayar dengan ikhlas.

Saya tidak bisa cerita berapa yang saya kasih ke bapak penarik becak itu. Yang jelas, hari itu budget transportasi saya jauh dari over. Sebuah kemenangan besar.

Nggak capek ngejar-ngejar dia? Nggak mau ngasoh dulu sama aku?
3. Makanan

Saya bertubi-tubi menerima pesanan oleh-oleh Surabi Notosuman. Saya cuekin. Di Jakarta sudah banyak kok yang jual. Lagipula mana ada dipikiran orang yang lagi jalan-jalan dengan budget gembel beli oleh-oleh. Hih. Dan saya pun tidak sempat mencoba makanan ini. Sedih.

Sewaktu di Solo, dalam hal harga makanan dan minuman, saya hanya dikecewakan sekali. Itu pun konyol. Kejadiannya pagi hari, ketika saya sedang mengisi waktu sambil menunggu jadwal keberangkatan saya dengan Bus Wisata Werkudara di kompleks Stadion Manahan. Ada tiga mahasiswa menghampiri saya dengan membawa dagangan berupa makanan dan minuman. Mereka memperkenalkan diri dan mengaku sedang dalam program entrepreneur whatever apa gitu, saya tidak ingat. Mereka menawarkan barang bawaan mereka. Karena memang cuaca panas dan sedikit iba melihat wajah putus asa mereka, saya membeli air mineral kemasan botol kecil. Dan rasa iba saya medadak berganti rasa ingin melaporkan mereka ke YLKI ketika mereka bilang,

“Harganya Rp.20.000, Kak.” Kata mereka dengan nada pengusaha yang melihat prospek cerah dari bisnis air mineral. WHAT!!! Saya mau batal membelinya, tapi apa daya tutup botolnya sudah saya buka. Gila. Bukan masalah di dua puluh ribunya, sih. Masalahnya adalah, mereka menyebut sedang dalam program entrepreneur, tetapi menetapkan harga di antara tukang asongan, pedangan kaki lima, atau ibu-ibu penjual nasi pecel yang menjual produk serupa dengan harga hanya 3.000-4.000 Rupiah. Helow, mahasiswa!

Sudah-sudah, kita tinggalkan mahasiswa tadi, semoga tahun depan mereka sudah umroh sekeluarga. Selebihnya, makanan di Solo itu murah-murah. Saya sarapan bubur ayam di depan Stasiun Balapan cuma 5 ribu, coba. Makan pecel lele 7 ribu. Nongkrong di angkringan dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi dengan kopi dan cemilan tanpa henti habis hanya 20 ribu.

Lalu makan tengkleng di Pasar Klewer plus minum teh kemasan dalam botol, genap cuma 20 ribu. Dan the best-nya sih ketika dapat rekomendasi untuk makan di Rumah Makan Vien’s. Rumah makan dengan signature-nya nasi timlo dan nasi selat. Packaging-nya sih restoran, tapi begitu masuk dan melihat menu beserta daftar harga, bawaannya kepingin nraktir teman –teman sekelas waktu TK. Seporsi nasi timlo yang enaknya outstanding, cukup dengan 7.500 Rupiah saja. Laf! Lengkap sudah acara travelling murah ke Solo saya.

Timlo plus nasi. Enak bat, enak...

Rasa bintang lima harga kaki lima yang sesungguhnya.

Jadi untuk yang mau travelling murah, Solo bisa jadi pilihan mumpuni. Rasanya kota ini tidak tergerus arus inflasi. Solo travelling ke Solo, cusss…

Putra mahkota mah bebas-bebas aja...



Share:

Tuesday, 4 April 2017

Mendaki Gunung Ciremai Bersama Pak Sam

Ciremai
Memilih partner untuk jadi satu tim dalam mendaki gunung memang tidak mudah. Mencari teman untuk melakukan pendakian bersama ini memakan, setidaknya, lebih dari setengah upaya kebanyakan persiapan saya kalau mau naik gunung. Kalau mau naik gunung, saya sedikit selekftif dalam memilih kawan seperjalanan. Tergantung jarak, dan seberapa tinggi gunung yang akan didaki. Dan kebanyakan sih dari pertama saya naik gunung sampai kemarin terakhir mendaki Gunung Sumbing, partner saya adalah anak-anak muda sebaya saya.

Hingga suatu hari saya berencana mendaki Gunung Ciremai. Di suatu siang ketika saya sedang berbincang dengan beberapa kawan sekantor yang juga akan ikut dalam pendakian, seseorang bernama Pak Sam menghampiri saya dan menyatakan ingin ikut. Siapa ini Pak Sam? Menteri? Paspampres? Pelatih Persikasi Bekasi? Bukan. Beliau adalah salah satu manager finance di kantor saya. Usianya 54 tahun, dan sedang dalam proses pensiun di tahun depan.

Begini, saya pernah mendaki bersama partner yang sepanjang jalan mengeluh. Atau teman pemalas yang mau semuanya sudah jadi dan tersedia. Atau kawan dengan fisik kurang yang sedikit-sedikit minta istirahat. Kebanyakan komposisi tim seperti ini bikin kacau itinenary. Jadwal muncak yang kacau, atau tidak kebagian lapak buat bangun tenda secara sakinah mawaddah warahmah. Dan mendaki Gunung Ciremai bukanlah sebuah pendakian mudah.

Perlu waktu buat saya dan teman-teman untuk memutuskan bahwa Pak Sam akan ikut mendaki. Kami mempertimbangkan keuntungannya juga dengan ikutnya beliau. Sebagai manajer, kami bisa memanfaatkan tanda tangannya untuk pinjam mobil kantor guna mengantar kami ke pos pendakian Palutungan di Kuningan, Jawa Barat. Lumayan, daripada kami harus naik bus dari Kampung Rambutan yang jadwal dan keadaan lalu lintas tidak menentu. *senyum licik ala Leily Sagita*

Di langkah pertama, penilaian saya akan kemampuan mendaki Pak Sam langsung salah. Walaupun bawaan beliau hanya daypack berisi perlengkapan sandang dan sebagian logistik, tapi untuk ukuran orang seumuran ayah saya, beliau cukup prima. Dari basecamp Palutungan ke pos 1 adalah jarak terjauh antarpos dalam pendakian Ciremai, nyaris 2 km dengan jalur full menanjak. Tetapi Pak Sam adalah orang yang tampak paling segar di antara delapan partner saya yang lain. Saya jangan ditanya, rasanya saat itu ngadu lari sama ikan mujair saja rasanya saya akan kalah.

Keadaan jadi semakin tidak ideal sesaat sebelum kami sampai di pos bernama Tanjakan Asoy. Tapi kondisi medannya tidak seasoy namanya. Tanjakkannya memimiliki kemiringan 45 derajat lebih. Dan seolah belum cukup cobaan kami hari itu, langit menurunkan hujannya dengan deras. Langit menjadi gelap sebelum waktunya dan jalan setapak berubah menjadi air terjun dan sungai mini. Dingin jangan ditanya lagi. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah Pak Sam. Tidak ada dalam bayangan saya apa yang akan terjadi terhadap tubuh renta yang tiba-tiba kedinginan saat batasnya sedang ditarik ke batas maksimal.

Setelah hari gelap, saya memutuskan untuk buka tenda di manapun ada tanah lapang atau campsite terdekat. Dan kami sampai di pos bernama Pesanggrahan. Dan seperti yang saya khawatirkan, pos itu sudah penuh tenda pendaki lain. Opsinya hanya mendirikan tenda di tempat yang kurang ideal, atau lanjut mendaki sampai bertemu tanah lapang lainnya. Tapi saya mencoret kemungkinan ke dua karena anggota tim yang lain, dan terutama saya mengkhawatirkan Pak Sam, sudah terlihat lelah dan kedinginan. Otak saya pun rasanya beku. Setelah mencopot keril, saya diam cukup lama. Rasanya tinggal menunggu waktu untuk saya kena hipotermia. Hanya sosok Pak Sam yang akhirnya membuat saya bergerak dan membongkar keril, karena tenda ada di dalamnya. Saya takut Pak Sam mengalami kedinginan ekstrim. Akhirnya setelah setengah mati menyambung frame tenda di tengah gerimis, gelap, dan jari-jari tangan membeku, tenda sederhana kami berhasil berdiri seadanya tanpa pasak. Ya, tanpa pasak. Ini kebodohan saya karena tidak mengecek kelengkapan sebelum berangkat. Beruntung tidak ada badai malam itu. Saya sudah terbayang akan cerita teman-teman bahwa mendaki Gunung Ciremai dengan peralatan lengkap saja sangat beresiko. Apalagi dengan gear yang kurang.

Ketika summit pagi harinya, Pak Sam juga ikut. Sepanjang jalur pendakian, banyak pendaki yang menyapa Pak Sam. Mungkin hari itu Pak Sam adalah yang tersepuh di antara orang yang mendaki Gunung Ciremai dari jalur manapun. Enaknya bersama Pak Sam tuh, beliau banyak yang nawarin makanan dan minuman, jadi saya bisa nebeng. *nyengir licik Squidward*

Saya ingat betul, saya beberapa langkah di depan beliau ketika dari Goa Walet menuju puncak Ciremai. Di puncak ketika saya sedang asyik foto-foto, terdengar sorak sorai riuh, tepuk tangan, dan teriakan semangat. Tidak berapa lama, Pak Sam menyusul saya sampai puncak. Tepuk tangan, sorak sorai, dan kalimat penyemangat tadi ditujukan untuk Pak Sam. Di ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut itu saya tidak pernah selega itu melihat sosok Pak Sam. Berjalan jauh, di hantam hujan, berselimut dingin, dan sampai dititik ini. Rasanya mengkhawatirkan Pak Sam lagi dalam mendaki Gunung Ciremai ini adalah sebuah omong kosong.

Diperjalanan turun, saya masih tetap mengawal Pak Sam. Langkahnya yang pelan tetapi jarang berhenti menjadikan perjalanan turun itu begitu konsisten. Dan di suatu titik ketika saya, dan Pak Sam berhenti untuk minum sejenak. Saya memuji beliau yang begitu kuat dan tidak pernah mengeluh. Padahal saya saja yang muda begitu keteteran. Pak Sam hanya menjawab singkat, jawaban yang akan saya ingat sebagai cambuk. Dan bukan hanya dalam hal mendaki gunung, kata-kata beliau tersebut juga akan saya ingat sebagai penyemangat dalam hal bekerja, bekarya, atau cari jodoh. *eaaa*

“Kalo motivasimu besar, apa pun bakal kejadian.” 
 
Foto studio







Share: