Thursday, 25 January 2018

2 Hostel 1 Bangkok

Roda pesawat belum sepenuhnya menyentuh landasan. Tetapi saya melihat butir-butir air mulai menggarisi jendela pesawat. Kota Bangkok hujan. Walah, kok hujan? Padahal satu minggu penuh saya diberi cuaca sangat cerah ketika di Kamboja, dan Laos. Semoga hanya gerimis, harap saya dalam hati. Tapi semakin pesawat mengurangi ketinggiannya hingga mendarat, hujan malah semakin deras.

Ini adalah pertama kalinya saya ke Thailand. Jujur, saya clueless harus ke mana setelah keluar dari Don Mueang International Airport sore itu. Seharusnya saya ke hostel yang sudah saya pesan. Tapi karena enggak tahu mau ke mana, saya cukup lama bolak-balik cari informasi kayak ikan arwana kurang jangkrik.

Ketika saya sedang duduk di pinggir pintu ke luar bandara, lewat sebuah bus bernomor A4 dengan jurusan Don Mueang Airport-Khaosan Road. Aha! Otak saya yang setengahnya terdiri dari neuron dan sisanya mecin, secara spontan menarik sebuah kesimpulan. Saya ingat waktu saya booking hostel, diinformasikan bahwa letaknya hanya 600 meter dari Khaosan Road yang terkenal itu. Tanpa ragu saya seret tas saya dan dengan tergopoh naik ke bus.

Busnya nyaman, dingin banget karena mungkin angin AC yang bercampur hawa hujan. Baru saya ketahui bahwa semua bus di Bangkok kondekturnya wanita. Dengan sopan dia menggoyangkan sebuah benda berbentuk tabung yang isinya uang receh sehingga bunyi benturan anataruang logam bergemericik, tanda meminta ongkos. Sama kayak di Jakarta, cuman kalau di Jakarta enggak pakai tabung dan yang nagih ongkos abang-abang pakai handuk good morning. Saya membayar 50THB sesuai tarif.

Rasanya di Bangkok lelah saya baru terasa setelah semingguan full di Kamboja-Laos banyak berjalan kaki. Saya memilih bersandar di kursi bus. Pemandangan petang Bangkok yang hujan tidak menarik minat saya. Sama saja seperti jalanan Jakarta, hanya saja tidak ada suara klakson.

Sekitar satu jam, saya diberitahu kondektur untuk bersiap. Di sebuah halte, saya turun. Dan ternyata tidak tepat di Khaosan Road. Khosan Road masih beberapa puluh meter di depan. Saya mengeluarkan print out booking hostel. Dan saya menyadari betapa bodohnya hamba Tuhan satu ini.

Begini, harusnya saya booking untuk dua malam. Untuk malam ini, dan lusa. Dan yang tertera di kertas booking-an saya cuma untuk lusa. Wich is malam ini saya belum dapat penginapan. Duh, rasanya kepengen nantangin semua bule yang ada di sekitar situ buat adu panco saking keselnya. Suasana diperburuk dengan turunnya hujan yang semakin deras. Untung saya bawa payung. Niat saya yang tadinya mau cari makan dulu, langsung berbelok menjadi cari penginapan dulu. Dalam hati ini sudah berteriak, “PE’AK, DASAR PE’AK! MAKANYA BESOK-BESOK KALO BOOKING HOSTEL JANGAN SAMBIL PANEN LELE!!!”

Okay. Tenang. Saya berada di jalan utama Phranakorn, Bangkok. Di sepanjang jalan itu ternyata banyak hostel, karena memang letaknya dekat dengan Khaosan Road yang daerah favorit turis. Kepanikan saya sedikit berkurang. Di tengah hujan, saya menyusuri trotoar dan justru menjauhi kawasan Khaosan. Hujan-hujan gini males ke tempat ramai. Saya menemukan tulisan di neon box ‘218 House’. Saya masuk dan menanyakan ketersediaan kamar. Ada! Bentuknya mixed dorm dengan delapan tempat tidur. Boleh lah saya ambil tanpa melihat lagi bagaimana kamarnya. Yang penting tidur dulu.

Kamarnya ada di lantai 2. Interiornya dominan putih, senada dengan sprei dan ranjangnya. Ada dua kamar mandi yang terletak di luar kamar tidur. Hospitality-nya sangat prima, walaupun sederhana, tetapi membuat saya betah. Kalau enggak ingat belum makan, rasanya saya ingin langsung tidur di kasurnya.

Harganya 250THB dengan deposit sebesar 200THB. Harga tersebut sudah termasuk sarapan, kopi, dan free wifi. Dan yang paling berkesan adalah, pemilik hostel ini sangat ramah. Sepasang suami istri. Misalnya ketika tahu saya ingin mecari makan, dia merekomendasikan beberapa tempat makan. Dia pun tahu bahwa Orang Indonesia kemungkinan besar mencari makanan halal. Sang istri menunjukkan arah di mana saya bisa makan martabak kubang, nasi biryani, atau restoran kebab yang enak tapi murah. Bahkan dia dengan senang hati memberitahu letak masjid kalau-kalau saya ingin shalat berjama’ah.

Suami istri ini pun sangat informatif. Dia mengatakan cuaca di Bangkok sudah hujan melulu sejak dua hari yang lalu imbas badai di Filipina.

“So, what will you do in Bangkok?”

“Just looking around. May be to Wat Po, tomorrow.”

Si isteri mengambil tablet Samsungnya dan membuka Google Maps lalu menunjukkan arah ke Wat Po, Wat Arun, dan Royal Palace yang ternyata tidak begitu jauh. Dia menyarankan saya untuk tidak naik tuktuk, dia khawatir karena saya sendirian dan nanti dikasih harga mahal. How kind they are. Sebelum tidur, mereka menyalami saya dan mengucapkan good night. Baik banget kan? Rasanya pengen banget mangil beliau "Emak-Abah" lalu salim sebelum saya berangkat jualan opak, eh, keliling Bangkok maksudnya.

Paginya saya mesti check out dan mencari penginapan saya yang seharusnya. Saya tidak sempat mengambil foto 218 House ini karena terburu-buru dan juga karena bentuknya yang ternyata hanya ruko. Saya lumayan terkejut begitu keluar pagi-pagi tepat di depan lobby sudah banyak orang dagang baju, makanan, sampai nomor lotere. Jadi Hostel ini mepet banget sama toko-toko lain. Kalau dibilang kekurangan, ya ini kekurangannya sih. Soalnya jadi berisik.

Penginapan saya yang seharusnya beralamat di 21 Samsen Road, Samsen Soi 6. Masih di ruas jalan Phranakorn, tapi berbeda sekitar 4 gang dari hostel yang pertama. Namanya Blue Chang House. Tidak ada pemilik ramah. Karena saya disambut karyawan yang bekerja di hostel tersebut. Harga per malamnya 300THB dan tanpa uang deposit.

Untuk hospitality, Blue Chang House sedikit lebih baik. Karena dia memiliki bangunan sendiri, tidak di ruko. Bangunan utamanya terletak di belakang lobby. Kamar mixed dorm yang saya pesan ada di lantai 2. Material utama hostel ini adalah kayu dengan cat dominan cokelat strip biru, membuat hostel ini begitu autentik. Bagitu masuk kamar saya disambut pencahayaan temaram namun pas. Walaupun dorm, kesan elegannya tidak hilang karena di dalam kamar pun tetap mempertahankan aksen kayu dan jumlah tempat tidurnya hanya empat. Pengharum ruangan dengan aroma woody menegaskan konsep simply nature hostel ini. 
Menuju Lantai 2. Menuju pelaminan kapan?

 Untuk urusan rotasi udara, ada fasilitas AC dan kipas angin. Useless, karena dengan cuaca Bangkok yang hujan, siapa juga yang mau ambil resiko masuk angin dengan menggunakan salah satunya. Toilet ada di luar, sebelah kanan kamar. Adanya pilihan air hangat sangat membantu saya dalam menumbuhkan niat mandi. Saya suka dengan tulisan di pintu toilet yang kalau diterjemahkan kira-kira begini, “Tinggalkan toilet untuk orang setelahmu”. Jadi bakalan enggak enak sendiri kalau meninggalkan toilet dengan keadaan kotor.

Tepat di bawah tangga, ada hang out corner berbentuk mini bar. Di dindingnya banyak beraneka macam botol minuman beralkohol. Kalau malam, tempat ini ramai oleh tamu atau turis yang sekedar mencari tempat nongkrong sambil nge-wine.
Pengen mesen bajigur, eh gak ada

Berasa Djenggo

Blue Chang House ini sangat membantu saya memulihkan stamina setelah seharian berkeliling Bangkok yang hujan tiada henti. Selimutan di kamarnya sambil streaming film memanfaatkan jaringan wifi-nya yang perkasa membuat tenaga saya cepat kembali. Kelebihan lainnya, di sekitar Blue Chang House banyak rumah makan murah dan kedai kopi. Jadi banyak pilihan untuk urusan perut. Letaknya pun tidak jauh dari jalan utama yang dilalui bus. Utamanya bus A4 yang membawa saya kembali ke Don Mueang Airport.

Intinya, Bangkok adalah kota tujuan wisatawan dunia. Guesthouse atau hostel sudah menjamur di sana. Pelayanan dan fasilitas pun jauh lebih baik daripada di Kamboja dan Laos. Jadi jangan khawatir tidak dapat hostel kalau ke Bangkok. Dan kalau sudah booking jauh-jauh hari, coba cek lagi kapan check in-nya. Supaya enggak salah jadwal kayak saya =)
Mengingatkan saya sama gerobak capucino cincau



Rekap Biaya:

- 218 House : 250THB, dengan deposit 200THB yang dikembalikan ketika check out

- Blue Chang House : 300THB tanpa deposit

- Siapkan passport. Nanti sebelum check in passport akan difotokopi dan aslinya dikembalikan.

Kurs akhir Desember 2017: 1THB= 430IDR
Share:

Monday, 15 January 2018

34 Jam di Bus Pnom Penh - Luang Prabang

Pnom Penh - Viantiane Selama solo traveling ke Indochina akhir tahun 2017 lalu, satu hal yang paling saya tunggu adalah naik bus untuk menyebrang antarnegara. Sebagian besar negara ASEAN memang terletak pada daratan yang sama di bagian tenggara Benua Asia, dan ini memungkinkan untuk berpindah dari satu negara ke negara lain lewat perbatasan darat.

Setelah melewati perjalanan 7 jam naik bus dari Siem Reap, saya sampai di terminal bus Pnom Penh. Banyak yang bilang agar saya berhati-hati di ibu kota Kamboja tersebut karena tingginya kriminalitas dan scam di sana. Baru turun dari bus, calo dan tukang tuk-tuk langsung mengerubungi saya, entahlah, mungkin muka polos ini memancarkan prospek cerah lembaran dollar bagi mereka. Untung saya sudah berpengalaman nolak-nolakin kang ojek di Kampung Rambutan, jadi bisa ngeles.

Sebetulnya Pnom Penh ini hanya kota untuk transit saja di itinenary saya. Dalam garis besar, rute perjalanan saya adalah seperti ini:

Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Luang Prabang by bus, Luang Prabang to Bangkok by bus, dan Bangkok to Jakarta by plane.

Tapi apa daya karena waktu yang tidak cukup, saya harus mengubah rute tersebut. Pertama, saya akhirnya berkompromi bahwa dari Luang Prabang (Laos) ke Bangkok (Thailand) naik pesawat. Kalau naik bus, saya akan kehilangan lebih dari sehari, dan hanya punya waktu satu hari di Bangkok. Ngapain seharian doang di Bangkok? Jual pecel?

Kemudian harus saya dapati juga kenyataan bahwa tidak ada bus langsung dari Siem Reap ke Luang Prabang. Paling tidak saya harus ke ibu kota masing-masing negara lebih dahulu. Jadilah itinenary-nya seperti ini:

Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Pnom Penh (ibu kota Kamboja) by bus, Pnom Penh to Viantiane (Ibu kota Laos) by bus, Viantiane to Luang Prabang by Bus, Luang Prabang to Bangkok by plane, Bangkok to Jakarta by plane. Huft. Jadi lebih panjang, tapi itu opsi terbaik yang saya punya.

Setelah lolos dari bujuk rayu pengendara tuktuk, hal pertama yang saya pikirkan adalah mencari tiket bus ke Viantiane. Loket pembelian tiket jauh dari tempat bus berhenti. Saya menuju loket paling pojok untuk bus internasional. Terlintas oleh saya menanyakan apakah ada yang langsung menuju Luang Prabang, jadi tidak usah ke Viantiane lagi?

“Is it available direct bus to Luang Prabang?” Tanya saya ke mbak-mbak berseragam di balik loket. Dia mengetik sesuatu di komputernya, lalu bertanya ke teman di sebelahnya. Lumayan lama mereka ngobrol pakai bahasa lokal.

“No. You have to go to Viansien first” Jawabnya dengan logat Kamboja yang meneyebut ‘Viantiane’ menjadi ‘Viensien’.

Baiklah, saya kembali ke rencana semula. Akhinya saya beli tiket Pnom Penh-Viantiane seharga 50 USD. Lebih murah 10 USD dari yang saya anggarkan. 
Tulisan di dalam bus. Password wifi?
Di tiket bus berangkat jam 6.45 pagi esok harinya, dan saya diminta datang 20 menit sebelumnya. Dengan semangat anak muda mau malam mingguan, jam 5.30 pagi saya sudah duduk manis di depan loket tempat saya membeli tiket. Jam 7 bus baru benar-benar bergerak dari terminal Pnom Penh. Tidak ada yang berbeda bus yang saya naiki dengan bus AKAP di Indonesia pada umumnya, kecuali letak setirnya yang di sebelah kiri dengan memutar video karoke ala-ala Doel Soembang tapi pakai Bahasa Kamboja. Ampun DJ!

Pnom Penh-Viantine dengan bus memerlukan waktu 24 jam. Jadi saya sangat menyarankan untuk membawa bekal yang cukup untuk makan dan minum. Nanti bus berhenti sekali untuk makan siang. Saya sempat membeli Oreo, roti sobek, dan beberapa botol kopi instan sebagai bekal. 

Yang ada di Indonesia, dan ada pula di Kamboja

Di Indonesia, 24 jam naik bus dari Jakarta itu mungkin sudah sampai Bali. Atau masih di Brebes kalau kena macet pas mudik. Di Indochina, dengan kondisi lancar, kita bisa ke dua negara. Sepanjang perjalanan saya banyak melewati daerah-daerah di Kamboja. Seru. Karena selama ini saya hanya mengetahui negara ini hanya Siem Reap dan Pnom Penh. Beberapa kali bus yang saya tumpangi menyusuri Sungai Mekong, lalu berbelok meninggalkan Sungai Mekong, kemudian bertemu lagi di titik lain.

Semakin dekat ke border Kamboja-Laos, semakin saya melihat wajah lain Kamboja. Hotel-hotel mewah di Siem Reap seperti mimpi, dan saya terbangun oleh kawasan-kawasan kumuh nan gersang yang seolah baru pulih dari perang. Anak-anak kecil yang bermain dengan telanjang, tidak peduli tebalnya debu menyelimuti badan mereka. Di Indonesia, banyak yang kritis dengan jeleknya gedung sekolah di pedalaman. Di Kamboja, ada sekolah yang saya rasa memiliki dinding saja sudah bagus. Jika suatu saat saya kesal dan kurang puas dengan tata kelola NKRI, saya akan selalu ingat sebuah negeri bernama Kamboja.

Menjelang petang, sekitar pukul tiga sore, bus berhenti di sebuah daerah bernama Stung Treng. Di sini semua penumpang lokal turun. Dan naik seorang backpacker dari Koln, Jerman, bernama Alena. Sangat ramah. Dan di bus tinggal menyisakan saya, Alena, dan Sha, backpacker asal Malaysia.

Di Stung Treng ini juga kondektur bus berganti. Kondektur barunya lebih friendly, dan sangat bermuka Indonesia. Murah senyum, dan speak English very well. Dia meminta semua paspor kami dan menginformasikan bahwa dua jam lagi akan sampai perbatasan. Kami juga diwajibkan mengisi departure card sebagai tanda akan meninggalkan Kamboja. Si Kondektur ini dengan senang hati mengisikan data untuk saya.

Oh iya, kami juga dimintai biaya masing-masing 5USD. Saya sempat bertanya karena tidak ada rasanya biaya seperti itu. Apalagi saya kan dari negara ASEAN, bebas visa dong! Si kondektur menjelaskan bahwa dengan biaya itu kami sudah tau beres. Tinggal cap jari, lalu tidak perlu turn lagi di gerbang Laos. Sederhananya, biaya pelican. Ya sudahlah, saya bayar saja.

Benar saja, jam 5 sore saya sampai di border Kamboja-Laos, di Traps Ang Kreal. Kami diturunkan di imigrasi Kamboja untuk cap jari. Dan saya dimintai lagi 2USD sama petugasnya. Saya bertanya untuk apa, tapi tidak dijawab dan paspor saya ditahan. Hanjir. Saya mengalah lagi, melayang 2USD.

KAMPRET!

Jadi, kalau mau menyebrang naik bus Kamboja-Laos, saya sangat menyarankan below margin dari budget sebesar, paling tidak 7USD. Untung harga tiket bus lebih murah 10USD dari perkiraan saya, jadi masih surplus 3USD.

Lalu kami digiring kembali naik bus, tidak boleh berlama-lama berada di sekitar imigrasi. Kemudian masuk ke gerbang Laos yang hanya dibatasi oleh sebuah portal. Sore itu menjelang matahari terbenam, saya resmi keluar Kamboja dan masuk Laos lewat Nong Nok Khiene. HAMDALAH! 
Si kondektur kasih pengumuman lagi, bahwa dalam dua jam kita akan berganti bus di Phakse. Phakse ini bisa dibilang kota besar pertama di Laos jika kita masuk dengan bus lewat Kamboja. Dari Phakse baru ke Viantine. Perjalanan dari perbatasan ke Phakse tidak begitu terasa karena di bus memutar film-film Hollywood. Di Phakse, kami berganti bus menjadi sleeper bus. Setelah 12 jam duduk statis, akhirnya bisa merebahkan diri untuk 12 jam ke depan menuju Viantiane. Tidak butuh waktu lama untuk saya terlelap. Untuk ukuran tidur di bus, tidur saya malam itu sangat nyenyak. 
Sleeper Bus

Viantiane-Luang Prabang

Jam 7 pagi saya sampai di Southern Bus Terminal, Viantinae. Hanya bermodalkan gosok gigi dan cuci muka seadanya, saya langsung cari tiket ke Luang Prabang. Ternyata kalau mau ke Luang Prabang harus ke Northern Bus Terminal, yang mana harus naik tuktuk lagi seharga 30.000LAK (Los Kip).

Jadwal berangkat ke Luang Prabang jam 8.45, saya bahkan tidak sempat untuk sekedar beli makan. Harga tiketnya 130.000LAK, atau sekitar 16USD sudah termasuk makan siang berupa mie soto khas Laos. Teorinya Viantiane-Luang Prabang ini ‘hanya’ 8 jam. Tapi bus saya molor jadi 10 jam. Hal itu diperparah dengan jalur ke Luang Prabang.

Luang Prabang adalah sebuah kota di utara Laos yang kontur alamnya pegunungan,dan bukit. Jadi sebagian besar perjalanan saya selama 10 jam adalah melalui jalan berkelok dan menanjak. Yang punya penyakit mabok kendaraan, sangat direkomendasikan untuk sedia antimo atau obat tidur dosis tinggi. Jangankan orang asing, penduduk asli Laos yang mau ke Luang Prabang banyak yang tepar, kok. Saya jadi ingat seperti jalur di Lembah Dieng, persis seperti itu. Tapi ini puluhan kali lebih panjang.

Setelah melalui 34 jam di bus nonstop, malam minggu di christmast eve itu saya sampai di Luang Prabang, pantat rasanya sudah rata kayak jalan tol baru diresmikan. Udara dinginnya mengobati lelah saya. Menjelang tengah malam, ketika sosmed di Tanah Air sedang ramai perdebatan halal-haram mengucapkan natal, saya sedang menemani Sha, kawan backpacker yang bareng sejak di Pnom Penh, menikmati wine di sebuah kedai sambil merasakan semaraknya restoran-restoran di Luang Prabang yang mengadakan christmast dinner. Damai. Oh iya, saya tidak minum wine. Saya minum cokelat panas =)
Border Kamboja-Laos


Rekap biaya:

- Tiket bus Pnom Penh-Viantinae : 50USD

- Makan siang : 5USD

- Tiket bus Viantiane-Luang Prabang : 16USD (130.000LAK)

- Tuktuk : 4USD (30.000LAK)

- Biaya imigrasi (bisa berubah) : 7USD

Kurs per akhir Desember 2017:

1USD = 8.000LAK

1USD= 4.000KMR (Kamboja Riel)

1USD= 13.500IDR


Share:

Wednesday, 3 January 2018

Menyerah Lelah Oleh Luasnya Angkor Wat



Setelah ke Vietnam di tahun 2016 lalu, Kamboja adalah negara yang langsung masuk list untuk saya kunjungi berikutnya. Akhirnya setahun lebih kemudian baru saya bisa mewujudkan keinginan saya untuk ke negara yang punya sejarah kelam komunisme ekstrim di tahun 60-70an itu.

Dengan berbekal tiket nonpromo dari maskapai yang memiliki tagline ‘Now Every Heart Can Fly….Pas Lagi Sayang-sayangnya’, saya bisa ke Kamboja. Ke Kota Siem Reap tepatnya. Mengapa Siem Reap? Karena saya ingin melihat secara langsung sebuah warisan budaya dunia, kompleks candi Budha terbesar di dunia, Angkor Wat. Sambil berharap semoga jejak-jejak Angelina Jolie pas syuting Tomb Raider masih ada di sana. Wangi-wanginya kalo masih ada kan lumayan.

Siem Reap bukan kota utama di Kamboja. Bisa dilihat dari bandaranya yang kira-kira hanya seukuran lima Sevel dijadiin satu. Enggak persis segitu, sih, tapi sudahlah. Bandara di sini menawarkan jasa antarjemput dari dan ke pusat kota. Ada taksi, minivan, dan tuktuk. Namanya saya jalan-jalan ke sini pakai budget minim, pilihan saya adalah tuktuk. Harganya 15USD keukeuh gabisa kurang, emak-emak juga putus asa kali nawarnya. Buseh. Jadi saya berjalan ke luar bandara yang ternyata jaraknya cuma beberapa meter. Di luar pagar banyak kang tuktuk yang menawarkan jasa, ke hostel yang sudah saya booking, setelah tawar menawar alot dan duet nyanyi lagu Mantan Terindahnya Raisa, terjadilah keseimbangan harga antara saya dan kang tuktuk di angka 5USD. Jauh kan perbedaannya dengan tuktuk di dalam bandara?

Nah kang tuktuk ini adalah kuntji untuk keberlangsungan perjalanan saya di Siem Reap. Ketika menurunkan saya di hostel, dia menawarkan untuk mengantarkan saya tur ke Angkor Wat seharian penuh. Harga yang dia propose adalah 20USD. Kalau saya baca dibeberapa situs, harga pasarannya memang segitu sih. Mahal. Karena saya hanya sendiri. Nekat nawar, ah! Dengan Bahasa Inggris seadanya, ditambah logat Inggris kang tuktuk saya ini yang aneh, saya berhasil menawar hingga harga turun menajadi 15USD. Hemat 5 dollar. Untuk saya yang every penny is breath to life, bisa hemat segitu dari budget berasa pengen tumpengan aja. Oke. Akhirnya, Ra, nama kang tuktuknya, berjanji menjemput saya di tempat yang sama jam setengah 5 pagi paling lambat supaya keburu untuk sunrise tour. 
Pantes Bruce Wayne tajir melintir, usahanya di mana-mana anjir!
Ada alasan tertentu kenapa kalo mau sunrise tour kudu bangun lebih pagi dari ayam pelung. Pertama, kalo belum punya tiket harus beli dulu di loket yang jaraknya dari Angkor Wat sendiri itu lumayan. Jadi harus antri. Kesiangan dikit aja mungkin saya harus antri dan sikut-sikutan kombinasi sliding tackle sama bule-bule. Dan saya pasti kalah, secara badan mereka yang dua-tiga kali lebih solid dari saya. Harga tiket untuk masuk ke Angkor Wat:

- 1 day tour, 37USD

- 2 day tour, 60USD

- 3 day tour, 72USD

Untuk harga yang 2, dan 3 hari saya lupa persisnya berapa. Tapi enggak jauh dari kisaran segitu. Saya ambil yang paket 1 hari saja, sesuai itinenary. Itupun rasanya mahal, sih. Tapi yah, namanya juga warisan budaya dunia, worth it lah. Oh iya, jangan lupa dandan yang menor sebelum beli tiket, karena nanti kita difoto dan dicetak di tiketnya. Jangan sampai hilang ya tiketnya, karena itu adalah key pass buat masuk ke keseluruhan Angkor Wat.

Alasan ke dua kenapa harus berangkat sepagi mungkin adalah, biar dapet spot yang strategis untuk menyaksikan matahari terbit dari balik stupa-stupa Angkor Wat. Jadi spot terbaiknya itu ada di pinggir sebuah kolam. Nah, buru-buruan deh tuh biar jadi orang yang persis tepat di pinggir kolam wich means, itu paling depan. Saya alhamdulillah dapet di paling depan, cuma memang agak pinggir. Daripada kebagian di belakang, ya wassalam karena bule-bule badannya tinggi-tinggi sangat, dan pada ngerangkul pasangan. Ngiri, anjir! 
Punya saingan banyak pedekate ke gebetan? Inget aja saingan buat liat sunrise di Angkor Wat.
Setelah menyaksikan matahari terbit, saya masuk ke dalam kompleks Angkor Wat. Ternyata stupa-stupa tinggi yang saat sunrise tadi masih berbentuk siluet, bisa dinaikin sampai ke puncaknya loh. Asal sabar ngantrinya aja. Udah gitu harus naik tangga yang curam dan enggak sedikit. Ada baiknya berhati-hati dan sebisa mungkin tetap di keramaian, karena di beberapa titik, ada semacam labirin yang lumayan bikin parno.
Kalau kata lidah Kamboja, "Sanray!"
 Abis sunrise Angkor Wat, Mr. Ra mengantar saya ke bagian kompleks Angkor Wat yang lain. Yaitu Angkor Thom. Kirain Angkor Thom ini cuma satu candi, ternyata ini adalah merupakan sebuah komplek candi. Jadi Angkor Thom itu berada di dalam komplek Angkor Wat, dan di dalamnya ada komplek lagi. Set dah, niat banget emang Raja Jayavarman II waktu ngebangun nih candi. Mr. Ra menurunkan saya di pintu masuk Angkor Thom. Dia mengeluarkan peta dan menunjuk titik di ujung Angkor Thom untuk kita bertemu. So sweet banget, akhirnya saya ada yang nungguin. Walaupun konsep ‘ditungguin’ yang saya harapkan sebetulnya bukan itu.

“I’ll waiting you, here.” Tunjuknya di sebuah peta. Telunjuknya mengarah ke sebuah titik kecil di ujung atas.

“Here? What is it?” Ulang saya.

“Toye.”

“Hah? Toye?”

“Yes, Toye. Emmrgghh…emrgghhh…” Katanya, dan seperti tahu saya kebingungan, dia menirukan gesture jongkok sambil ngeden.

“Ohhh…toilet?”

“YAHHH. TOYE!”

Ternyata pelafalan orang Kamboja atas toilet itu ‘toye’. Oke. Ditungguin kang tuktuk di toilet. Normal, kok. NORMAL. Kalem. 
Gerbang Angkor Thom
Di Angkor Thom, candi paling besar adalah Candi Bayon. Selain stupa-stupa yang menjulang tinggi, di sini juga banyak patung empat wajah Budha yang menghadap empat penjuru mata angin. Lorong-lorongnya sangat sempit, dan kalau mau naik turun lewat tangga yang sudut kemiringannya lumayan ekstrim. Untuk yang punya phobia ketinggian bakalan punya masalah besar di sini. Selain Candi Bayon, ada beberapa candi lagi yang tingginya enggak kira-kira. Misalnya Candi Baphuon, yang punya tiga tingkat. Saran saya, bawa bekel makanan dan terutama minuman dari luar. Di dalem komplek Angkor Wat, harganya mahal. Masa sebotol air mineral ukuran paling kecil aja 1USD. Kalo inget dikerupiahin kan jadi 13.500IDR, rasanya pengen ngegamparin Thor, ama Hulk sekaligus terus teriak, “LO PIKIR SUMBER AER YANG SEKARANG SO DEKAT PUNYA BAPAK MOYANG LO?” 
Candi Bayon
Abis dari Angkor Thom, Mr. Ra mengajak saya keliling ke bangian komplek Angkor Wat lain. Entah ini keberuntungan atau emang Mr. Ra aja yang kelewat inisiatif, tiap ada reruntuhan candi yang menurut saya biasa aja bahkan nggak menarik, dia berhenti dan menyarankan untuk turun. Awalnya saya kira memang ada yang spesial, tapi seringnya sih cuma bongkahan batu biasa. Pernah dia berhenti di depan sepotong batu besar yang sepertinya bagian sebuah candi terpisah. Saya nggak mau. Apaan, di tengah semak-semak gitu. Narsis kagak, kena ulet bulu iya!

Ada pula sebuah candi yang sudah rata, lantainya doang. Mr. Ra bersikeras saya harus ke sana. Dia berhenti di tepi jalan menunggu saya. Saya nyebrang lumayan jauh, mana cuaca Siem Reap saat itu lagi cemburu-cemburunya (panas-panasnya). Pas liat candinya, nggak ada apa-apa. Rata. Cumana da patung hewan mitologi kayak singa. Yeah, I walk just for it. Capek deh.

Tenaga saya baru setengah hari udah drop banget. Ini nih jeleknya jalan sendiri, capek tuh berasa banget. Enggak ada yang bisa diajak sambil bercanda, atau minimal maen tebak-tebakan biar capek enggak berasa. Saya enggak yakin Mr. Ra ngerti kalau saya kasih tebakan, “Nasi nasi apa yang digoreng, hayo?”

“Sir, this is Big Tree Temple!” Katanya membangunkan saya yang setengah tertidur.

“Big Tree Temple!”

“Is it good?”

“Yeah. Tomb Raidey!”

Demi napak tilas sosok Angelina Jolie, saya pun menghimpun tenaga menuju Big Tree Temple. Jauh dong dari pintu masuknya. Hadeuh. Saya lupa nama resminya dalam Bahasa Kamboja nama candi ini. Tapi ini emang saya akui unik sih. Candi-candi di sini runtuh sebagian besar bukan olehwaktu, tapi karena banyak akar pepohonan berukuran gigantis yang tumbuh di dasar, atau di atasnya jadi kesannya ini candi kayak yang nimbul dari dalam tanah. Ada spot paling laris buat foto, ya mana lagi kalau bukan tempat si Lara Croft nemuin jalan masuk di dekat sebuah akar pohon besar yang menjuntai. 
Big Tree

Big Tree Temple adalah candi terakhir yang saya kunjungi. Padahal baru setengah hari, sedangkan saya sudah deal dengan Mr. Ra untuk mengantar seharian penuh. Tapia pa daya, kaki udah gempor, napas senen-kemis, dan hati rindu tapa kikis. Eak. Saya menyerah. Lelah.

Saya meminta Mr. Ra untuk mengantar saya kembali ke penginapan. Dia mah happy aja, lha wong ongkos sehari tapi dia cuma narik setengah hari. Intinya, kalau mau ke Angkor Wat sendirian, paling enggak persiapkan ini:

1. Fisik. Boleh lah exercise lari-lari kecil sebelum ke sini, biar enggak kaget-kaget amat.

2. Duit lebih. Jelas, ya. Sendirian berarti ongkos tuktuk full ditanggung sendiri.

3. Selalu berhati-hati. Sendirian bakal jadi sasaran empuk buat kang dagang buat maksa-maksa.

4. Enjoy the moment.

Di perjalanan kembali ke Kota Siem Reap, saya tertidur. Lalu mimpi dan melihat sesuatu. Indonesia. Ah, rindu.




Share: