Friday, 23 November 2018

Pantai, Tiket Pesawat, dan Hotel Dalam Satu Paket

 Pantai. Laut. Ombak. Aroma asin. Terumbu karang. Ikan multiwarna. Matahari terbit, dan tenggelam. Siapa tidak sayang dan rindu perpaduan alam sebegitu membuainya?

Namun dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh beberapa waktu lalu, setidaknya ada dua peristiwa viral di jejaring sosial media yang membuat siapa pun pecinta suasana laut dan seisinya akan bersedih. Yang pertama ketika Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Ibu Susi Pudjiastuti, dalam akun Twitternya mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik karena bisa termakan oleh penyu. Lalu yang kedua, adalah berita kematian seekor paus sperma dan ditemukan berkilo-kilo sampah di perutnya. 



Sedih dan pedih tentu saja. Semoga tidak ada lagi yang membuang sampah sembarangan ke laut. Indonesia memiliki aris pantai amat panjang dan terlalu indah untuk dirusak oleh sampah. Kita masyarakat Indonesia telah ditakdirkan untuk menjadikan laut sebagai salah satu penopang utama kehidupan. Untuk perekonomian bagi para nelayan, jalur pendistribusian logistik, memproduksi garam, dan sebagai penyimpan minyak bumi terbesar.

Baiklah, jika memang contoh di atas terlalu makro, mari diperkecil skalanya. Bagi diri saya sendiri. Bagi saya pantai dan laut sangat vital fungsinya bagi pariwisata. Pantai adalah tempat paling general yang dipilih orang untuk tempat berlibur. Setiap akhir pekan tiba, ada saja status sosial media teman-teman yang bilang kangen pantai, atau kebelet snorkeling. Yang anak indie akan bergumam rindu secangkir kopi sambil merelakan mentari terbenam. Lalu anak milenial gaul akan bertutur need a vitamin sea!
Sebegitu pentingnya pantai bagi saya dan teman-teman saya sebagai tempat melepas penat. Semoga saja isu sampah ini tidak meluas ke wilayah Indonesia lainnya. Karena saya sudah berencana untuk berlibur ke Karimunjawa. Akhir tahun ini ada libur Natal, dan sisa cuti saya beberapa hari yang saya sungguh merasa berdosa jika tidak menggunakannya. Walaupun banyak libur, saya mau waktu saya di Karimunjawa lebih lama dan efektif. Supaya lebih puas menginap di homestay terapungnya, dan punya banyak waktu untuk melihat penangkaran hiu

Jadi saya merancang perjalanan saya tidak dengan lewat darat dengan kereta atau bus jurusan Semarang atau Jepara. Namun, melaui udara dengan pesawat. Jadilah saya berburu tiket pesawat. Perjalanan dengan pesawat ke Karimunjawa tidak bisa langsung ternyata, hanya pesawat perintis yang bisa mengudara dari, dan ke Bandara Dewadaru. Jadi harus transit dulu di Semarang. Jadi sibuk buka-tutup beberapa laman web dan aplikasi di smartphone saya.

Sedang asyik-asyiknya hunting tiket, saya terdistrak oleh tempat menginap di Karimunjawa. Akhir tahun adalah peak season, jadi kemungkinan akan full booked. Haduh, pekerjaan hunting-hunting akomodasi ini cukup pelik ternyata. Ya sudah, daripada saya buka satu persatu web untuk perbandingan, saya buka aplikasi Traveloka saja. Dan beruntungnya saya karena di aplikasi ini ada fitur yang mengakomodir saya untuk pesan tiket pesawat plus hotel/penginapan sekaligus.

Begitu masuk aplikasi, ada beberapa konsol digital yang cukup user friendly. Pilih tombol bergambar pesawat+bangunan bertingkat, maka saya tinggal memilih kapan waktu berangkat, waktu pulang, tanggal check in, serta tanggal check out. Itu semua bisa dilakukan dalam satu layar dan klik kurang dari lima kali. Sungguh penghematan waktu yang cukup signifikan. Sangat membantu sekali layanan booking tiket dan hotel dalam satu paket ini. Nanti setelah itu akan ditampilkan sejumlah pilihan maskapai, dan hotel sesuai kebutuhan dan budget.
Tuh, langsung ada pilihan detail inap untuk pesan hotel
Tinggal pilih sesuai kebutuhan, deh

Dan yang namanya satu paket, harganya juga tentu lebih murah daripada kalau beli satu-satu secara ‘ketengan’. Jika dihitung secara detail, kalau pesan paket pesawat + hotel ini bisa hemat hingga 20% tanpa kode promo apa pun. Pengehematan sangat lumayan, bisa ditabung untuk jajan ikan bakar di pinggir pantai nanti. Saya pernah menulis beberapa tips hemat untuk traveling, dan paket tiket pesawat+hotel ini layak masuk dalam list tips tersebut. Metode pembayarannya pun beragam. Debet rekening? Bisa. Kartu kredit? Selama limitnya masih ada, moggo! Pakai cash lalu bayar ke minimarket? Siapa takut! Pakai duit temen dulu nanti diganti? Wah, ini twit saya yang viral tempo hari, di retweet oleh 26.700an netizen (coba follow @kening_lebar). Oke, yang terakhir tidak penting. Dengan layanan beserta benefitnya tersebut, saya bisa bikin paket tour Karimunjawa sendiri tanpa travel agent. Sok atuh dicoba!

Pantai memang selalu memanggil siapa saja yang pernah mengunjunginya untuk kembali. Tak peduli siapa pun, dan di belahan dunia mana pun. Keanekaragaman hayatinya yang hanya bisa disaingi oleh hutan tropis terlalu berharga untuk dirusak oleh sampah dan polutan lainnya. Semoga tidak ada lagi makhluk laut yang hidupnya berakhir dengan lambung penuh plastik. Mari membuang sampah pada tempatnya, supaya liburan ke pantainya makin asyik! Selamat berlibur, dari saya si pecinta penyu, penyanyang paus, penyuka lumba-lumba, pengagum hiu, dan pendamping Mikha Tambayong! =)
Share:

Monday, 5 November 2018

Mendaki Gunung Papandayan, Dulu dan Sekarang


Tahun 2012

Cuaca sudah mendung ketika saya sampai di pasar Cisurupan, Garut, gerbang masuk ke kawasan pendakian Gunung Papandayan. Saya dan ketiga teman sependakian bergegas cari mobil untuk naik ke basecamp untuk mulai mendaki Gunung Papandayan. Tidak banyak pilihan transport untuk naik ke basecamp. Ikut mobil sayur dengan biaya Rp. 20.000 per orang, atau naik ojek dengan harga yang sama. Demi kenyamanan, kami memutuskan untuk naik mobil pengangkut sayur berbentuk kendaraan bak terbuka. Ternyata tidak senyaman perkiraan, sih. jalan yang berliku dan rusak membuat kami jadi waspada mencari pegangan sambil menahan tas keril supaya tidak jatuh. Niat untuk bersantai di bak mobil setelah perjalanan dari tengah malam hingga pagi Jakarta-Garut, musnah sudah. Ketimbang santai-santai, kami lebih memilih menjaga supaya tas tidak jatuh atau badan yang terlempar dari mobil.

Sampai di basecamp, yang belakangan saya ketahui bernama Camp David, kami disambut sebuah gapura tanpa plang tulisan apa-apa, kayu-kayu atapnya terlihat rapuh dan mengesankan bisa roboh sewaktu-waktu. Setelah itu ada tempat parkir sangat luas dengan deretan warung-warung berbentuk gubuk yang berdiri seadanya. Pelataran luas itu pun nasibnya tidak jauh berbeda dari jalan yang kami lalui tadi, rusak dan berbatu.

Gerimis turun ketika kami membayar biaya pendakian yang dipatok seikhlasnya. Selama pendakian hujan deras menyejukkan perjalanan. Butuh waktu tiga jam bagi saya untuk sampai di Pondok Salada, campsite tujuan. Sebuah padang edelweiss luas dan hutan-hutan kecil pohon daun pucuk merah. Terhitung hanya ada dua tenda yang berkemah hari itu.

Di tahun yang sama pula, saya mendaki Gunung Papandayan untuk kedua kalinya. Suasananya masih sama. Hanya saja kali itu saya diberi cuaca cerah dan berkesempatan hiking lebih jauh lagi ke sebuah tempat bernama Tegal Alun. Padang edelweiss di sini beberapa kali lebih luas dari Pondok Salada dan mengingatkan saya akan lembah Surya Kencana di Gunung Gede. Untuk mencapainya, kita harus menaiki medan berbatu yang curam dan licin. Lalu setelah itu masuk hutan yang menyerupai labirin, kabarnya banyak yang tersesat di sini.

Papandayan adalah gunung pertama yang saya daki. Dan walaupun yang pertama itu disambut hujan deras dan badai pada malam harinya, ternyata itu membuat kesan tersendiri bagi saya sehingga saya patut berterima kasih kepada Papandayan. Tanpa pendakian itu, mungkin saya tidak pernah tertarik naik gunung. Catatan-catatan pendakian saya pun di mulai. Untuk beberapa tahun saya tidak berjumpa dengan Papandayan.

Dan…selalu ada kesempatan untuk kembali.

2018 Tahun ini saya masih saja ganteng. Oke, nggak penting. Saya kembali ke Gunung Papandayan bersama teman-teman kantor. Mendaki Papandayan kali ini sedikit lebih ringan karena saya dapat fasilitas pinjam mobil kantor hingga ke Camp David. Dan saya cukup terkejut dengan kemajuan pembangunan di sekitar daerah wisata Pendakian Gunung Papandayan tersebut dibanding enam tahun yang lalu. Lupakan soal jalan jelek dan berbatu, jalan dari Pasar Cisurupan itu kini mulus berlapis aspal. Pemandangannya pun tidak melulu perkebunan dan hutan rimba, di kanan kiri bisa kita jumpai tempat-tempat wisata atau restoran dengan konsep yang menuruti ego milenial, yakni instagramable.

Sebelum sampai Camp David, ada loket pembelian tiket. Biaya untuk pengunjung yang akan berkemah dikenakan sebesar Rp. 65.000. Saya awalnya berpikir, “Wah mahal ya, sama kayak jatah paket internet sebulan.”. Lalu lupakan gapura bobrok nyaris roboh enam tahun yang lalu, berganti sebuah gerbang gagah solid selayaknya pintu masuk tempat wisata yang memang seharusnya dibuat semenarik mungkin. 


Lahan parkiran luas yang dulu bak kota mati berkabut sekarang begitu hidup dengan berbagai warung, penjual makanan, tempat penyewaan alat-alat mendaki gunung, toilet umum yang banyak dan lebih layak, musholla, hingga tempat pemandian air panas. Fafvorit saya, sih, wahana baru berupa menara pandang setinggi tiga lantai. Dari situ bisa melihat pemandangan Kota Garut dan siluet Perbukitan Gunung Papandayan, kalau cuaca cerah, bentuk kerucut Gunung Cikuray juga bisa terlihat.

Jalur pendakian Gunung Papandayan kini pun dipoles sana-sini demi kemudahan pendaki. Beberapa jalur berbatu di kawasan kawah dibuat tangga berlapis semen. Shelter-shelter permanen untuk beristirahat juga banyak dibangun. Ditambah hiasan dengan papan bertuliskan quote-quote penyemangat penuh petualangan. Tanda penunjuk arah pun sangat jelas, sehingga pendaki di Gunung Papandayan bebas memilih rute mana untuk sampai Pondok Salada.

Lalu, bagaimana dengan Pondok Salada? Enam tahun yang lalu, ketika saya mau pipis di tengah malam, saya tidak berani jauh-jauh dari tenda. Bahkan pernah saya pipis sambil memegang salah satu sisi cover tenda, karena saking gelapnya dan tebalnya kabut saya khawatir kehilangan arah dan gagal menemukan tenda. Sekarang jangan khawatir, banyaknya warung-warung yang mendapat pasokan listrik di malam hari lewat genset, dan adanya musholla, suasana malam tidak begitu gelap. Banyak petugas yang patroli juga memastikan kawasan kemah baik-baik saja dan tidak ada api unggun yang lupa dimatikan. 


Dulu pernah ada polemik bahwa Gunung Papandayan akan dikelola swasta. Dan ternyata memang benar, terlihat dari naik secara signifikan untuk biaya simaksi sebesar Rp. 65.000, sekadar informasi, harga segitu termasuk mahal buat simaksi mendaki gunung yang belum masuk kategori taman nasional. Awalnya sih saya apatis, seperti kebanyakan pendaki.

Tapi setelah ke sana setelah perubahan besar-besaran itu, kenyataannya ternayata tidak seburuk bayangan saya. Yang terlintas sebelumnya adalah, harga yang mahal, pungli di sana-sini, dan tata kelola yang kacau pasti terjadi. Pendaki dijadikan sapi perah untuk mengumpulkan keuntungan, aji mumpung karena hobi mendaki gunung sedang digandrungi. Saya salah. Saya harus minta maaf kepada Papandayan. Setelah mengobrol dengan penjaga toilet di Pondok Salada, setelah diambil alih swasta, pengelolaannya menjadi jelas. Lebih transparan. Aturan main bagi para pelaku usaha yang terlibat juga adil. Kekhawatiran saya akan Gunung Papandayan yang akan menjadi tidak terurus sama sekali tidak berujung pada sebuah bukti. Justru banyaknya petugas membuat gunung ini terjaga kelestariannya. Keamanannya juga terjaga karena jalur batu yang berbahaya menuju Tegal Alun sudah ditutup, dan dibuat rute baru yang lebih mudah. 


Pariwisata memang lahan menjanjikan bagi perekonomian. Siapa pun, pasti mau masuk di industri ini. Beragam tanggapan pasti muncul, ada yang mendukung, ada pula yang menentang jika ada pengelola swasta ikut nimbrung. Karena konsekuensinya pasti biaya menjadi mahal karena yang namanya swasta dari zaman Adam Smith main gundu, pasti menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tapi jika melihat Gunung Papandayan kini, rasanya harga Rp. 65.000 menjadi murah.


Share:

Wednesday, 5 September 2018

Jalan-Jalan ke Cikini, Pusat Kota Penuh Cerita

Saya pernah merasa bahwa kota metropolitan seperti Jakarta museumnya sangat kurang. Namun, setelah beberapa kali mengikuti tour yang diadakan oleh Jakarta Good Guide, saya mendapati bahwa ternyata museum di Jakarta itu salah satu yang terbanyak di Asia Tenggara. Kelihatan sedikit mungkin karena saya tahunya ya Monas lagi, Monas lagi. Paling banter Kota Tua.

Tetapi kalau disimak lagi bagaimana sejarah perkembangan Jakarta, banyak fakta menarik dan penuh cerita. Di setiap tempat, dan nama suatu daerah di Jakarta memiliki banyak kisah menarik dan sarat kejadian penting dalam perjalanan bangsa ini. Bisa dibilang, Jakarta adalah museum itu sendiri.

Cikini adalah salah satu daerah di Jakarta yang memiliki cerita lampau penuh makna. Kawasan di pusat Jakarta ini kini menjadi seperti pusat budaya ibukota dengan Taman Ismail Marzukinya. TIM hanya salah satu tempat yang bisa dikulik lebih jauh di Cikini. Ada beberapa tempat dan fakta lagi yang bisa bercerita dan memuaskan rasa ingin tahu kita.

Cikini adalah kawasan yang dulunya oleh pemerintah Kolonial Belanda dibangun untuk menunjang kehidupan pemukiman para pejabatnya di Menteng. Di sana dibangun fasilitas pertokoan. Seiring berjalannya waktu, Cikini tumbuh pesat di tengah pusat Jakarta yang metropolis namun tetap ada warisan sejarah yang bertahan. Berikut beberapa cerita dan tempat bersejarah itu:

1. Kantor Pos  
Kalau kita melalui Jalan Cikini Raya dari arah Tugu Tani, pasti melewati kantor pos ini. Ini adalah kantor pos pertama di Indonesia yang buka 24 jam, jadi kalau lagi tiba-tiba ada dokumen atau barang dengan urgensi tinggi harus dikirim walau di tengah malam atau hari libur, sudah tahu kan lewat mana mengirimnya? Arsitekturnya tetap mempertahankan gaya kolonial. Kalau masuk, kesan classy langsung terasa.


2. Bakul Coffee  
Menyusuri trotoar di Jalan Raya Cikini, masih satu deret dengan kantor pos, akan kita jumpai sebuah kedai kopi bernama Bakul Coffee. Kedai ini memiliki kaitan erat dengan sejarah kontribusi kopi Indonesia di dunia. Ternyata dulunya kedai ini adalah sebuah warung nasi yang menyuplai makanan untuk karyawan-karyawan Belanda. Syahdan, ada ibu-ibu yang menawarkan kopi dari Jawa untuk dijual di warung nasi tersebut. Dan ternyata laku. Bahkan biji kopinya jauh lebih laku daripada makanannya. Oleh sebab itu pemiliknya memutuskan untuk menjual kopi saja.

Lalu di mana sejarah kopinya? Karena nikmatnya rasa kopi dari Jawa ini, Belanda membuat kebijakan tanam paksa yang mengharuskan daerah pertanian di Jawa ditanami kopi. Belanda lalu menjualnya ke Eropa, sisanya dilelang ke Amerika. Di Amerika, kopi asal Jawa selalu menjadi kopi dengan harga paling tinggi. Bahkan, bangsawan Amerika jika ingin memesan kopi akan berujar, “A cup of Java, please!”

Beratus tahun kemudian ketika komputer sudah ditemukan, ada seorang programmer Amerika bernama James Gosling. Dia berhasil membuat sebuah bahasa pemrograman yang diberinya nama ‘Oak’. Namun, programnya itu tidak laku karena namanya kurang komersil. Hingga akhirnya dia mengganti nama karyanya dengan minuman yang biasa dia minum ketika sedang membuat program. Minuman yang berabad lalu dikenal oleh bangsawan negerinya dengan ‘Cup of Java’. Maka program itu diberi nama ‘Java’ dengan simbol cangkir kopi. Program itu sekarang ada di hampir tiap komputer di seluruh dunia.

3. A. Kasoem 
Kalau lewat ruas Jalan Cikini Raya, pada sisi yang bersebrangan dengan TIM, maka kita akan melihat sebuah plang besar bertuliskan ‘A. KASOEM’. Untuk pengguna setia kacamata, pasti familiar dengan nama Kasoem. Namun, mungkin masih belum semua tahu cerita tentang trah Kasoem ini.

Beliau adalah optician (ahli optik) pertama di Indonesia. Nama lengkapnya Acung Kasoem, asli Sunda. Sewaktu perang masih berkecamuk di Pasifik, dan Indonesia masih dibawah kependudukan Jepang, A. Kasoem bekerja pada seorang birokrat Jerman yang menetap di Indonesia. Karena pada perang tersebut Jerman dan Jepang berada dalam satu kubu, A. Kasoem meminta kepada atasannya itu agar melobi Jepang supaya memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Atasannya itu bertanya balik, “memangnya kalau bangsamu merdeka mau apa? Kehidupan perekonomianmu tetap akan bergantung pada bangsa lain. Mengisi kemerdekaan itu tidak mudah. Kau kusekolahkan saja ke Jerman, belajar membuat kacamata di sana. Setiap orang berumur di atas empat puluh tahun, kemungkinan memerlukan kacamata. Bangsamu lebih perlu itu sekarang”. Berangkatlah Acung Kasoem ke Eropa.

Sepulangnya dari Eropa, A. Kasoem menjadi pembuat kacamata bagi para pejabat istana di cabinet Presiden Soekarno. Bisnisnya masih langgeng hingga kini. Bahkan usahanya menurun ke anak perempuannya, Lily Kasoem. 


4. Roti Tan Ek Tjoan
Ini roti legenda di Cikini. Tercermin dari namanya, roti ini dibuat oleh orang Tionghoa bernama Tan Ek Tjoan (menurut ngana?). Tapi sebetulnya pembuat rotinya adalah istrinya bernama Li Pan, Bapak Tan sebagai perencana bisnisnya. Dahulu pabri roti ini ada di Jalan Cikini Raya, namun, karena ada peraturan daerah yang melarang pabrik berdiri di tengah kota, maka pabriknya pindah ke Ciputat. Walau begitu, agen-agen dan pengecernya masih banyak yang berjualan di Cikini.

Roti ini menganut filosofi Yin dan Yang, di mana itu tercermin dari dua varian roti utamanya. Roti gambang yang keras, dan roti bim bam yang empuk. Roti Tan Ek Tjoan di masa awal kemerdekaan adalah roti favorit Bung Hatta. 



5. Taman Ismail Marzuki (TIM)
Ini adalah kawasan paling ikonik di Cikini. Kalau bicara soal Cikini, ya TIM patokannya. Awalnya, TIM adalah bagian dari taman rumahnya Raden Saleh. Sekadar informasi tambahan, rumah Raden Saleh itu adalah yang sekarang Rumah Sakit PGI, sedangkan taman rumahnya ada di TIM. Terbayang betapa luasnya tanah sang pelukis ini. Hal yang wajar karena Beliau adalah pelukis Belanda.

Raden Saleh adalah pecinta binatang, oleh sebab itu taman rumahnya terdapat berbagai macam binatang sehingga terlihat seperti kebun binatang. Ketika Raden Saleh memutuskan tinggal di Belanda, tanah miliknya itu dihibahkan ke yayasan yang sekarang menaungi RS. PGI, dan Pemprov DKI Jakarta.

Di masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, taman tersebut diubah peruntukkannya menjadi tempat berkumpul para seniman dan budayawan di Jakarta. Pemberian namanya didasari oleh seniman besar asal Betawi, yaitu Ismail Marzuki. Sementara itu binatang-binatang peninggalan sejak zaman Raden Saleh dipindahkan ke Ragunan. Jadi banyaknya tempat makan di Cikini yang memakai nama ‘Bonbin (kebon binatang)’, bisa terjelaskan.

Taman Ismail Marzuki, dalam perjalanannya bukan hanya pusat budaya dan seni. Di sana dibangun juga planetarium, perpustakaan, bioskop, dan yang terbaru gedung teater bernama Teater Jakarta. Teater Jakarta ini baru selesai pembangunannya tahun 2011, padahal pembangunannya dimulai tahun 1996. Mangkrak karena krisis moneter terjadi. Teater Jakarta ini, jika jadi tepat waktu, maka akan jadi gedung dengan teknologi paling mutakhir di Jakarta. Konsep design-nya terilhami dari bentuk rumah adat Sulawesi Selatan, Tongkonan.

Masih banyak sebetulnya yang bisa diceritakan soal Cikini. Seperti makam Habib Cikini yang selalu banjir ketika mau digusur pengembang, rumah Raden Saleh yang sekarang jadi kantor direksi RS PGI, Masjid Jami Cikini yang jadi tempat bergaul H. Agus Salim, dan masih banyak lagi. Selamat datang di kawasan penuh kisah, Cikini! 



Share:

Monday, 27 August 2018

Mendaki Gunung Pangrango Via Cibodas: Kalian Berpelukan, Deh!

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah salah satu gunung favorit para pendaki. Akses yang mudah ke basecamp pendakian dan keindahan serta fenomena alamnya yang indah adalah faktor utama mengapa taman nasional ini kerap menjadi tujuan. Untuk akses, bisa dimulai dari Cibodas, Gunung Putri, atau Selabintana. Cibodas mungkin jalur paling dikenal karena berdekatan dengan Kebun Raya Cibodas dan transportasi umum dari Jakarta pun sangat memadai. Jalur Cibodas ini juga yang saya lalui ketika mengalami pengalaman luar biasa dan akan saya ceritakan pada postingan ini.

Tujuan utama para pendaki ke Gunung Gede-Pangrango adalah, selain puncak, ingin melihat atau berkemah di lembah padang bunga edelweiss yang dimiliki oleh masing-masing gunung. Gunung Gede memiliki Lembah Suryakencana, dan Gunung Pangrango mempunyai lembah legendaris yang di gambarkan oleh Soe Hok Gie dalam puisinya sebagai tempat romantis, yaitu Lembah Mandalawangi.

Saya dan ketujuh teman memutuskan untuk ke Gunung Pangrango dan berkemah di Mandalawangi. Bakda subuh kami sudah berangkat, dan beristirahat cukup lama di Telaga Warna. Kami masak sarapan, bahkan tertidur hingga hari beranjak siang. Cuaca cerah, bahkan dari jembatan seteah Telaga Warna puncak Gunung Gede jelas terlihat. Ini jelas bikin kami semangat. Ke gunung dan cuaca cerah adalah kombinasi dua hal yang sempurna.

Tengah hari, kami sampai di Pos Air Panas. Pos ini salah satu daya tarik untuk mendaki Gunung Gede-Pangrango via jalur Cibodas. Kita harus melewati air terjun, dan sungai kecil berair panas. Karena panasnya, sesekali saya harus berjalan melewati kabut asap. Beruntung di sisi kanan sungai dipasang pembatas tambang untuk berpegangan, karena di sisi itu langsung berbatasan dengan jurang. Suhu airnya pun cukup tinggi, saya yang pakai sepatu gunung saja terasa panansnya di ketika air merembes hingga kaos kaki. Tetapi ada satu lokasi yang airnya panasnya pas untuk merendam kaki dan melepas pegal-pegal di persendian. Sebuah tempat relaksasi yang mewah!

Tepat beberapa meter di atas Pos Air Panas, kami tiba di sebuah tanah lapang bernama Pos Kandang Batu. Kandang Batu ini merupakan spot kemah juga karena banyaknya tanah kosong dan landai, sumber airnya pun dekat. Tempat ini sempat terkenal karena pernah ada pendaki yang hipotermia hingga meninggal.

Di sini kami terpecah, tiga orang memutuskan untuk tinggal di Kandang Batu. Sedangkan lima orang (termasuk saya) memutuskan untuk lanjut. Langit sudah tidak secerah tadi pagi. Di beberapa bagian, awan kelabu sudah terlihat. Rombongan saya memutuskan untuk setidaknya sampai di Kandang Badak, agar kalau memang mau summit ke puncak Gunung Pangrango dan Lembah Mandalawangi tidak terlalu jauh.

Rombongan kecil berjumlah lima orang itu adalah saya, Centong, Ian, beserta dua orang gadis, Kris, dan Dechan. Pukul lima sore kami tepat sampai di Pos Kandang Badak. Di pos ini biasanya para pendaki mendirikan tenda karena untuk ke puncak Gunung Gede-Pangrango sudah dekat. Kami berdiskusi apakah mau buka tenda di sini, atau lanjut saja hingga Mandalawangi walaupun dengan resiko berjalan malam.

Keindahan lembah Mandalawangi Gunung Pangrango dalam puisi Soe Hok Gie membuat kami memutuskan untuk melanjutkan, ditambah karena hari itu lapak tenda di Kandang Badak sudah penuh. Tidak ada tanah kosong datar lagi yang tersedia.

Naik sedikit dari Kandang Banteng, saya dan teman-teman berbelok ke kanan, jalur ke Gunung Pangrango. Kalau ambil lurus akan menuju Lambah Suryakencana Gunung Gede. Tidak seperti jalur ke Gunung Gede, jalur Gunung Pangrango relatif jarang dilewati pendaki. Sebab itu banyak batang pohon tumbang dan semak-semak lebat tanda jalan setapaknya tidak banyak dilalui. Tidak jarang kami harus merangkak untuk melewati batang pohon yang menghalangi jalan. Semakin sulit karena kami membawa keril yang harus dipasang-copot, punggung rasanya remuk.

Tepat setelah hari gelap, setelah kami memasang headlamp masing-masing, hujan deras turun tanpa adanya isyarat seperti gerimis atau angin. Kami kelabakan mebuka keril mencari ponco. Drama pun dimulai.

Hujan semakin deras. Jalur pendakian berubah menjadi sungai kecil. Kami terus berjalan hingga menemui pendaki lain di sebuah tanjakan. Mereka sudah buka tenda di satu-satunya tanah kosong dan datar di wilayah tersebut. Kami tidak bisa mendirikan tenda. Akhirnya kami membuat tempat perlindungan sementara dengan memakai cover tenda yang diikat seadanya ke ranting-ranting pohon. Pengikatnya pun bukan tali, melainkan plastik trash bag yang dipotong-potong memanjang. Kami berteduh dibawahnya sambil berharap hujan berhenti. 



Perkiraan kami salah. Hujan stabil. Cover tenda sudah tidak mampu menahan air hujan karena memang bukan itu fungsinya.

“Bal, Elu tunggu di sini ama cewek-cewek. Gue sama Ian ke atas nyari tanah kosong, gue bawa tenda. Kalo sepuluh menitan gue belom balik lu nyusul ke atas.” Centong memberi kami arahan.

Rasanya lebih dari sepuluh menit saya, Dechan, dan Kris terduduk di tanjakan tadi. Karena terlalu lama diam kami jadi kedinginan. Sudah tidak ada satu jengkalpun dari kami yang kering. Saya mengajak Kris, dan Dechan untuk menyusul Centong dan Ian. Medan yang semakin terjal dan penuh akar pohon semakin menyulitkan pergerakan kami. Samar-samar saya melihat cahaya senter di atas sana. Itu pasti Centong dan Ian yang lagi pasang tenda. Lega hati ini, karena akhirnya kami akan bernaung.

Yang saya dapati pertama kali saat sampai di tempat Centong adalah tenda yang sudah berdiri, tetapi air muka Centong kelihatan tidak enak.

“Tenda kita ukurannya tiga kali tiga, tapi tanahnya cuma dua meteran kayaknya. Jadi nggak muat. Kita harus cari tanah lagi.”

CRAP!

Tenda pun dibongkar. Saat sedang membongkar, terlihat Centong sedikit menahan tawa.

“Ngapa lu? Kesambet?”

“Kagak. Tadi si Ian pas lagi pasang tenda terus tau tendanya kegedean, ngerengek ke gue, ‘A CEN, IAN REK MEWEEEEEKKK’!, anjir ekspresinya lucu banget.” Centong berbisik. Kami tertawa. Lumayan mengurangi dingin.

Setelah tenda dilipat, dan dimasukkan ke plastic trash bag, karena kalau dimasukkan kembali k etas khawatir tambah basah, kami melanjutkan pendakian. Naik terus ke atas. Sekarang pilihannya hanya balik lagi ke Kandang Badak yang sudah sangat jauh di bawah, atau lanjut ke Mandalawangi di tengah hujan.

Kami berpapasan dengan rombongan yang turun. Kami saling menyapa. Saya bertanya apakah Mandalawangi sudah dekat. Dan saya menyesal sudah bertanya setelah mendengar jawabannya.

“Wah, masih jauh, Bang. Kita aja baru turun dari sana dua jam yang lalu, kalo kalian mah naik, apalagi bawa keril gini bisa empat jam lebih baru sampe.”

Empat jam? Rasanya kami sudah tidak kuat. Makan pilihan satu-satunya adalah kembali ke Kandang Badak dan berharap masih ada satu tempat kosong untuk tenda kami. Kami berhenti sejenak, mengambil nafas. Tidak terasa kami kedinginan. Saya, Centong, dan Ian berdekatan sambil mengigil. Dechan tiba-tiba nyeletuk,

“Kalian bertiga pada pelukan, deh, biar anget.”

Kami yang cowok-cowok berpandangan. Mau tertawa tapi tenaga sudah habis. Asli, itu lucu, sumpah! Tida terbanyang kami bertiga berpelukan, terus ada yang baper.

Sampai kembali di Kandang Badak sudah jam satu malam. Puji Tuhan kami menemukan tanah datar di dekat mushola. Keeseokannya kami terbangun jam sembilan. Cukup siang. Kris bahkan harus tidur dengan sebagian baju yang lembab.

Kami harus menunda perjumpaan dengan lembah kasihnya Soe Hok Gie. Lembah Mandalawangi. Ego kami memang berontak minta dipuaskan, tetapi keselamatan jiwa adalah yang utama. Lain kali, ya, Lembah Mandalawangi. Sampai nanti, Gunung Pangrango!

Berpelukan… =)


Share:

Monday, 20 August 2018

Berkemah di Pulau Semak Daun: Ada Horrornya

Sudah beberapa kali saya berlibur ke Kepulauan Seribu. Namun pengalaman liburan kali ini cukup berbeda dengan yang sudah-sudah. Ada pengalaman sedikit horror dan cukup membuat bulu kuduk saya meremang.

Jadi ceritanya saya dan dua teman kantor, Bhakti dan Mula,, berencana menghabiskan akhir pekan. Kebetulan dua teman saya tersebut hobi fotografi. Yang terpikir oleh saya untuk penggemar fotografi pasti suka memotret landscape atau bentang alam. Berarti kalau tidak ke pantai, yak e gunung. Kami sepakat kalau ke gunung repot bawa peralatannya. Jadi kami mencoret gunung dari daftar tujuan kami. Tersisa pantai. Pantai yang dekat dengan Jakarta, dan biaya terjangkau hanya Kepulauan Seribu. 


Kepulauan Seribu, seperti yang kita tahu terdiri dari pulau-pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni. Pulau yang tidak berpenghuni bisa dikunjungi, bahkan kita bisa bermalam dengan menggunakan tenda. Salah satunya adalah Pulau Semak Daun. Ke sanalah kami akan menghabiskan akhir pekan. Walaupun judulnya berkemah, tapi barang bawaan dan perbekalan kami tidak serumit jika kemping di gunung.

Pulau Semak Daun adalah sebuah pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Cukup mudah akses ke pulau ini walaupun harus dua kali berganti moda transportasi dan transit. Kita bisa memulai perjalanan dengan naik kapal dari Pelabuhan Kaliadem, atau Pelabuhan Sunda Kelapa jurusan Pulau Pramuka. Dari Pulau Pramuka lanjut naik perahu kecil ke Pulau Semak Daun.

Cuaca cerah, dan tingkat keceriaan kami masih dalam tingkat maksimal. Selepas zuhur, perahukecil kami membelah selat-selat kecil Kepulauan Seribu menuju Pulau Semak Daun. Perjalanan dari Pulau Pramuka memakan waktu sekira setengah jam. Di sela-sela perjalanan, pemilik perahu berpesan supaya kami para pengunjung menjaga ketenangan dan kebersihan selama di Pulau Semak Daun.

Kontak pertama saya dengan Pulau Semak Daun adalah sambutan sebuah dermaga sederhana dari kayu namun panjang. Perahu bersandar di ujung dermaga yang terdapat sebuah bangunan kecil untuk pemilik perahu atau nelayan beristirahat. Kesan teduh saya rasakan ketika melewati batas pantai dan hutan cemara di bagian depan pulau.

Kami bertiga mencari tanah datar untuk buka tenda.

“Cari yang ngadep pantai, Bro, biar pas buka tenda langsung Instagramable gitu.”

“Yang ada pohon buat gantung hammock juga.”

Begitu kriteria kami untuk tanah yang layak dibangun tenda. Kami menyusuri tepian pulau, karena di bagian tengah pulau sudah ada beberapa tenda. Di sebuah sisi Pulau Semak Daun, di sebelah selatan, ada sebuah tanah kosong, pas sekali hanya untuk satu tenda. Di depannya, ada pantai landai dan dangkal menjorok jauh ke tengah laut. Sempurna untuk main air. Hammock? Tidak jauh dari bibir pantai sebuah batang pohon tumbang yang bisa digunakan untuk mengikat tali hammock. Keren, deh, pokoknya! 


Sore hingga malam itu kami habiskan benar-benar untuk bersenang-senang. Menikmati matahari dan angina sepoi-sepoi sambil berayun santai di hammock, atau mengeksplor panatai landai luas yang menjorok hingga tengah laut, sampai foto-foto norak. Saya sempat mencoba loncat dari atas dermaga yang ada bangunannya ke laut. Lumayan tinggi, empat meter. Dan kami mengakui, bahwa sunset di Pulau Semak Daun amatlah cantik. Pantai yang langsung menghadap ke barat tanpa ada penghalang apa pun, blas ke cakrawala Kepulauan Seribu. Matahari turun pelan-pelan dan secara periode hitungan detik, mengubah warna langit dari kuning, jingga, oranye, hingga warna tersier campuran antara ungu dan oranye. 


Malam pun datang. Saat itu bulan purnama dan langit bersih. Saking terangnya, kami tidak perlu menyalakan senter atau headlamp. Cahaya bulan sudah cukup. Selepas makan malam, kami masuk tenda untuk tidur. Bulan tepat berada di atas tenda kami. Cahayanya yang kuat membuat bayangan siluet dedaunan dan ranting pohon terlihat dari dalam tenda seperti sesuatu yang menari.

Kami tertidur.

Untuk beberapa saat.

Sebelum selepas tengah malam kami kompak terbangun. Bhakti menyalakan senter. Kami semua berpandangan satu sama lain.

“Elu denger, nggak tadi?” Mula buka suara.

“Iya, kayak ada yang lewat.”

“Cuman daun ketiup angina kali.” Saya mencoba menemukan alasan paling masuk akal. Memang saat kami terbangun angina bertiup kencang dan deburan ombak semakin digdaya. Efek bulan purnama, sehingga air laut pasang. 

Kami tidur kembali. Walaupun saya yakin tidak ada dari kami yang benar-benar tidur. Tiba-tiba kami kembali mendengar seperti ada yang lewat dan sekarang ditambah ada sesuatu yang menyodok-nyodok bagian bawah tenda kami dari luar.

Kami bertiga kembali bangun dengan keadaan lebih tegang. Masa iya angina bisa menyundul-nyundul tenda dengan tingkat kepadatan seperti itu?

“Tolong dong jangan gangguin kami…” Mula dengan wajah pucat berkomat-kamit sambil melihat ke atas, seolah di atas ada…ada itu lah pokoknya. Siluet dedaunan masih terlihat, menambah suasana semakin mencekam.

Bhakti mengambil tripodnya, saya paham maksudnya, dia mau menggunakannya sebagai alat pukul. Saya membuka tenda, walau gemetaran tetapi penasaran luar biasa. Bhakti keluar dengan langkah ragu dan waspada, siap memukul dengan tripodnya. Jika benar yang menyentuh tenda kami adalah makhluk ghaib, saya ragu tripod tersebut bisa mengusirnya.

Beberapa detik saya, dan Mula menunggu di dalam tenda sebelum Bhakti kembali. Saya lega karena dia normal-normal saja, tidak minta kopi hitam dan teriak, “AINGGGG MAUNNNGGG!”.

“Kagak ada siapa-siapa, dan kagak ada apa-apa, Cuy!” Seru Bhakti.

“Babi hutan kali, ya?”

“Gue sih lebih takut uler.”

“Atau kunt…”

“Ahelah, udah! Yang penting kagak ada apa-apa.”

Sisa malam kami habiskan dengan menggelar matras dan menyeduh kopi di depan tenda hingga pagi. Kami tidak banyak bicara, menyimpan masing-masing pertanyaan apa atau siapa yang lewat dan menyentuh tenda kami semalam.

Pulau Semak Daun pada akhirnya memberi kami sunrise yang cantik di pagi harinya. Saya memasak sandwich, kedua teman saya hunting foto, dan ombak kembali tenang. Sangat tenang.

Begitu ceritanya. Masih mau ke Pulau Semak Daun? Saya titip salam buat si dia… =) 

Share:

Wednesday, 1 August 2018

Akhir Pekan di Malaysia Bisa ke Mana Saja?

Saya termasuk salah satu orang yang ketika apply paspor, belum tahu mau ke mana. Ketika sesi wawancara (lebih ke formalitas saja), saya jawab jujur untuk jalan-jalan, waktu itu saya jawab ke Bangkok. Lalu paspor ‘nganggur’ sekitar tiga tahun.

Dan ketika tiba kesempatan untuk pertama kalinya saya ke luar negeri, ternyata bukan imigrasi Thailand, negara selain Indonesia, yang mencap tanda kedatangan di paspor saya. Melainkan Malaysia. Saya yakin ada banyak populasi di luar sana yang catatan pertama ke luar negerinya adalah Malaysia. Apalagi untuk urusan jalan-jalan. Simpel, sih, negara ini dekat baik secara geografis dan kultur, dan tentu saja karena murah. Hidup sobat miskin!

Untuk yang paspornya masih mulus, tapi masih bingung mau dipakai traveling ke mana, jangan ragu untuk memilih Malaysia. Karena letaknya yang dekat, otomatis harga tiket pesawatnya pun cenderung murah. Tapi bagian terbaik dari Malaysia adalah, kita bisa mendapat pengalaman traveling yang mengasyikkan yang cukup dilakukan pada akhir pekan. Tidak perlu deg-degan menunggu mood si bos di kantor sedang bagus untuk mengajukan cuti.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah booking tiket pesawat. Ini wajib, sebab kita akan ke Malaysia, bukan Cicaheum. Supaya niat menghabiskan akhir pekan bisa terlaksana, beli lah tiket penerbangan paling malam di hari Jumat, dan tiket pulang dengan waktu yang sama di hari minggu. Jadi kita punya waktu wholeday dari Sabtu pagi sampai Minggu sore untuk keliling eksplor Kuala Lumpur dan sekitarnya.

Jadi garis besar itinenary-nya nanti akan seperti ini, silakan kalau mau detail jamnya bisa dimodifikasi sendiri:

  • Jumat Malam-Sabtu Dinihari
Penerbangan Jumat malam dari Soekarno-Hatta kemungkinan berakhir pada Sabtu dinihari waktu Malaysia. Jam lewat tengah malam seperti itu pasti di KLIA atau KLIA2 sudah sepi. KLIA Express, atau KLIA Transit –kereta bandara untuk ke pusat kota Kuala Lumpur- pasti juga sudah tidak beroperasi. Jangan panik. Saran saya jangan keluar dulu dari imigrasi. Cari spot tidur yang enak untuk beristirahat menunggu pagi. Banyak, kok, backpacker atau bahkan turis yang ‘ngampar’ begitu saja di kursi-kursi atau lantai bandara.

  • Sabtu pagi-siang
Carilah penginapan atau hotel di pusat Kota Kuala Lumpur. Kalau pergi dengan cara backpacker, banyak lho hostel seharga 60-an RM per malam. Waktu dari pagi sampai siang ini bisa dimanfaatkan untuk bersih-bersih, mandi (ingat, dari kemarin sore pasti belum mandi :p), dan istirahat sejenak meluruskan badan atau tidur sebentar.

  • Sabtu siang-sore
Siapkan tenaga, karena dari siang hingga sore kita bisa eksplor Kuala Lumpur dengan berjalan kaki atau pindah dari satu moda transportasi ke moda lainnya. Kalau bingung mau ke mana dulu, coba saja ke KL Tower. Ini salah satu bangunan paling tinggi di KL, dilihat dari sudut mana saja pasti terlihat. Saya waktu pertama kali ke KL juga ke sini, tapi tidak naik ke atasnya karena tiketnya mahal menurut tingkat kemampuan ekonomi saya, yaitu 150 RM.

Atau bisa juga cari makan di sekitaran Central Market, banyak Mamak (rumah makan India), dan chinese food. Setelah kenyang, bisa langsung menuju Petaling Street, atau Pasar Seni. Di sini bisa beli barang-barang unik khas Malaysia, dan jajanan-jajanan lainnya. 


Dari sana sudah dekat jalan kaki beberapa blok ke Masjid Jamek, dan Dataran Merdeka. Di salah satu sisi Dataran Merdeka, ada landmark kecil bertuliskan I Love KL yang jadi spot favorit foto wisatawan.

Kalau sempat, dan sekiranya memiliki mobilitas yang prima, sebelum atau sesudah keliling KL bisa sempatkan diri ke Putrajaya. Tempat ini adalah kota pusat pemerintahan Malaysia. Ada istana Perdana Menteri, kantor parlemen dengan halaman luas berhiaskan bendera-bendera negara bagian Kerajaan Malaysia. Ada juga Masjid Putra yang berwarna merah dan arsitektur megah. 



  • Sabtu sore-malam
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, segera ke stasiun MRT Pasar Seni. Beli tiket seharga 2 RM, menuju Stasiun KLCC. Ada apa di KLCC? Ya, betul, Petronas Tower! Landmark kebanggaan Malaysia ini lebih asyik dikunjungi ketika malam. Selain lebih sejuk, tata cahaya di seputar menara ini juga penuh warna. 


Ketika hari menjelang malam, dan sudah waktunya makan, cobalah naik bus Go KL. Bus ini gratis, lho. Makanya antreannya lumayan panjang dan akan berangkat tiap lima belas menit sekali. Naik bus ini ke jurusan Bukit Bintang. Di sini banyak toko-toko brand mewah dunia dari mulai fashion samai makanan. Tapi tenang, ada kok tempat makan enak, murah, dan halal. Yaitu di Jalan Alor. Mirip-mirip Pub Street di Siem Reap, atau Khao San Road-nya Bangkok. 



  • Minggu pagi-siang
Hari Minggu, bangun lah sepagi mungkin supaya sempat ke Batu Cave. Batu Cave adalah tempat peribadatan Umat Hindu yang terletak di bukit kapur. Ada tangga menuju gua yang lumayan menguras stamina. Di dalam gua ada beberapa kuil tempat pemujaan dewa-dewa dalam mitologi Hindu. Sebelum masuk menapaki ratusan anak tangga, kita akan disambut patung Khrisna raksasa berwarna emas, background favorit untuk berfoto.

  • Minggu siang-sore
Lengkapi liburan di Malaysia dengan merasakan kesejukan di Genting Highland. Dari KL Central bisa dijangkau dengan bus GO Genting. Ada apa saja di Genting Highland?
  1. Chin Swee Temple: Merupakan kuil penganut Tao. Kesan khusyuk, dan meriah menyambut saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini. Dari sisi-sisinya yang terletak di atas bukit, kita bisa melihat kota Pahang dari ketinggian. Banngunan-bangunan kuilnya didominasi warna merah, dan banyak patung-patung diorama.  
  2.  SkyAvenue Mall: Awalnya saya mengira Ggenting Highland adalah wisata alam sepenuhnya karena letaknya seperti di pegunungan. Ternyata saya sama sekali salah. Banyak sekali pusat perbelanjaan dan hotel di sana. Yang paling terkenal SkyAvenue Mall. Kalau yang hobi mengoleksi barang-barang branded kelas dunia, di sini lah tempatnya. Tapi saya, sih, ke sini karena mau coba naik gondola (skyway).
  3. Gondola, Cable Car, SkyWay…Whatever, You Name It: Kalau untuk saya, naik gondola adalah gong dari tur di Genting Highland ini. Mirip-mirip kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah, hanya saja gondola di Genting Highland ini jalurnya naik/turun sepanjang hampir 3 kilometer. Gondola ini juga berfungsi sebagai alat transportasi untuk mencapai beberapa tujuan di Genting Highland. Kalau kita naik bus dari KL, biasanya akan diturunkan di stasiun sky way. Ada dua operator, yaitu Awana Skyway dan Genting Skyway. Ongkosnya 7MYR untuk sekali jalan.
  • Minggu sore-Malam
Bersiap-siap untuk ke bandara. Kalau bisa pilih maskapai yang bisa web check-in supaya tidak terburu-buru. Jadi bisa mampir ke toko Mydin. Di toko ini kita bisa beli oleh-oleh standar orang yang baru pulang dari Malaysia seperti cokelat, Milo, Kitkat, dan Kopi Oldtown. Kelebihan belanja di sini adalah harganya grosiran. Coba takar dulu kadar kekhilafan belanja kita, kalau tinggi, ya siap-siap beli bagasi tambahan.

Nah, itu itinenary kasar versi saya kalau mau menghabiskan akhir pekan di Malaysia. Dekat, cenderung terjangkau, budaya dan bahasa yang masih berkaitan erat, dan tidak perlu visa, menjadikan liburan ke Malaysia cocok bahkan untuk yang baru pertama ke luar negeri. Bahkan tidak perlu takut cuti mentok di bos, karena bisa dilakukan saat akhir pekan. Kalau ada ide lain atau pertanyaan, boleh loh dilempar di kolom komentar. Selamat berlibur =)
Share:

Wednesday, 18 July 2018

Melaka: Batavia Dari Malaysia

Raja Prameswara beranjak dari singasana di dalam lambung utama kapal layarnya. Panglima armada lautnya baru saja melaporkan bahwa awak kapal baru saja melihat daratan di ujung horizon. Prameswara memerintahkan supaya merapat ke sana. Layar pun ditutup, dan jangkar siap dilepaskan di semenanjung yang tidak begitu jauh dari Sumatera, salah satu dari wilayah nusantara dibawah kekuasaan Sriwijaya, kerajaannya.

Kapal bersandar, biduk tertambat, dan sang Maharaja dari Sriwijaya itu turun dari kapalnya. Menapaki untuk pertama kalinya tanah di seberang Sumatera itu. Sang raja berteduh di pepohonan yang tumbuh rindang di daratan tersebut. Baru diketahui bahwa pohon itu bernama Melaka. Dan sejak saat itu, daratan di semenanjung tersebut dinamakan ‘Melaka’.

Dalam perkembangannya, dan seperti sudah menjadi takdir daerah-daerah pesisir yang strategis, Melaka menarik perhatian bangsa Eropa untuk melanggengkan misi Gold, Gospel, dan Glory mereka zaman dahulu. Portugis menjadi yang pertama kali masuk.

Sekarang, Melaka sudah menjadi tujuan wisata yang sangat autentik di Malaysia. Selain ikatan sejarahnya yang kuat, tata kotanya yang baik juga sangat menunjang bagi pariwisata di Melaka. Perjalanan Melaka sedikit mengingatkan saya dengan sejarah Jakarta. Dahulu, sebelum ditaklukan Fatahillah dan menjadi Jayakarta, Sunda Kelapa juga kota pesisir lalu diperebutkan oleh Portugis dan Belanda. Melaka kemudian menjadi kota wisata, pun dengan Jakarta dengan Kota Tuanya.

Ada beberapa spot yang sungguh sayang untuk dilewatkan kalau berkunjung ke Melaka:
 
1. Red Square

Berbentuk seperti alun-alun. Di sana ada gereja, balai kota, museum, hingga kantor pos. Mirip dengan Kota Tua yang dulunya menjadi pusat dari Batavia. Uniknya, bangunan di sini di dominasi oleh warna merah dan bergaya kolonial, mengesankan sebuah tempat sarat cerita. Banyak becak-becak hias yang ‘mangkal’ di sini. 




2. Gereja Saint Paul

Jangan buru-buru meninggalkan Red Square setelah menikmatinya. Di belakangnya ada sebuah bukit. Masuklah ke sebuah gerbang dengan deretan anak tangga dan fasade senada dengan bangunan utama. Di puncak bukit ada sebuah reruntuhan gereja Katolik. Bagi saya pribadi, ini adalah spot favorit saya di Melaka. Back in time-nya lebih terasa. Gereja ini didirikan oleh missionaris Portugis bernama Duerte Coelho. Kemudian dihancurkan Belanda lalu diubah menjadi benteng. Letaknya yang dipuncak bukit, dan langsung menghadap ke laut menjadikan bukit ini sangat sempurna untuk sebuah benteng. Sulit diserang, dan bisa mengetahui dengan cepat jika ada kapal musuh yang datang. Taktik benteng stelsel ini memang terbukti jitu bagi strategi perang Belanda, seperti yang mereka lakukan ketika menaklukan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa. 
 
 
3. Masjid Selat Melaka
Keseriusan Kesultanan Melaka, dan Pemerintah Malaysia untuk mengembangkan kawasan ini adalah terlihatnya proyek reklamasi. Mereka berambisi untuk memperluas wilayah ini. Salah satu karya yang sudah bisa dinikmati adalah Masjid Selat Melaka. Letaknya tidak jauh dari pusat kota, hanya 15 menit berkendara. Masjid ini dibangun di atas air pantai Melaka dan menjadi landmark baru bagi Melaka. Datanglah ke sini menjelang matahari condong ke barat untuk menikmati matahari terbenam perlahan di antara kubah dan menara masjidnya. Blue hour-nya pasti sangat disukai penyuka fotografi. 

 4. Melaka River Cruise

Melaka adalah kota yang dikelilingi kanal. Lagi, saya jadi teringat Batavia. Kota-kota pesisir biasanya menjadi pelabuhan penting. Apa pun akan dilakukan untuk mempertahankan kota itu, termasuk membuat kanal. Gunanya untuk memperlancar logistik, transportasi, pengendali banjir, sampai pertahanan dari serangan musuh. Bedanya, kanal di Batavia sekarang sudah hampir tidak terlihat. Di Melaka, sekarang kanal itu menjadi salah satu atraksi favorit wisatawan. Wahananya bernama Melaka River Cruise, di mana kita akan naik perahu dan berkeliling sungai sejauh 9km, melewati jembatan-jembatan penting, dan tata kota Melaka yang rapih. Saran saya, belilah tiket tour di hotel tempat menginap seharga 12 MYR. Karena kalau beli on the spot, harganya 20 MYR. Lumayan kan selisihnya buat jajan teh tarik. Dan lakukanlah tur ini pada malam hari, lighting Melaka yang sendu-sendu menggerus rindu lebih indah daripada siang hari. Di sisi-sisi sungainya kita bisa melihat orang berlalu lalang di broadwalk, atau sekadar menikmati makan malam di kedai-kedai dengan coretan-coretan mural yang artsy. 


5. Jonker Walk

Bagi yang suka belanja, Jonker Walk ini pasti jadi titik favorit. Seperti Russian Market di Kamboja, atau Khao San Road-nya Thailand. Di Indonesia mungkin seperti di Malioboro. Di sini berdiri banyak tempat belanja oleh-oleh, homestay bagi backpacker, sampai klab yang menjajakan bir.

Jika ke Malaysia, tidak rugi jika menyempatkan ke Melaka. Seperti Luang Prabang di Laos, Melaka adalah kota warisan dunia yang keautentikannya sudah tidak diragukan lagi. Selain itu, Melaka adalah simbol keanekaragaman suku, bangsa, agama, dan budaya. Akan sering kita jumpai di mana kuil-kuil berdampingan dengan masjid, dan gereja. 


Jika memang malas untuk pergi ke sini sendirian, coba pakai jasa open trip dari Mbak Tika, bisa dihubungi lewat Instagram sartika.syarif. Jadi tidak perlu lah bingung membuat itinenary, cari penerbangan murah, atau hotel yang prima, serahkan saja ke beliau. Beres semua!

Selamat datang di Melaka =)
Share:

Friday, 29 June 2018

Wisata Masjid di Jakarta: Kisah, Sejarah, dan Ziarah

Batavia sedang dilanda isu. Pasar-pasar, dan pusat kegiatan perniagaan yang biasanya ramai oleh orang Tionghoa tidak sesemarak seperti biasa. Ketimbang berdagang, mereka lebih sibuk menajamkan telinga dan meninggikan waspada. Tidak ada yang berani memastikan, apakah benar kabar burung yang selama ini beredar bahwa Belanda sedang membangun benteng di Sri Lanka dan membawa orang-orang Tionghoa dari Batavia sebagai tenaga kerjanya secara paksa.

Mereka teringat kembali bagaimana dulu Belanda kekurangan tenaga kerja di Hindia Belanda, sehingga mereka membujuk orang-orang Tionghoa untuk bekerja bagi mereka. Mereka terbujuk. Dan ternyata Batavia adalah tempat yang cocok untuk mereka berusaha dan berdagang. Dan ketika mereka sudah memboyong keluarga, dan memiliki keturunan di Batavia, Belanda ingin mengirim mereka ke Sri Lanka sebagai budak? Tidak masuk akal!

Ketika firasat tertuang menjadi keresahan, dan keresahan memuncak menjadi ketakutan, kelompok Tionghoa itu berkumpul dan memutuskan untuk mengambil sikap berupa perlawanan. Sekali pun harus mengangkat senjata dan mempertaruhkan batang leher. Atas nama kejayaan dan keberhasilan menguasai jalur perdagangan rempah di Hindia, Belanda yang mendengar rencana ini tidak mau kena serangan lebih dulu. Sang Gubernur Jenderal, Adrian Valckeneir, mengambil langkah cenderung praktis. Sebelum pemberontakan terjadi, tangkap, dan bunuh orang-orang Tionghoa di Batavia!

Lalu di sebuah hari di awal abad 18 itu, orang Tionghoa yang rencananya ingin memberontak tidak berdaya menghadapi sergapan mendadak Belanda. Kalah jumlah, kalah persenjataan, dengan mudah Belanda menggelandang sekitar 14.000 (jumlah ini masih digugat karena diyakini lebih banyak) orang Tionghoa ke tepi Sungai Angke, lalu menyembelihnya. Air sungai menjadi merah, mayat-mayat hasil genosida tersebut konon katanya bisa menjadi jembatan. Dalam bahasa Tionghoa ‘Ang’ berarti merah, dan ‘Ke’ berarti sungai. Begitulah mengapa sungai yang mengalir dari barat Jakarta ke teluk di utara itu disebut Angke. Sumber lain mengatakan, mayat-mayat korban kekejaman Belanda itu dibuang ke sebuah daerah. Saking banyaknya tubuh tak bernyawa itu membentuk gunung hanya dalam waktu sehari. Oleh orang setempat disebut gunung sehari, kemudian diserap hingga kini menjadi Gunung Sahari.

Tersebutlah seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Tan Nio, yang bersembunyi berkat bantuan orang-orang Islam dari Banten, mendirikan sebuah masjid pada tahun 1761. Masjid tersebut selain sebagai tempat ibadah, awalnya menjadi tempat perlindungan etnis Tionghoa yang bersembunyi dari amarah tentara Belanda, kemudian menjadi markas pejuang dalam menyusun strategi melawan Belanda. Kebanyakan pejuang dari Cirebon, dan Banten.

Tidak jauh jarak ruang dan waktu dari peristiwa tersebut, di pesisir Sunda Kelapa, hidup seorang alim bestari penyebar agama Islam bernama Habib Husein al-Aydris. Saat itu, orang yang baru pulang dari Mekah (berhaji) sangat dihormati dan diikuti oleh banyak orang. Belanda tidak menyukai itu, karena orang pribumi dengan potensi seperti itu bisa membahayakan kekuasaan Belanda dengan pemberontakan. Sebagai upaya mengontrol orang yang baru pulang haji, Belanda memberikan gelar “Tuan Haji”, sebagai penanda bahwa orang tersebut dibawah pengawasan Belanda. Beberapa abad kemudian, orang akan banggak jika dipanggil “Pak Haji”.

Habib Husein jelas mendapat perlakuan seperti di atas. Karena ceramah-ceramahnya dianggap mengancam kelanggengan kepentingan Belanda, akhirnya Beliau di penjara. Ketika bebas, Habib Husein mendirikan sebuah masjid. Lalu Beliau wafat di masjid tersebut. Dan lagi-lagi dengan culasnya Belanda melarang jenazah Habib Husein dimakamkan dekat masjid karena dikhawatirkan banyak diziarahi pengikut yang berpotensi memberontak. Jenazah sang habib dibawa ke luar Batavia menggunakan kurung batang. Namun ketika sampai ditempat yang jauh, ketika tubuh tanpa nyawa sang habib akan dikebumikan, jenazah  tersebut raib dari kurung batang (dalam bahasa Betawi tertentu, “jenazah” disebut “batang”).

***

Tibalah masa milenium. Di mana saya hidup di dalamnya. Masjid Angke kini namanya menjadi Masjid Jami Al-Anwar, walau masih lebih terkenal dengan nama Masjid Angke. Panas terik siang itu tidak bisa mengalahkan minat saya atas kisah, sejarah, dan ziarah yang terdapat di masjid tersebut. Jika ditempat lain banyak masjid yang merenovasi, dan memperluas bangunannya, Masjid Angke justru ‘membongkar’ bangunan, pelataran, dan plafon-plafon tambahan. Seorang pria yang merupakan pengurus masjid sekaligus keturunan ke-8 Ny. Tan Nio, menjelaskan bahwa dia ingin menjadikan masjid ini seperti aslinya, waktu pertama kali pembangunannya di abad 18 (1700-an). Jadi, kalau sekarang kita melewati jalan Tubagus Angke yang ramai itu, masjid ini seperti satu-satunya rekam sejarah yang tersisa secara fisik. Autentikasinya sangat valid, atau paling tidak mendekati. Hingga sekarang, belum ditemukan data, dokumen, atau kemungkinan bangunan fisik masjid yang lebih tua dari Masjid Angke ini. Jika begitu, masjid yang letaknya bersebrangan dengan makan keturunan Sultan Hamid sang pendiri Kota Pontianak ini adalah masjid tertua di Jakarta. 
Walaupun pendirinya adalah keturunan Tionghoa, namun arsitektur masjid ini begitu majemuk dan plural. Atapnya berupa punden berundak jelas bergaya Jawa. Ukiran pada pintu-pintunya khas Bali, jeruji-jeruji jendelanya sangat Eropa, dan mimbar tempat imamnya adalah adaptasi dari arab Maroko. Sebuah pesan Bhineka Tunggal Ika jauh sebelum para founding father Indonesia mencetuskan konsep Pancasila. Keren? Bingits! 

 Lalu kita beralih ke Masjid Luar Batang masa kini. Saya familiar dengan wilayah Luar Batang ini ketika gubernur Jakarta di era Pak Basuki Thahjapurnama hendak menertibkan kawasan ini. Saat itu terjadi banyak pertentangan. Ketika saya berkunjung langsung ke sana, saya jadi sedikit mengerti kenapa kawasan ini perlu ditertibkan. Derah masjid ini bisa dibilang terpencil di antara megahnya gedung dan apartemen di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa, yang sewaktu-waktu bisa banjir jika air laut pasang. Yang paling menyedihkan, sih, banyaknya pengemis di sini. Bukannya saya antiorang miskin, tapi siapa yang tega melihat pengemis di tengah terik matahari, terlungkup di aspal, berteriak minta-minta, dengan sebuah ember di depannya?

Secara struktur bangunan, sudah tidak ada yang asli dari Masjid Luar Batang ini. Sejak dibangun oleh Habib Husein, tidak terhitung sudah berapakali masjid ini dipugar. Faktor alam adalah penyebabnya, karena ada di daerah pesisir dan semakin tenggelamnya teluk Jakarta, masjid ini juga ‘memaksa’ lantainya untuk naik. Jadi masjid yang kita lihat sekarang, sesungguhnya sudah terendam satu setengah meter. Ada makam Habib Husein al-Aydris di depan masjid. Banyak peziarah yang memanjatkan doa di hadapan mendiang sang habib. Sayang saya tidak sempat mengambil foto di masjid ini.

Dan untuk asal muasal nama ‘Luar Batang’, sebetulnya ada versi yang lebih bisa diterima semua pihak. Syahdan, dahulu di hilir Ciliwung ada batang dari kayu dan besi yang membatasi sungai dan laut. Jadi apabila ada kapal yang melewati batang tersebut akan dikenakan denda. Nah, wilayah ini ada di luar dari batang tersebut.

Demikian cerita saya tentang masjid bersejarah di Jakarta. Ada beberapa masjid lagi yang memegang peranan penting dalam sejarah Jakarta, bahkan Indonesia. Suatu saat saya harus mengunjunginya, dan menemukan harta karun berupa cerita-cerita dan pesan adiluhung tak terkira.

Terima kasih untuk @wisatasekolah, @jktgoodguide, dan Mas Canda yang sudah mereka-reka ulang kisah dengan sangat baik dan menarik tentang rumah-rumah Tuhan di atas sehingga bisa saya tuliskan kembali di sini. Semoga Tuhan memberkati. Amin. =)
Share:

Monday, 4 June 2018

Tips Murah Berwisata ke Kepulauan Seribu

Untuk orang kantoran dan bekerja di Jakarta, mencari destinasi wisata pantai yang bagus dan komplit ternyata tidak sulit. Provinsi-provinsi tetangga memiliki pantai-pantai unggulan yang sudah terkenal. Banten, misalnya, punya Pulau Peucang, Pulau Sangiang, atau Pantai Sawarna. Jawa Barat punya Pantai Pelabuhan Ratu. Dan kalau mau sedikit jauh, ada Lampung dengan Pahawang, Teluk Kiluan, atau Anak Gunung Krakatau. Semuanya bisa dilalui dalam satu weekend saja.

Namun, karena letaknya di luar kota, biaya untuk ke spot wisata di atas juga lumayan. Mahal, sih, tidak. Tapi buat saya ikut open trip ke destinasi tersebut cukup membuat goyah cash flow rekening bank. Untuk mengakalinya, saya mencari pantai yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta tetapi masih proper untuk, setidaknya, snorkeling dan menyaksikan sunset yang cukup layak untuk diberi embel-embel caption “Pecinta Senja” di Instagram. Pilihannya tentu saja Kepulauan Seribu.

Objek wisata di Kepulauan Seribu ini sudah tentu full wisata bahari. Bulan lalu saya mencoba rute baru ke Kepulauan Seribu, dan ternyata dengan jalur tersebut ongkos menjadi lebih murah. Karena saya adalah travel bloger kelas menengah ke bawah, ya kalau ada yang lebih murah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berikut tips dari saya supaya wisata ke Kepulauan Seribu bisa lebih murah:

1. Naik Kapal Sabuk Nusantara

Jika biasanya, dan memang sebagian besar, berwisata ke Kepulauan Seribu dengan budget minim itu lewat Dermaga Kaliadem di Muara Angke, kalau mau lebih memotong ongkos perjalanan cobalah untuk lewat Pelabuhan Sunda Kelapa. Hanya ada satu kapal yang melayani rut eke Kepulauan Seribu, yaitu kapal Sabuk Nusantara. Tidak setiap hari kapal ini bertolak dari Sunda Kelapa. Ada jadwalnya, yaitu hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Sedangkan untuk sebaliknya adalah Selasa, Kamis, dan Minggu.

Kenapa saya bilang kalau naik kapal ini lebih murah? Karena ongkosnya hanya lima belas ribu rupiah saja. Sabuk Nusantara adalah kapal subsidi dari Departemen Perhubungan dan Pemprov DKI. Kalau naik kapal regular dari Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke, sekali jalan bisa kena lima puluh ribu rupiah. Margin penghematan yang lumayan, bukan?

Kapal ini mempunyai titik pemberhentian. Yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa-Pulau Untung Jawa-Pulau Pramuka-Pulau Kelapa. Saya waktu itu ke Pulau Pramuka memakan waktu tiga jam. Dan naik kapal ini sedikit tricky, karena harganya murah. Sabuk Nusantara berangkat jam delapan pagi, walaupun begitu jika kuota penumpangnya sudah penuh maka pintu kapal akan ditutup dan tidak menerima penumpang lagi walau belum jam delapan. Saya sangat menyarankan untuk datang sepagi mungkin. Jika pergi rombongan, sebisa mungkin ada satu orang yang sudah di dermaga untuk booking tempat dan melakukan pembayaran, nanti nama-nama pesertanya di data dan dicatat.

Eit, jangan khawatir soal fasilitas kapal Sabuk Nusantara ini. Walaupun operasionalnya ditopang oleh subsidi, tidak berarti service-nya menjadi seadanya. Saya pun lumayan surprise ketika masuk dan ke lantai dasar, ada dormitory dengan kasur tingkat full AC dan TV berwarna. Wuih, sudah mirip dengan penginapan-penginapan budget untuk backpacking, hanya kurang free wifi saja. Jadi selama perjalanan 3-4 jam, kita bisa tidur dengan nyaman. Untuk yang mabuk laut, tidak perlu khawatir. Fasilitas lainnya adalah, ada cafeteria yang barang dagangannya harganya sama dengan di warung-warung. Ada yang pernah trauma jajan di kapal ferry karena harganya yang berkali-kali lipat? Di Sabuk Nusantara tidak perlu khawatir, sehabis minum anti mabuk, langsung bisa beristirahat tidur nyenyak. 

Untuk jadwal kepulangan, jika kita pergi di hari Sabtu, maka pastikan di hari Minggu kita sudah berada di dermaga Pulau Pramuka sebelum jam 10 untuk reservasi tempat kembali ke Pelabuhan Sunda Kelapa.

2. Pergi Dengan Cara Berkelompok

Berwisata ke Kepulauan Seribu memang umumnya berkelompok, terutama jika kita memakai jasa travel agent. Walaupun pergi sendiri, nantinya akan dikelompokan dengan rombongan lain. Namun, bisa juga lho wisata ke Kepulauan Seribu ini tidak menggunakan jasa travel agent namun dengan harga lebih murah. Usahakan pergi dengan anggota minimal 10 orang. Lalu pergi lah menuju Pulau Pramuka, pulau besar yang dilalui oleh kapal Sabuk Nusantara tadi. Di sana akan banyak pemilik perahu yang menawarkan perahunya untuk ke pulau-pulau di sekitar Pulau Pramuka. Kalau kita datang dengan berkelompok, kita bisa carter perahu dan bebas menentukan mau ke pulau mana tanpa harus menunggu kuota perahu penuh.

3. Berwisata Dengan Cara Berkemah

Ini masih berhubungan dengan poin nomor 2. Kepulauan Seribu, selain memiliki pulau-pulau dengan penduduk, pulau dengan resort, juga memiliki pulau kosong yang bisa digunakan untuk berkemah. Pulau Kotok, dan Pulau Semak Daun adalah rekomendasi dari saya (akan saya tulis di artikel lain detail mengenai dua pulau ini). Izin berkemah di sini hanya 35 ribu rupiah per orang. Caranya? Dari Pulau Pramuka naik perahu kecil dengan tarif 50 ribu rupiah per orang PP. Nah, di sini tips nomor 2 tadi berguna. Kalau kita pergi dengan rombongan, pemilik perahu menawarkan harga carter 500 ribu rupiah, plus dapat fasilitas antar jemput ke spot snorkeling. Fasilitas yang tidak kita dapatkan jika pergi perorangan. Dengan cara berkemah ini kita bisa menghemat anggaran namun mendapat pengalaman tur yang sama dengan kalau kita wisata ke Kepulauan Seribu dengan travel agent dan menginap di homestay.


Bulan lalu ketika saya ke Pulau Kotok, dengan 9 orang teman, total semua biaya adalah 203 ribu rupiah per orang, sudah termasuk sewa alat snorkeling seharga 30 ribu per hari per orang. Jadi untuk yang ingin variasi wisata ke Kepulauan Seribu karena bosan ke Pulau Tidung, atau Pulau Pari, tips di atas bisa dicoba. Selamat berwisata ke Kepulauan Seribu =)
Share:

Monday, 21 May 2018

5 Tips Mudik Aman Dan Nyaman Menggunakan Motor

Sejak pesatnya pembangunan infrastruktur jalan, dan kemudahan untuk membeli sepeda motor, kendaraan roda dua ini memang menjadi kebutuhan utama transportasi di banyak ota besar di Indonesia. Sepeda motor yang awalnya hanya dipakai untuk keperluan jarak dekat atau maksimal masih dalam satu provinsi, kini bisa pergi jauh melewati dua-bahkan tiga provinsi.

Menjelang lebaran, masyarakat Indonesia kerap menggunakan waktu libur untuk kembali ke kampung halaman untuk melepas rindu dengan keluarga maupun sanak saudara. Terlebih Anda dimudahkan dengan pilihan transportasi umum dan kendaraan pribadi untuk perjalanan jauh Anda. Bila menggunakan transportasi umum, Anda bisa mencari tiket murah untuk pilihan transportasi darat, udara dan laut yang sebaiknya dipersiapkan secara jauh hari. Lain halnya bila memakai kendaraan pribadi seperti mobil dan motor.

Walaupun resikonya paling besar, dan saya sangat menyarankan untuk mudik ke kampung halaman dengan angkutan umum saja, kalau situasi memang harus menggunakan sepeda motor, ada baiknya menyimak tips-tips mudik dengan motor berikut: 



1. Kondisi tubuh dan psikis yang baik. Saat Anda melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan bermotor, sebaiknya Anda melakukan persiapan fisik dan mental yang baik. Hal tersebut berguna agar stamina dan psikis Anda menjadi lebih terlatih saat mengendarai motor dengan jarak yang cukup jauh. Sebaiknya Anda memulai istirahat yang cukup sebelum memulai perjalanan, dan tidak melakukan kegiatan fisik yang berlebihan. Untuk melatih fisik, Anda bisa rutin untuk mengendarai selama dua hingga tiga jam lamanya diselingi istirahat kecil. Anda juga jangan mengkonsumsi kopi dan minuman berenergi yang berlebihan sebelum mudik.


2. Cek kondisi motor.

Terdapat empat bagian penting kendaraan bermotor yang harus Anda periksa saat hendak melakukan perjalanan jauh. Bagian penting seperti roda, lampu-lampu, rem, dan mesin menjadi bagian prioritas Anda bila akan melakukan servis di bengkel ataupun diperbaiki sendiri. Pada roda, Anda bisa mengecek kondisi ban, jari-jari atau velg, dan rantai yang menjadi penggerak roda. Untuk lampu-lampu berfungsi dengan baik karena penerangan bisa menjadi alat komunikasi pengendara dengan pengguna jalan lainnya. Pastikan juga sistem pengereman berfungsi baik, cek tebal dan kebersihan kampas rem. Terakhir adalah cek kondisi mesin, pastikan oli dalam kondisi baik dan mesin memiliki tenaga yang terbaik.

3. Perlengkapan berkendara untuk keamanan


Agar keselamatan Anda terus terjaga, Anda diharus memakai perlatan safety yang lengkap. Siapkan helm full face, jaket, sarung tangan, celana panjang dengan bahan tebal, sepatu, serta masker untuk berkendara dalam perjalanan jauh. Tambahkan juga alat pelindung lainnya seperti deker, rompi pelindung angin dan jas hujan dengan warna yang mencolok. 


4. Patuhi tata tertib berlalu lintas

Jalur mudik di pulau Jawa terkenal padat dengan jutaan kendaraan baik pribadi maupun umum melalui jalur protokol setiap harinya. Oleh karena itu, pengendara harus beretika lalu lintas secara baik. Disiplin dan etika saat mengendarai motor menjadi hal yang penting untuk keselamatan Anda. Utamakan rasa saling menghormati sesama pengendara jalan. Usahakan untuk terus bersabar menyikapi masalah, dan kendalikan motor dengan aman. Perhatikan serta patuhi juga rambu-rambu lalu lintas agar pengendara dan pengguna jalan lainnya untuk menciptakan suasana aman saat mudik.


5. Rencana perjalanan
Itienary atau rencana perjalanan yang terjadwal dengan baik akan memudahkan Anda untuk mengenali jalur yang akan dilewati. Catat titik-titik penting atau rawan, serta nomor darurat seperti kantor polisi, rumah sakit, dan lainnya. Hindari bawa barang berlebihan dan gunakan fasilitas jasa pengiriman bila ada barang yang harus dibawa saat mudik ke kampung halaman Anda. Untuk beristirahat Anda bisa menggunakan posko-posko kendaraan bermotor yang tersebar di seluruh jalan protokol Indonesia.
Sekian tips mudik dengan motor dari saya. Tujuan dari mudik adalah berkumpul bersama keluarga, dan sanak saudara. Jadi keselamatan adalah yang utama. Selamat mudik, salam dari saya untuk keluarga di kampung halaman =)

Share:

Monday, 30 April 2018

Shell Eco-Marathon 2018 Singapura, Bentuk Partisipasi Warga Dunia Untuk Energi Masa Depan

Energi. Sebuah sumber daya yang mutlak dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan. Salah satu sumber energi terbesar yang digunakan manusia berasal dari minyak bumi. Manusia melakukan eksplorasi, dan eksplotasi tanpa henti sumber daya yang terbentuk dari fosil jutaan tahun silam ini untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam produk, dan bahan bakar adalah komoditas yang paling mendominasi.

Masalahnya adalah sumber daya tersebut tidak dapat beregenerasi atau tidak bisa terbarukan. Sedangkan kuantitas sumber daya manusia tidak terbatas. Bahan bakar fosil terus menyusut, cadangan minyak mentah dalam perut bumi mau tidak mau berkurang seiring semakin besarnya upaya manusia membangun industri dan konsumsi.

Apa tandanya manusia harus segera menyudahi, atau setidaknya, membatasi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini? Indikator sederhananya bisa dilihat dari negara penghasil minyak terbesar di dunia, Arab Saudi. Negeri Petro Dollar ini sekarang mulai mencari pemasukan lain di luar migas untuk menjaga stabilitas perekonomian, misalnya dengan menggenjot sektor pariwisatanya. Mereka mulai membuka diri, mencoba fleksibel dengan budaya agar masyarakat dunia luar tertarik datang untuk tamasya. Contoh lain datang dari negara tetangga kita, Brunei Darussalam. Negara monarki yang tajir melintir karena minyaknya yang melimpah itu, kini sudah berpikir untuk memotong tunjangan warganya demi menyelamatkan ekonomi negara yang goyah karena cadangan minyaknya menipis. Dalam jangka panjang, jika ini terus terjadi, maka kedua negara tersebut akan mengurangi ekspor minyak mereka. Ekspor berkurang, maka peredaran minyak dunia akan menurun di tengah permintaan yang tetap tinggi. Akibatnya terjadi kenaikan harga, dan kita semua tahu apa multiply effect dari naiknya harga minyak dunia.

Memang harus ada ‘teriakan’ “do something!”. Arab Saudi, dan Brunei hanya dua contoh kecil bahwa ketergantungan manusia akan sumber daya hayati unrenewable ini merupakan masalah serius. Sinyal ini harus ditangkap betul oleh semua produsen, dan konsumen bahan bakar fosil.

Ada beberapa cara supaya manusia, setidaknya, tidak kehabisan energi tak terbarukan ini sebelum energi alternatif ditemukan.

1. Menghemat Penggunaan Bahan Bakar

Diversifikasi produk bahan bakar untuk penggunaan yang tepat bagi jenis kendaraan bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Shell. Perusahaan energi sejak 1907 dan sekarang berkantor pusat di Belanda ini membuat beberapa varian bahan bakar agar sesuai dengan kendaraan yang kita gunakan agar efisien, dan berujung pada penghematan. Bisa dilihat dari 4 produknya:
  • Shell Regular
Ini jenis baru. Menggunakan teknologi Dynaflex supaya mesin tetap bersih karena jenis ini melindungi komponen utama seperti injektor dari penumpukan endapan yang bisa menghambat performa dan penggunaan bahan bakar yang sia-sia.
  •  Shell Super
Jenis paling dasar dari semua bahan bakar Shell untuk mesin nondiesel. 
  • Shell V-Power
Jenis ini memiliki molekul pengurang gesekan sehingga memperkecil energi yang terbuang akbiat panas.
  • Shell Diesel Bio
Ini untuk kendaraan bermesin diesel. Kita tahu bahwa kendaraan bermesin diesel biasanya lambat panas sehingga banyak energi terbuang. Tapi Shell Diesel Bio mengandung 20% bahan bakar nabati, seperti minyak kelapa sawit. Jadi penggunaan bahan bakar fosil dalam memproduksi jenis ini bisa ditekan.

Bahan bakar tersebut di atas sudah bisa dinikmati di Indonesia di 70 pom bensin yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Sumatera Utara.

2. Melibatkan Masyarakat Dunia Untuk berpartisipasi Dalam Upaya Peghematan

Harus diakui, mencari sumber energi terbarukan ini selain sulit, biaya investasinya sangat mahal. Shell sebagai perusahaan energi yang memilikin tujuan strategis sebagai provider bahan bakar yang bersih, nyaman, dan kompetitif sangat memahami ini. Shell melibatkan warga masyarakat dunia untuk bersama-sama mencari solusi atas ketergantungan manusia kepada bahan bakar fosil.
Bentuk nyatanya berupa event Shell Eco-Marathon. Yaitu ajang kompetisi antarmahasiswa di seluruh dunia untuk memberikan ide dalam mendesain dan mengembangkan mobil-mobil sangat hemat energi. Untuk kawasan Asia, di mana Indonesia berpartisipasi di dalamnya, diadakan pada tanggal 8-11 Maret 2018, di Changi Exhibition Centre, Singapura. Seperti apa mobil hemat energi yang diharapkan? Gambarannya ada pada Shell Eco-Marathon 2017, di mana pemenang regional Asia mobil desainnya mampu menempuh jarak 2.289km dari Singapura ke Chiang Mai di utara Thailand hanya dengan 1 liter bahan bakar! Kalau di Indonesia, itu berarti hampir setara Jakarta-Surabaya pulang-pergi.

Denah venue Shell Eco-Marathon Singapore 2018

Event bertema Make The Future yang kelak akan memunculkan Tony Stark-Tony Stark baru, tokoh penemu teknologi jenius fiktif di cerita superhero, ini memiliki tiga ketegori:
  •  Kategori Penghargaan  On-Track

    Peraturan utama kategori ini adalah, desain mobil yang mampu menempuh jarak terjauh dengan konsumsi bahan bakar semiminimal mungkin sebagai syarat utama untuk juara. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua subkategori:  Yaitu prototype dan urban concept. Dua kategori itu memiliki kelas-kelas tersendiri.

     PROTOTYPE
    - Internal Combustion Award: Kategori ini melombakan desain mobil yang mampu menempuh jarak paling jauh dengan kuantitas bahan bakar paling sedikit. Shell Eco-Marathon Asia menobatkan Panjavidhya Technological College (Thailand) sebagai pemenang, dengan pencapaian 2.341,1km/liter. Dan berarti itu memecahkan rekor tahun lalu.

     - Battery Electric Award: Peraturannya sama, namun bahan bakar pada penghargaan ini adalah penggunaan tenaga listrik sebagai sumber energi

    - Hydrogen Fuel Cell Award: Bahan bakar pada subkategori ini adalah hidrogen yang ramah lingkungan.

    Berikut adalah hasil lengkap dari masing-masing subkategori:




          URBAN CONCEPT
Urban concept pada dasarnya adalah sebuah cetak biru mobil yang akan diproduksi seacra masal di masa depan dan dapat dikendarai diperkotaan. Berbeda dengan prototype yang memang hanya diciptakan satu atau terbatas. Nah, di sini Indonesia patut berbangga karena ada beberapa wakil yang juara. Penilaian kelasnya pun sama:
- Internal Combustion Award
- Battery Electric Award
- Hydrogen Fuel Award
Dan hasilnya adalah sebagai berikut:



  •   Kategori Penghargaan Off-Track

Kategori ini menilai segala sesuatu di luar teknis penggunaan bahan bakar. Seperti desain, teknis, unsur keselamatan (safety), dan komunikasi. Dengan kata lain, peserta dituntut untuk kreatif dalam menyusun fitur sebuah mobil. Dan yang membuat bangga tentu saja karena pemenang untuk kategori safety desain urban concept car bersasal dari Indonesia, GARUDA UNY ECO TEAM dari Universitas Negeri Yogyakarta. Point kemenangan tim dari UNY ini utamanya adalah karena mereka menguji kreasi mereka dengan tekanan pompa hidrolik terhadap desain mobilnya. Tim ini juga menggunakan pendekatan integral, yang mana keamanan terjamin bukan hanya untuk driver, melainkan untuk lingkungan di sekitarnya. Di tambah lagi kerja sama tim yang solid menjadi nilai tambah dalam menentukan keputusan dewan juri.

Tim Garuda UNY

  •  Drivers’ World Championship

Ini adalah bagian dari kompetisi yang paling seru. Karena bagian event Make The Future ini memilih pengemudi paling jago dalam mengemudi kendaraan dengan amat sangat efisien dalam hal konsumsi energi, namun tetap mengedepankan kecepatan. Di sini keandalan para peserta diuji, karena biasanya kecepatan kendaraan dan konsumsi bahan bakar berbanding terbalik.

Arena pacu peserta Drivers' World Championship

 Indonesia mengirim lima tim dari universitas terbaiknya di Drivers’ World Championship regional Asia ini. Kabar membanggakan bagi Indonesia kembali berhembus dari ajang ini, di mana peringkat 1-5 didominasi oleh pengemudi yang membawa misi mengibarkan Sang Merah Putih. Podium tertinggi diaraih oleh Tim Semar Urban UGM, dengan mobilnya Semar Urban 3.0 bersama sosok di balik kemudi, yaitu Tito Setyadi Wiguna dengan catatan 9 putaran dan menyisakan 0.9% bahan bakar. Sebuah prestasi luar biasa mengingat pebalap kaliber Lewis Hamilton saja belum tentu bisa.

Juara!
Di sela-sela kunjungannya ke paddock tim Indonesia, presiden direktur PT. Shell Indonesia, Darwin Setiadi, memuji pencapaian garuda-garuda muda ini. "Bukti nyata dan inspiratif bahwa anak-anak muda Indonesia memiliki talenta dan kemampuan yang sangat kompetitif tidak hanya di regional, tetapi juga di tingkat global.” Katanya.
Tim Semar Urban UGM berhak mewakili regional Asia untuk kembali bertanding di ajang World Drivers’ Championship tingkat global. Di mana pemenangnya akan mengunjungi markas tim F1 Scuderia Ferrari! Pengalaman sekali seumur hidup karena tidak semua orang punya kesempatan masuk langsung ke ‘dapur’ tim legendaris ajang balap jet darat yang pernah dibela Michael Schumacer dan Fernando Alonso itu.


Selain menjanjikan ketatnya kompetisi, hajatan Shell Eco-Marathon ini juga tidak melupakan sisi hiburan penuh pencerahan untuk menambah semarak acara. 15.000 pengunjung mendapatkan pemahaman tentang berbagai tantangan dan permasalahan energi global dalam sesi Energy Theatre. Terobosan tahun ini ditandai dengan adanya modul lantai dansa kinetik bagi pengunjung yang ingin merayakan event ini dengan menari. Tidak kalah penting, ada juga demonstrasi dari beberapa rekanan Shell yang menawarkan energi alternatif di luar bahan bakar fosil. Misalnya bagaimana caranya biji-biji kopi selain sebagai bahan baku untuk membuat minuman yang nikmat, juga bisa sebagai penghasil energi pengganti bahan bakar fosil.  Atau sebuah tekhnik bernama Liter of Light, yang mampu menghasilkan energi bagi kota dan desa di Filipina hanya dengan panel surya dan sebotol air. Dan ada juga forum diskusi terdiri dari 150 pemimpin delegasi membahas berbagai tantangan energi masa depan dalam Shell Powering Progress Edition Asia edisi kelima.

Kita tentu berharap ajang Shell Eco-Marathon ini bisa mengonsolidasikan semua pemangku kepentingan di bidang energi mulai dari produsen, perusahaan, hingga masyarakat sebagai end user supaya menyadari bahwa energi bahan bakar harus dihemat semaksimal mungkin. Bukan saja demi bisnis dan ekonomi, tapi juga bagi bumi tempat kita tinggal. Sebuah persembahan dari Shell yang berdampak global demi tercapainya energi masa depan.

Khususnya di kawasan Asia, karena kawasan ini tempat bernaung dari 60% persen populasi dunia. Sebuah angka yang besar baik dari sisi komersial, maupun efek dari efisiensi bahan bakar. Setiap tahun di ajang ini 120 mahasiswa terbaik dari Asia Pasifik dan Timur Tengah bertanding merancang mobil futuristik dan berkompetisi untuh gelar paling hemat energi.

Pengurangan konsumsi bahan bakar fosil memang sudah seharusnya dikurangi secara massif mulai dari sekarang.Gelaran Shell Eco-Marathon membuat mimpi dunia menjadi lebih baik dengan ketercukupan energi semakin mendekati kenyataan. Jangan sampai bahan bakar yang kita pakai sekarang habis sebelum waktunya. Shell bersama warga dunia memastikan itu.






Share: