Friday, 15 September 2017

Mendaki Gunung Sumbing Lewat Jalur Kaliangkrik

Sebetulnya pendakian ke Gunung Sumbing ini sudah lumayan lama. Awal tahun ini kalau tidak salah. Entah apa yang membuat saya malas untuk menuliskannya. Padahal pengalaman ke sana sangat jauh dari kata biasa saja.

Saya dan ketiga teman saya memutuskan mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik. Jalur ini memang belum seterkenal jalur lain, lewat Garung misalnya. Untuk ke Kaliangkrik, dari Jakarta saya harus naik bus malam jurusan Wonosobo seharga sembilan puluh ribu Rupiah. Kemudian menyambung dengan mikrobus jurusan Magelang, ongkosnya sekitar dua puluh ribu.

Ini serunya mendaki Gunung Sumbing lewat Kaliangkrik, di mana mobilitas dari satu angkutan ke angkutan lainnya lumayan banyak. Walaupun nampaknya ribet, tapi tidak sulit dicari armada yang mengangkut kita dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan sepanjang perjalanan Wonosobo-Magelang pun membuat saya rela untuk menahan kantuk, karena selalu ‘dikawal’ oleh siluet Gunung Sindoro dan lautan awan tipis. Jalurnya memang sudah berada di dataran yang lumayan tinggi.

Dari Terminal Magelang, perjalanan menuju basecamp masih sangat jauh. Karena lagi-lagi mesti ganti moda ke bus yang lebih kecil menuju pasar di bawah Dusun Butuh, biayanya lima belas ribu Rupiah. Kalau perbekalan belum lengkap, saran saya beli lah di pasar ini. Karena di sini tempat terakhir untuk membeli logistik. Lalu untuk menuju basecamp di Dusun Butuh, harus menggunakan ojek sebagai sarana transportasi satu-satunya. Harganya dua pulu lima ribu. Mahal. Saya nyaris saja mengeluh soal harga itu, tapi begitu merasakan sendiri bagaiama medan jalan yang dilalui, harga segitu sangat wajar dimahfumi.

Sepanjang jalur ojek, saya dan abang ojek dengan romantisnya melewati kebun-kebun kol, cabe, dan sayuran sejauh mata memandang. Kabut tipis terkadang membuat si abang melambatkan motornya karena jarak pandang yang menipis. Kami sudah semakin tinggi. Dan saya merasa jauh mundur dalam aliran waktu. Ibu-ibu petani memanggul sayur-sayuran dalam karung, berjalan bertelanjang kaki, tetapi dengan senyum yang tak pernah pudar sewaktu berpapasan dengan saya. Menyapa dengan Bahasa Jawa yang saya tidak mengerti.

Dusun Butuh adalah desa tercantik di Jawa yang pernah saya temui. Desa ini dibangun di atas bukit, degan gang-gang sempit sebagai akses jalan. Dari bawah desa ini terlihat warna-warni dengan tembok-tembok kotak yang tersusun. Mirip dengan desa-desa di Tibet yang saya lihat di majaah natgeo. Sayang abang ojeknya tidak mau berhenti sebentar untuk foto-foto karena dia tidak mau kehilangan momentum tenaga motornya. Dari basecamp Dusun Butuh ini pendakian ke Gunung Sumbing dimulai. Simaksi dan perijinan diurus di sini. Penjaganya ramah sekali, jadi feel free saja kalau memerlukan pertolongan. 
Dusun Butuh yang seperti Larung Gar di Tibet. Saya belum pernah ke Tibet, by the way

Dari Dusun Butuh ini jalur pendakiannya ‘tidak kenal ampun’. Tidak saya temui jalur mendatar, apalagi menurun. Untamanya dari pos 1 sampai pos 3. Menurut penjaga basecamp, jika melakukan pendakian lewat jalur ini, spot yang pas untuk mendirikan tenda adalah di pos 3. Di sana ada tanah datar, dan sungai kecil. Beruntung waktu itu saya dan teman-teman jalan sore hari menjelang malam, jadi medan yang mendaki itu tidak terlihat mata. Kami hanya tahu naik, maju, naik, maju, naik, maju. Itu saja.

Butuh waktu 6 jam lebih untuk kami sampai di pos 3. Harus hati-hati dari pos 2 karena jalur pendakian Gunung Sumbing ini penuh dengan semak dan melewati beberapa anak sungai dengan batu-batu besar licin. Di kanannya langsung jurang. Lagi lewat sini lalu kepikiran hutang bakwan di warung, wassalam. Konsentrasi mutlak dibutuhkan. 
Campsite di pos 3 Gunung Sumbing via Kaliangkrik
Bagian terbaik mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik dan mendirikan tenda di pos 3 adalah ketika matahari terbit. Kegelapan sempurna tadi malam ketika kami mendirikan tenda perlahan lenyap. Berganti fajar jingga di timur. Bulat sempurna di antara agungnya Merapi, dan pesona abadi Merbabu. Suara aliran sungai kecil tepat di samping tenda kami menjadi musik latar kami pagi itu. Teh menjadi lebih nikmat, dan kopi menjadi lebih beraroma. 
Sunrise di pos 3. Sudah boleh berpuisi menenun rindu, memanen cinta, belum?
Pagi harinya, perjalanan menuju puncak. Sesungguhnya perjalanan baru dimulai dari sini. Saya kira berjalan dari pos 1 sampai pos 3 itu sudah mencakup sebagian besar perjalanan, dan ke puncak tinggal sisa perjalanan saja. Tapia pa daya medan pendakian berkata lain. Anak-anak sungai masih sedikit menemani pendakian, namun elevasi tanah semakin curam. Titik 3.371 meter yang menaji puncak Gunung Sumbing sudah terlihat. Meski begitu kami harus mengitari beberapa bukit dengan pemandangan savanna berundak-undak dan awan yang sesekali timbul tenggelam. 
Hati-hati

Konsentrasi
Pos 4 berupa tanah datar dengan sebatang pohon rindang yang meneduhkan. Kalau tenaga kuat dan memungkinkan, atau ingin lebih santai saat summit, lebih baik medirikan tenda di sini. Berjalan dari pagi, pendakian Gunung Sumbing kami sampai puncak tepat jam lima sore. Ditemani gerimis tipis.

Di sekitar puncak, tumbuh koloni bunga edelweiss. Jika sudah terlihat Sangsaka Merah Putih, maka itu lah titik 3.371 mdpl. Puncak tertinggi di Gunung Sumbing. Dari puncak terlihat Gunung Sindoro, kembaran dari Gunung Sumbing. Di salah satu sisi puncaknya, terdapat jurang yang langsung mengarah ke padang rumput dan kawah aktif. Jika langit sedang bersih dan cuaca tidak mendung, akan terlihat siluet Gunung Slamet. 
Kabut yang turun pelan-pelan di puncak Sumbing

Puncak adalah bonus, yang penting senang, bahagia, dan rekening baik-baik saja
Sangat disayangkan karena kami kesorean sampai di puncak. Tidak banyak waktu untuk sekedar menikmati kopi. Kami pun turun. Dan sepakat melaui jalur yang berbeda. Yaitu jalur Banaran. Pendakian turun dari Gunung Sumbing ini pun tidak kalah seru. Akan saya ceritakan di blogpost selanjutnya. Tunggulah jika berkenan.
Share:

Friday, 8 September 2017

Sosial Media, Buzzer, dan Waktu Minum teh

Belakangan saya menemukan pola unik di linimasa media sosial, terutama Twitter. Saya sangat suka platform medsos satu ini, jadi kalau dipresentasikan perharinya, 80% aktifitas smartphone saya adalah memantau aplikasi berlambang burung biru tersebut. Kembali ke pola tadi, bagaimana polanya? Begini:

- Pagi-pagi akan dipenuhi keluhan jalanan macet, ucapan selamat pagi, dan RT-an motivasi dari beberapa akun.

- Pagi menjelang siang hingga sore menjelang malam , tweet iklan dengan tagar.

- Malam, tweet santai, lucu, galau, dan kalau akhir pekan banyak becandaan soal sepak bola.

Nah, poin nomor dua itu memiliki durasi paling lama. Saya memiliki 24 jam untuk memantau linimasa, maka 16 jamnya saya saya ‘dipaksa’ untuk melihat tagar dan iklan yang sama. Dari buzzer yang sama. Dengan pola kalimat yang kelihatan sudah tertemplate. Berbeda akun, tapi muatan kontennya sama. Jenuh? Pasti. Tindakan preventif pertama saya adalah menggunakan fitur mute. Namun, selalu saja ada tagar baru. Hingga saya ada berada di satu titik, “Udah ah biarin aja. Buka Twitter entar aja maleman dikit.”

Apakah salah tagar-tagar yang ‘memaksa’ untuk jadi trending tersebut? Tentu tidak. Jelas tidak ada yang ‘salah’ jika alasannya adalah ekonomi. Biar bagaimanapun terciptanya media sosial adalah bagian dari sebab akibat perilaku pasar, brand, produk, atau bahkan personal (biasanya digunakan untuk pencitraan). Kita sebut saja mereka pemilik modal. Nah pemilik modal perlu media promosi yang efektif, dan tentu saja low cost. Efektif? Jelas. Ekonom sekelas Adam Smith pun mungkin tidak akan menyangka impact motif ekonomi yang beliau gaungkan akan berdampak begitu besar ketika internet ada untuk marketing. Pendeknya, pemilik modal butuh promosi murah dengan jangkauan luas dengan tools yang juga mudah didapat tanpa harus ada ikatan secara legal yang ribet dan jangka panjang. Tools itu lah yang sekarang saya kenal dengan buzzer (konteks di twitter). Pemilik modal punya uang, buzzer butuh uang. Klop. Tidak ada yang salah. Ada gula ada semut. Ada demand ada supply.
Saya tidak bisa menggambarkan secara persis masalahnya di mana. Tapi saya punya analogi. Anggap saja Twitter (atau apa pun sosial medianya) adalah sebuah komplek perumahan. Kita sebagai penggunanya memiliki rumah. Di dalam perumahan itu sudah dibangun juga tempat untuk warganya membuka usaha. Ternyata laku. Warganya berbondong-bondong buka usaha sampai tempat usaha itu tidak bisa lagi menampung. Maka mereka menggunakan trotoar, taman bermain, lapangan sepak bola, sampai tempat ibadah untuk berjualan. Akibatnya mengganggu warga yang memang tidak punya usaha. Membuat risih mereka yang memang hanya ingin tiap sore duduk tenang sambil minum teh dan baca Koran sementara istrinya duduk di sebelahnya sambil merajut syal bertuliskan kalimat cinta. Begitu.

Lalu apa solusinya? Untuk media sosialnya sendiri saya tidak punya saran apa-apa. Tapi sedigdaya-digdayanya pasar, suatu saat akan jenuh juga. Bisa dilihat secara kasat mata kok. Sebuah produk menghire buzzer untuk mengiklankan. Followers buzzer juga buzzer, begitu seterusnya. Kecuali buzzer-buzzer ini punya followers yang bukan buzzer, cepat atau lambat mengiklan lewat buzzer akan kehilangan efektifitasnya. Yang mosok jualan ke penjual? Pemilik modal akan sadar. Ini belum faktor lain seperti pengguna yang beralih ke sosmed lain.

Kalau solusi untuk saya sendiri , saya punya. Saya tidak bisa marah jika linimasa saya penuh dengan jualan, atau kegiatan komersil. Sebel mungin. Tapi ya sudahlah, masing-masing kita punya tempat minumnya sendiri. Untuk meminimalisir kesebelan itu, saya mencoba untuk mencari ‘tongkrongan’ baru yang awam soal sosial media, blog, atau bahkan buzzering. Dan its works! Menyenangkan rasanya melihat kembali twit receh jaman dulu, yang pacaran di timeline, galau-galauan, bahkan saya senang jika ada yang hanya ngetwit, “otw kantor…”, damn, so old school but I’m glad! pokoknya apa pun yang tidak menggangu waktu minum teh saya di sosial media tanpa harus unfollow akun-akun buzzer.

Dan terakhir. Saya menulis ini dari sudut pandang seorang pengguna sosmed dengan pengikut tidak seberapa. Pengalaman komersil saya juga hanya dari beberapa content placement saya di blog. Fenomena buzzer sekarang saya anggap konsekuensi saya masuk ke dunia blogging, dan aktif di sosial media. Saya cinta blogging, saya senang menulis. Semuanya kembali ke sebuah kalimat dari Sudjiwo Tedjo. Jalani apa yang kamu suka sepenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Dengan begitu, kamu akan jadi yang terbaik di bidangmu. Ingat, uang hanya akan mencari mereka yang terbaik di bidangnya.


Share: