Tuesday, 4 April 2017

Mendaki Gunung Ciremai Bersama Pak Sam

Ciremai
Memilih partner untuk jadi satu tim dalam mendaki gunung memang tidak mudah. Mencari teman untuk melakukan pendakian bersama ini memakan, setidaknya, lebih dari setengah upaya kebanyakan persiapan saya kalau mau naik gunung. Kalau mau naik gunung, saya sedikit selekftif dalam memilih kawan seperjalanan. Tergantung jarak, dan seberapa tinggi gunung yang akan didaki. Dan kebanyakan sih dari pertama saya naik gunung sampai kemarin terakhir mendaki Gunung Sumbing, partner saya adalah anak-anak muda sebaya saya.

Hingga suatu hari saya berencana mendaki Gunung Ciremai. Di suatu siang ketika saya sedang berbincang dengan beberapa kawan sekantor yang juga akan ikut dalam pendakian, seseorang bernama Pak Sam menghampiri saya dan menyatakan ingin ikut. Siapa ini Pak Sam? Menteri? Paspampres? Pelatih Persikasi Bekasi? Bukan. Beliau adalah salah satu manager finance di kantor saya. Usianya 54 tahun, dan sedang dalam proses pensiun di tahun depan.

Begini, saya pernah mendaki bersama partner yang sepanjang jalan mengeluh. Atau teman pemalas yang mau semuanya sudah jadi dan tersedia. Atau kawan dengan fisik kurang yang sedikit-sedikit minta istirahat. Kebanyakan komposisi tim seperti ini bikin kacau itinenary. Jadwal muncak yang kacau, atau tidak kebagian lapak buat bangun tenda secara sakinah mawaddah warahmah. Dan mendaki Gunung Ciremai bukanlah sebuah pendakian mudah.

Perlu waktu buat saya dan teman-teman untuk memutuskan bahwa Pak Sam akan ikut mendaki. Kami mempertimbangkan keuntungannya juga dengan ikutnya beliau. Sebagai manajer, kami bisa memanfaatkan tanda tangannya untuk pinjam mobil kantor guna mengantar kami ke pos pendakian Palutungan di Kuningan, Jawa Barat. Lumayan, daripada kami harus naik bus dari Kampung Rambutan yang jadwal dan keadaan lalu lintas tidak menentu. *senyum licik ala Leily Sagita*

Di langkah pertama, penilaian saya akan kemampuan mendaki Pak Sam langsung salah. Walaupun bawaan beliau hanya daypack berisi perlengkapan sandang dan sebagian logistik, tapi untuk ukuran orang seumuran ayah saya, beliau cukup prima. Dari basecamp Palutungan ke pos 1 adalah jarak terjauh antarpos dalam pendakian Ciremai, nyaris 2 km dengan jalur full menanjak. Tetapi Pak Sam adalah orang yang tampak paling segar di antara delapan partner saya yang lain. Saya jangan ditanya, rasanya saat itu ngadu lari sama ikan mujair saja rasanya saya akan kalah.

Keadaan jadi semakin tidak ideal sesaat sebelum kami sampai di pos bernama Tanjakan Asoy. Tapi kondisi medannya tidak seasoy namanya. Tanjakkannya memimiliki kemiringan 45 derajat lebih. Dan seolah belum cukup cobaan kami hari itu, langit menurunkan hujannya dengan deras. Langit menjadi gelap sebelum waktunya dan jalan setapak berubah menjadi air terjun dan sungai mini. Dingin jangan ditanya lagi. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah Pak Sam. Tidak ada dalam bayangan saya apa yang akan terjadi terhadap tubuh renta yang tiba-tiba kedinginan saat batasnya sedang ditarik ke batas maksimal.

Setelah hari gelap, saya memutuskan untuk buka tenda di manapun ada tanah lapang atau campsite terdekat. Dan kami sampai di pos bernama Pesanggrahan. Dan seperti yang saya khawatirkan, pos itu sudah penuh tenda pendaki lain. Opsinya hanya mendirikan tenda di tempat yang kurang ideal, atau lanjut mendaki sampai bertemu tanah lapang lainnya. Tapi saya mencoret kemungkinan ke dua karena anggota tim yang lain, dan terutama saya mengkhawatirkan Pak Sam, sudah terlihat lelah dan kedinginan. Otak saya pun rasanya beku. Setelah mencopot keril, saya diam cukup lama. Rasanya tinggal menunggu waktu untuk saya kena hipotermia. Hanya sosok Pak Sam yang akhirnya membuat saya bergerak dan membongkar keril, karena tenda ada di dalamnya. Saya takut Pak Sam mengalami kedinginan ekstrim. Akhirnya setelah setengah mati menyambung frame tenda di tengah gerimis, gelap, dan jari-jari tangan membeku, tenda sederhana kami berhasil berdiri seadanya tanpa pasak. Ya, tanpa pasak. Ini kebodohan saya karena tidak mengecek kelengkapan sebelum berangkat. Beruntung tidak ada badai malam itu. Saya sudah terbayang akan cerita teman-teman bahwa mendaki Gunung Ciremai dengan peralatan lengkap saja sangat beresiko. Apalagi dengan gear yang kurang.

Ketika summit pagi harinya, Pak Sam juga ikut. Sepanjang jalur pendakian, banyak pendaki yang menyapa Pak Sam. Mungkin hari itu Pak Sam adalah yang tersepuh di antara orang yang mendaki Gunung Ciremai dari jalur manapun. Enaknya bersama Pak Sam tuh, beliau banyak yang nawarin makanan dan minuman, jadi saya bisa nebeng. *nyengir licik Squidward*

Saya ingat betul, saya beberapa langkah di depan beliau ketika dari Goa Walet menuju puncak Ciremai. Di puncak ketika saya sedang asyik foto-foto, terdengar sorak sorai riuh, tepuk tangan, dan teriakan semangat. Tidak berapa lama, Pak Sam menyusul saya sampai puncak. Tepuk tangan, sorak sorai, dan kalimat penyemangat tadi ditujukan untuk Pak Sam. Di ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut itu saya tidak pernah selega itu melihat sosok Pak Sam. Berjalan jauh, di hantam hujan, berselimut dingin, dan sampai dititik ini. Rasanya mengkhawatirkan Pak Sam lagi dalam mendaki Gunung Ciremai ini adalah sebuah omong kosong.

Diperjalanan turun, saya masih tetap mengawal Pak Sam. Langkahnya yang pelan tetapi jarang berhenti menjadikan perjalanan turun itu begitu konsisten. Dan di suatu titik ketika saya, dan Pak Sam berhenti untuk minum sejenak. Saya memuji beliau yang begitu kuat dan tidak pernah mengeluh. Padahal saya saja yang muda begitu keteteran. Pak Sam hanya menjawab singkat, jawaban yang akan saya ingat sebagai cambuk. Dan bukan hanya dalam hal mendaki gunung, kata-kata beliau tersebut juga akan saya ingat sebagai penyemangat dalam hal bekerja, bekarya, atau cari jodoh. *eaaa*

“Kalo motivasimu besar, apa pun bakal kejadian.” 
 
Foto studio







Share:

13 comments:

  1. kalau saya paling ga tahan sama partner yang suka mengeluh


    wah keren ya Pak Sam, kalau saya mungkin udah kecapekan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget, Mbak Wina. Bikin jalan-jalan kacau biasanya karena aura negatif =(

      Delete
  2. wah asyikay bisa naik gunung, salut yang suak naik gunung tapi skrg banyak yang suka naik gunung tapi gak memperhatikan kebersihan lingkungan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Konsekuensi adanya medsos dan teknologi. Satu sisi bagus untuk promosi, tapi di sisi lain ada dampak buruk lingkungan. Yang penting sih kesadaran masing-masing =)

      Delete
  3. "Kalo motivasimu besar, apa pun bakal kejadian."
    Aku suka nih kalimatnya. Inspiratif banget...bagi aku.

    Aku gak kuat naik gunung. Napasku pendek :| kelainan tulang, skoliosis. bah! tapi pengen... Dulu pernah waktu sma, udah sekali itu ajah. abis itu dilarang dokter bawa tas berat-berat. Payah emang aku nih. yang asik itu kalo udah sampe di atas trus liat pemandangan.. capeknya jadi ilang..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naik ke gunung yang tidak terlalu tinggi dan coba sewa porter aja. Tapi konsultasi dulu sih ke dokter. Semangat!

      Delete
  4. pak sam, thumb's up for you ^^

    jalan dari pos 1 sampai puncak makan waktu berapa jam bang?
    ngeri bener dah sampai lupa bawa pasak, tendanya aman kah? hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau ditotal sampai Pesanggrahan itu 8 jam. Kalau sampai puncak paginya kira-kira nambah 3 jam.

      Alhamdulillah aman tenda mah, cuman bentuknya agak aneh aja. Hahahaha

      Delete
  5. Mendaki gunung itu bisa memperlihatkan bagaimana patner kita sebenarnya. Walau saya baru sekali mendaki gunung, tapi saya yakini komitmen bersama itulah yang membuat kita bias kamin kompak kala mendaki.

    ReplyDelete
  6. aku melihatnya pak sam ini masih muda ya mas.... :) kalo baca postinganmu td, mikirnya udh tuaaa banget, ternyata kok ya kliatan awet muda :D

    ReplyDelete
  7. Pak Sam ini memang pancen oye!!! Walau usia semakin menua, namun fisiknya tampat begitu prima. Setelah ngobrol banyak sama pak syam, jurusnya jaga pola makan dan seimbangkan dengan istirahat yang cukup! Bang Kening.. memang selalu tampil beda dah!

    ReplyDelete