Friday, 21 July 2017

Nasi Kebuli Bang Moch, Kuliner di Tangerang Selatan

Terkadang menemukan tempat makan enak tuh bisa secara tidak sengaja. Minggu lalu saya sebetulnya cuma niat menengok teman kantor yang sakit di Ciledug bersama beberapa rekan dan bos kantor. Selepas bersua dan menghibur si kawan yang sakit, bos saya mengajak untuk makan siang. Ya sebagai anak buah yang baik, dan ehm, oportunis, mana mungkin saya tolak ajakan beliau.

Pak Bos megajak kami makan di sebuah tempat dengan nama Nasi Kebuli Bang Moch. Lumayan menambah khasanah kuliner di Tangerang Selatan dan sekitarnya. Cukup melelahkan juga untuk sampai sini kalau menggunakan mobil. Bukan karena jauh, tapi karena macet. Rumah makan ini terletak di antara Ciledug dan Bintaro. Di jalan utama menuju Jombang. Kalau dari tol JORR, keluar saja di Bintaro, kemudian cari jalan raya Jombang-Ciledug, ambil yang ke arah Ciledug atau Pondok Aren. Nanti rumah makannya ada di sebelah kiri. Sudah saya spoilerkan di atas, sabar-sabar aja akan macetnya.

Nasi Kebuli BangMoch ini tampilannya standar rumah makan pada umumnya. Tidak instagramable, jadi bisa fokus makan tanpa harus repot memikirkan spot foto yang bagus untuk upload sosmed. Bercat merah, ada space untuk makan lesehan, dan jejeran foto artis yang pernah makan di situ. Ada Marissa Haque dan Ikang Fawzi, loh. Unch, my love!
 
Cocok nggak buat dua keluarga besar ketemu?
 
Artis cuy...
 Ada tiga menu utama nasi di sini nasi kebuli tentu saja, nasi biryani, dan nasi mandhi. Saya memesan nasi biryani kambing bakar madu. Dan teman saya sepakat untuk memesan nasi kebuli ayam bakar. Biar bisa saling icip. Mumpung ditraktir bos, feel free lah, ya.

Ketika nasi biryani saya datang, yang terbayang adalah pengalaman dulu saya pernah makan nasi sejenis di kantor waktu masih bekerja di perusahaan India. Nasinya betul-betul India asli, untuk lidah orang India. Rempahnya bikin hidung dan otak kehilangan chemistry. Dan langit-langit mulut terasa panas, seperti tidak sengaja menelan parfum. Tapi setelah saya mencoba beberapa suap, kekhawatiran saya sirna bersama daging kambing bakar madu empuk, lembut, yang mulus meluncur ke perut saya. Aroma jahe dan pala begitu kental, tapi tetap dalam batas toleransi lidah Indonesia saya. 
Biryani kambing, nih gaes....
 
Seingat saya, aroma dan rasanya mirip seperti nasi biryani ayam yang pernah saya nikmati di kedai milik keluarga India-Vietnam di tepi pantai Mui Ne, Vietnam. Walaupun chef-nya indiahe acha acha, tapi cita rasanya sudah disesuaikan dengan lidah orang Asia Tenggara. Nah, di Nasi Kebuli Bang Moch ini hampir sama. Yang membedakan, biryani di Bang Moch ada topingnya berupa kismis. Jadi ada rasa asam manis plus mint meleleh yang segar ketika bercampur dengan pulennya beras basmati yang sudah tertanak. Oh iya, ada juga ‘acarnya’, lebih ke salad sih menurut saya. Mentimun, wortel, kol, dan potongan bawang Bombay berbentuk cincin. Rasanya jadi meriah! Kalau waktu di Mui Ne, nasi biryaninya polos. Hanya nasi dan ayam, tok.

Kalaulah ada yang saya sesali adalah, es teh manis di sini. Baiknya setiap rumah makan jangan meremehkan es teh manis. Kalau ada riset resminya, mungkin es teh manis ini adalah minuman paling banyak dipesan di semua rumah makan. Jadi bisa jadi representasi sebuah tempat makan. Di Nasi Kebuli Bang Moch ini es teh manisnya, amboi manisnya. Mungkin peraciknya sedang melihat list lagu-lagu Slank dan berhenti di judul Terlalu Manis. Rasanya tuh bikin gusi ngilu. Giung bahasa awamnya, mah.

Bos saya bilang, dia punya teman yang tinggalnya di depok dan suka bela-belain makan di sini. Tiga jam lah dari Depok untuk menikmati Kuliner di Tangerang Selatan ini. Tapi energi yang terbuang pasti kembali dengan porsi nasi biryani ini. Pesan saya, jangan dipesan nasi biryani di sini jika:

1. Perut tidak kosong-kosong amat

2. Diet

3. Nyari martabak

Porsinya bikin kenyang awet. Saya waktu makan ini di jam makan siang, dan sampai malam nafsu makan saya belum juga terbit karena perut masi terasa penuh. Akibatnya saya tidak sempat mencicipi nasi kebuli teman saya. 
Nasi kebuli yang pergi tanpa sempat aku cicipi =(
Jahat tidak sih, makan di Nasi Kebuli Bang Moch tapi tidak makan nasi kebuli? Jika itu disebut sebuah pengkhianatan, saya mohon maaf ya Bang Moch. Pokoknya terima kasih saya sebesar dan sedalam-dalamnya karena sudah menambah pilihan kuliner di daerah Tangerang Selatan. Range harga 40.000-70.000 Rupiah amat pantas. Di Tebet ada loh yang seporsi nasi kebuli sampai 125 ribuan.

Oh iya, saran, tempat parkirnya diperluas dong =)


Share:

Tuesday, 18 July 2017

Perizinan Online di BPTJ, Reformasi Birokrasi di Bidang Transportasi

Salah satu syarat mutlak untuk menjadi sebuah kota besar adalah sistem sarana transportasinya yang memadai. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah tidak diragukan lagi sebagai kota besar, bahkan bisa dibilang kawasan metropolitan di Pulau Jawa. Wilayah tersebut meliputi tiga provinsi, dan salah satunya merupakan ibukota negara.

Semua operator dan pengusaha angkutan umum pasti menginginkan mengoperasikan usahanya di Jabodetabek karena potensi trayeknya yang menggurita dan konsumen sudah jaminan banyaknya. Namun, semakin besar peluang maka hambatannya juga semakin besar. Halangan utama dari para pengusaha yang ingin membuka usaha di Indonesia adalah masalah perizinan. Dalam acara Peresmian Penggunaan Perizinan Sistem Online yang diadakan BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) di tanggal 16 Juli 2017, Menteri Perhubungan Republik Indonesia, Bapak Budi Karya, tak menyagkal bahwa mengurus perizinan itu menyebalkan.

Pernyataan tersebut tentu beralasan. Mengingat sudah bukan rahasia umum bahwa mengurus izin secara manual harus melewati beberapa tahapan. Dari pintu ke pintu, loket ke loket, dan meja ke meja. Memakan waktu dan tentu saja ongkos. Solusinya hanya satu, reformasi birokrasi yang massif. Sebuah hal yang selalu digaungkan pemimpin daerah atau pusat, dan departemen mana pun.

Kementerian Perhubungan melalui BPTJ melakukan inovasi dengan meluncurkan sistem perizinan online. Tentu saja dengan sistem ini para pengusaha angkutan Jabdetabek yang ingin mendapatkan izin operasional bagi setiap armadanya tidak perlu repot-repot datang ke kantor BPTJ dengan membawa setumpuk dokumen.

Sistem online ini meminimalisasi pengusaha dan pegawai BPTJ terkait untuk bertatap muka. Jadi lebih cepat, dan tentu saja fraud bisa ditekan ke tingkat terkecil. Bapak Menteri Budi Karya sempat mendemontrasikan bagaimana simpelnya sistem ini. 
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Pak Budi Karya (Kemeja Putih), sedang meninjau simulasi perizinan online. Pak, hubungkan hatiku dan hatinya dong... =(

Pengusaha masuk ke situs Kementrian Perhubungan. Lalu isi data armada yang ingin dioperasikan. Data ini meliputi jenis, merek, tahun, hingga plat nomor. Lalu upload scan dokumen pendukung. Submit. Terus pengusaha akan mendapat kode billing yang harus dibayarkan ke bank persepsi sesuai dengan biaya yang seharusnya, jadi tidak perlu khawatir biaya-biaya lain di luar ketentuan. Selesai. Tinggal menunggu surat izin keluar dengan barcode resmi. Cukup satu hari, dan bisa dipantau secara realtime.

Saya membayangkan, jika sistem ini berjalan lancar, seharusnya semua moda transportasi umum di Jabodetabek layak jalan semua. Karena jika salah satu saja syarat tidak terpenuhi, ya tidak akan keluar izinnya. Dan tidak akan ada pungli karena pengusaha dan pegawai tidak bertemu. Bonusnya, sistem ini secara tidak langsung ramah lingkungan karena paperless. Semuanya tercatat dalam jejak digital yang lebih tidak lekang di makan waktu.

Sistem ini juga berlaku untuk penambahan armada, dan perpanjangan izin. Kontrol pun akan menjadi lebih mudah. Akan ada pemberitahuan jika ada armada yang izinnya habis, atau sudah waktunya uji KIR secara berkala.

Semoga sistem yang sudah dibangun untuk Jabodetabek ini bisa diterapkan di daerah lainnya. Supaya saya yang suka jalan-jalan ini nyaman pakai transportasi apa pun yang cepat, aman, nyaman, dan tentu saja terjangkau. Semoga. 
Blogger plat merah. Keren-keren, ya?

Share:

Tuesday, 4 July 2017

Mencoba Mudik ke Pandeglang Biar Kesannya Travelling

Sejak pindah ke Pandeglang, pulang ke rumah menjadi sedikit rumit bagi saya. Dulu waktu rumah orang tua masih di Cilegon, masih mudah mobilisasinya. Tinggal naik bus Arimbi jurusan Kalideres-Merak sekali dengan biaya 25 ribuan. Nah, ke Pandeglang beda cerita. Ada sih bus yang langsung dari Kalideres menuju daerah tujuan, tapi entah kenapa saya kurang cocok naik operator bus tersebut. Jarang ada yang AC, ngetemnya seabad, penumpangnya suka ngerokok seenaknya, sopirnya merasa James Bond sehingga menganggap bus berukuran besar adalah pesawat tempur yang bisa bermanuver, dan yang paling menyebalkan adalah tidak adanya sistem ongkos yang baku. Beberapa kali naik bus ini selalu ongkosnya berbeda. Main tembak. Saya malas berdebat dengan kondekturnya.

Jadi biasanya saya ambil cara yang lebih ‘manusiawi’. Naik Arimbi yang nyaman dari Kalideres sampai Serang, lalu naik microbus jurusan Pandeglang, kemudian menggunakan ojek sebagai tranportasi pamungkas ke rumah. Lebih lama, dan bisa jadi lebih mahal karena jika microbusnya tidak ada, saya harus mensubstitusinya dengan dua kali naik angkot. Sebagai perbandingan, kalau naik bus yang, katakanlah, ‘brutal’ tadi hanya memakan waktu 3 jam, maka dengan cara saya bisa sampai 4 jam.

Kemudian tiba-tiba teringat kalau kereta Commuterline kan sudah terhubung sampai Stasiun Rangkasbitung. “Rangkas kan deketan sama Pandeglang. Bisa nih dicoba”, demikian pikir saya, biar ala-ala travelling juga. Kebetulan bulan puasa ini saya tidak jalan-jalan sama sekali. Dan di suatu pagi yang cerah saat menjelang akhir Ramadhan, saya pun mencoba cara baru ini untuk ‘mudik’ ke Pandeglang. Pukul 07.00 saat itu.

Begini tahapannya

1. Naik Commuterline Kalideres-Rangkasbitung

Please, jangan berpikir ini akan berjalan dengan mudah. Apalagi saat itu sedang puasa, mesti sabar. Karena dari Kalideres saya harus transit di Stasiun Duri. Dan saya harus mengambil kereta yang menuju Tanah Abang.Wich is, itu berbarengan dengan banyaknya populasi ibu-ibu dengan niat mendapat pahala puasa karena membelanjakan nafkah dari suami secara sebagaimana mestinya dengan memborong beraneka sandang. Dari Tanah Abang, saya langsung ambil jalur tujuan Rangkasbitung. Di Stasiun Tanah Abang ini ada jembatan penyebrangan serupa skywalk di mal-mal. Dari atas pemandangan ke bawah lumayan keren. Pola rel kereta yang seperti lidi saling berpotongan dan tumpang tindih tak teratur sungguh menarik hati. Belum lagi langit biru yang cerah dengan selingan awan putih tipis-tipis. Saya foto-foto sebentar, mengacuhkan kereta di jalur tujuan saya yang sejak tadi berhenti. “Ntar juga ada lagi”, gumam saya. Puas foto-foto saya pun turun menuju peron, kurang dari dua anak tangga kereta tersebut, yang seharusnya saya naiki, berangkat. Oke, masih santai. Lima menit. Sepuluh menit. Es di kutub mencair beberapa juta kubik. Kok lama, ya? Saya bertanya ke petugasnya dan mendapat jawaban yang lagi-lagi sangat menguji kesabaran, “Lah keretanya barusan berangkat tadi. Paling nunggu satu jam lagi untuk kereta berikutnya”. Saya mulai kehabisan alasan untuk santai. Lalu ada kereta datang, jurusan Maja tapinya. Masih kurang dua stasiun lagi untuk ke Rangkasbitung. Tak apalah naik saja, daripada menunggu lama. Sekitar jam setengah sepuluh pagi ketika saya naik. Sampai di Maja jam setengah dua belas. Menunggu lumayan lama, dan sampai di Rangkas sudah setengah dua siang. Cairan tubuh rasanya berkurang lebih dari setengah. 


2. Naik Angkot Dari Stasiun Rangkasbitung ke Depan Terminal Mandala

Harus saya akui, kinerja PT KAI dalam membuat jalur commuterline sampai Rangkasbitung itu patut mendapat apresiasi besar. Kalau dilihat dari sisi komersil, jalur ini kurang menarik karena melewati Banten bagian selatan yang sebagian besar wilayahnya ‘belum kota’. Tapi harus dikritik juga tentang ketertiban di stasiun dan tata letaknya. Keluar dari Stasiun Rangkasbitung saya langsung disambut pasar. Stasiun dan pasar tidak berjarak. Banyak angkot dan becak ngetem. Pasarnya pun tergolong tradisional sehingga menyebabkan aroma sayuran dan ikan yang sudah tidak segar menyeruak kemana-mana. Saya bertanya kepada petugas jika ingin ke arah Serang, karena rumah saya adalah Pandeglang yang dekat Serang, angkot apa yang harus saya naiki. Petugas berambut cepak Guile Street Fighter itu mengarahkan saya untuk naik angkot warna merah di ujung jalan pertigaan pasar. Okelah, akhirnya saya jalan menantang panas dan bau pasar di hari yang demikian terik.

Di ujung jalan saya menemukan angkot yang dimaksud. Ada angkot yang sudah tua, dan ada yang masih bagus. Secara naluri, saya naik yang masih bagus dong. Tapi,

“A, jangan naik yang itu, A, yang belakang aja!” Sopir angkot tua meneriaki saya. Ya sudah, saya menurut. Saya naik yang angkot yang jelek. Penumpangnya baru ada saya seorang. Semenit, dua menit, sepuluh menit, Ayu Tingting liburan ke Swiss, satu jam…angkot tak kunjung jalan. Sampai akhirnya,

“A, pindah angkot yang depan aja, A. Akiknya soak kayaknya, nih!”

“BANGS…” Astagfirullah. Puasa.

Saya pindah ke angkot yang depan. Yang mana angkot pertama yang ingin saya naiki sejam lalu. Angkot pun berangkat. Mulai meninggalkan jalan besar dan jadi kecil karena banyaknya PKL yang jual ikat pinggang, action figure Sponge Bob berupa balon, sampai nomor perdana buat ponsel. Tidak berapa lama, saya dan beberapa penumpang lain disuruh turun.

“Abis..abis…abis..”

Lah? Sampe?

Ternyata tidak begitu jauh. Saya pun membayar dengan uang sepuluh ribu. Lalu berdiri dengan jaga wibawa menunggu kembalian.

“A, kurang atuh segini, mah”

“Hah?”

“Kurang dua ribu.”

“Deket kok, dari pasar tadi.”

“Iya kurang, tambah lah. Kan buat lebaran.”

Anjir! Siapa ini sarjana yang pertama nulis bahwa hari raya mempengaruhi tarif organda? Untung di angkot, coba kalo di ring tinju, itu sopir udah kena suplex ala Chris Jericho. 


3. Naik Angkot dari Mandala ke Pasar Pandeglang Angkotnya warna biru. Demografi penumpangnya kebanyakan seperti saya, mereka yang dari Jakarta mau pulang ke Rangkas, Lebak, atau Pandeglang. Sejengkal pun ini angkot tidak bergerak sebelum tiap inchi bangkunya penuh oleh penumpang. Ya Tuhan, sudah hampir jam setengah tiga. Ongkosnya sepuluh ribu, padahal jaraknya lebih jauh. Mendadak ilmu ekonomi mikro saya tidak berguna.


4. Naik Angkot dari Pasar Pandeglang ke Cadasari Rumah sudah semakin dekat. Dari Pasar Pandeglang angkotnya sudah mulai familiar bagi saya. Warna hitam. Saya naik sebuah angkot hasil karoseri merek Daihatsu yang masih baru. Asik. Tenaga saya sudah sisa-sisa hasil dari berdesakkan dan terpanggang panasnya hari. Ada ibu-ibu sama anak kecilnya yang nangis karena tidak kuat puasa. Akhirnya si ibu turun sebentar, beli teh botol dingin dan memberi anaknya minum. GLEK, GLEK, GLEK. Asli, suara lewatnya air di tenggorokan sampai terdengar. Dan si ibu juga ikut-ikutan minum. GLEK, GLEK, GLEK. Kalau tidak ingat akan adanya siksa yang pedih di hari akhir, mungkin saya sudah beli mijon.

“Kamu sih batal puasanya, ibu jadi ikut-ikutan batal nih.” Kata si ibu.

“APA HUBUNGANNYA, ANJIR!!!” Umpat saya dalam hati. Astagfirullah, puasa ih. 
Angkot pun jalan. Lumayan, ada udara masuk. Dan setelah beberapa menit perjalanan, angkot tiba-tiba berhenti dan mematikan mesin. Loh? Mogok? Ada godzilla lewat? Si sopir melongokkan kepalanya dan berkata,

“Punten yeuh, saya bayar listrik dulu. Takut besok tutup, kan mau lebaran.”

COBAAN APA LAGI NI!!!

Sebrutal-brutalnya angkot di Jakarta, belum pernah saya temui yang berhenti di tengah trayek karena sopirnya harus bayar listrik.

Saya sudah pasrah kalau harus pingsan saat itu.

5. Naik Ojek dari Pasar Cadasari ke Rumah Bahu abang ojek adalah yang ternyaman hari itu. Aku damai bersamanya.


Kesimpulannya.

Saya kapok pulang ke Pandeglang naik commuterline jurusan Rangkasbitung. Tidak efektif dan efisien. Dari segi waktu, biaya, atau kenyamanan. Sudah lah, naik Arimbi terus nyambung microbus sudah paling hakiki. Rangkasbitung-Pandeglang tidak sedekat dugaan atau skala minor di peta.

Hari itu saya menjadi pelaku perjalanan panjang yang dimulai jam 07.00 sampai rumah jam 16.00. Tujuh jam dong. Kalau pakai mobil pribadi, asumsi kondisi jalan normal, dengan waktu yang sama saya sudah sampai di Jawa Tengah. Sedih =(


Share: