Sebetulnya pendakian ke Gunung Sumbing ini sudah lumayan lama. Awal tahun ini kalau tidak salah. Entah apa yang membuat saya malas untuk menuliskannya. Padahal pengalaman ke sana sangat jauh dari kata biasa saja.
Saya dan ketiga teman saya memutuskan mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik. Jalur ini memang belum seterkenal jalur lain, lewat Garung misalnya. Untuk ke Kaliangkrik, dari Jakarta saya harus naik bus malam jurusan Wonosobo seharga sembilan puluh ribu Rupiah. Kemudian menyambung dengan mikrobus jurusan Magelang, ongkosnya sekitar dua puluh ribu.
Ini serunya mendaki Gunung Sumbing lewat Kaliangkrik, di mana mobilitas dari satu angkutan ke angkutan lainnya lumayan banyak. Walaupun nampaknya ribet, tapi tidak sulit dicari armada yang mengangkut kita dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan sepanjang perjalanan Wonosobo-Magelang pun membuat saya rela untuk menahan kantuk, karena selalu ‘dikawal’ oleh siluet Gunung Sindoro dan lautan awan tipis. Jalurnya memang sudah berada di dataran yang lumayan tinggi.
Dari Terminal Magelang, perjalanan menuju basecamp masih sangat jauh. Karena lagi-lagi mesti ganti moda ke bus yang lebih kecil menuju pasar di bawah Dusun Butuh, biayanya lima belas ribu Rupiah. Kalau perbekalan belum lengkap, saran saya beli lah di pasar ini. Karena di sini tempat terakhir untuk membeli logistik. Lalu untuk menuju basecamp di Dusun Butuh, harus menggunakan ojek sebagai sarana transportasi satu-satunya. Harganya dua pulu lima ribu. Mahal. Saya nyaris saja mengeluh soal harga itu, tapi begitu merasakan sendiri bagaiama medan jalan yang dilalui, harga segitu sangat wajar dimahfumi.
Sepanjang jalur ojek, saya dan abang ojek dengan romantisnya melewati kebun-kebun kol, cabe, dan sayuran sejauh mata memandang. Kabut tipis terkadang membuat si abang melambatkan motornya karena jarak pandang yang menipis. Kami sudah semakin tinggi. Dan saya merasa jauh mundur dalam aliran waktu. Ibu-ibu petani memanggul sayur-sayuran dalam karung, berjalan bertelanjang kaki, tetapi dengan senyum yang tak pernah pudar sewaktu berpapasan dengan saya. Menyapa dengan Bahasa Jawa yang saya tidak mengerti.
Dusun Butuh adalah desa tercantik di Jawa yang pernah saya temui. Desa ini dibangun di atas bukit, degan gang-gang sempit sebagai akses jalan. Dari bawah desa ini terlihat warna-warni dengan tembok-tembok kotak yang tersusun. Mirip dengan desa-desa di Tibet yang saya lihat di majaah natgeo. Sayang abang ojeknya tidak mau berhenti sebentar untuk foto-foto karena dia tidak mau kehilangan momentum tenaga motornya. Dari basecamp Dusun Butuh ini pendakian ke Gunung Sumbing dimulai. Simaksi dan perijinan diurus di sini. Penjaganya ramah sekali, jadi feel free saja kalau memerlukan pertolongan.
Saya dan ketiga teman saya memutuskan mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik. Jalur ini memang belum seterkenal jalur lain, lewat Garung misalnya. Untuk ke Kaliangkrik, dari Jakarta saya harus naik bus malam jurusan Wonosobo seharga sembilan puluh ribu Rupiah. Kemudian menyambung dengan mikrobus jurusan Magelang, ongkosnya sekitar dua puluh ribu.
Ini serunya mendaki Gunung Sumbing lewat Kaliangkrik, di mana mobilitas dari satu angkutan ke angkutan lainnya lumayan banyak. Walaupun nampaknya ribet, tapi tidak sulit dicari armada yang mengangkut kita dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan sepanjang perjalanan Wonosobo-Magelang pun membuat saya rela untuk menahan kantuk, karena selalu ‘dikawal’ oleh siluet Gunung Sindoro dan lautan awan tipis. Jalurnya memang sudah berada di dataran yang lumayan tinggi.
Dari Terminal Magelang, perjalanan menuju basecamp masih sangat jauh. Karena lagi-lagi mesti ganti moda ke bus yang lebih kecil menuju pasar di bawah Dusun Butuh, biayanya lima belas ribu Rupiah. Kalau perbekalan belum lengkap, saran saya beli lah di pasar ini. Karena di sini tempat terakhir untuk membeli logistik. Lalu untuk menuju basecamp di Dusun Butuh, harus menggunakan ojek sebagai sarana transportasi satu-satunya. Harganya dua pulu lima ribu. Mahal. Saya nyaris saja mengeluh soal harga itu, tapi begitu merasakan sendiri bagaiama medan jalan yang dilalui, harga segitu sangat wajar dimahfumi.
Sepanjang jalur ojek, saya dan abang ojek dengan romantisnya melewati kebun-kebun kol, cabe, dan sayuran sejauh mata memandang. Kabut tipis terkadang membuat si abang melambatkan motornya karena jarak pandang yang menipis. Kami sudah semakin tinggi. Dan saya merasa jauh mundur dalam aliran waktu. Ibu-ibu petani memanggul sayur-sayuran dalam karung, berjalan bertelanjang kaki, tetapi dengan senyum yang tak pernah pudar sewaktu berpapasan dengan saya. Menyapa dengan Bahasa Jawa yang saya tidak mengerti.
Dusun Butuh adalah desa tercantik di Jawa yang pernah saya temui. Desa ini dibangun di atas bukit, degan gang-gang sempit sebagai akses jalan. Dari bawah desa ini terlihat warna-warni dengan tembok-tembok kotak yang tersusun. Mirip dengan desa-desa di Tibet yang saya lihat di majaah natgeo. Sayang abang ojeknya tidak mau berhenti sebentar untuk foto-foto karena dia tidak mau kehilangan momentum tenaga motornya. Dari basecamp Dusun Butuh ini pendakian ke Gunung Sumbing dimulai. Simaksi dan perijinan diurus di sini. Penjaganya ramah sekali, jadi feel free saja kalau memerlukan pertolongan.
Dusun Butuh yang seperti Larung Gar di Tibet. Saya belum pernah ke Tibet, by the way |
Dari Dusun Butuh ini jalur pendakiannya ‘tidak kenal ampun’. Tidak saya temui jalur mendatar, apalagi menurun. Untamanya dari pos 1 sampai pos 3. Menurut penjaga basecamp, jika melakukan pendakian lewat jalur ini, spot yang pas untuk mendirikan tenda adalah di pos 3. Di sana ada tanah datar, dan sungai kecil. Beruntung waktu itu saya dan teman-teman jalan sore hari menjelang malam, jadi medan yang mendaki itu tidak terlihat mata. Kami hanya tahu naik, maju, naik, maju, naik, maju. Itu saja.
Butuh waktu 6 jam lebih untuk kami sampai di pos 3. Harus hati-hati dari pos 2 karena jalur pendakian Gunung Sumbing ini penuh dengan semak dan melewati beberapa anak sungai dengan batu-batu besar licin. Di kanannya langsung jurang. Lagi lewat sini lalu kepikiran hutang bakwan di warung, wassalam. Konsentrasi mutlak dibutuhkan.
Butuh waktu 6 jam lebih untuk kami sampai di pos 3. Harus hati-hati dari pos 2 karena jalur pendakian Gunung Sumbing ini penuh dengan semak dan melewati beberapa anak sungai dengan batu-batu besar licin. Di kanannya langsung jurang. Lagi lewat sini lalu kepikiran hutang bakwan di warung, wassalam. Konsentrasi mutlak dibutuhkan.
Campsite di pos 3 Gunung Sumbing via Kaliangkrik |
Bagian terbaik mendaki Gunung Sumbing lewat jalur Kaliangkrik dan mendirikan tenda di pos 3 adalah ketika matahari terbit. Kegelapan sempurna tadi malam ketika kami mendirikan tenda perlahan lenyap. Berganti fajar jingga di timur. Bulat sempurna di antara agungnya Merapi, dan pesona abadi Merbabu. Suara aliran sungai kecil tepat di samping tenda kami menjadi musik latar kami pagi itu. Teh menjadi lebih nikmat, dan kopi menjadi lebih beraroma.
Sunrise di pos 3. Sudah boleh berpuisi menenun rindu, memanen cinta, belum? |
Pagi harinya, perjalanan menuju puncak. Sesungguhnya perjalanan baru dimulai dari sini. Saya kira berjalan dari pos 1 sampai pos 3 itu sudah mencakup sebagian besar perjalanan, dan ke puncak tinggal sisa perjalanan saja. Tapia pa daya medan pendakian berkata lain. Anak-anak sungai masih sedikit menemani pendakian, namun elevasi tanah semakin curam. Titik 3.371 meter yang menaji puncak Gunung Sumbing sudah terlihat. Meski begitu kami harus mengitari beberapa bukit dengan pemandangan savanna berundak-undak dan awan yang sesekali timbul tenggelam.
Hati-hati |
Konsentrasi |
Pos 4 berupa tanah datar dengan sebatang pohon rindang yang meneduhkan. Kalau tenaga kuat dan memungkinkan, atau ingin lebih santai saat summit, lebih baik medirikan tenda di sini. Berjalan dari pagi, pendakian Gunung Sumbing kami sampai puncak tepat jam lima sore. Ditemani gerimis tipis.
Di sekitar puncak, tumbuh koloni bunga edelweiss. Jika sudah terlihat Sangsaka Merah Putih, maka itu lah titik 3.371 mdpl. Puncak tertinggi di Gunung Sumbing. Dari puncak terlihat Gunung Sindoro, kembaran dari Gunung Sumbing. Di salah satu sisi puncaknya, terdapat jurang yang langsung mengarah ke padang rumput dan kawah aktif. Jika langit sedang bersih dan cuaca tidak mendung, akan terlihat siluet Gunung Slamet.
Di sekitar puncak, tumbuh koloni bunga edelweiss. Jika sudah terlihat Sangsaka Merah Putih, maka itu lah titik 3.371 mdpl. Puncak tertinggi di Gunung Sumbing. Dari puncak terlihat Gunung Sindoro, kembaran dari Gunung Sumbing. Di salah satu sisi puncaknya, terdapat jurang yang langsung mengarah ke padang rumput dan kawah aktif. Jika langit sedang bersih dan cuaca tidak mendung, akan terlihat siluet Gunung Slamet.
Kabut yang turun pelan-pelan di puncak Sumbing |
Puncak adalah bonus, yang penting senang, bahagia, dan rekening baik-baik saja |
Sangat disayangkan karena kami kesorean sampai di puncak. Tidak banyak waktu untuk sekedar menikmati kopi. Kami pun turun. Dan sepakat melaui jalur yang berbeda. Yaitu jalur Banaran. Pendakian turun dari Gunung Sumbing ini pun tidak kalah seru. Akan saya ceritakan di blogpost selanjutnya. Tunggulah jika berkenan.
sunrisenya keren sekali, perubahan warna yang bikin amazing
ReplyDeleteKirain bibir doang sumbing. Ternyata gunung ada juga yang sumbing.
ReplyDeleteEniwei, foto2nya keren mas. Sunsetnya bikin ngiler... weh!