Monday, 28 August 2017

Mau Tahu Nama Kereta Api yang Berangkat ke Kota Tujuanmu? Ini Daftarnya!





Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_api_Argo_Bromo_Anggrek

Berbeda kota tujuan, tentu berbeda pula kereta api yang harus dinaiki. Saya kadang masih bingung kaluau dalam memilih jadwal, dan kereta apa waktu mau travelling. Biasanya karena bingung dan kurang informasi tentang nama kereta dan tujuannya, saya kerap kehabisan tiket. Kereta kan sekarang jadi transportasi primadona karena keekonomisan dan ketepatan waktnya. Maka dari itu saya buat daftar nama kereta sekaligus stasiun keberangkatan dan tujuannya. Silahkan disimak, siapa tahu ada kota yang mau dikunjugi untuk jalan-jalan, pulang ke kampung halaman, atau mau mengajak saya untuk mengunjungi Kota Solo, mungkin. Ah, saya kangen solo.


Berikut daftarnya:

1. Argo Bromo Anggrek
  • Jurusan                        : Gambir – Surabaya Pasar Turi
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Cirebon, Pekalongan, Semarang Tawang, Surabaya Pasar Turi
2. Argo Dwipangga dan Argo Lawu  
  • Jurusan                          : Gambir – Solo Balapan
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Cirebon, Purwokerto, Kutoarjo, Yogyakarta, Klaten, Solo Balapan

3. Argo Muria dan Argo Sindoro  
  • Jurusan                        : Gambir – Semarang Tawang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatinegara, Bekasi, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang Tawang

4. Argo Wilis  
  • Jurusan                         : Bandung – Surabaya Gubeng
  • Stasiun Pemberhentian : Bandung, Cipeundeuy, Tasikmalaya, Banjar, Kroya, Kutoarjo, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Jombang, Surabaya Gubeng
5. Bangunkarta
  • Jurusan : Gambir – Surabaya GubengStasiun 
  • Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang Tawang, Solo Jebres, Paron, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng
6. Bima
  • Jurusan : Gambir – Malang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Jatibarang, Cirebon, Purwokerto, Kemrajen, Sumpiuh, Ijo,Kebumen, Prembun, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng, Sidoarjo, Lawang, Malang
7. Gajayana
  • Jurusan : Gambir – Malang
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Gombong, Kebumen, Kutoarjo,Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono, Kediri, Tulungagung, Blitar, Wilingi, Kepanjen, Malang Kota Lama, Malang

8. New Argo Jati
  • Jurusan : Gambir – Cirebon
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Bekasi, Jatibarang, Cirebon

9. Purwojaya
  • Jurusan : Gambir – Cilacap
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Kroya, Maos, Cilacap

10. Sembrani
  • Jurusan : Gambir – Surabaya Pasar Turi
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang Tawang, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Surabaya Pasar Turi


11. Taksaka

  • Jurusan : Gambir – Yogyakarta
  • Stasiun Pemberhentian : Gambir, Cirebon, Purwokerto, Kroya, Kebumen, Kutoarjo, Yogyakarta
12. Turangga
  • Jurusan : Bandung – Surabaya Gubeng
  • Stasiun Pemberhentian : Bandung Hall, Cipeundeuy, Tasikmalaya, Jeruk Legi, Kroya, Sruweng, Kutoarjo, Yogyakarta Tugu, Solo Balapan, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng
Daftar nama kereta api Indonesia sesuai tujuan sudah tahu, lalu bagaimana dengan cara memesan tiket kereta api yang diinginkan? Caranya ternyata mudah, kamu bisa booking tiket kereta di aplikasi Traveloka. Kamu hanya perlu mengisi kolom stasiun keberangkatan dan kolom stasiun kedatangan. Setelah itu kamu pilih jam keberangkatan yang diinginkan diikuti dengan posisi tempat duduk. Selesai, kamu tinggal lakukan pembayaran menggunakan kartu kredit atau transfer ATM.
Oh iya, Jangan lupa untuk menyesuaikan budget untuk beli tiket keretamu. Karena apa? Karena aku cinta dia. Titik.

Hehehe...becanda, kok, serius amat. Begini, karena kelas tiket yang dipesan itu ada dua jenis. Ekonomi dan eksekutif. Harganya jelas berbeda. Yang eksekutif lebih mahal dari yang ekonomi. Tapi tidak perlu khawatir, worth it kok harga yang kamu bayar dengan fasilitas yang didapatkan. Mulai deh dari sekarang kamu bisa susun biaya tiket dalam itinenary perjalananmu.

Kamu bisa turun di sejumlah stasiun yang dilewati oleh kereta api tersebut sebelum menuju stasiun akhir. Jadi perhatikan juga nama kereta api yang bisa berhenti di stasiun tujuanmu, karena tidak semua kereta yang dengan stasiun tujuan akhir sama memiliki stasiun pemberhentian yang sama juga. Misalnya kereta api Turangga dan Bangunkarta sama-sama menuju stasiun Surabaya Gubeng, tapi kereta api Bangunkarta berhenti di stasiun Paron sedangkan kereta api Turangga tidak berhenti di sana.

Jangan lupa untuk mengecek kembali stasiun mana yang memiliki jarak terdekat dengan area tujuanmu karena ada beberapa kota yang memiliki 2 atau 3 stasiun kereta api, seperti kota Malang yang memiliki 2 stasiun yaitu stasiun Malang dan stasiun Malang Kota Lama ataupun kota Jakarta yang memiliki stasiun Gambir dan stasiun Jatinegara. Dengan demikian, kamu bisa menghemat waktu perjalanan sesampainya di kota tujuan.

Sudah siap untuk naik kereta api ke kota tujuanmu? Yuk, jalan-jalan sama saya =)
Share:

Wednesday, 23 August 2017

Ribetnya Jadi Trip Organizer ke Gunung Anak Krakatau

Karena narik becak sudah amat sangat mainstream
Semua berwal dari obrolan di tanggal tua. Kalau lagi tanggal tua pasti pikiran macam-macam, dan tingkat surviving seseorang berada pada level tertingginya. Mau makan, pilihan terbatas. Mau nonton, tunggu ada yang ngajak dan syukur-syukur dibayarin. Mau jalan-jalan, sulit. Duh.

Untungnya di tanggal tua aliran darah yang mengalir ke otak lebih banyak daripada yang mengalir ke perut. Terbit ide. Kalau mau jalan-jalan, kenapa tidak menyusun trip sendiri, kerjasama dengan operator tur, dan minta free seat untuk saya karena sudah mengumpulkan massa yang lumayan banyak.

Lalu saya memilih membuka perjalanan ke Anak Gunung Krakatau. Alasannya, tidak terlalu jauh dengan Jakarta, dan memberikan experience naik gunung, hopping island, dan snorkeling secara bersamaan. Kebetulan saya juga kenal dengan teman di Serang yang suka arrange trip ke Gunung Anak Krakatau. Namanya Mbak Noe, begitu dia akrab disapa. Coba cek akun sosmednya di @noetraveler, ibu tiga anak ini aktif sebagai blogger. Dan terima kasih tak terperi untuknya karena waktu bekerja sama menyusun perjalanan ini, dia sedang hamil dan bawa satu anaknya yang lucu. *salim*

Ada beberapa hal yang membuat buka trip sendiri itu tidak semudah kelihatannya, dan cenderung repot:

1. Jualan Cari Massa

Saya dihadapkan oleh kenyataan ternyata ‘jualan’ trip tidak semudah kelihatannya. Kalau lihat Instagram akun jalan-jalan publish sebuah ajakan jalan-jalan, atau lazim dikenal dengan open trip, kok rasanya yang ikut antriannya panjang. Di saya, itu tidak terjadi. Saya harus mati-matian bujuk teman kantor, teman tongkrongan, temannya teman tongkrongan, mutual friends di sosmed, dan banyak lagi. Hasilnya ada, tapi tidak banyak. Sedangkan untuk sebuah trip yang di dalamnya terdapat unsur biaya sewa perahu, harus ada syarat minimal kuota supaya harganya tidak mahal. Di detik-detik akhir, saya sempat pesimistis kuotanya tidak akan terpenuhi. Paling tidak 25 orang. Eh begitu sudah satu minggu mau berangkat, justru banyak yang daftar. Dan ada pula yang mengundurkan diri. Ini menyebabkan saya meminta maaf berkali-kali ke Mbak Noe karena harus menyusun ulang lagi data untuk snorkel gear dan jumlah homestay yang diperlukan. Huft.

2. Bikin Peserta Nyaman *sodorin bahu* Dalam sebuah grup perjalanan, ada begitu banyak orang. Mereka memiliki ekspektasi yang berbeda-beda.

“Nanti naik kapal ke Lampungnya ber-AC, nggak?”

“Diperjalanan bisa liat lumba-lumba, nggak?”

“Makanannya kalo bisa jangan pedes, ya…”

“Homestaynya ada TV? Liga Inggris, keleus, MU, MU!”

“Kok di Anak Krakataunya nggak ada lava yang kayak gunung meletus gitu? Gimana sih panitia….”

----_____----

Semua mesti saya jawab satu-satu. Tapi saya menyadari satu hal, wawasan itu sangat perlu untuk siapa saja yang mau buat travel organizer. Selain supaya untuk peserta percaya, ya itu tadi, peserta jadi nyaman. Setidaknya timbul sense di antara parapeserta bahwa yang membawa mereka tahu mau ke mana dan ada apa di sana.

Selain ekspektasi, para peserta juga punya ulah masing-masing yang unik. Contohnya sewaktu perahu bersandar sebentar di pulau Sebuku Kecil untuk berfoto-foto di pasirnya yang putih, dan airnya yang jernih. Ketika waktu sudah habis dan peserta diminta naik kembali ke perahu, ada dua orang yang belum kelihatan. Saya melempar pandang ke arah sekeliling pulau, sudah sepi. Dua orang itu tidak nampak. Masa sih ke tengah laut? Di ujung cakrawala mana pun pandangan saya tidak menangkap adanya kehidupan. Kemungkinannya mereka berjalan mengitari sisi lain pulau, atau masuk ke hutan. Saya sepakat dengan nahkoda perahu untuk mencari ke sisi yang berbeda. Saya berjalan tertatih-tatih melewati batu karang, pasir, dan beberapa cekungan cukup dalam. Perahu mengitari dari sisi yang berlawanan. Puji syukur, mereka ketemu.

“Sori, Yos. Namanya kan Sebuku Kecil, gue liat di peta juga kecil, makanya gue coba kelilingin. Eh ternyata gede, ya?”
GEDE PALA LU! NEGARA RUSIA JUGA DI PETA MAH MASIH GEDEAN JIDAT GUE!
Saya diperingatkan nahkoda kapal, supaya lebih mengawasi peserta. Dengan nada tinggi belaiu berkata bahwa belum ada sejarahnya wisata ke Krakatau terus ada orang hilang. Alhamdulillah hari itu sejarah tidak terukir.

Puncaknya adalah ketika trekking ke puncak Anak Gunung Krakatau. Dua jam perjalanan dini hari hingga pagi dari Pulau Sebesi ke Pulau Anak Gunung Krakatau dengan gelombang lumayan tinggi membuat banyak peserta KO. Wajah-wajah gembira berubah menjadi ungu, dan tidak sedikit yang muntah sambil memanjatkan doa. Saya berulang kali menenagkan mereka, bahwa nahkodanya sudah berpengalaman, lautan luas ini bagai halaman belakang rumah baginya. Repot sih, tapi asyik. Jadi paham cara men-treat orang-orang yang berbeda. Pokoknya cuma harus telaten dan sabar. Cerita ribet di atas belum termasuk permintaan mengajari berenang, dan request peserta untuk foto underwater berlatar belakang terumbu karang Lagon Cabe tapi ogah lepas pelampung. Sabar.

Setelah trip tersebut, ada pemikiran yang terus membuat saya brainstorming dengan diri sendiri. Asyik juga ya, bikin trip sendiri. Selain bisa minta jatah free seat, ya pengalamannya itu yang priceless. Yang terpenting sih tujuan utama saya jalan-jalan, yaitu buka wawasan dan link seluas-luasnya.

Dan oleh sebab itu (mendadak kayak UUD), saya mencoba untuk buka trip lagi. Masih seputaran Banten-Lampung. Yaitu ke Pulau Tunda. Pulau yang secara administratif masuk ke Kota Serang, Banten. Kalau dikalkulasi biaya untuk:

- Transport dari Serang ke Pelabuhan Karangantu (Pelabuhan menuju Pulau Tunda)

- Sewa kapal untuk hopping island

- Makan 4 kali

- Snorkle gear

- Guide lokal

- Dokumentasi

- Dan kegiatan optional seperti menanam bakau

Maka semua biayanya adalah 450.000 IDR/Pax. Terjangkau, kan? Mau ikut? Boleh. Saya Yos, can reached on Whatsapp 081288351044 (curhat available) untuk detail itinenary. Ajak kawan biar rame! Kuy =)
Share:

Monday, 7 August 2017

Mendaki Gunung Burangrang, dan Misterinya

Dua kali mencoba, dua kali pula saya gagal mendaki Gunung Burangrang. Entah kenapa kegagalan itu selalu diikuti oleh kejadian-kejadian aneh, ajaib, dan percaya atau tidak, dramatis. Percobaan pertama mendaki Gunung Burangrang kegagalannya cukup menyayat-nyayat hati dengan berakhir pada berakhirnya hubungan saya dan seseorang. Sedih.

Yang kedua rasanya tidak begitu sakit. Tapi bisa dibilang gondok bukan main. Rencana mendaki Burangrang ini sudah saya susun bersama teman saya kurang lebih sejak satu bulan sebelumnya. Kami sepakat berangkat Jumat malam tanggal 4 Agustus 2017. Hari Jumat pagi saya sudah packing tenda, matras, sleeping bag, kolor secukupnya, dan beberapa potong baju. Sengaja tidak bawa kompor dan nesting karena rencananya alat masak teman saya yang bawa. Karena meeting point-nya di sebuah pul bus di Cililitan, saya langsung bawa peralatan ke kantor. Jadi pas jam pulang kantor bisa langsung cus ke titik pertemuan tanpa perlu balik ke kontrakan saya di Ciledug.

Terkadang, kata ‘tetapi’ adalah frase paling ditakutkan umat manusia. Seperti Jumat sore itu. Saya sudah menyusun rencana, TETAPI langit berkata lain. Teman saya mengabari bahwa dengan berat hati pendakian batal karena satu dan lain hal. Sempat hati ini goyah, dan sedikit marah. Seksinya tas keril saya mendadak jadi tak menarik lagi.

Ego saya mengatakan, sudah berangkat saja. Gunung Burangrang ndak terlalu tinggi, kok. 2.050mdpl, bisa! Oke. Saya membulatkan tekad untuk mendaki sendiri saja.

TETAPI

KAN NGGAK BAWA KOMPOR SAMA NESTING! Ah, mau masak bagaimana nanti? Bawa ransum kering saja seperti roti, biskuit, atau gadoin mie instan. Demikian akal saya memberi solusi. Tapi, masa nggak ngopi? Di gunung, nggak ngopi? Duh, mendingan kelahi sama monster kaiju, deh. Baiklah, saya memikirkan untuk sewa kompor di Bandung. Googling. Tapi di tengah pencarian sisi malas saya mulai menggerogoti jiwa petualang di dalam diri. Kalau sewa, harus kembali ke tempat penyewaan setelah turun nanti. Pasti sudah capek.

Saya masih memikirkan kemungkinan lain, berharap packingan saya tidak sia-sia. Hingga pada suatu titik perenungan kalau mendaki sendiri:

1. Saya belum pernah mendaki gunung sendiri. Kemping sendiri saja belum pernah.

2. Burangrang bukan gunung populer dan tujuan pendaki. Bagaimana kalau hanya benar-benar saya sendiri yang mendaki ke sana hari itu? Terbayang tengah malam saya kedinginan, tidak ada teman berbincang, tanpa kopi, dan selentingan kisah mistis yang lewat di pikiran. Saya belum siap.

3. Malam minggu sendirian di kota saja rasanya sepi. Di atas gunung? Situ mau bertapa biar bisa mendapat   72 jurus perubahan wujud?

Sudah lah, saya menyerah. Ego saya padam. Jumat malam menjelang akhir pekan itu saya memutuskan untuk seru-seruan saja bersama teman. Setidaknya weekend saya nggak jelek-jelek amat lah. Di sini lah misteri gagalnya mendaki Gunung Burangrang terjadi lagi. Peristiwa aneh yang datang berurutan.

Oke. Untuk menenangkan hati dan mengembalikan mood, ngopi adalah jalan terbaik. Teringat seorang kawan yang kerja di Pasar Minggu. Ajak dia ngopi, ah. Saya kirim pesan.

“Yah, gue lagi nggak gawe, Bro.”

Gagal. Cari rencana lain. Ah, nonton bisa, nih. Ada teman yang update status mau nonton film Banda. Boljug nih nimbrung.

“Yah, ini gue udah beli tiket ini. Si nyusul di Metropole, ntar abis nonton ini kita marathonan nonton film lain.”

Uler kadut! Selain film Banda, saya sudah nonton semua film yang ada di studio tersebut. Hangout sudah saya coret. Saya memutuskan pulang saja ke kontrakan. Lapar. Barangkali Nasi Bebek Cak Nakir yang bumbunya berasal dari surga itu bisa sedikit menjadi penyelamat mood saya.

Mampirlah saya makan nasi bebek. Lumayan enakan perasaan saya. Begitu mau bayar, saya buka dompet, dan hening.

Si Abang bebek menatap saya,

Saya menatap dompet.

Kosong. Saya lupa ambil uang di ATM. Sambil minta maaf dan sambil berusaha membereskan harga diri saya yang sudah tercecer, saya minta izin untuk ke ATM terdekat. Sebagai jaminan, saya tinggalkan keril seksi saya. ATM terdekat ada di sebuah minimarket tidak jauh dari tenda nasi bebek. Tapi error. Sabar. Akhirnya mesin uang itu ketemu mendekati daerah Joglo. Balik lagi ke tenda nasi bebek harus berputar jauh di Bagdad lewat Lebanon. Macet. Banyak metromini ngetem. Menjelang weekend pula, volume kendaraan gila-gilaan. Rasanya kepengen itu motor saya panggul aja. Ya Tuhan, mau bayar nasi bebek enam belas ribu perak aja susahnya kayak mau bayar transfer Neymar dari Barcelona ke PSG.

Rasanya saat itu semuanya salah di mata saya, semua ingin saya maki-maki. Mobil di depan salah, motor di sebelah salah, ibu-ibu yang menyebrang jalan juga salah. Padahal nyebrangnya di Bekasi. Pokoknya semua salah! Tapi saya tidak tahu ke mana mau menyalahkan. Mestinya negara hadir untuk memudahkan warga negara yang mau bayar nasi bebek. Minimal Kementrian Perdagangan dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian duduk bersama untuk bikin peraturan standar setiap warung nasi bebek harus punya mesin EDC yang memungkinkan konsumen bayar dengan kartu debit atau kredit.

Kelar bayar. Saya pun melanjutkan perjalanan pulang. Susai makan tetapi rasanya saya tidak punya tenaga. Diajak panco cicak juga mungkin saya kalah. Sampe kontrakan saya mencari-cari kunci pintu. Loh, loh, loh…

Ingatan saya kembali ke masa beberapa jam lalu ketika masih di kantor


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4 atau 5 jam yang lalu,

Saya menaruh kunci kontrakan bersama laptop di loker kerja. Saya khawatir hilang jika kunci tersebut saya bawa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

JADI KUNCI KONTRAKAN KETINGGALAN DI KANTOR!

Demi supaya saya tidak tidur di emperan warung depan kontrakan, saya pun mengetuk pintu rumah yang punya kontrakan. Barangkali ada kunci cadangan. Syukurnya, ada. Saya jadi tidak enak karena sudah lumayan larut malam. Untung si bapak orangnya ramah,

“Loh Mas, nggak jadi ke gunung? Kayaknya capek banget?”

Saya hanya jawab dengan senyum letih. Senyum yang sangat saya paksakan karena pada dasarnya saya dalam mood seperti Bezita sedang marah dan teriak, “BANGSAT KAU KAKAROTOOOOOO!!!!”

Hingga kini, mendaki Burangrang masih menjadi misteri buat saya =(
Share: