Pnom Penh - Viantiane Selama solo traveling ke Indochina akhir tahun 2017 lalu, satu hal yang paling saya tunggu adalah naik bus untuk menyebrang antarnegara. Sebagian besar negara ASEAN memang terletak pada daratan yang sama di bagian tenggara Benua Asia, dan ini memungkinkan untuk berpindah dari satu negara ke negara lain lewat perbatasan darat.
Setelah melewati perjalanan 7 jam naik bus dari Siem Reap, saya sampai di terminal bus Pnom Penh. Banyak yang bilang agar saya berhati-hati di ibu kota Kamboja tersebut karena tingginya kriminalitas dan scam di sana. Baru turun dari bus, calo dan tukang tuk-tuk langsung mengerubungi saya, entahlah, mungkin muka polos ini memancarkan prospek cerah lembaran dollar bagi mereka. Untung saya sudah berpengalaman nolak-nolakin kang ojek di Kampung Rambutan, jadi bisa ngeles.
Sebetulnya Pnom Penh ini hanya kota untuk transit saja di itinenary saya. Dalam garis besar, rute perjalanan saya adalah seperti ini:
Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Luang Prabang by bus, Luang Prabang to Bangkok by bus, dan Bangkok to Jakarta by plane.
Tapi apa daya karena waktu yang tidak cukup, saya harus mengubah rute tersebut. Pertama, saya akhirnya berkompromi bahwa dari Luang Prabang (Laos) ke Bangkok (Thailand) naik pesawat. Kalau naik bus, saya akan kehilangan lebih dari sehari, dan hanya punya waktu satu hari di Bangkok. Ngapain seharian doang di Bangkok? Jual pecel?
Kemudian harus saya dapati juga kenyataan bahwa tidak ada bus langsung dari Siem Reap ke Luang Prabang. Paling tidak saya harus ke ibu kota masing-masing negara lebih dahulu. Jadilah itinenary-nya seperti ini:
Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Pnom Penh (ibu kota Kamboja) by bus, Pnom Penh to Viantiane (Ibu kota Laos) by bus, Viantiane to Luang Prabang by Bus, Luang Prabang to Bangkok by plane, Bangkok to Jakarta by plane. Huft. Jadi lebih panjang, tapi itu opsi terbaik yang saya punya.
Setelah lolos dari bujuk rayu pengendara tuktuk, hal pertama yang saya pikirkan adalah mencari tiket bus ke Viantiane. Loket pembelian tiket jauh dari tempat bus berhenti. Saya menuju loket paling pojok untuk bus internasional. Terlintas oleh saya menanyakan apakah ada yang langsung menuju Luang Prabang, jadi tidak usah ke Viantiane lagi?
“Is it available direct bus to Luang Prabang?” Tanya saya ke mbak-mbak berseragam di balik loket. Dia mengetik sesuatu di komputernya, lalu bertanya ke teman di sebelahnya. Lumayan lama mereka ngobrol pakai bahasa lokal.
“No. You have to go to Viansien first” Jawabnya dengan logat Kamboja yang meneyebut ‘Viantiane’ menjadi ‘Viensien’.
Baiklah, saya kembali ke rencana semula. Akhinya saya beli tiket Pnom Penh-Viantiane seharga 50 USD. Lebih murah 10 USD dari yang saya anggarkan.
Setelah melewati perjalanan 7 jam naik bus dari Siem Reap, saya sampai di terminal bus Pnom Penh. Banyak yang bilang agar saya berhati-hati di ibu kota Kamboja tersebut karena tingginya kriminalitas dan scam di sana. Baru turun dari bus, calo dan tukang tuk-tuk langsung mengerubungi saya, entahlah, mungkin muka polos ini memancarkan prospek cerah lembaran dollar bagi mereka. Untung saya sudah berpengalaman nolak-nolakin kang ojek di Kampung Rambutan, jadi bisa ngeles.
Sebetulnya Pnom Penh ini hanya kota untuk transit saja di itinenary saya. Dalam garis besar, rute perjalanan saya adalah seperti ini:
Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Luang Prabang by bus, Luang Prabang to Bangkok by bus, dan Bangkok to Jakarta by plane.
Tapi apa daya karena waktu yang tidak cukup, saya harus mengubah rute tersebut. Pertama, saya akhirnya berkompromi bahwa dari Luang Prabang (Laos) ke Bangkok (Thailand) naik pesawat. Kalau naik bus, saya akan kehilangan lebih dari sehari, dan hanya punya waktu satu hari di Bangkok. Ngapain seharian doang di Bangkok? Jual pecel?
Kemudian harus saya dapati juga kenyataan bahwa tidak ada bus langsung dari Siem Reap ke Luang Prabang. Paling tidak saya harus ke ibu kota masing-masing negara lebih dahulu. Jadilah itinenary-nya seperti ini:
Jakarta to Siem Reap by plane, Siem Reap to Pnom Penh (ibu kota Kamboja) by bus, Pnom Penh to Viantiane (Ibu kota Laos) by bus, Viantiane to Luang Prabang by Bus, Luang Prabang to Bangkok by plane, Bangkok to Jakarta by plane. Huft. Jadi lebih panjang, tapi itu opsi terbaik yang saya punya.
Setelah lolos dari bujuk rayu pengendara tuktuk, hal pertama yang saya pikirkan adalah mencari tiket bus ke Viantiane. Loket pembelian tiket jauh dari tempat bus berhenti. Saya menuju loket paling pojok untuk bus internasional. Terlintas oleh saya menanyakan apakah ada yang langsung menuju Luang Prabang, jadi tidak usah ke Viantiane lagi?
“Is it available direct bus to Luang Prabang?” Tanya saya ke mbak-mbak berseragam di balik loket. Dia mengetik sesuatu di komputernya, lalu bertanya ke teman di sebelahnya. Lumayan lama mereka ngobrol pakai bahasa lokal.
“No. You have to go to Viansien first” Jawabnya dengan logat Kamboja yang meneyebut ‘Viantiane’ menjadi ‘Viensien’.
Baiklah, saya kembali ke rencana semula. Akhinya saya beli tiket Pnom Penh-Viantiane seharga 50 USD. Lebih murah 10 USD dari yang saya anggarkan.
Tulisan di dalam bus. Password wifi? |
Di tiket bus berangkat jam 6.45 pagi esok harinya, dan saya diminta datang 20 menit sebelumnya. Dengan semangat anak muda mau malam mingguan, jam 5.30 pagi saya sudah duduk manis di depan loket tempat saya membeli tiket. Jam 7 bus baru benar-benar bergerak dari terminal Pnom Penh. Tidak ada yang berbeda bus yang saya naiki dengan bus AKAP di Indonesia pada umumnya, kecuali letak setirnya yang di sebelah kiri dengan memutar video karoke ala-ala Doel Soembang tapi pakai Bahasa Kamboja. Ampun DJ!
Pnom Penh-Viantine dengan bus memerlukan waktu 24 jam. Jadi saya sangat menyarankan untuk membawa bekal yang cukup untuk makan dan minum. Nanti bus berhenti sekali untuk makan siang. Saya sempat membeli Oreo, roti sobek, dan beberapa botol kopi instan sebagai bekal.
Pnom Penh-Viantine dengan bus memerlukan waktu 24 jam. Jadi saya sangat menyarankan untuk membawa bekal yang cukup untuk makan dan minum. Nanti bus berhenti sekali untuk makan siang. Saya sempat membeli Oreo, roti sobek, dan beberapa botol kopi instan sebagai bekal.
Yang ada di Indonesia, dan ada pula di Kamboja |
Di Indonesia, 24 jam naik bus dari Jakarta itu mungkin sudah sampai Bali. Atau masih di Brebes kalau kena macet pas mudik. Di Indochina, dengan kondisi lancar, kita bisa ke dua negara. Sepanjang perjalanan saya banyak melewati daerah-daerah di Kamboja. Seru. Karena selama ini saya hanya mengetahui negara ini hanya Siem Reap dan Pnom Penh. Beberapa kali bus yang saya tumpangi menyusuri Sungai Mekong, lalu berbelok meninggalkan Sungai Mekong, kemudian bertemu lagi di titik lain.
Semakin dekat ke border Kamboja-Laos, semakin saya melihat wajah lain Kamboja. Hotel-hotel mewah di Siem Reap seperti mimpi, dan saya terbangun oleh kawasan-kawasan kumuh nan gersang yang seolah baru pulih dari perang. Anak-anak kecil yang bermain dengan telanjang, tidak peduli tebalnya debu menyelimuti badan mereka. Di Indonesia, banyak yang kritis dengan jeleknya gedung sekolah di pedalaman. Di Kamboja, ada sekolah yang saya rasa memiliki dinding saja sudah bagus. Jika suatu saat saya kesal dan kurang puas dengan tata kelola NKRI, saya akan selalu ingat sebuah negeri bernama Kamboja.
Menjelang petang, sekitar pukul tiga sore, bus berhenti di sebuah daerah bernama Stung Treng. Di sini semua penumpang lokal turun. Dan naik seorang backpacker dari Koln, Jerman, bernama Alena. Sangat ramah. Dan di bus tinggal menyisakan saya, Alena, dan Sha, backpacker asal Malaysia.
Di Stung Treng ini juga kondektur bus berganti. Kondektur barunya lebih friendly, dan sangat bermuka Indonesia. Murah senyum, dan speak English very well. Dia meminta semua paspor kami dan menginformasikan bahwa dua jam lagi akan sampai perbatasan. Kami juga diwajibkan mengisi departure card sebagai tanda akan meninggalkan Kamboja. Si Kondektur ini dengan senang hati mengisikan data untuk saya.
Oh iya, kami juga dimintai biaya masing-masing 5USD. Saya sempat bertanya karena tidak ada rasanya biaya seperti itu. Apalagi saya kan dari negara ASEAN, bebas visa dong! Si kondektur menjelaskan bahwa dengan biaya itu kami sudah tau beres. Tinggal cap jari, lalu tidak perlu turn lagi di gerbang Laos. Sederhananya, biaya pelican. Ya sudahlah, saya bayar saja.
Benar saja, jam 5 sore saya sampai di border Kamboja-Laos, di Traps Ang Kreal. Kami diturunkan di imigrasi Kamboja untuk cap jari. Dan saya dimintai lagi 2USD sama petugasnya. Saya bertanya untuk apa, tapi tidak dijawab dan paspor saya ditahan. Hanjir. Saya mengalah lagi, melayang 2USD.
KAMPRET!
Jadi, kalau mau menyebrang naik bus Kamboja-Laos, saya sangat menyarankan below margin dari budget sebesar, paling tidak 7USD. Untung harga tiket bus lebih murah 10USD dari perkiraan saya, jadi masih surplus 3USD.
Lalu kami digiring kembali naik bus, tidak boleh berlama-lama berada di sekitar imigrasi. Kemudian masuk ke gerbang Laos yang hanya dibatasi oleh sebuah portal. Sore itu menjelang matahari terbenam, saya resmi keluar Kamboja dan masuk Laos lewat Nong Nok Khiene. HAMDALAH!
Semakin dekat ke border Kamboja-Laos, semakin saya melihat wajah lain Kamboja. Hotel-hotel mewah di Siem Reap seperti mimpi, dan saya terbangun oleh kawasan-kawasan kumuh nan gersang yang seolah baru pulih dari perang. Anak-anak kecil yang bermain dengan telanjang, tidak peduli tebalnya debu menyelimuti badan mereka. Di Indonesia, banyak yang kritis dengan jeleknya gedung sekolah di pedalaman. Di Kamboja, ada sekolah yang saya rasa memiliki dinding saja sudah bagus. Jika suatu saat saya kesal dan kurang puas dengan tata kelola NKRI, saya akan selalu ingat sebuah negeri bernama Kamboja.
Menjelang petang, sekitar pukul tiga sore, bus berhenti di sebuah daerah bernama Stung Treng. Di sini semua penumpang lokal turun. Dan naik seorang backpacker dari Koln, Jerman, bernama Alena. Sangat ramah. Dan di bus tinggal menyisakan saya, Alena, dan Sha, backpacker asal Malaysia.
Di Stung Treng ini juga kondektur bus berganti. Kondektur barunya lebih friendly, dan sangat bermuka Indonesia. Murah senyum, dan speak English very well. Dia meminta semua paspor kami dan menginformasikan bahwa dua jam lagi akan sampai perbatasan. Kami juga diwajibkan mengisi departure card sebagai tanda akan meninggalkan Kamboja. Si Kondektur ini dengan senang hati mengisikan data untuk saya.
Oh iya, kami juga dimintai biaya masing-masing 5USD. Saya sempat bertanya karena tidak ada rasanya biaya seperti itu. Apalagi saya kan dari negara ASEAN, bebas visa dong! Si kondektur menjelaskan bahwa dengan biaya itu kami sudah tau beres. Tinggal cap jari, lalu tidak perlu turn lagi di gerbang Laos. Sederhananya, biaya pelican. Ya sudahlah, saya bayar saja.
Benar saja, jam 5 sore saya sampai di border Kamboja-Laos, di Traps Ang Kreal. Kami diturunkan di imigrasi Kamboja untuk cap jari. Dan saya dimintai lagi 2USD sama petugasnya. Saya bertanya untuk apa, tapi tidak dijawab dan paspor saya ditahan. Hanjir. Saya mengalah lagi, melayang 2USD.
KAMPRET!
Jadi, kalau mau menyebrang naik bus Kamboja-Laos, saya sangat menyarankan below margin dari budget sebesar, paling tidak 7USD. Untung harga tiket bus lebih murah 10USD dari perkiraan saya, jadi masih surplus 3USD.
Lalu kami digiring kembali naik bus, tidak boleh berlama-lama berada di sekitar imigrasi. Kemudian masuk ke gerbang Laos yang hanya dibatasi oleh sebuah portal. Sore itu menjelang matahari terbenam, saya resmi keluar Kamboja dan masuk Laos lewat Nong Nok Khiene. HAMDALAH!
Si kondektur kasih pengumuman lagi, bahwa dalam dua jam kita akan berganti bus di Phakse. Phakse ini bisa dibilang kota besar pertama di Laos jika kita masuk dengan bus lewat Kamboja. Dari Phakse baru ke Viantine. Perjalanan dari perbatasan ke Phakse tidak begitu terasa karena di bus memutar film-film Hollywood. Di Phakse, kami berganti bus menjadi sleeper bus. Setelah 12 jam duduk statis, akhirnya bisa merebahkan diri untuk 12 jam ke depan menuju Viantiane. Tidak butuh waktu lama untuk saya terlelap. Untuk ukuran tidur di bus, tidur saya malam itu sangat nyenyak.
Sleeper Bus |
Viantiane-Luang Prabang
Jam 7 pagi saya sampai di Southern Bus Terminal, Viantinae. Hanya bermodalkan gosok gigi dan cuci muka seadanya, saya langsung cari tiket ke Luang Prabang. Ternyata kalau mau ke Luang Prabang harus ke Northern Bus Terminal, yang mana harus naik tuktuk lagi seharga 30.000LAK (Los Kip).
Jadwal berangkat ke Luang Prabang jam 8.45, saya bahkan tidak sempat untuk sekedar beli makan. Harga tiketnya 130.000LAK, atau sekitar 16USD sudah termasuk makan siang berupa mie soto khas Laos. Teorinya Viantiane-Luang Prabang ini ‘hanya’ 8 jam. Tapi bus saya molor jadi 10 jam. Hal itu diperparah dengan jalur ke Luang Prabang.
Luang Prabang adalah sebuah kota di utara Laos yang kontur alamnya pegunungan,dan bukit. Jadi sebagian besar perjalanan saya selama 10 jam adalah melalui jalan berkelok dan menanjak. Yang punya penyakit mabok kendaraan, sangat direkomendasikan untuk sedia antimo atau obat tidur dosis tinggi. Jangankan orang asing, penduduk asli Laos yang mau ke Luang Prabang banyak yang tepar, kok. Saya jadi ingat seperti jalur di Lembah Dieng, persis seperti itu. Tapi ini puluhan kali lebih panjang.
Setelah melalui 34 jam di bus nonstop, malam minggu di christmast eve itu saya sampai di Luang Prabang, pantat rasanya sudah rata kayak jalan tol baru diresmikan. Udara dinginnya mengobati lelah saya. Menjelang tengah malam, ketika sosmed di Tanah Air sedang ramai perdebatan halal-haram mengucapkan natal, saya sedang menemani Sha, kawan backpacker yang bareng sejak di Pnom Penh, menikmati wine di sebuah kedai sambil merasakan semaraknya restoran-restoran di Luang Prabang yang mengadakan christmast dinner. Damai. Oh iya, saya tidak minum wine. Saya minum cokelat panas =)
Border Kamboja-Laos |
Rekap biaya:
- Tiket bus Pnom Penh-Viantinae : 50USD
- Makan siang : 5USD
- Tiket bus Viantiane-Luang Prabang : 16USD (130.000LAK)
- Tuktuk : 4USD (30.000LAK)
- Biaya imigrasi (bisa berubah) : 7USD
Kurs per akhir Desember 2017:
1USD = 8.000LAK
1USD= 4.000KMR (Kamboja Riel)
1USD= 13.500IDR
Sumpah.... saya benci border itu. Bordernya masih sama. Memang diperas bangetvlewat border itu. Unttunglah perjalanannya lancar yah. Bisa lebih hemat lagi tapi harus jago ngotot dan pindah sana sini kaya monyet gelantungan dipohon hahahaha. Sayang waktunya mepet banget yak. Ekh kak oky ngga jadi ikut yak
ReplyDeleteHo'oh, ikhlasin aja uang yang keluar =(
DeleteWah. Perjalanan yang sepertinya sangat menyenangkan ini. Naik bus dalam waktu yang lama, kadang jujur, sebagai orang yang sering berjalan-jalan, aku justru lebih senang pas proses perjalanannya malah, bukan pas di kota tujuan. Entah, ada rasa orgasme apa gitu yang kurasakan ketika berjalan. Apalagi dengan bus yang menempuh jarak waktu 34 jam, mungkin bokong sudah serata dengan kening itu kayaknya, ya. Tapi, dijaga juga kaki, gerakin juga tuh kakinya, biar tidak kena DVT ntar, bisa berakibat ke emboli paru loh kayak gitu.
ReplyDeleteTapi, aku iri loh dengan orang yang bisa menghabiskan waktu dengan melakukan hal seperti itu, berjalan-jalan sesuka hati ke berbagai negara dengan rencana yang jauh anti-mainstream ketimbang agen-agen wisata.
(((bokong serata dengan kening)))
DeleteBisa dibilang 10 jam pertama sih masih antusias, sisanya "KAPAN SAMPE SIH INI, WOY???"
Aku belom pernah kesana dan belom ada bayangan ke kotA itu. Tapi katanya susah nyari makanan halal. Bener gak sih
ReplyDeleteTidak juga, Mbak. Mungkin iya kalau kita betul-betul cari tempat makan yang secara jelas tertulis label halal, hanya restoran India atau Malaysia yang seperti itu. Tapi kan kalo harus kudu nyari yang kayak gitu jarang, makan waktu buat saya sih. Udah gitu biasanya mahal. Hehehe...
DeleteJalan tengahnya ya kita yang mesti selektif sendiri. Misalnya pesan makanan yang hanya pakai ayam, ikan, atau sayuran. Di Siem Reap bahkan dalam sehari saya makan kebab ayam turki sampai tiga kali. Karena mau ke restoran India yang halal harganya mahal buat backpacker misqin kayak saya =)
Perjalanan nan jauh dan menenangkan. Walaupun naik bisnya lama. Serta perjalanan yg mirip Indonesia yg luar biasa.
ReplyDeleteKebayang perjalanan menuju Luang Prabang, lewat jalan berliku, memang biasanya ada yang suka mabok. Kalau saya biasanya jadi gak enak badan. Merasa kebanting sana-sini, apalagi kalau supirnya kasar menjalankan kendaraannya.
ReplyDeleteUntuk pergi ke tempat yang asing, perencanaannya harus matang ya...terutama soal biaya dan transportasi di sana. Kalau saya, agak takut juga pergi ke tempat asing tanpa ada pendamping yang lebih tau situasi di sana.Takut nyasar dan terlunta-lunta hihihi...
Untungnya drivernya cukup enak sih bawa busnya. Dan yang terpenting busnya pun layak jalan, jadi aman.
DeleteBener, Mbak. Apalagi saya sendirian, harus benar-benar matang. Untuk trip ini saya nyusun itinenary sampai budget kurang lebih 6 bulan lah. Googling, sama tanya sana-sini buat riset. Aseekk =D
Kambojaaaa inii adlaah salah satu negara Asean yang jarang diexpose yah gak seperti Thailandd..
ReplyDeleteMantap nih kasih harga-harga juga biar bisa prepare kalau ke sanaa.
Tiket busnya murcee juga yah 600ribuann udah kaya jakarta Baliii. Betarti Laos Kamboja emang kecil yah negaranyaa. Itu border laos kamboja kaya border Indonesia timtim loh hahah. ssmoga suatu saat bisa ke kamboja.
Btw foto di kambojanya itu doang Yozz, penasaran juga guee pengen lihat kamboja hahahaha
Buat ukuran bus mah mahal, Ajen =(
DeleteKalo mau liat foto-foto Kamboja stalking IG aku aja, lalu ajak serta handai dan taulan mengikutinya =D
seru banget kaaak, aku kepingin banget bisa jalan seperti itu apalagi ke tempat2 yang masih belum terekspos tapi apa daya, eike sudah menjadi emak-emak jadinya kalau traveling yang simpel2 aja dan kalau bisa yang mewvah :))
ReplyDeleteNdak masalah, Mbak. Kamboja, dan Laos bisa kok dieksplor dengan cara mewah. Asal rekening bank gendut aja =D
DeleteAda juga jalan2 kesana ya...ku kira pavorite itu cuma Korea..dan Eropa...
ReplyDeleteSupaya bisa lebih bersyukur jadi orang Indonesia, I suggest to visit Kamboja =)
Deleteluar biasa ya
ReplyDeleteuntung ada sleeper bus
klu ga bisa patah pinggang
saya termasuk orang yang tidak betah lama duduk
klu naik bus sering berdoa agar tak ada orang duduk di sebelah
biar bisa tidur dengan gaya miring atau sekedar naikin kaki hehehe
Di Sleeper bus itu nggak ada bagasinya, Mbak. Jadi tas ranselku ikut masuk ke tempat tidur. Mau nggak mau tidur dengan kaki menekuk. Pegel, cyin =(
DeleteMemang benar perjalanan negara-negara ASEAN bisa via darat, dulu saya pernah naik bis dari Singapura ke KL, dan katanya kalau diterusin bisa sampai ke Filipina, sayangnya waktu itu jadwal mepet jadi cuma sampai KL, perjalanan jauh lewat darat melalui jalanan yang luas dan berkelok itu memberi kesan tersendiri, apalagi ini perjalanan ke Phom Phen, duh kapan ya bisa menjelajah negara-negara ASEAN kayak Bang Yos
ReplyDeleteAhhh...Filipin rasanya ingin jadi destinasi saya berikutnya. Amin.
DeleteUdah buruan apply cuti atau izin suami, pesen tiket, cusss deh. Kalau perlu itinenary dan estimasi budget saya bisa bantu.=)
Wow itu berjam-jam di Bus benar-benar perjuangan ya. Ada berhentinya kah untuk sekedar meregangkan kaki? Perlu isi powerbank yang full juga kali ya
ReplyDeleteAda Mas, di beberapa titik berhenti juga kok busnya. Kan sopirnya juga perlu istirahat. Tapi harus hati-hati, kalau mau ke toilet baiknya bilang ke sopir atau kondekturnya. Soalnya itu bus kalo jalan penumpangnya kagak diabsen lagi. =)))
DeleteAkhirnya si password wifi bisa connect ga, Bang?
ReplyDeleteAhhahaha..
Seneng banget bisa berpetualang ala Hamish kek gini.
(eaa...Hamish nya tepos karena duduk lama di bis)
Kgak, Mbak. Hahahaha. Lha wong pas saya tanya ke kondekturnya dia menajawab dengan Bahasa Kamboja. Ya embuhlah, saya tidur aja =)))
DeleteWah padahal saya ngerasanya kayak Joe Taslim. Ahay.
eh Bang aku fikir tadinya itu kopiko bekel dari rumah ternyata beli di sana ya hehe.. Kalo aku gak kebayang bisa gak ya naik bis sampe 24 jam begitu, tapi kalau baca dari cerita Bang Yos kayaknya seru banget perjalanannya. Pasti berkesan banget ya :)
ReplyDeleteSaya juga lumayan amaze pas tau ada kopiko dijual di mini market Kamboja. Soalnya saya nyari Indomie yang udah terkenal aja nggak ada.
DeleteBanget, Mbak. Perjalanan yang ndak bakal saya lupakan =)
Huwaaa seru 😍 tapi gak kebayang ya teposnya pantat selama perjalanan itu. Kalau aku si gampang banget tidur diatas kendaraan jadi sepertinya bakalan tidur saja hahaha... Aduh wishlist banget itu mengelilingi indocina.
ReplyDeleteHahahaha...ya emang gitu saya juga. Cuma tidur, bangun, tidur lagi kayak lagunya Alm. Mbah Surip.
DeleteGo ahead, Mbak. Segera wujudkan!
Ih astagah, dari sepanjang itu kisah perjalanan kok aku malah ngebayangin password wifi yang beneran yang ada di gambar itu mas. Ngeri hahahahaaaa
ReplyDeleteJangankan ngebaca artiny
Nulisnya saja susah
I love Bahasa Indonesia
Hahahaha, Ivan Lanin aja kayaknya nangis kalo disuruh ngartiin =D
Deleteserius tuh disana 24 jam klo lancar bisa lewatin 2 negara? keren juga tapi, hal yang tidak enak kalo tiba tiba dimintain uang gitu ya mas kalo megang uang sih aman. Tapi, kalo tidak memegang uang ya bingung deh harus gimana.
ReplyDeletetulisan di bisnya keren juga bahasanya. ngerti artinya tidak mas? hahaha kalo bisa ditotalin dong habis berapa biaya perjalananya biar lebih rinci gitu mas.
Iya. Untungnya saya bawa cash dollar. Kalo kagak bisa diturunin di tempat antah berantah gitu =(
DeleteUntuk total biaya seluruhnya nanti saya buat postingannya deh. Jadi stay tune terus di channel kesayanganmu ini. Loh? Hahahaha
Aku pas nyebrang border SG Malaysia rasanya kaya bebas dari aturan SG dan bebas dari mahalnya juga. Seru2 gimana gt dah.. tapi korup banget dong ya kalau harus bayar sampe 7usd gitu. Parah amat..
ReplyDeleteYa begitulah, resiko kalau sistem dan pengawasannya belum begitu proper. Kalau di SG-Malaysia kan mungkin mulai dari sumber daya manusianya sampai sistem pengawasannya sudah bagus.
DeleteExplore ke daerah baru emanng munculin excitement tersendiri sih...
ReplyDeletemenemukan hal-hal baru, orang baru dll..
Asia juga masih banyak destinasi yang belum terlalu dikenal publik, :o
Penasaran banget liat interior sleeper busnya. Hehe.
ReplyDeleteWah keren, solo travelling. Aku pengen bgt kayak gitu, apasih yg harus dipersiapin buat solo travelling?? (Hasil dari gugling kurang memuaskan). Apa harus travelling bareng dulu, baru abis itu solo travelling??
ReplyDeleteHampir gak ada beda sama Indonesia ya. Jalan berkelok-kelok bikin tepar, pungutan liar, kriminalitas tinggi, apalagi ya? Itu aja deh.
Btw, gak foto bareng sama Sha? Hehe :D