Tuesday, 27 February 2018

Tuesday, 20 February 2018

Pak Ou Cave, Gua Empat Ribu Patung Budha

Dalam traveling, katanya kita akan banyak mengalami kejadian tidak terduga. Serapih, dan sedetail apa pun itinenary dibuat. Misalnya ketika saya di transit di Malaysia. Waktu mendarat di Bandara KLIA2, saya tidak sadar kalau penyesuaian waktu otomatis di ponsel saya dalam mode unactive. Padahal waktu di Malaysia lebih cepat satu jam dari Indonesia, dan penerbangan saya ke Kamboja berjarak dua jam lagi waktu Malaysia. Tapi karena saya melihat jam di ponsel, jadi saya mengira masih ada tiga jam lagi buat saya leyeh-leyeh. Waktu tiga jam versi saya itu saya gunakan untuk makan, jajan di minimarket, mendengarkan musik, memperbarui status sosmed, sampai sempat-sempatnya memikirkan bagaimana jika pesawat terbang terbuat dari kardus indomi.

Beruntung saya melihat monitor informasi penerbangan, dan mata saya tepat menghunus ke nomor penerbangan saya. Sudah boarding. Saya melihat jam di ponsel, masih satu jam lagi, kok. Saya cek status zona waktu di ponsel. Ouch! Masih waktu Indonesia. Saya bertanya jam berapa ke seorang turis di sebelah, dan dia menjawab persis seperti jam keberangkatan saya. Saya pun lari, mencari gate 24 yang jaraknya sangat layak bagi saya untuk memesan ojek online. Untung sudah check in, untung keburu sadar, untung saya ganteng, dan sederet untung lain yang mengiringi rasa syukur saya.

Akibat kejadian itu saya jadi sedikit parno soal waktu, ini resiko terberat dalam solo traveling, tidak ada ‘alarm’ pengingat keteledoran. Waktu beli tiket bus Viantiane ke Luang Prabang saya berkali-kali mencocokkan jadwal keberangkatan. Petugas loketnya sampai bosan dengan pertanyaan saya kira-kira berapa lama perjalanan ke Luang Prabang. Dan saya pun tidak kalah bosan mendengar jawaban mereka, 7 jam.

Itu teorinya, karena aktualnya Viantiane-Luang Prabang adalah 10 jam. Saya harus mencoret beberapa kegiatan dalam jadwal seperti melihat sunset di Sungai Mekong, karena ketika sampai hari sudah gelap. Mau ngapain di Sungai Mekong? Mancing belut?

Jadi saya harus benar-benar memanfaatkan waktu saya di Luang Prabang yang hanya dua hari dua malam itu. Jadi saya memilah-milah atraksi apa yang bisa dimaksimalkan di Luang Prabang. Setelah keliling-keliling bertanya ke provider tur, dan penginapan, saya berkesimpulan ada tur-tur utama di kota utara Laos ini.
  •  Air Terjun Kuang Si. Saya tidak memilih ini. Karena kalau dilihat dari gambar dan videonya, air terjun serupa banyak di Bogor.
  • Bukit Phou Si. Bukit ini ada di tengah Kota Luang Prabang, jadi tidak perlu khawatir jauh. Pasti sempat ke sini asal kuat, mengingat harus naik anak tangga mirip di Batu Cave, Malaysia.
  •  National Museum. Ini juga ada di pusat kota.
  •  Elephant Tour. Secara teknis, ini trekking naik gajah menyusuri Sungai Mekong. Hmmm…di Way Kambas juga ada. Saya skip.
  •  Pak Ou Si Cave. Berbentuk gua dengan empat ribu Budha yang ada di dalamnya. Untuk ke sini, harus naik long tail boat menyusuri Sungai Mekong. Aha! Saya tertarik dan langsung memutuskan untuk ikut.

Untuk Pak Ou Si Cave tour ini, saya memilih untuk tidak memakai agen. Buat apa? Petunjuk ke dermaganya jelas, kok, letaknya persis di tepi sungai belakang National Museum. Tinggal menyusuri trotoar sampai ke bagian yang banyak perahunya. Harga turnya 25USD, yang mana kalau pakai agen bisa kena dua kali lipatnya. 25USD itu kalau dikonversi ke mata uang Laos jadi 410.000 kip. Itu juga buat saya, sih, mahal. Harga demikian memakan hampir setengah budget saya untuk Luang Prabang. Sedih. 
Perahunya, tuh...

Tur dimulai. Saya naik boat kayu dengan dominasi warna cokelat berpernis. Di anjungannya ada empat kelompok meja, dan kursi tempat peserta tur duduk. Hari itu saya berada satu kelompok dengan keluarga dari Jepang, Tiongkok, dan Korea. Asia Timur semua, saya saja yang dari tenggara. Oh iya, harga yang dibayarkan sudah termasuk makan siang. 
Foto ini diambil sambil menahan dingin

Interior perahu
Kami disambut penuh senyum, sapa, salam, oleh seorang pemandu dengan setelan jaket hitam, kemeja putih, celana bahan hitam, dan pantofel mengkilap.
“Hello my name is Sak.”

“Suck?”

“Yes, Sak!”

“I’m sorry, Suck?” Saya meyakinkan dengan ekspresi wajah heran.

“…”

“…”

“Ooohhh…no, no…not that Suck. But, S-A-K!” Paham doi.

“Oh, Sak! Di Indonesia lu adalah satuan semen buat bangun rumah.” Kata saya…dalam hati.

Kesalampahaman pun teratasi. Sak sangat bergembira ada turis nonbule, dan nonAsia Timur. Apalagi setelah saya menyebutkan saya dari Indonesia, saya terharu ketika dia bilang, “Welcome my friend! You're like us!”. Dia juga menanyakan, apakah masalah jika saat makan siang nanti saya dihidangkan daging babi. Tentu saya jawab, saya tidak makan babi. Sak mengerti, selain tidak menghidangkan babi, dia juga tidak pernah menawarkan saya bir. Excelent tourism knowledge! 
Pas makan siang
Perahu berjalan pelan melawan arus Sungai Mekong. Beberapa kali tumpangan saya harus bermanuver melewati jeram. Saya menyalahkan diri sendiri karena tidak membawa jaket. Saya kira kalau udah siang suhu Luang Prabang juga ikut naik, ternyata tetap dingin. Angin dingin cukup membuat saya mengigil karena anjungan perahunya terbuka. Ingat, kalau tidak bawa pasangan yang bisa menghangatkan dengan pelukan, sangat saya sarankan untuk memakai jaket gunung.

Setengah perjalanan, kami menepi di sebuah kampung bernama Xhanhai Village. Di kampung ini terdapat produksi minyak untuk obat dari saripati hewan-hewan yang berbisa seperti ular, dan kalajengking. Saya ditawari Sak untuk membeli, dan saya menolak. Selain duit pas-pasan, buat apa juga minyak ular? Campuran rendang? Di sini juga sentra produsen kain tenun khas Laos yang biasa dijual di night market Luang Prabang. Semakin masuk ke dalam kampung, ada kuil-kuil dan sekelompok bhiksu yang sedang beribadah. 
Penduduk Xanghai Village
Perjalanan berlanjut. Pemandangan perkampungan di tepian berubah menjadi tebing-tebing kapur. Gua tujuan kami berada di sebuah delta tempat bertemunya Mekong dan Ngum. Ngum adalah sungai terbesar ke dua di Laos setelah Mekong.

Dari bawah, terlihat tangga menuju mulut gua yang terukir di sebuah bukit kapur. Dindingnya yang putih, dan atapnya beraksen kapur-kapur seperti stalaktit tajam membuat gua ini terlihat angker. Sak mengatakan bahwa dulunya Pak Ou Cave ini tempat para kaum pagan (penganut aliran animisme dan dinamisme) memuja dewa-dewi. Lalu setelah ajaran Budha masuk ke Laos, raja yang berkuasa saat itu mengganti semua patung sesembahan itu dengan patung Budha. Konon katanya berjumlah empat ribu, mulai dari ukuran terkecil hingga gigantis. 
Di pintu gua
Pak Ou Cave terdiri dari dua tingkat. Lower cave, dan upper cave. Perlu stamina prima untuk sampai di gua bagian atas. Di pintu masuknya ada patung Budha seukuran manusia berwarna emas. Di dalamnya sangat lembab, dan berdebu. Yang punya alergi debu harus memiliki persiapan yang baik. Penerangannya juga minim, jadi berhati-hatilah supaya tidak tersandung salah satu patung. 
Patung-patung di lower cave
Upper cave yang lebih gelap
Puncak jumlah pengunjung Pak Ou Cave adalah di Tahun Baru Laos yang biasanya jatuh pada April. Saat itu penduduk dari berbagai penjuru Laos akan datang ke gua ini untuk membersihkan patung-patung Budha di dalamnya.

Tur saya hari itu berakhir pukul dua siang. Sepanjang perjalanan pulang, saya habiskan dengan berbincang bersama Sak. Baru saya ketahui, harusnya tur ini hanya bisa diikuti kalau saya menggunakan travel agen dengan booking sehari sebelumnya. Tapi karena melihat saya yang kebingungan dan sendirian, Sak menjadi sedikit iba. Dia meyakinkan pemilik kapal bahwa tidak masalah mengangkut satu orang lagi. Ya Tuhan…

“It is better if more people telling to the world about this country. Thank you for your coming, my friend!” Katanya penuh dengan nilai mulia, dan ketulusan hati tak terperi.

Perpisahan kami diawali oleh jabat erat dan rangkulan ringan sebagai sahabat antarbangsa dengan kedekatan rumpun dan kesamaan nasib terjajah di masa lampau. Tulisan ini saya anggap ‘pelunas utang’ kepada Sak untuk mengabarkan pada dunia tentang negaranya, Laos.

Mendadak harga mahal tur ini rasanya sangat pantas. Bahkan jika yang didapat adalah orang baik seperti Sak, maka saya baru saja mendapat rejeki berupa paket tur yang sangat murah. =)
Share:

Friday, 9 February 2018

Prosesi Tak Bat, Memberi dan Menerima di Balik Dinginnya Luang Prabang

Rasa frustasi saya selama 34 jam di bus berakhir ketika bus VIP yang saya tumpangi akhirnya berbelok ke kiri dan masuk ke sebuah tanah luas dengan beberapa gerbang pemberhentian. Akhirnya roda-roda bus bermuara di tujuan saya. Sebuah terminal kecil dengan penerangan seadanya itu seperti lelah menanti kedatangan saya yang dijadwalkan akan tiba 3 jam lalu, namun karena satu dan lain hal menjadi sedikit molor. Udara dingin tak terduga menyergap ketika saya keluar dari bus. Saya tidak pernah menyangka perjalanan tur Indochina saya akan sedingin ini. Selamat datang di Luang Prabang!

Saya menaiki sebuah tuktuk dan minta di antar ke sebuah alamat di Town Center, tempat terletaknya hostel yang akan saya singgahi selama tiga hari dua malam di kota utara Laos tersebut. Ongkos tuktuk dari terminal ke hostel 30.000 kip, padahal jaraknya dekat. Di sini saya menyadari bahwa Laos sebetulnya bukan negara murah. Kebanyakan orang beranggapan Laos adalah negara berkembang dengan perrtumbuhan ekonomi yang lambat, jadi mata uangnya lemah. Hei, anda salah saudara-saudara! Justru karena perekonomian Laos yang lambat, jadi hampir semua barang dan jasa diusahakan lewat impor dari luar negeri. Akibatnya walaupun kalau kita menukar USD dengan LAK (Laos Kip, mata uang Laos), dan mendapat bejibun LAK, tetap tidak ada artinya karena harga-harga mahal. Sederhananya begini, kita punya uang 100.000 kip, tapi harga sekali makan 35.000-45.000 kip, paling banter hanya cukup 2-3 kali makan sehari. Mahal atau tidak memang relatif, tapi bagi saya itu costly banget sih.

Saya memesan hostel tepat di jantung Luang Prabang. Dekat ke night market, dekat ke Sungai Mekong, tapi jauh ke hati kamu. Ealah. Setelah itu check in, mandi, lalu jalan-jalan sebentar menikmati malam di Luang Prabang. Saat itu malam natal, jadi Luang Prabang bersolek dengan banyak lampu-lampu kerlap-kerlip, ornamen berwarna merah hijau, hingga hiasan pohon cemara. Bangunan-bangunan antik khas pedesaan Prancis menjadi lebih semarak. Bendera-bendera kebangsaan Laos dan lambang palu arit, berbagi tempat dengan papan-papan bar serta coffee shop yang menginformasikan harga-harga promo natal di sepanjang jalur pedestrian.  Beberapa kali saya melewati restoran dan melihat banyak keluarga turis sedang bergembira dalam jamuan dinner Christmas Eve. Suasana yang khidmat dan penuh kedamaian mengingat di Luang Prabang mayoritasnya adalah Budha. Perayaan natal malam itu bersisian dengan kuil-kuil dan simbol Budha. Mungkin ini yang membuat UNESCO mau menetapkan Luang Prabang menjadi world heritage. Karena di sini agama, modernitas, dan keautentikan budaya tradisional bisa hidup secara berdampingan.

Sebelum tidur, saya set alarm di jam 4 pagi. Mau ke mana, Pak, pagi-pagi lagi liburan bangun ngalahin kuntilanak pulang kandang? Saya ingin menyaksikan prosesi Tak Bat yang termashur di Luang Prabang. Tak Bat adalah sebuah prosesi di mana masyarakat atau wisatawan berderma memberi makan kepada para bhiksu. Teknisnya bhiksu-bhiksu akan keluar dari kuil dan berjalan di jalan-jalan utama Luang Prabang dan menerima sedekah dari penderma yang menggelar tikar di pinggir jalan. Sebetulnya prosesi ini bukan hanya di Luang Prabang, di setiap daerah dengan Budha sebagai agama mayoritas pasti ada tradisi ini. 
Take and give
Jam lima pagi saya sudah berkeliaran di jalan utama Luang Prabang. Dinginnya mengingatkan saya dengan udara di dataran tinggi Dieng. Kalau mau berpartisipasi dalam prosesi Tak Bat ini bisa membeli sejumlah paket makanan seharga 10.000 kip untuk disedekahkan. Isinya makanan ringan seperti oreo, biskuit, dan mie instan. Nanti sama penjualnya dipinjami tikar untuk kita duduk dan bhiksu akan menghampiri kita.

Untuk yang hobi fotografi, datang sepagi mungkin sangat saya sarankan supaya dapat spot foto terbaik dengan pencahayaan yang cukup. Saya merekomendasikan di sebuah perempatan sebelum jalan night market, ada semacam bundaran dengan lampu jalan yang cukup terang. Oh iya, walaupun ritual ini terbuka untuk wisatawan, ada tata tertibnya juga, loh. Biar bagaimanapun ini adalah rangkaian keagamaan yang sakral. Peraturan utamanya adalah:
  • Berpakaian sopan. Jelas, ya, karena nanti kita akan berinteraksi dengan bhiksu.
  • Dilarang memakai flash jika ingin memotret. Makanya saya menyarankan untuk mencari spot. yang pencahayaannya cukup. Tapi ada saja, sih, turis yang bandel pakai flash. KZL!
  • Jangan terlalu dekat memotret. Dari jauh pun prosesi ini menarik untuk dipotret. Warna oranye dari jubah bhiksu bisa membentuk pola unik dalam frame lensa.
  •  Tidak usah minta foto selfie ke bhiksu. TIDAK SOPAN.
  • Berisik sangat tidak dianjurkan selama proses ini berlangsung.
  • Pakai jaket yang proper. Prosesi ini berlangsung dari jam 5 sampai jam 6 pagi. Jam segitu di Luang Prabang dinginnya bisa bikin cowok kekar macam Dwayne Jhonson atau Chris Hermsworth masuk angin.
Yang menarik adalah, selama prosesi ini berlangsung ada juga pengemis dan peminta-minta di pinggiran jalan. Bhiksu-bhiksu yang telah mendapat makanan menghampiri mereka dan memberikan uang atau makanan. Hati saya meghangat lalu meleleh. Dalam dingin Luang Prabang saya menyaksikan sebuah art of giving yang aduhai indahnya. Bhiksu itu seperti menginterpretasikan perbuatan Sang Budha yang menyanyat dagingnya sendiri untuk makanan burung elang kelaparan.

Saya jadi ingat kutipan penuh energi dalam film India berjudul Chef, “Kau tahu, punya kemampuan memberi makan orang lain adalah berkat besar dari Tuhan.”


Share:

Thursday, 1 February 2018

Robert Langdon, dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi


Museum Perumusan Naskah Proklamasi
 Kalau boleh memilih, saya ingin menjadi seperti Robert Langdon. Seorang simbolog, tokoh rekaan Dan Brown dalam karya-karya novel best seller thriller-nya. Tokoh fiktif ini dicipta sedemikian rupa sehingga menjadi seseorang yang banyak tahu dibanding orang lain. Sebab dari semua itu, jika kita membaca di sebagian besar novel Dan Brown, adalah karena Professor Langdon sangat memahami bagaimana memahami sejarah dunia berjalan. Ingat, ya, memahami. Bukan sekadar mengetahui.

Memahami sejarah yang bukan hanya mengidentifikasi tempat, pelaku, dan waktu kejadian. Tetapi juga menjawab mengapa sebuah peristiwa terjadi dan terasa efeknya hingga kini. Tetapi, rasanya jauh jika saya ngotot ingin menyamai Professor Langdon yang tur sejarahnya sudah sampai Museum Lovre melihat Monalisa karya agung da Vinci, atau Basilika Vatikan untuk melihat dari dekat makam Santo Petrus. Saya, sih, bisa memiliki minat untuk mengunjungi salah satu museum di Jakarta saja sudah sangat bagus.

Soal museum di Indonesia, di Jakarta khususnya, memang cukup menggelisahkan saya. Ketika saya mengikuti tur museum bersama Jakarta Good Guide, pemandunya bilang bahwa Jakarta adalah kota dengan jumlah museum terbanyak di Asia Tenggara. Namun pengunjungnya belum berbanding lurus dengan fakta dan frasa ‘terbanyak’ tadi. 
Pernyataan paling umum biasanya keluhan yang ditujukan kepada pemerintah tentang rendahnya perhatian mereka terhadap museum sehingga museum menjadi kurang menarik untuk dikunjungi. Baiklah, bagaimana kalau logika dibalik? Ya gimana pemerintah mau menjadikan museum sebagai prioritas program kerja mereka kalau warganya saja tidak pernah tertarik untuk ke museum? Hayo.

Padahal tur ke museum itu, ya, asyik. Enggak ribet. Pulang-pulang bawa pelajaran, dan insight baru. Murah? So pasti. Waktu ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jl. Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat, tiket masuknya hanya 2.000 rupiah. Bayangkan, nominal segitu mau tingkat inflasi naik setinggi janji-janjinya pacar juga tetap saja murah. Sedihnya, walau sudah murah dan saya berkunjung pas hari libur, museum itu sepi pengunjung. Hanya ada kelompok kecil tur kami dengan anggota tiga belas orang dan seorang pemandu.

Dan saya jadi mengerti mengapa Robert Landon begitu cerdas akibat mengakrabi museum. Karena museum, walaupun terlihat bisu dan terkesan membosankan, ternyata memiliki trivia atau cerita selipan yang mungkin tidak pernah ada dalam buku teks pelajaran formal. Fakta-fakta unik yang memberi efek, “ooohhh…” pada peserta tur hari itu.

Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saya tercerahkan dengan beberapa cerita. Betapa sejarah, jika dipahami secara lebih dalam lagi, akan membuktikan dengan sendirinya bahwa tidak ada yang benar-benar hitam-putih. Baiklah, saya sudah menspot beberapa cerita dari pemandu kami yang baru saya dengar. Demikian penjabarannya:
  • Museum Perumusan Naskah Proklamasi dulunya adalah rumah Laksamada Maeda. Seorang penghubung Tentara Jepang di Asia Timur dengan Kekaisaran Jepang. Beliau salah satu dari sedikit perwira Jepang yang bersimpati dengan perjuangan Bangsa Indonesia. Trivianya adalah, rumah yang sekarang jadi museum itu adalah salah satu bangunan di Jakarta yang bentuk bangunannya masih autentik seperti dulu. Belum pernah mengalami perubahan.
  • Suara Bung Karno membacakan naskah Proklamasi yang biasa kita dengarkan hari ini, atau minimal tiap upacara bendera, bukan lah suara beliau asli di tanggal 17 Agustus 1945. Karena pada hari proklamasi itu tidak ada yang mendokumentasikan lewat rekaman suara atau video. Rekaman suara Bung Karno baru dibuat tahun 1950 atas usul Jusuf Ronodipuro dari RRI. Bung Karno sempat menolak karena baginya Proklamasi hanya sekali, tidak bisa diulang, dan untuk selama-lamanya.
  • Ini fakta favorit saya. Mesin tik yang digunakan Syuti Melik untuk mengetik naskah Proklamasi adalah milik Angkatan Darat Jerman yang dipinjam Laksamana Maeda karena mesin tik miliknya berhuruf kanji. Dalam Perang Dunia II, Jerman berada di bawah Nazi. Jadi, ada sedikit ‘campur tangan’ Nazi dalam proses kemerdekaan kita.
  • Saya terkagum-kagum dengan kemapuan analisis berbahasa founding father negeri ini. Dalam menyusun tek Proklamasi, kata ‘Penyerahan’ dicoret dan diganti dengan ‘Pemindahan’ bukan tanpa alasan. Ini untuk menghindari agar Jepang tidak melanggar hukum internasional. Karena setelah dinyatakan kalah dari sekutu, kedudukan Jepang di Indonesia menjadi status quo. Jepang tidak boleh memutuskan apa pun termasuk menyerahkan kemerdekaan Indonesia. Jadi lah kata ‘Pemindahan’ yang dipilih, karena akan mengesankan kekuasaan yang beralih bukan karena penyerahan secara sengaja. Well, Ivan Lanin mah lewat! Poinnya adalah, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Achmad Soebardjo saat itu masih ‘sempet-sempetnya’ mikirin nasib Jepang.
  • Ketika perumusan naskah Proklamasi, adalah bertepatan dengan bulan Ramadhan. Menu sahur yang disediakan oleh Maeda adalah nasi goreng. Walaupun ada sumber yang mengatakan sarden, dan roti.
  • Setelah selesai merumuskan naskah Proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta pulang ke rumah masing-masing dengan berboncengan sepeda dari Menteng ke Cikini. Kisah bromance terbaik dalam konteks kenegaraan yang pernah dimiliki bangsa ini.
  • Naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno yang asli baru diserahkan ke arsip negara pada tahun 1995. Dari rentang waktu Proklamasi sampai diserahkannya naskah tersebut, disimpan oleh BM. Diah.
  • Pengibar Bendera Pusaka pada saat Proklamasi, Latief Hendradiningrat dipilih secara spontan. Ibu Fatmawati tiba-tiba memberikan Sangsaka Merah Putih ke beliau karena beliau satu-satunya yang memakai seragam tentara saat itu.
Seusai tur, rasanya saya ingin kembali ke masa SD, ketika ulangan sejarah. Taruhan, saya pasti dapat nilai paling tinggi. Dibalik tembok-tembok bisu, pucat, dan kaku itu museum menyimpan harta karun sebuah negeri dengan peradaban besar, cerita yang lebih heroik dari perang Yunani melawan Troya, orang-orang hebat, dan suri tauladan untuk genarasi mendatang. Memang tidak menjawab semua pertanyaan, tapi dengan ke museum, apa yang terjadi hari ini kita akan sedikit lebih mengerti.

Terbayang oleh saya suara penuh kharisma si Bung Besar yang sedang berpidato membakar semangat rakyat yang sangat dicintainya. Setelan jas yang khas, Kopyah hitam, dan tongkat komandonya kompak menyokongnya untuk berteriak, “Jas merah! Jangan Pernah Meninggalkan Sejarah!”

Mulai sekarang, rasanya porsi museum dalam agenda traveling saya harus ditambah. Ya siapa tau bisa seperti Robert Langdon. By the way, ada yang punya cerita unik yang luput dari sorotan sejarah juga? Atau referensi museum lain yang harus banget dikunjungi? Boleh loh dishare =)







Share: