Belakangan saya menemukan pola unik di linimasa media sosial, terutama Twitter. Saya sangat suka platform medsos satu ini, jadi kalau dipresentasikan perharinya, 80% aktifitas smartphone saya adalah memantau aplikasi berlambang burung biru tersebut. Kembali ke pola tadi, bagaimana polanya? Begini:
- Pagi-pagi akan dipenuhi keluhan jalanan macet, ucapan selamat pagi, dan RT-an motivasi dari beberapa akun.
- Pagi menjelang siang hingga sore menjelang malam , tweet iklan dengan tagar.
- Malam, tweet santai, lucu, galau, dan kalau akhir pekan banyak becandaan soal sepak bola.
Nah, poin nomor dua itu memiliki durasi paling lama. Saya memiliki 24 jam untuk memantau linimasa, maka 16 jamnya saya saya ‘dipaksa’ untuk melihat tagar dan iklan yang sama. Dari buzzer yang sama. Dengan pola kalimat yang kelihatan sudah tertemplate. Berbeda akun, tapi muatan kontennya sama. Jenuh? Pasti. Tindakan preventif pertama saya adalah menggunakan fitur mute. Namun, selalu saja ada tagar baru. Hingga saya ada berada di satu titik, “Udah ah biarin aja. Buka Twitter entar aja maleman dikit.”
Apakah salah tagar-tagar yang ‘memaksa’ untuk jadi trending tersebut? Tentu tidak. Jelas tidak ada yang ‘salah’ jika alasannya adalah ekonomi. Biar bagaimanapun terciptanya media sosial adalah bagian dari sebab akibat perilaku pasar, brand, produk, atau bahkan personal (biasanya digunakan untuk pencitraan). Kita sebut saja mereka pemilik modal. Nah pemilik modal perlu media promosi yang efektif, dan tentu saja low cost. Efektif? Jelas. Ekonom sekelas Adam Smith pun mungkin tidak akan menyangka impact motif ekonomi yang beliau gaungkan akan berdampak begitu besar ketika internet ada untuk marketing. Pendeknya, pemilik modal butuh promosi murah dengan jangkauan luas dengan tools yang juga mudah didapat tanpa harus ada ikatan secara legal yang ribet dan jangka panjang. Tools itu lah yang sekarang saya kenal dengan buzzer (konteks di twitter). Pemilik modal punya uang, buzzer butuh uang. Klop. Tidak ada yang salah. Ada gula ada semut. Ada demand ada supply.
Saya tidak bisa menggambarkan secara persis masalahnya di mana. Tapi saya punya analogi. Anggap saja Twitter (atau apa pun sosial medianya) adalah sebuah komplek perumahan. Kita sebagai penggunanya memiliki rumah. Di dalam perumahan itu sudah dibangun juga tempat untuk warganya membuka usaha. Ternyata laku. Warganya berbondong-bondong buka usaha sampai tempat usaha itu tidak bisa lagi menampung. Maka mereka menggunakan trotoar, taman bermain, lapangan sepak bola, sampai tempat ibadah untuk berjualan. Akibatnya mengganggu warga yang memang tidak punya usaha. Membuat risih mereka yang memang hanya ingin tiap sore duduk tenang sambil minum teh dan baca Koran sementara istrinya duduk di sebelahnya sambil merajut syal bertuliskan kalimat cinta. Begitu.
Lalu apa solusinya? Untuk media sosialnya sendiri saya tidak punya saran apa-apa. Tapi sedigdaya-digdayanya pasar, suatu saat akan jenuh juga. Bisa dilihat secara kasat mata kok. Sebuah produk menghire buzzer untuk mengiklankan. Followers buzzer juga buzzer, begitu seterusnya. Kecuali buzzer-buzzer ini punya followers yang bukan buzzer, cepat atau lambat mengiklan lewat buzzer akan kehilangan efektifitasnya. Yang mosok jualan ke penjual? Pemilik modal akan sadar. Ini belum faktor lain seperti pengguna yang beralih ke sosmed lain.
Kalau solusi untuk saya sendiri , saya punya. Saya tidak bisa marah jika linimasa saya penuh dengan jualan, atau kegiatan komersil. Sebel mungin. Tapi ya sudahlah, masing-masing kita punya tempat minumnya sendiri. Untuk meminimalisir kesebelan itu, saya mencoba untuk mencari ‘tongkrongan’ baru yang awam soal sosial media, blog, atau bahkan buzzering. Dan its works! Menyenangkan rasanya melihat kembali twit receh jaman dulu, yang pacaran di timeline, galau-galauan, bahkan saya senang jika ada yang hanya ngetwit, “otw kantor…”, damn, so old school but I’m glad! pokoknya apa pun yang tidak menggangu waktu minum teh saya di sosial media tanpa harus unfollow akun-akun buzzer.
Dan terakhir. Saya menulis ini dari sudut pandang seorang pengguna sosmed dengan pengikut tidak seberapa. Pengalaman komersil saya juga hanya dari beberapa content placement saya di blog. Fenomena buzzer sekarang saya anggap konsekuensi saya masuk ke dunia blogging, dan aktif di sosial media. Saya cinta blogging, saya senang menulis. Semuanya kembali ke sebuah kalimat dari Sudjiwo Tedjo. Jalani apa yang kamu suka sepenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Dengan begitu, kamu akan jadi yang terbaik di bidangmu. Ingat, uang hanya akan mencari mereka yang terbaik di bidangnya.
- Pagi-pagi akan dipenuhi keluhan jalanan macet, ucapan selamat pagi, dan RT-an motivasi dari beberapa akun.
- Pagi menjelang siang hingga sore menjelang malam , tweet iklan dengan tagar.
- Malam, tweet santai, lucu, galau, dan kalau akhir pekan banyak becandaan soal sepak bola.
Nah, poin nomor dua itu memiliki durasi paling lama. Saya memiliki 24 jam untuk memantau linimasa, maka 16 jamnya saya saya ‘dipaksa’ untuk melihat tagar dan iklan yang sama. Dari buzzer yang sama. Dengan pola kalimat yang kelihatan sudah tertemplate. Berbeda akun, tapi muatan kontennya sama. Jenuh? Pasti. Tindakan preventif pertama saya adalah menggunakan fitur mute. Namun, selalu saja ada tagar baru. Hingga saya ada berada di satu titik, “Udah ah biarin aja. Buka Twitter entar aja maleman dikit.”
Apakah salah tagar-tagar yang ‘memaksa’ untuk jadi trending tersebut? Tentu tidak. Jelas tidak ada yang ‘salah’ jika alasannya adalah ekonomi. Biar bagaimanapun terciptanya media sosial adalah bagian dari sebab akibat perilaku pasar, brand, produk, atau bahkan personal (biasanya digunakan untuk pencitraan). Kita sebut saja mereka pemilik modal. Nah pemilik modal perlu media promosi yang efektif, dan tentu saja low cost. Efektif? Jelas. Ekonom sekelas Adam Smith pun mungkin tidak akan menyangka impact motif ekonomi yang beliau gaungkan akan berdampak begitu besar ketika internet ada untuk marketing. Pendeknya, pemilik modal butuh promosi murah dengan jangkauan luas dengan tools yang juga mudah didapat tanpa harus ada ikatan secara legal yang ribet dan jangka panjang. Tools itu lah yang sekarang saya kenal dengan buzzer (konteks di twitter). Pemilik modal punya uang, buzzer butuh uang. Klop. Tidak ada yang salah. Ada gula ada semut. Ada demand ada supply.
Saya tidak bisa menggambarkan secara persis masalahnya di mana. Tapi saya punya analogi. Anggap saja Twitter (atau apa pun sosial medianya) adalah sebuah komplek perumahan. Kita sebagai penggunanya memiliki rumah. Di dalam perumahan itu sudah dibangun juga tempat untuk warganya membuka usaha. Ternyata laku. Warganya berbondong-bondong buka usaha sampai tempat usaha itu tidak bisa lagi menampung. Maka mereka menggunakan trotoar, taman bermain, lapangan sepak bola, sampai tempat ibadah untuk berjualan. Akibatnya mengganggu warga yang memang tidak punya usaha. Membuat risih mereka yang memang hanya ingin tiap sore duduk tenang sambil minum teh dan baca Koran sementara istrinya duduk di sebelahnya sambil merajut syal bertuliskan kalimat cinta. Begitu.
Lalu apa solusinya? Untuk media sosialnya sendiri saya tidak punya saran apa-apa. Tapi sedigdaya-digdayanya pasar, suatu saat akan jenuh juga. Bisa dilihat secara kasat mata kok. Sebuah produk menghire buzzer untuk mengiklankan. Followers buzzer juga buzzer, begitu seterusnya. Kecuali buzzer-buzzer ini punya followers yang bukan buzzer, cepat atau lambat mengiklan lewat buzzer akan kehilangan efektifitasnya. Yang mosok jualan ke penjual? Pemilik modal akan sadar. Ini belum faktor lain seperti pengguna yang beralih ke sosmed lain.
Kalau solusi untuk saya sendiri , saya punya. Saya tidak bisa marah jika linimasa saya penuh dengan jualan, atau kegiatan komersil. Sebel mungin. Tapi ya sudahlah, masing-masing kita punya tempat minumnya sendiri. Untuk meminimalisir kesebelan itu, saya mencoba untuk mencari ‘tongkrongan’ baru yang awam soal sosial media, blog, atau bahkan buzzering. Dan its works! Menyenangkan rasanya melihat kembali twit receh jaman dulu, yang pacaran di timeline, galau-galauan, bahkan saya senang jika ada yang hanya ngetwit, “otw kantor…”, damn, so old school but I’m glad! pokoknya apa pun yang tidak menggangu waktu minum teh saya di sosial media tanpa harus unfollow akun-akun buzzer.
Dan terakhir. Saya menulis ini dari sudut pandang seorang pengguna sosmed dengan pengikut tidak seberapa. Pengalaman komersil saya juga hanya dari beberapa content placement saya di blog. Fenomena buzzer sekarang saya anggap konsekuensi saya masuk ke dunia blogging, dan aktif di sosial media. Saya cinta blogging, saya senang menulis. Semuanya kembali ke sebuah kalimat dari Sudjiwo Tedjo. Jalani apa yang kamu suka sepenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Dengan begitu, kamu akan jadi yang terbaik di bidangmu. Ingat, uang hanya akan mencari mereka yang terbaik di bidangnya.
Jualan ke penjual. Aku baru ngeh. Iya juga ya. Analogi yang bagus!
ReplyDeleteAku jadi mikir buat bener-bener balik ke masa-masa dulu sebelum dunia blog jadi sehingar-bingar sekarang. Tapi, ya, butuh pegangan lain dulu sih hahaha. Bismillah aja dulu, ya.
Terima kasih tulisannya, Om Yos.
Terima kasih kembali, Tiwi =)
DeleteEnggak coba pacaran di timeline juga Mas?
ReplyDeleteCih...
DeleteKalo gue, kangen #FollowFriday di Twitter. Bukan hanya dapat followers baru, tapi dapat teman baru, kenalan baru. Wkwkw..
ReplyDeleteAdain lagi, atuh, Ky.
DeleteJadi kamu nongkrongnya di mana sekarang? Ikutan dong!
ReplyDeleteBtw gue pernah lho diketawain beberapa kali pas ngomong suka melakukan sesuatu meski gak ada duitnya.
Nah iya. Mereka ndak tau aja kita senengnya ngelebihin kalo cuma 'sekadar' dapet uang doang
DeleteHehehe. Bang yos. Sungguh bagus tulisannya. Apik. Ku dapat kosakata baru juga. Hehehe.
ReplyDeleteIntinya ku kangen linimasa di mana nggak melulu mereka jualan. Dan skrg pun bena udah nggak ngemute lagi itu tagar2 karena lebih memilih "enggak buka twitter dulu deh."
Thank you Bena...
DeleteIya Ben. Aku juga sampe pernah cuma buka Twitter jam delapan malam ke atas. Biasanya jam segitu udah asyik lagi.
Aku sih bukan penggemar twitter, nggak bisa berlama-lama baca pesan2 pendek yg bagiku seperti sampah. Hmmmm
ReplyDeleteTapi aku juga ngebuzzer siih
Hahahahaha aku juga nyampahb
Nyampah dengan para penyampah sih, hehehehe
Aku juga suka blog yang dulu
Yang masih jarang banget konten berbayar
Yang gak perlu repot2 ngurusin DA PA
Hmmmm
Kalau untuk postingan berbayar di blog sih masih mending. Karena blog itu kan optional, kalau ndak suka ya kita tidak perlu klik. Kalo udah di twitter itu loh, dimute pun gugur satu tumbuh seribu =)))
Deletejadi keseharian bersama si burung biru itu terus ya mas? tidak bersama orang lain yang siap menemani kemana saja dan kapan saja. Jangan main burung biru terus mas bahaya
ReplyDeleteIya.
DeleteIya aja dulu biar cepet.
Baru buka twitterlagi, dan bingung mau ngapain padshal dulu seneng banget berada di situ.
ReplyDeleteHadeuh, kalau blog aku udah nggak jelas arah tujuannya, apalagi banuak iklan tulisan yang semakin membuat blog aku tidsk memikili tujuan.
Duh, ayo dong Mbak tetep ngeblog. Tulisan yang tidak memiliki tujuan lebih baik daripada tulisan yang tidak ada.
Deleteaku dari dulu memang jarang main twitter. dan biasanya twitteran cuma kalau ada kewajiban live tweet doang pas diundang acara a.k.a nyampah huhuhuuu,,, kalau blog mah berhubung emang akunya blogger labil jadi ya kadang kebanyakan ngiklan, kadang tulisan galau :D
ReplyDeleteTetep semangat ngeblog Mbak yang penting =)
Deletetagar itu faktor kecil tapi berpengaruh besar thd pesan di linimasa twitter.
ReplyDeleteAku pemain baru, Bang..
ReplyDeleteJadi aku belum bisa membaca situasi.
Aku dengan polosnya merasa bahwa para buzzer itu benar-benar mengalami apa yang mereka rasakan tanpa dibayar.
Duuh...
Tapi aku jarang banget berinteraksi di tweeter kecuali abis nonton Drama Korea dan pingin tau cuitan-cuitan aktor/aktris Korea kesukaan..hahha...trus tinggal RT.
**jarang dapat job untuk nge tweet ((poor me!))
Nggak pernah dapet job ngetweet? HAHAHAHAHAHAHA...
DeleteSama
Iya sih, promosi di Twitter bs dibilang lbh murah drpd ngiklan di TV, dan mereka ngejar Trending Topic nya. Jd ketika si hashtag uda muncul di TT, org2 lain mungkin bakal penasaran dan ngeklik si hashtag yg muncul di TT.
ReplyDeleteBener ga ya? :D
Aku juga suka dengan kalimat itu mbak. Jalani yg kamu suka dengan penenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Niscaya akan jadi yg terbaik di bidangmu
ReplyDeleteEntah apakah aku saja yang masih senang buka Twitter dan masih nyaman? Meski terkadang cukup risih jg dgn yg namanya buzzer. Yeah, they need this to get money or stuff like that. Tapi, aku pribadi prefer ke yaa.. this is social media and i want to have fun with it. Jangan terlalu serius banget lah ya.
ReplyDeleteHihihi dulu sy suka menggalau di Twitter
ReplyDeleteAtau bikin status yg ga mungkin di FB
Atau nyinyiran sesuatu hahaha
Sekarang Twitter mmg ga spt dulu lg
Oooh... gitu to. Jujur saya jarang buka twitter. Palingan tuk share otomatis. kadang share setelah posting. Saat itu sambil nambah2 follower. Selain itu... tak ada. belum tahu bagusnya.
ReplyDeleteOk mulai sekarang coba saya amati
Setuju.
ReplyDeleteTwitter perlu menyediakan dua tab. Satu untuk buzzing, satu untuk normal. Eh, tiga. Satunya lagi untuk sharelink. Eh, empat. Satunya lagi untuk twitwor. Eh, lima. Satunya lagi untuk retwitan Fandy. Nah itu baru twitter ideal menurutku.
Kalau saya kadang ngetwit ttg postingan blog saya. Tapi emang suka ngebuzzer jg sih. Saya usahakan imbang lha, antara ngebuzzer, curhat, dan promo postingan baik share link atau kultwit gtu TFS
ReplyDeleteUang hanya mencari orang yg terbaik di bidangnya --> agree!!
ReplyDeleteYuk, kita sama2 belajar untuk menjadi yg terbaik di bidang apapun yg kita sukai. :)
Jaman berubah, cara memasarkan produk juga berubah.
ReplyDeleteTulisannya mencerahkan mas, terima kasih sudah berbagi. Buatku, kalau suka follow, gak suka ya silakan unfoll. Bebas2 aja kok.
Uang hanya mencari orang2 yg terbaik di bidangnya? Setujuuj
Semuanya kembali ke sebuah kalimat dari Sudjiwo Tedjo. Jalani apa yang kamu suka sepenuh hati, walaupun tidak ada uangnya. Dengan begitu, kamu akan jadi yang terbaik di bidangmu. Ingat, uang hanya akan mencari mereka yang terbaik di bidangnya. ini sangat menginspiratif kalimatnya buat saya.
ReplyDeleteCakep. Tapi memang, dimana ada keramaian disitu ada promosi dan penjualan. Itu basic banget. Kalau ditwitter sudah ga ramai, nanti penjual pada pindah ke lapak sebelah. Saya sendiri dengan 4000an follower saja sering liat2 follower berkurang ga yaa dr ngetwit brand trus tiap hari (sedang kontrak wkwkwk) tapi alhamdulillah ga banyak turun. Tapi bisa jadi followers gw sdh ga twiteran lagi #nah hehe..
ReplyDeleteWajar sih ya kalau linimasa buzzer sekua, wong rata2 bloger ngikutin bloger lain.
ReplyDeletetapi, sekarang ini emang jaman udah agak berubah, linimasa gak kayak dulu lagi. ehehe.
mungkin dengan banyaknya tulisan seperti ini, lama2 'mereka2' sadar. amin. huahua.
uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang
ReplyDelete