Monday, 7 August 2017

Mendaki Gunung Burangrang, dan Misterinya

Dua kali mencoba, dua kali pula saya gagal mendaki Gunung Burangrang. Entah kenapa kegagalan itu selalu diikuti oleh kejadian-kejadian aneh, ajaib, dan percaya atau tidak, dramatis. Percobaan pertama mendaki Gunung Burangrang kegagalannya cukup menyayat-nyayat hati dengan berakhir pada berakhirnya hubungan saya dan seseorang. Sedih.

Yang kedua rasanya tidak begitu sakit. Tapi bisa dibilang gondok bukan main. Rencana mendaki Burangrang ini sudah saya susun bersama teman saya kurang lebih sejak satu bulan sebelumnya. Kami sepakat berangkat Jumat malam tanggal 4 Agustus 2017. Hari Jumat pagi saya sudah packing tenda, matras, sleeping bag, kolor secukupnya, dan beberapa potong baju. Sengaja tidak bawa kompor dan nesting karena rencananya alat masak teman saya yang bawa. Karena meeting point-nya di sebuah pul bus di Cililitan, saya langsung bawa peralatan ke kantor. Jadi pas jam pulang kantor bisa langsung cus ke titik pertemuan tanpa perlu balik ke kontrakan saya di Ciledug.

Terkadang, kata ‘tetapi’ adalah frase paling ditakutkan umat manusia. Seperti Jumat sore itu. Saya sudah menyusun rencana, TETAPI langit berkata lain. Teman saya mengabari bahwa dengan berat hati pendakian batal karena satu dan lain hal. Sempat hati ini goyah, dan sedikit marah. Seksinya tas keril saya mendadak jadi tak menarik lagi.

Ego saya mengatakan, sudah berangkat saja. Gunung Burangrang ndak terlalu tinggi, kok. 2.050mdpl, bisa! Oke. Saya membulatkan tekad untuk mendaki sendiri saja.

TETAPI

KAN NGGAK BAWA KOMPOR SAMA NESTING! Ah, mau masak bagaimana nanti? Bawa ransum kering saja seperti roti, biskuit, atau gadoin mie instan. Demikian akal saya memberi solusi. Tapi, masa nggak ngopi? Di gunung, nggak ngopi? Duh, mendingan kelahi sama monster kaiju, deh. Baiklah, saya memikirkan untuk sewa kompor di Bandung. Googling. Tapi di tengah pencarian sisi malas saya mulai menggerogoti jiwa petualang di dalam diri. Kalau sewa, harus kembali ke tempat penyewaan setelah turun nanti. Pasti sudah capek.

Saya masih memikirkan kemungkinan lain, berharap packingan saya tidak sia-sia. Hingga pada suatu titik perenungan kalau mendaki sendiri:

1. Saya belum pernah mendaki gunung sendiri. Kemping sendiri saja belum pernah.

2. Burangrang bukan gunung populer dan tujuan pendaki. Bagaimana kalau hanya benar-benar saya sendiri yang mendaki ke sana hari itu? Terbayang tengah malam saya kedinginan, tidak ada teman berbincang, tanpa kopi, dan selentingan kisah mistis yang lewat di pikiran. Saya belum siap.

3. Malam minggu sendirian di kota saja rasanya sepi. Di atas gunung? Situ mau bertapa biar bisa mendapat   72 jurus perubahan wujud?

Sudah lah, saya menyerah. Ego saya padam. Jumat malam menjelang akhir pekan itu saya memutuskan untuk seru-seruan saja bersama teman. Setidaknya weekend saya nggak jelek-jelek amat lah. Di sini lah misteri gagalnya mendaki Gunung Burangrang terjadi lagi. Peristiwa aneh yang datang berurutan.

Oke. Untuk menenangkan hati dan mengembalikan mood, ngopi adalah jalan terbaik. Teringat seorang kawan yang kerja di Pasar Minggu. Ajak dia ngopi, ah. Saya kirim pesan.

“Yah, gue lagi nggak gawe, Bro.”

Gagal. Cari rencana lain. Ah, nonton bisa, nih. Ada teman yang update status mau nonton film Banda. Boljug nih nimbrung.

“Yah, ini gue udah beli tiket ini. Si nyusul di Metropole, ntar abis nonton ini kita marathonan nonton film lain.”

Uler kadut! Selain film Banda, saya sudah nonton semua film yang ada di studio tersebut. Hangout sudah saya coret. Saya memutuskan pulang saja ke kontrakan. Lapar. Barangkali Nasi Bebek Cak Nakir yang bumbunya berasal dari surga itu bisa sedikit menjadi penyelamat mood saya.

Mampirlah saya makan nasi bebek. Lumayan enakan perasaan saya. Begitu mau bayar, saya buka dompet, dan hening.

Si Abang bebek menatap saya,

Saya menatap dompet.

Kosong. Saya lupa ambil uang di ATM. Sambil minta maaf dan sambil berusaha membereskan harga diri saya yang sudah tercecer, saya minta izin untuk ke ATM terdekat. Sebagai jaminan, saya tinggalkan keril seksi saya. ATM terdekat ada di sebuah minimarket tidak jauh dari tenda nasi bebek. Tapi error. Sabar. Akhirnya mesin uang itu ketemu mendekati daerah Joglo. Balik lagi ke tenda nasi bebek harus berputar jauh di Bagdad lewat Lebanon. Macet. Banyak metromini ngetem. Menjelang weekend pula, volume kendaraan gila-gilaan. Rasanya kepengen itu motor saya panggul aja. Ya Tuhan, mau bayar nasi bebek enam belas ribu perak aja susahnya kayak mau bayar transfer Neymar dari Barcelona ke PSG.

Rasanya saat itu semuanya salah di mata saya, semua ingin saya maki-maki. Mobil di depan salah, motor di sebelah salah, ibu-ibu yang menyebrang jalan juga salah. Padahal nyebrangnya di Bekasi. Pokoknya semua salah! Tapi saya tidak tahu ke mana mau menyalahkan. Mestinya negara hadir untuk memudahkan warga negara yang mau bayar nasi bebek. Minimal Kementrian Perdagangan dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian duduk bersama untuk bikin peraturan standar setiap warung nasi bebek harus punya mesin EDC yang memungkinkan konsumen bayar dengan kartu debit atau kredit.

Kelar bayar. Saya pun melanjutkan perjalanan pulang. Susai makan tetapi rasanya saya tidak punya tenaga. Diajak panco cicak juga mungkin saya kalah. Sampe kontrakan saya mencari-cari kunci pintu. Loh, loh, loh…

Ingatan saya kembali ke masa beberapa jam lalu ketika masih di kantor


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4 atau 5 jam yang lalu,

Saya menaruh kunci kontrakan bersama laptop di loker kerja. Saya khawatir hilang jika kunci tersebut saya bawa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

JADI KUNCI KONTRAKAN KETINGGALAN DI KANTOR!

Demi supaya saya tidak tidur di emperan warung depan kontrakan, saya pun mengetuk pintu rumah yang punya kontrakan. Barangkali ada kunci cadangan. Syukurnya, ada. Saya jadi tidak enak karena sudah lumayan larut malam. Untung si bapak orangnya ramah,

“Loh Mas, nggak jadi ke gunung? Kayaknya capek banget?”

Saya hanya jawab dengan senyum letih. Senyum yang sangat saya paksakan karena pada dasarnya saya dalam mood seperti Bezita sedang marah dan teriak, “BANGSAT KAU KAKAROTOOOOOO!!!!”

Hingga kini, mendaki Burangrang masih menjadi misteri buat saya =(
Share:

5 comments:

  1. kirain misterinya di gunung bungrangrang uda kepo bingit... but ga kecewa kok baca artikelnya. bikin ngakak jg. nice... lam kenal. klo mw rencana ke bungrangrang kontak yah. i'm stay in bandung with my little fam :)

    ReplyDelete
  2. Bahahaha ternyata naik gunungnya belom--__-
    Kirain misterinya pas di gunung. Taunya 😓

    ReplyDelete
  3. Ya elah. Kirain abg udah naik.
    Trus dapat misteri gitu? Tiba-tiba tangan abang ada yang gandeng.
    Eh rupanya teman abang udah pada ngikut dari belakang.

    ReplyDelete
  4. hhahaha,,, ngakak bg tulisannya....
    kirain ada misteri apa digunung ,,, eh taunya :D

    ReplyDelete
  5. Hehehe asik juga ceritanya meski ku berharap ada cerita misteri beneran. Salam kenal gan :)

    ReplyDelete